Bab 9: Sisi Lain dari Sophia.
Absen dulu dong! Dari daerah mana aja yang baca?
Selamat membaca! Jangan lupa vote-nya ya!
*****
"Baiklah Nona Sophia, kita mulai pembelajarannya ya," ucap Cerry kalem.
Sophia menganggukkan kepalanya cepat. "Baiklah, Cerry," ucapnya pelan.
Astaga, kenapa Cerry terlihat seperti putri bangsawan? batinnya.
Sebelum memulai pembelajarannya, Cerry mengambilkan sebuah pedang kayu kepada Sophia. Mengingat Nona-nya itu baru pertama kali memegang pedang, tidak bisa langsung ia berikan pedang besi seperti milik Snorett.
Sophia meraih pedang kayu tersebut dengan senang hati. Ia angkat pedang kayu itu didepan wajahnya, matanya berbinar bahagia dengan mulut membulat ketika memperhatikan setiap sisi pedang itu. Tangannya spontan mengayunkan pedang itu kekanan dan kekiri, seperti tengah memainkan pita untuk menari balet.
Cerry memulai pembelajarannya. "Baiklah, Nona, yang pertama adalah postur tubuh, Nona ketika memegang pedang."
Cerry membuka kakinya selebar bahu, "Yang pertama adalah posisi kaki Anda, bukalah kaki selebar bahu, kemudian tarik kaki kanan kebelakang," ujarnya lalu menarik kaki kirinya kebelakang.
Sophia mengikuti perintah Cerry tepat setelah diperagakan oleh gadis berambut coklat susu itu. Melihat Sophia telah mengikuti perintahnya, Cerry kembali menerangkan kemudian menpraktekkan posisi yang telah dijelaskannya, dan langsung diikuti oleh Sophia. Seberapa kuat ia mencoba menyempurnakan gerakannya, pose yang tercipta tetaplah kaku. Entah itu posisi kaki, posisi tubuh, genggaman pada pegang dan ayunan pedangnya.
Sophia sempat tersentak saat melihat semua orang terhenyak ketika ia mulai mengayunkan pedang. Apa ayunannya sememalukan itu hingga membuat mereka terkejut? Tiba-tiba pipi Sophia memerah karena malu yang memuncak.
Mata biru safirnya melirik malu-malu kearah orang-orang tersebut. Dahi Sophia agak mengernyit ketika mendapati pandangan orang-orang bukan mengarah padanya, melainkan pada sesuatu yang ada dibelakangnya. Refleks, kepala gadis itu bergerak mengikuti tatapan orang-orang. Dibelakangnya terdapat sang kakak yang berdiri dengan tegap dihadapan sebaris boneka jerami yang telah terbelah menjadi dua.
Mata Sophia terbuka lebar dengan binar kagum terukir dimata safir tersebut. Kak Snow sangat keren!!! batinnya penuh kekaguman.
Namun dahi Sophia seketika mengerut tak suka, saat mendengar bisikan-bisikan tak mengenakan yang ditujukan untuk sang kakak. Apa-paan mereka?! Mereka ingin cari mati 'kah karena menghina seorang putri Grand Duke?! batinnya lagi.
Manik safir Sophia berkilat tajam saat melihat kumpulan prajurit julid tersebut. Sophia spontan berjalan kearah kumpulan prajurit yang tengah berbisik-bisik tersebut. Ingin sekali ia robek mulut para prajurit itu dengan pedang milik mereka masing-masing. Lalu ia kirim ke perbatasan sebagai budak yang cacat. Astaga Sophie, nak, ini seperti bukan dirimu.
Baru berjalan tiga langkah, seseorang menarik lengannya membuat Sophia menghentikan langkahnya. Masih dengan perasaan dongkol, ia menoleh kearah orang yang memegangi lengannya dengan tatapan tajam. Ingin sekali ia bentak orang yang berani menghentikannya, benar-benar lancang.
"AP— a .... Ce-cerry ...," seketika nyali Sophia ciut saat mendapati Cerry yang menghentikan langkahnya.
Cerry tersenyum manis hingga matanya menyipit kepada Sophia. Tidak terlihat manis sama sekali, lebih terlihat menyeramkan. Aura intimidasi dari Cerry menguar membuat orang lain bisa sesak nafas.
"Saya harap, Anda tetap fokus pada latihan Anda, Nona," ucap Cerry penuh penekanan, namun tanpa menghilangkan senyuman manis dari wajahnya.
"Ba-baik ... Cerry ...," cicit Sophia lalu kembali pada posisinya. Punggung mungilnya langsung keringat dingin ketika melihat perubahan ekspresi Cerry, yang tadinya tersenyum amat manis berubah menjadi dingin dan bengis.
Prajurit yang melihat kejadian itupun salah paham. Mereka mengira Cerry menekan Sophia, dan memaksanya berlatih berpedang. Para prajurit itu mulai bersorak, menyemangati Sophia untuk tidak takut pada Cerry. Pelayan pribadi Cerry yang mengira para prajurit itu tengah mendukung Sophia untuk berlatih keras, akhirnya ikut bersorak juga. Alhasil, Sophia yang merasa gugup dan tertekan dengan keberadaan Cerry, terlihat sangat kaku saat memposisikan pose tubuhnya.
Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung bergulir dari dahinya. Astaga, Sophia baru pertama kali disoraki dan diperhatikan seperti ini. Apalagi dia baru pertama kali memegang pedang ditambah pelatihnya yang sangat menyeramkan hingga membuatnya kena mental. Saat ia mencoba mengayunkan pedang kayu, namun sayangnya ayunannya sangat kaku dan lambat. Aish ... Sophia harus berlatih sangat keras agar dapat mengejar ketertinggalannya dengan Snorett.
"Sophie, kau terlalu kaku." Sophia menolehkan kepalanya kepada Snorett yang tengah berjalan kearahnya.
Kak! Kau penyelamatku! batin Sophia penuh haru.
*****
Aku dan Sophie sekarang tengah duduk diundakan yang ada didepan barak prajurit. Kami berbincang-bincang hangat sembari meminum air putih dari botol yang diambilkan para pelayan kami. Aku sesekali tertawa ketika Sophie menceritakan sebuah lelucon.
"Kakak,"
"Apa?"
"Apa kakak tahu kucing apa yang tidak pernah salah?" tanya Sophie dengan senyuman usil diwajahnya.
Jari telunjuk bersarang didaguku. Mataku melirik keatas memikirkan jawaban dari pertanyaan dari Sophie. Aku tahu itu hanyalah lelucon yang tak berguna, tapi memikirkan sesuatu yang tak berguna itu menyenangkan.
"Kucing yang berwarna oranye?" ucapku.
Tiba-tiba Sophie langsung tertegun. Sepertinya dia tengah memikirkan kebenaran terkait jawabanku. Eiyy, berarti tebakanku benar.
"Sa~lah!" ucapnya mantap sambil menutup matanya.
Aku kembali berpikir. Kucing yang tidak pernah salah ... Apalagi kalau bukan kucing oranye? Dulu aku pernah bertemu dengan kucing oranye, saat itu dia mencuri camilanku. Saat akan kutangkap dia malah balik mencakar tanganku. Saat dia mencakarku, tatapan matanya seakan-akan berkata, "Jangan salahkan aku, jika makananmu tercuri. Salahkan dirimu sendiri karena tak becus menjaganya." Lalu kucing itu pergi begitu saja sembari membaca camilanku, tanpa ada perasaan bersalah sama sekali. Sialan.
Merasa otakku mencapai jalan buntu, aku langsung menggeleng pelan menandakan aku menyerah. "Jadi, apa jawabannya?"
Sophie menepuk tangannya sekali. Ia tersenyum manis hingga matanya menyipit. Astaga, imutnya~
"Jawabannya adalah .... Kucing Gak Wrong! HAHAHAHAH!!!" ujarnya diakhiri dengan tawa jenaka.
Aku terdiam sejenak, mencoba menyambungkan leluconnya dengan otakku.
Kucing Gak Wrong.
Kucing Ga Wrong.
Kucing Ga Rong.
Kucing Garong.
"HAHAHAHAAH!!! AWOAKOEAKWOK!!!" aku langsung tertawa ngakak dikala menyadari arti dari Kucing Gak Wrong tadi. Astaga, Sophie, darimana dia belajar lelucon itu. Jujur, itu sebenarnya garing atau cringe bagi sebagian orang, namun karena humorku lumayan jongkok jadi itu sangat lucu bagiku.
Plak!
Tanpa kusadari, aku ternyata memukul pundak Rachett yang duduk disamping kiriku dengan keras. Baroness Muda itu mengusap-usap pundaknya yang terasa pedas karena dipukul olehku. Matanya menatapku dengan tatapan tak percaya, mungkin dia tidak menyangka gadis sekecil aku dapat mengeluarkan tenaga sebesar itu.
Aku tahu, Rachett tidak suka berdekatan dengan sesuatu yang dapat melukainya. Karena itulah dia yang terkena mental habis dipukul olehku, langsung menarik Tania yang duduk dibelakangnya untuk duduk ditempatnya, seolah-olah menumbalkan Tania. Sementara ia langsung duduk ditempat duduk ditempat Tania dengan tenang sembari berbincang—saling ejek—dengan Elina.
"Sepertinya kalian sedang bersenang-senang hingga tanpa sadar melupakanku," ujar Bridget yang berjalan kearah kami dengan wajah datarnya.
Dibelakang gadis itu ada dua pelayan yang setia berjalan mengikutinya tanpa lelah. Ia duduk disampingku dengan tenang. Tanpa sadar, aku mendecih kesal.
Aku memutar bola mata malas terhadapnya. Aku bukannya benci terhadap gadis ini, hanya saja dia sering membuatku kesal. Entah itu dikehidupan sekarang atau masa lalu. Entahlah, aku merasa serba salah saat berdekatan dengannya.
"Begitulah, pembicaraan kami sangat menyenangkan hingga akhirnya kau datang," ucapku tajam.
Tidak ada respon darinya membuatku bingung, biasanya dia akan membalas ejekanku dengan semangat 45. Kulirik gadis berambut biru itu dari ujung mata, yang ternyata dia juga sedang melirikku.
Saat pandangan kami bertemu, kami langsung gelagapan dan mengalihkan arah pandang secara berlawanan. Refleks, aku langsung menggaruk kepala bagian atasku yang tak gatal, sementara Bridget mengelus tengkuknya.
Suasana canggung tercipta diantara kami. Aish ... kenapa harus ketahuan lirik-lirikannya sih? Pandangan kami langsung terarah pada Sophia yang tengah tertawa kecil. Ia tersenyum manis kearah kami.
"Kalian seperti kucing dan tikus ya!" ucapnya diakhiri dengan kekehan. Oh, sh*t! Lil sis why are you so cuteee?!! Aku 'kan jadi tidak tega kalau kamu jatuh ke tangan Adrien.
"Tentu saja, kakakmu ini kucing anggora putih yang amat imut. Berbeda dengan gadis yang sebelahku ini yang merupakan jelmaan tikus got," tuturku angkuh dengan mata terpejam dan dagu terangkat.
Tiba-tiba saja aku merasakan tusukan fana dari arah Bridget duduk. Aku menoleh kearahnya, membuat pandangan kami beradu untuk sesaat. Aku tersenyum miring ketika melihat ekspresi Bridget yang menampakkan ekspresi kesal dan amarah. Wah, wah, jadi dia bisa marah juga ya? Kupikir dia hanya akan memasang wajah datar yang membosankan itu terus.
"Perasaanku atau kau memang suka sekali mengejekku? Aku jadi ingin mengajakmu baku hantam ditengah lapangan sana," ujar Bridget dengan nada kesal.
Aku spontan melihat kearahnya. Sebelah alisku terangkat dengan senyum remeh terukir diwajahku. Mengajakku baku hantam? Yang benar saja, dia bahkan tidak mampu mengangkat pedang kayu.
"Mengajakku baku hantam, heh? Barangkali mengangkat pedang kayu saja kau tak mampu, ingin mengajak duel seorang swordmaster sepertiku?" ucapku bangga saat mengatakan 'swordmaster'.
Kulihat Bridget memutar bola matanya kearah lain. Ya maaf dong, kalau aku menyebalkan, habisnya kau duluan yang mulai.
"Aku memang akan kalah kalau adu pedang denganmu. Tetapi sihir ... aku rasa ... aku berada jauh diatasmu," ucapnya menantang.
"Ooohhh ...," reflekku sambil memposisikan tangan didepan bibir.
Sophie yang berada didepanku, memandang kami datar. Sepertinya dia mulai kesal dengan tingkah kami yang seperti kucing dan tikus.
"Kak—" aku langsung mengangkat tanganku tepat didepan wajahnya. Walaupun tidak kulihat, dapat kurasakan pandangan Sophie semakin datar.
"Kalau begitu kau mau berduel?" tantangku.
Gadis berambut biru itu masih menatapku tenang seperti biasanya. Dia berpikir sejenak, sementara aku menyilangkan tangan didepan dada. Menunggu responnya.
"Baiklah, tapi ... jika aku menang, kau harus jadi pelayanku selama seminggu," ucapnya datar.
"Hmm ... oke, oke. Tapi kalau aku yang menang, itu berlaku sebaliknya. Deal?" aku mengangkat tangan hendak berjabat tangan dengannya.
Tanpa pikir panjang Bridget langsung menjabat tanganku, "Deal."
"Tidak bisakah kalian akur?" suara lirih seseorang, membuatku menoleh kearah depan, tepat kearah Sophia. Mata biru jernihnya terlihat menghunus tajam, berbeda dengan biasanya yang selalu bulat. Tanpa sadar aku meneguk ludah.
"Wow, wow, calm down, Lil sis!" ucapku setengah berdiri sembari menggerak-gerakkan tangan memutar dengan heboh didepan tubuh layaknya orang sinting.
Kulirik Bridget yang ada disampingku. Gadis itu hanya diam sembari memainkan jari tangannya, sama sekali tidak melakukan apapun. Sangat tidak berguna.
"Apa gunanya aku memperkenalkan kalian, jika pada akhirnya malah berkelahi seperti ini?" ujaran Sophie yang terkesan dingin itu membuatku tersentak. Aku langsung melihat kearahnya dengan gelengan cepat. Tatapan tak percaya terukir diwajahku. Sejak kapan Sophie bisa sedingin ini?
"Sophie, kami tidak berkelahi, kami hanya berduel," ucapku yang diikuti anggukan oleh Bridget.
"Apa bedanya? Keduanya sama-sama melibatkan kekerasan," dahi Sophie mengernyit.
"Tentu saja berbeda," sahut Bridget. "Berkelahi itu ilegal, sedangkan berduel itu legal," ujarnya entah mengapa membuatku ingin tertawa.
"Pfftt— benar," ucapku sembari menahan tawa.
"Lagipula Sophie, kami ini sedang mencoba mengakrabkan diri," ujarku lagi sembari merangkul Bridget. Gadis berambut biru itu menanggapinya dengan anggukan.
"Tidak ada yang namanya mengakrabkan diri dengan kekerasan," Sophie kekeh pada pendiriannya.
"Tentu saja ada," sahut Bridget. Aku langsung mengacungkan jempol padanya.
Sophie mendengus, merasa tak setuju dengan, "Buktinya?"
"Kami!" aku dan Bridget berseru bersamaan, sembari merangkul satu sama lain.
Sophie memutar bola matanya malas sembari mendengus. Hahaha, pasti dia sangat kesal. "Terserah," ucapnya.
"Sana!" kali ini ia menyuruh kami. Dia ini kenapa?
"Apanya?" tanyaku dan Bridget bersamaan. Wow, kami sungguhan jadi akrab dong, padahal sebelumnya seperti tikus dan kucing. Jadi metode berantem lalu berteman itu cukup ampuh juga ternyata.
Sophie menghela nafas lelah, membuat kami semakin bingung. "Katanya mau duel tadi," ujarnya dengan nada kesal.
"Kau mengijinkan?!" aku langsung terdiam lalu melihat kearah Bridget dengan sebelah alis terangkat. Begitupula gadis itu melihatku dengan tatapan datarnya. Kenapa sahutan kami serempak terus daritadi?
Sophie menghela nafas lelah. Kemudian ia berdiri lalu berkacak pinggang. Dagunya terangkat tinggi dengan mata terpejam, entah mengapa tampak imut bagiku.
"Ya!" ucapnya tegas. Aww ...
Plak!
Aku langsung menatap Bridget nyalang sembari mengusap-usap bahuku yang terasa pedas. "Kau!" seruku dengan mata melotot.
Ia mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajahku berulang kali. Menyuruhku untuk diam. Ekspresi sedatar tembok tetap terpampang diwajah sayu itu.
"Ayo, cepat!" perintahnya sembari mengikat rambutnya menjadi ekor kuda lalu berjalan ketengah lapangan.
Aku menatap tajam kearah punggung mungil gadis berambut biru itu. Gadis gendeng itu benar-benar .... Aarghh!
"Sinting," desisku tajam.
Aku memperbaiki rambutku menjadi cepol sembari menggerutu kecil. Dalam hati aku terus mengumpati Nona Muda kediaman Havenford itu. Aku mendelik kearahnya saat pandangan kami bertemu. Dia yang berada ditengah lapangan terlihat memandangku datar sembari berdiri dengan angkuh.
"Lambat kau, Miranda!" serunya dari tengah lapangan yang mengundang tawa semua orang.
Mataku langsung mendelik tajam kearahnya. Si sinting satu ini! "Berisik kau, Monika!" seruku membalasnya yang membuat orang-orang semakin tertawa.
Dengan tergesa-gesa aku langsung berjalan ketengah lapangan. Berani-beraninya dia memanggilku menggunakan nama karakter dari drama teater komedi. Cih, dia benar-benar meminta perhitungan dariku.
*****
Sophia yang melihat interaksi sang kakak dan sahabatnya itu, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia menghela nafas panjang, kemudian menatap punggung kedua gadis itu dengan pandangan teduh.
Akhirnya setelah bertahun-tahun, dia bisa akur dengan sang kakak. Bahkan mempertemukan sahabatnya pada kakaknya. Dan siapa sangka mereka akan akur, walau dengan cara yang tak manusiawi.
"Aku harap ini tak pernah berakhir," gumamnya diikuti dengan senyum tulus.
*****
Update setiap hari Kamis!
Ditulis pada tanggal,
Minggu, 24 Oktober 2021.
Dipublikasikan pada tanggal,
Kamis, 28 Oktober 2021.
FB: Tika Riani
IG: @queenorca_
Twitter: @queenoforca
Orca_Cancii🐳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top