Bab 8: Latihan Berpedang Bersama Sophia.

Absen dulu dong! Darimana aja yang baca?

Selamat membaca! Jangan lupa vote-nya ya!

*****

Keadaan taman masih sunyi. Tidak ada yang berani berbicara setelah Snorett mengeluarkan aura dinginnya. Semuanya terdiam ketika Nona Muda pertama mereka menatap Bridget tajam. Bahkan pelayan baru dari Snorett juga terlihat terkejut, kecuali Cerry yang telah terbiasa dengan aura intimidasi sang nona.

Itu pertama kalinya mereka merasakan aura mengancam keluar dari seorang gadis kecil. Satu hal yang mereka simpulkan dari nona mereka adalah, nona mereka benci diejek atau direndahkan.

Sophia yang daritadi hanya memperhatikan terlihat gugup. Apalagi ketika kakaknya sudah menampakkan senyum miring yang menandakan dirinya sudah sangat kesal. Sophia sangat paham ekspresi sang kakak, karena saat dirinya akan dijahati oleh Snorett. Ekspresi yang Snorett berikan, sama seperti yang kakaknya tunjukan pada Bridget.

Bridget sendiri masih memasang wajah datarnya dan mencoba tenang. Padahal aslinya, kaki gadis itu telah gemetaran merasakan aura intimidasi dari Snorett. Entah mengapa, Sophia jadi kasihan dengan sahabatnya itu. Dia harus segera mengalihkan perhatian sebelum kakaknya berbuat lebih jauh.

Otak kecilnya berpikir, mengingat-ingat jadwal kakaknya sehari-hari. Sophia tiba-tiba kelabakan sendiri saat mendengar meja itu diketuk pelan oleh Snorett. Otaknya jadi bekerja lambat karena kepanikan melanda dirinya.

Ting!

Aha! Benar juga! batin Sophia setelah mendapatkan ide.

Bibir Snorett hendak bergerak mengucapkan kata-kata yang akan memojokkan Bridget. Namun terhenti ketika terdengar suara gebrakan dari sisi meja yang diduduki oleh Sophia.

BRAKK!!

"KAKAK!!"

Semua mata langsung mengarah pada gadis berumur tujuh tahun tersebut. Wajah Sophia terlihat polos dengan mata biru yang bulat, pipi tembam dan dagu yang sedikit ternaik. Snorett gelagapan mengira sang adik akan marah padanya. Mengingat Sophia memanggilnya dengan cara berteriak.

"A-apa?" tanya Snorett tergagap.

Matilah aku! Jangan sampai Sophia membenciku, jika dia membenciku maka hilang sudah kesempatanku untuk hidup tenang dan aman, Snorett membatin.

Ekspresi wajah Sophia berubah cepat menjadi senyum lebar. Menciptakan ekspresi bingung di wajah Snorett. Adiknya ini kenapa?

"Kak," bibir mungil itu bergerak memanggil sang kakak.

"Hm?" tentu saja hanya dibalas deheman oleh Snorett.

Senyum manis, semanis gula terukir diwajah Sophia. Mata bulatnya terpejam hingga melengkung seperti bulan sabit. "Bukankah sebentar lagi jadwal Kakak latihan berpedang?" tanyanya riang.

"U-uh," Snorett mengangguk pelan membuat Sophia semakin melebarkan senyumannya.

Snorett berdehem sejenak kemudian berkata, "Ya, sebentar lagi jadwalku latihan berpedang, tapi sudah dibatalkan."

Sophia semakin menggebrak meja membuat semua orang terkejut. "Kenapa Kakak batalkan?! Apa Kakak tidak takut dimarahi oleh guru, Kakak?" seru Sophia menggebu-gebu.

Poker face terpampang jelas diwajah Snorett. Andai saja adiknya tahu kalau guru yang selama ini mengajarinya hanya mendiang Ibunya, mendiang pelayan pribadi Ibunya, dan Cerry. Ayahnya mana sudi membawakan guru untuk dirinya.

Ia menghela nafas lelah. Memikirkan masa lalu memang membuatnya lelah. "Tidak. Dia tidak akan marah, tenang saja," ucap Snorett sembari memijit pangkal hidungnya.

Wajah Sophia tertekuk kebawah. "Padahal aku ingin belajar berpedang," lirihnya.

Sebelah alis Snorett terangkat, "Kau yakin?" Yang hanya diangguki lesu oleh Sophia.

Snorett mendesah lelah. Kalau adiknya sudah meminta, ia tak bisa menolaknya. Mengingat sudah berapa banyak rasa sakit yang ia torehkan untuk Sophia. Mau tak mau dia harus menuruti permintaan sang adik.

Snorett tiba-tiba berdiri, membuat semua pasang mata melihat kearahnya. "Apa boleh buat, jika Sophie telah meminta, mana mungkin tidak kukabulkan," ucapnya sembari merapikan lengan pakaiannya.

"Cerry— maksudku kalian siapkanlah pakaian berlatihku." Keempat gadis itu langsung mengangguk cepat dan pergi menuju tujuan masing-masing.

Snorett bangkit dari duduknya, kemudian berjalan melewati meja yang ditempatinya tadi. Setelah berjarak lima langkah dari meja tersebut, ia menoleh kebelakang, tepat kedua gadis yang masih duduk pada tempatnya. Sophia dengan senyum cerah dan bahagia, sementara Bridget dengan wajah kelewat datar.

Snorett menghela nafas lelah melihat perpaduan antara adiknya dan sahabat adiknya. Yang satunya penuh akan pengharapan terhadap indahnya kehidupan, yang satunya lagi hanya pasrah akan kerasnya kehidupan.

Bagaimana caranya kedua gadis ini bisa bersatu? begitulah isi hati si gadis paling tua.

"Apa yang kalian lakukan disana? Katanya ingin latihan berpedang, atau kubatalkan saja lagi?" ucap Snorett dalam pose berpikir.

"Tidak!" pekik Sophia kemudian berlari kearah Snorett sembari meraih tangan sang kakak. Setelah mendapatkan tangan kakaknya, ia langsung menarik Snorett masuk kedalam mansion.

Hampir saja Snorett tersungkur, kalau saja keseimbangannya tidak terlatih. Dia pasrah saja ketika diseret oleh Sophia yang tengah bersemangat. Tenaga adiknya ini bukan main-main.

Sementara figur seorang gadis berambut biru masih duduk pada tempatnya, lengkap dengan dua pelayan yang berada dibelakangnya. Sepasang mata biru gradasi ungu memandangi sepasang adik kakak itu datar. Tak lama Bridget menghela nafas lelah sembari menutup matanya.

"Aku terlupakan," gumamnya.

Dengan cepat ia mendongakkan kepala kembali. Senyuman tulus terukir diwajah sayunya. "Baguslah jika mereka akur, setidaknya aku tidak perlu mengkhawatirkan Sophia lagi," lanjutnya.

Bridget bangkit dari duduknya, kemudian berjalan masuk kedalam mansion. Dengan dua pelayan pribadinya mengikuti dari belakang.

Dari jauh terlihat sepasang mata berwarna biru jernih memperhatikan ketiga gadis itu. Dahinya mengernyit setiap kali ia melihat interaksi kedua putrinya yang terbilang cukup langka. Keduanya terlihat saling menyayangi dan akur.

"Apa lagi yang anak iblis itu rencanakan?" gumam Grand Duke Alex penuh ketidaksukaan dalam nadanya.

Sedari tadi Grand Duke Alex terus mengawasi taman sang istri dari ruang kerjanya. Berjaga-jaga jika gadis iblis itu berinisiatif melukai Sophia. Dia tidak akan segan-segan melempar Snorett ke menara tua dipinggir Laut Keios Selatan, jika gadis iblis itu berani melukai Sophia-nya lagi.

"Yang Mulia, Anda tidak pantas mengatakan hal semacam itu pada Nona Muda Pertama. Nona Snorett juga putri Anda," ucap pria berambut cokelat yang berdiri disamping meja kerja sang Grand Duke.

"Jangan ikut campur urusanku, Cale. Sebaiknya kau pikirkan saja bagaimana cara move on dari Mireille dan menikah. Aku risih dengan Count Victon terdahulu yang terus curhat padaku, tentang dirimu yang tidak mau menikah karena tidak bisa melupakan Marchioness of Reaves itu," ujar sang Grand Duke tanpa menolehkan kepalanya.

"Maafkan atas kelancangan saya, Yang Mulia," ujar Cale sang Ajudan Grand Duke Alex. Ujung bibir Cale berkedut kesal ketika atasannya membawa-bawa nama wanita yang terus mengguncang hatinya. Namun sayangnya, dia tidak dapat memiliki wanita itu karena kalah pamor dengan Marquess of Reaves.

Beraninya bawa-bawa masa lalu, sialan! umpatnya dalam hati, mana mungkin dia berani mengatakannya secara langsung. Bisa lepas kepalanya jika dia berani mengatakan hal itu.

*****

Terlihat barisan orang berjalan membelah lorong mansion. Terdapat lima baris pelayan yang terdiri dari dua orang, berjalan serempak mengikuti tiga gadis cilik yang menjadi majikan mereka. Ketiga gadis cilik didepan terlihat berbincang-bincang, menarik perhatian para pelayan lain yang tak sengaja melewati mereka.

Tak sedikit dari pelayan itu terkejut dengan pemandangan yang tersaji. Nona Muda pertama mereka, Snorett, tertawa bahagia sembari menggandeng Nona muda kedua mereka, Sophia, layaknya saudari pada umumnya. Bahkan mereka semakin tercengang ketika para pelayan itu melihat keduanya tertawa bahagia saat tengah berbincang.

Bridget yang melihat ekspresi para pelayan itu hanya melirik mereka. Dibenaknya, ia memikirkan sifat teman barunya itu sebelum berubah. Sesuai dengan perkataan para pelayan yang sudah lama bekerja disini, Snorett sanagtlah kejam dan sering menyiksa Sophia. Dia percaya saja, karena dulu pernah melihat Sophia dibentak dengan tidak manusiawi oleh Snorett.

Namun, yang berkecamuk dikepalanya saat ini adalah, mengapa Snorett bisa berubah secepat itu? Tentu saja hal itu sangat membingungkan baginya. Setahunya manusia tidak bisa berubah dengan waktu singkat, apalagi hanya dengan hitungan jam. Kakak laki-lakinya yang jahil itu bahkan membutuhkan waktu dua bulan untuk mengurangi sifat jahilnya. Otak encernya tidak bisa berpikir jernih saat sedang memikirkan Snorett.

Pada dasarnya Bridget itu cerdas, bahkan pantas untuk menduduki posisi permaisuri. Terlebih lagi, gadis berambut biru itu juga menuruni sihir langka turun temurun keluarga Havellort, yaitu sihir Alam. Namun, karena sifatnya yang selalu pasrah dan jarang bergerak, membuat ia dicap sebagai Nona Bangsawan Pemalas. Dan tentu saja, julukan itu menutupi sisi baik dari Bridget itu sendiri.

"Kak," semua mata langsung melihat kearah Sophia. Begitupula Snorett yang dipanggil, si gadis pemilik mata berwarna merah itu berdehem.

"Kenapa Cerry juga mengenakan setelan latihan?" tanya Sophia sembari menunjuk Cerry yang berjalan dibelakang Snorett yang memakai atasan kemeja putih, celana hitam, sepatu bot tinggi, tak lupa sebuah pedang tersampir dipinggangnya. Membuat Cerry terlihat seperti prajurit wanita.

Sophia dan Snorett juga memakai setelan latihan. Mereka berdua memakai kemeja medieval berwarna putih gading, dengan celana ketat dan sepatu bot tinggi. Yang berbeda, pinggang Snorett tersampir sebuah pedang, sementara Sophia tidak membawa satupun. Bridget sendiri masih mengenakan gaunnya, dia berkata tidak perlu belajar berpedang karena kemampuan sihirnya sudah sangat mumpuni.

"Karena dia yang akan melatih kita nanti," ujar Snorett diakhiri senyuman dimatanya.

"Apa Ayah tid—" ucapan Sophia terpotong dibarengi dengan mulutnya yang terkatup. Dia baru terpikir, mana mungkin pak tua itu mau memanggilkan guru untuk kakaknya. Pak tua itu terlalu bajingan untuk melakukan hal itu.

Haissh, orang tua tak berguna itu, batin Sophia kesal.

Snorett tersenyum kecut ketika melihat Sophia mengatupkan mulutnya. Suasana menjadi sunyi selama mereka menuju barak pelatihan. Tidak ada yang berbicara, Bridget yang melihat itu, melirik kedua saudara tersebut secara bergantian.

Perlahan suara desingan besi yang berasal dari pedang yang beradu mulai terdengar. Suara lelaki yang saling bersahutan meramaikan suasana. Akhirnya mereka telah sampai ketempat tujuan mereka. Barak pelatihan prajurit.

*****

Banyak pasang mata melihat kearah kami, mulai dari saat kami masuk. Awalnya, para prajurit itu terlihat biasa saja ketika melihatku dan Cerry berjalan ke tengah-tengah lapangan. Tetapi saat Sophie dan Bridget ikut ke lapangan, mata mereka langsung terbuka lebar seolah-olah akan keluar dari liang matanya. Perlahan suara bisikan mulai terdengar.

"Mengapa ada Nona Sophia dan Nona Bridget disini?"

"Entahlah, apa Nona Snorett berencana mempermalukan Nona Sophia?"

"Waahh! Kalau begitu ini tidak bisa dibiarkan! Kita harus menghentikannya!"

"Hei! Jangan bertindak gegabah! Apa kalian tidak dengar rumor yang tersebar akhir-akhir ini. Bahwa Nona Snorett telah berubah dan berhubungan baik dengan Nona Sophia,"

"Rumor tetaplah rumor! Hanya sesuatu yang tak nyata!"

"Setidaknya gunakan otak kecilmu itu, bodoh. Rumor tidak akan tercipta kalau tidak ada pemicunya. Kalaupun rumor itu memang tidak benar, setidaknya jangan mencampuri urusan orang lain, seolah-olah kehidupan orang itu jugalah kehidupan kalian. Hidup kalian saja belum benar, sok-sokan mengurusi hidup orang lain,"

"Cih, aku ingin menentangmu, tetapi yang kau ucapkan ada benarnya,"

Helaan nafas lelah keluar dari bibirku. Prajurit-prajurit ini sepertinya harus dikirimkan kembali ke medan perang. Mereka terlalu lama tinggal di Grand Duchy sehingga sudah tertular penyakit gosip dari para pelayan Grand Duchy.

Sungguh sepertinya mereka terlalu sibuk menajamkan mulut mereka daripada pedang mereka. Apa jadinya militer kekaisaran jika isinya pria-pria hobi bergosip seperti mereka?! Duhh, kepalaku pusing memikirkannya.

"Hei!" panggilan Bridget mengalihkan atensiku begitupula Sophie.

"Ada apa, Betty?" tanya Sophie sementara aku hanya menatapnya penuh tanda tanya.

Gadis itu menunjuk kearah jam tiga, tepat ke sebuah gazebo putih yang biasanya dijadikan tempat minum teh disore hari oleh Ibunda, sembari memperhatikan latihan Ayah berpedang.

"Aku akan menunggu kalian latihan di gazebo itu, kalau begitu aku pergi," setelah itu langsung berlari kecil kearah gazebo itu diikuti dengan dua pelayannya.

Sementara pelayanku dan Sophia sudah berdiri ditepi lapangan atas perintahku dan Sophie. Kecuali Cerry yang berdiri disampingku karena dia memang yang bertugas melatih kami.

"Baiklah, Nona-Nona. Mari kita pemanasan terlebih dahulu. Ikuti gerakan saya ya, Nona Muda Sophia," ujar Cerry lalu memperagakan gerakan dasar pemanasan yang diikuti oleh Sophie yang agak kaku saat melakukannya.

Sementara aku telah melakukan pemanasan yang biasa aku lakukan. Tentu saja, pemanasan yang aku lakukan sudah tingkat another level, karena aku telah terbiasa melakukannya. Setelah pemanasan selama 15 menit, kami langsung menyudahinya.

Aku dan Sophie berdiri berdampingan menghadap Cerry. Aku menelengkan kepalaku kekanan dan kekiri hingga mengeluarkan bunyi. Sementara Sophie meregangkan tangannya keatas hingga membungkuk.

"Baiklah setelah ini kita akan berlari mengelilingi lapangan ini dua putaran. Seharusnya 10 putaran, tetapi karena ada Nona Muda Sophia, saya menguranginya karena mengingat Anda belum terlatih dan masih terlalu muda. Baiklah, kita mulai sekarang," setelah Cerry berujar, kami langsung berlari mengitari lapangan yabg cukup luas ini.

Sebenarnya dua putaran sangatlah mudah bagiku. Karena biasanya aku selalu berlari 20 putaran setiap akan memulai latihan. Dan benar saja, hanya dalam waktu satu setengah menit aku sudah selesai melakukannya. Sementara Sophie masih tersisa satu setengah putaran lagi.

Sophie terengah-engah ketika berhasil menyelesaikan dua putarannya. Tubuhnya membungkuk dengan mulut yang terbuka-menutup seperti ikan yang keluar dari air. Sepertinya dia sangat kelelahan hanya karena berlari dua putaran tadi. Astaga, staminanya benar-benar buruk.

Setelah selesai berlari dua putaran, Cerry langsung menjabarkan materi-materi dasar dalam berpedang. Mulai dari postur tubuh, cara memegang gagang pedang, pergerakan kaki atau footwork, cara mengayunkan pedang dengan benar dan cara bertahan. Sementara aku telah pergi ke bagian lain lapangan, tempat boneka jerami berada.

Kutatap boneka jerami yang ada dihadapanku dengan tatapan datar namun tajam. Boneka itu hanya diam dengan beberapa helai jeraminya terbang diterpa angin.

Aku merasakan banyak pasang mata melihat kearahku, seolah-olah tengah menunggu apa yang akan aku lakukan. Aku memegang sabuk pedangku, lalu menggenggam gagang pedangnya dengan erat.

Sriing!

Bilah pedang berkilau ketika diterpa cahaya mentari. Aku mengangkat pedang itu kedepan mataku. Manik darahku menyapu tiap sisi pedang berukuran sedang ini. Pedang ini merupakan salah satu saksi bisu kehidupanku yang menginginkan pengakuan. Pedang ini kudapatkan dari Ibuku saat berumur lima tahun, sebagai hadiah ulang tahun.

Pedang ini tidak mewah, desainnya sangat sederhana, terkesan sangat biasa dan tak berharga. Tidak ada ukiran apapun digagangnya, hanya besi yang terbebat kain berwarna coklat yang lusuh. Sabuknya juga biasa saja, tidak ada lambang apapun hanya sabuk pedang biasa berwarna coklat. Tidak ada yang spesial, namun sangat berharga bagiku. Mengingat perjuangan Ibu untuk mendapatkan pedang ini membuatku merasa emosional.

Ibu harus bekerja sangat keras hanya untuk mendapatkan pedang ini. Padahal dia seorang Grand Duchess loh, tetapi kehadirannya sama sekali tak dianggap oleh Ayah. Tetapi yang membuatku bingung, kenapa aku bisa terlahir jikalau Ayah sama sekali tidak mau berhubungan dengan Ibu? Kata para pelayan, Ibu menggunakan afrodisiak dimalam pertama mereka, dan saat itulah aku tercipta.

Tetapi mengingat tatapan memuja Ibu saat menceritakan sosok Ayres, kurasa itu tidak benar. Lalu, apakah Ayah memiliki Love-Hate Relationship Syndrome saat bersama Ibu? Haahh ..., sudahlah, memikirkannya membuatku semakin pusing. Laki-laki itu benar-benar rumit, tidak bisakah mereka menjadi simpel seperti para perempuan?

Kakiku terbuka selebar bahu, memasang posisi siap. Aku mengeratkan genggaman kedua tanganku pada gagang pedang. Pedang itu terangkat keudara, kemudian kuayunkan kebawah.

Crasshh!

Suara terkesiap dari segala penjuru terdengar. Entah berasal dari para pelayan yang menunggu dipinggir lapangan, dari arah gazebo, atau para prajurit yang sengaja memperhatikan gerak-gerikku.

Boneka jerami tadi terbelah menjadi dua dengan potongan horizontal kebawah. Bahkan sekitar tiga boneka jerami yang ada dibelakang boneka tadi ikut terbelah dengan mengenaskan. Sekatan jerami berterbangan diikuti dengan debu-debu yang terbawa angin.

Aku menatap onggokan jerami itu dengan tatapan datar. Pedang tadi kumasukkan kedalam sabuknya hingga menciptakan suara desingan yang cukup nyaring. Bisikan-bisikan jahat mulai terdengar lagi, mayoritas berasal dari para prajurit yang bermulut tajam, bahkan pedang mereka kalah tajam. Ingin rasanya kuteriaki para prajurit itu agar mengasah pedang mereka menggunakan lidah, agar pedang itu tak kalah tajam dengan ucapan mereka.

Menghela nafas lelah, aku kemudian melirik kearah Sophie berada. Sophie tengah latihan kuda-kuda, terdengar juga suara sorakan dari beberapa prajurit dan pelayan pribadinya yang menyemangati adikku.

Kuperhatikan posisi Sophie yang terasa sangat janggal bagiku. Kakinya kurang terbuka lebar, posisi jari saat menggenggam gagang pedang juga salah, dan tubuhnya terlalu membungkuk. Astaga, dia kaku sekali!

*****

Grand Duke of Dexter
Alexander Oddy McDeux
(Umur: 29 Tahun)
(185 cm/75kg)

***

Ting!
You got message from Orca'Mail!

Orca'Mail:
HalOrca semuanyaaa!!! Para pembaca Orca tercinta, love you so much karena udah mau meramaikan cerita ini.

I love you guys so much, like, beberapa bulan kemarin. Cerita ini baru nembus angka ratusan views. And noww ... baru seminggu semenjak chap terakhir di publish, cerita ini udah nginjak angka ribuan! That so amazing! Kayak, secepat itu bisa langsung mancing pembaca.

Really guys, Orca tuh bahagia banget karena kalian sangat ... sangat ... antusias sama cerita Orca. Sungguh ini tuh sebuah penghargaan bagi Orca, karena banyak orang yang mau baca cerita Orca. I really appreciated all of your kindness.

Terima kasih banyak banget buat yang udah ngasih semangat ke Orca setiap selesai baca. Sungguh itu tuh membantu banget, walaupun kalian cuman ngetik, "Semangat ya." Itu tuh udah jadi dukungan buat Orca.

Once again, thank you ... thank you ... THANK YOUU SO MUCH EVERYBODY!!!!! LOVE YOU GUYS!!

Btw saran aja, setiap mau baca cerita ini, tolong dibuang jauh-jauh pemikiran negatifnya. Orca bikin cerita ini penuh akan pemikiran positif, ada beberapa hal negatif hanya aja gak terlula banyak.

Kalau kalian mengharapkan balas dendam, kalian salah cerita. Cerita ini penuh akan belas kasih dan kehidupan baru seorang Snorett. Tidak ada yang namanya benci, tidak ada yang namanya dendam dan tidak ada yang namanya dengki.

Oke, cuman itu aja yang mau Orca sampein. So, OrcaBye semuanya! *kiss bye*

***

Ditulis pada tanggal,
Minggu, 10 Oktober 2021.
Dipublikasikan pada tanggal,
Kamis, 21 Oktober 2021.

FB: Tika Riani
IG: @queenorca_
TW: @queenoforca

Orca_Cancii🐳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top