Bab 7: Mendapatkan Teman Baru.
Selamat membaca! Jangan lupa tekan vote-nya ya!
*****
Elina's POV
Akhirnya aku bisa memperhatikan gadis ini dari dekat. Sejak pertama kali aku datang ke mansion ini, semua orang terus membicarakan keburukan gadis ini, putri pertama Grand Duke of Dexter, Snorett Serena McDeux. Mereka semua terus mengatakan padaku untuk berhati-hati dengannya, karena gadis itu berdarah iblis, tetapi aku tak percaya. Mata merah memang disangkut pautkan dengan iblis, namun bukan berarti pemiliknya adalah iblis sungguhan.
Para pelayan mansion ini menceritakan bahwa gadis ini sering menyiksa saudarinya sendiri sebagai pelampiasan kekesalannya. Apa aku percaya? Tentu saja, tidak. Aku belum melihatnya secara langsung, jadi aku tidak bisa mempercayai perkataan mereka.
Daripada saling membenci, kedua gadis kecil yang berjalan membelakangiku ini malah terlihat sangat akrab dan saling menyayangi. Mereka berdua bergandengan tangan layaknya saudara kandung padahal beda ibu. Keduanya terlihat tertawa lepas ketika Nona Muda Snorett melontarkan lelucon yang lumayan lucu.
Aku jadi bingung, dimana letak kekejaman gadis bernama Snorett ini? Antara kejam, dia lebih cocok disebut menggemaskan. Mungkin selama ini, Nona Muda Snorett selalu jahil pada saudarinya, sehingga orang lain mengira Snorett berlaku kejam pada saudarinya. Padahal itu wajar 'kan? Aku juga sering dijahili oleh saudaraku waktu masih kecil. Itu hanya kenakalan anak kecil kawan, mereka terlalu melebih-lebihkan berita.
Aku melirik kesamping kiri dan kananku. Disamping kanan terdapat empat pelayan pribadi Nona Muda Sophia, yang tengah menatap tajam penuh ketidaksukaan tangan kedua gadis itu yang saling bertaut. Mengapa mereka menatapnya setajam itu?
Aku melirik lagi kesamping kiri mendapati pelayan pribadi sang putri pertama wilayah ini. Aku memang menjadi pelayan pribadinya sekarang, tetapi gadis berambut coklat susu ini sudah lebih lama berada disisinya. Jika dilihat-lihat kami seumuran, sama-sama 15 tahun.
Pelayan satu ini terlihat sangat dingin dan memiliki aura intimidasi yang amat kuat. Apa dia berasal dari kalangan bangsawan? Kalau iya, berasal dari keluarga mana? Melihat dari auranya, seharusnya, minimal dia seorang putri Marquess. Tetapi setahuku, Marquess di kekaisaran ini tidak ada yang berambut coklat susu, apa dia mendapatkan rambut itu dari ibunya?
Dan siapa namanya tadi? Cerry? Aku tidak pernah tahu Marquess di kekaisaran memiliki putri bernama Cerry. Atau dia berasal dari kekaisaran lain? Apa Grand Duke of Dexter sekaya itu hingga dapat mendatangkan pelayan dari keluarga bangsawan di kekaisaran lain?
Bodohnya, kenapa tidak kutanya saja. "Nona Cerry," panggilku pelan kepadanya.
Cerry langsung menoleh padaku dengan tatapan tajam membuatku sedikit merinding. "Ya, Nona Elina?" tanyanya dengan wajah kalem.
Aku meneguk ludahku agak kasar. Kenapa gadis ini memiliki aura intimidasi yang sangat kuat?! Aku rasa dia benar-benar seorang putri bangsawan, tapi mengapa aku tak pernah liat? Atau jangan-jangan!
Gadis ini adalah anak haram seorang bangsawan! Tidak, tidak Elina. Jangan berpikiran seperti itu, ini bukan dirimu. Tanyakan dulu, baru berasumsi.
Aku tersenyum tipis menormalkan kegugupanku. "Saya baru kali ini melihat Nona Cerry. Nona berasal dari keluarga bangsawan mana?" tanyaku.
Tiba-tiba terdengar suara dengusan menahan tawa berasal dari pelayan pribadi Nona Muda Sophia. Ada apa dengan mereka?
Rachett yang berjalan tepat dibelakangku, juga mencubit pinggangku pelan membuatku terlonjak. Aku melirik kebelakang, mendapati gadis kuning kenari itu menggerakan bibirnya seolah-olah berkata, "Kau bodoh." Membuat dahiku mengernyit keheranan.
Aku kembali menoleh kearah Cerry. Mendapati gadis bermata zamrud itu tengah tersenyum tipis kepadaku. "Maaf mengecewakan Anda, Nona," ucapnya membuatku menelengkan kepala bingung.
"Tetapi, saya berasal dari keluarga rakyat jelata. Seperti nama saya, yang hanya memiliki dua kata, nama depan dan tengah, tidak ada marga. Cerry Kreon," ujarnya diakhiri senyuman manis yang berhasil membuatku gugup.
"Eh?" Seketika ekspresi orang bodoh terpasang diwajahku.
Elina's POV End
*****
Aku sekarang tengah duduk dikursi taman milik Ibunda Lily yang sangat luas. Sementara para pelayan baruku tengah mempersiapkan secangkir teh untukku, begitupula pelayan Sophia. Aku dan Sophia berbincang-bincang sesekali tertawa selagi menunggu pelayan kami selesai melakukan tugasnya.
Tak lama secangkir teh bertengger dihadapanku dengan warna air teh yang terlihat berkilau, dan satu bunga melati kecil mengambang diatas teh itu. Cerry dan kawan-kawannya sudah kembali ke tempat, berbaris dibelakangku. Kuangkat cangkir teh itu, kemudian menghirup wangi teh tersebut.
Aroma melati yang kental dan familiar merasuki indra penciumanku. Aku mendesah senang saat mencium wangi melati yang begitu menenangkan. Aku menyesap teh itu dengan gerakan anggun, mengecap rasa melati yang masuk melalui teh tersebut. Nikmat~
Setelah selesai menyesap teh itu, aku langsung mengembalikan cangkir keatas tatakannya dengan perlahan hingga tidak mengeluarkan bunyi. Kulihat kearah Sophia yang tengah melihatku dengan tatapan penuh kekaguman. Sementara cangkir teh masih bertengger ditangannya, belum disesap sama sekali. Inisiatif, aku bertanya padanya.
"Apa ada masalah, Sophie?" Sesaat setelah aku bertanya, pipi Sophia langsung dipenuhi rona merah. Apa dia malu? Begitupula pelayan pribadi Sophia yang berjejer dibelakangnya terlihat sangat terkejut.
"Ka-kakak! Kakak, memanggilku dengan nama kecilku?!" ucapnya dengan mata berkaca-kaca penuh haru.
Melihat dirinya yang akan menangis sembari menutupi mulut. Spontan aku langsung membawanya kedalam pelukanku. Aku mengelus punggungnya mencoba menenangkan, sementara Sophia terisak didalam pelukanku.
"Ma-maafkan, kakak ..," lirihku. Entah mengapa mataku juga ikut memanas.
"Maafkan aku, Sophie. Maaf ...," lirihku sembari terisak. Pada akhirnya kami menangis bersama.
Aku juga mendengar suara isakan terdengar disekitarku. Apa para pelayan ini juga ikut terharu, hingga menangis bersama kami?
"A-aku selalu memaafkan kakak ... Semua perbuatan kakak selalu ... kumaafkan ... I never hate you, Sis ... Never," ucapnya diselingi isakan yang membuat air mataku semakin deras.
Hiks, kamu terlalu baik, Sophia. Huwaaa, Tuhan kenapa aku jahat sekali padanya dulu?! Kenapa aku membunuhnya dahulu, karena seorang bocah yang bahkan tidak menghormatiku?!!
"Maaf ...," hanya kata itu yang bisa kukatakan saat ini.
Setelah puas menangis selama beberapa menit, kami langsung mengakhirinya. Aku menguraikan pelukanku pada Sophia, begitupula dengannya. Aku mengusap kedua mataku yang terasa basah, kemudian melirik sekitarku.
Pelayanku dan pelayan Sophia terlihat menangis. Dapat kulihat Cerry menangis dipelukan Tania yang terlihat bingung, begitupula ekspresi Elina dan Rachett. Sama dengan pelayan Sophia, dua orang ada yang menangis sambil berpelukan, ada juga yang tertegun dan menahan tangis. Entah mengapa, aku merasa pemandangan ini sangat lucu.
Tak sengaja aku beradu tatap dengan Sophia yang baru selesai mengusap air matanya. Batu delima dan safir saling bertubrukkan untuk sesaat. Kami langsung terkekeh kecil bersamaan. Aku merasa sangat konyol sekarang. Semoga setelah ini orang-orang menganggapku telah berubah.
"Permisi semuanya, maaf atas keterlambatan saya." Aku langsung menoleh kearah jalan setapak yang menghubungkan taman ini dengan mansion.
Seorang gadis berambut biru dengan mata berwarna biru keunguan berdiri disana. Wajah gadis itu manis namun sayangnya sangat datar. Ah, aku ingat dia siapa.
"Betty!" seru Sophia senang kemudian berlari kearah gadis itu.
*****
Di Callesius terdapat dua Grand Dukedom, yaitu Dexter dan Calleum. Empat Dukedom, yaitu Attrios, Quetzals, Exford, dan Havenford. Dan sepuluh March, yaitu Cruisse, Winteria, Killian, Keanu, Odswell, Reaves, Wallyer, Marquess of Einhart, Queran, dan Fotherfox. Semua Grand Dukedom, Dukedom dan March itu adalah pilar penyangga kekaisaran.
Pilar terkuat saat ini adalah Dexter yang memasok senjata perang kekaisaran, Calleum yang mengatur keuangan dan ekonomi negara, dan Exford yang menghasilkan ratusan prajurit hebat kekaisaran. Namun akhir-akhir ini muncul nama Havenford yang menghasilkan penyihir-penyihir berbakat dan cerdas.
Hampir separuh penyihir di menara sihir Arcane berasal dari Havenford. Karena inilah, Dukedom Havenford mulai melejit dan menaikkan nama mereka menjadi salah satu pilar terkuat Callesius.
Duke of Havenford saat ini, Sirius Cavel Havellort juga menjabat sebagai Kepala Menara Arcane. Pria berambut biru itu adalah penyihir yang cerdas dan bertalenta. Ia juga memiliki seorang putra berumur 12 tahun yang digadang-gadang akan menggantikan posisinya di Menara Arcane, dan seorang putri yang cantik jelita berumur sembilan tahun.
Bridget Emira Havellort adalah putri pertama Duke of Havenford. Dia memiliki rambut biru seperti langit dipagi hari dan mata biru keunguan yang sayu. Wajahnya manis dan cantik, namun selalu datar melebihi sebuah tembok. Dan kurang akan semangat hidup.
Dimasa lalu, Bridget berteman baik dengan Sophia. Dia dan Sophia sudah seperti saudara kandung, saling mengerti satu sama lain. Dulu, setiap kali Bridget melihatku, dia pasti akan menatapku dengan pandangan menusuk. Sifatnya tenang dan tidak mudah terbawa perasaan.
Dia jugalah yang melaporkan pembunuhan yang kulakukan terhadap Sophia. Seminggu sebelum aku tertangkap, aku membunuhnya di padang Floie yang penuh akan berbagai macam bunga. Di padang itu, ia termenung sembari menangis, yang kurasa dia memikirkan Sophia. Saat itulah aku langsung menusuk punggungnya menggunakan pedangku hingga menembus dadanya.
Kembali lagi ke masa ini, gadis berambut biru ini duduk disebelah Sophia dengan dua orang pelayan berjejer dibelakangnya. Tatapan datar penuh akan rasa ingin tahu ia arahkan padaku. Aku hanya tersenyum kikuk saat dipandangi olehnya.
"So, Big Sis!" panggil Sophia padaku, aku hanya berdehem sebagai tanggapan.
"Ku perkenalkan ini Bridget, putri Paman Sirius. Teman pertamaku! Dan, Betty!" Bridget melihat kearah Sophia dengan tatapan tanpa minat.
"Perkenalkan ini kakak kesayanganku, Kak Snorett!" ujar Sophia riang diakhiri dengan senyuman manis.
Berinisiatif, aku langsung mengulurkan tanganku hendak mengajaknya berjabat tangan. "Snorett, panggil saja Snow," ucapku dengan senyum canggung.
Bridget menatap uluran tanganku dengan tatapan penuh selidik. Cukup lama ia menatap tanganku hingga membuatku gugup. Astaga, gadis ini benar-benar!
Merasa tak ada tanggapan aku berniat ingin menarik kembali tanganku. Saat itu jugalah, dia langsung membalas jabatan tanganku.
"Bridget," ucapnya tanpa minat.
Setelah itu kami langsung menarik uluran tangan masing-masing. Aku masih tersenyum kikuk padanya, sementara dia, tentu saja masih dengan wajah datar yang menyebalkan itu.
Aku kemudian menoleh kesamping sembari tersenyum kecut. Aku mengumpat beberapa kali dengan tenang dan pelan agar tidak ada yang mendengar. Sungguh, gadis ini sangat menyebalkan, kurasa sifat menyebalkannya itu sudah ada sejak lahir.
Aku jadi penasaran, apa saat lahir dia langsung menampilkan wajah datar bukannya menangis? Kira-kira bagaimana reaksi bidan yang membantu kelahirannya? Pasti bidannya sangat terkejut ketika melihat ada bayi yang lahir wajahnya langsung sedatar tembok.
Setelah puas mengumpat, aku langsung membalikan badan seperti sebelumnya. Kurapihkan rok gaunku, kemudian melihat kearahnya. Wajahku menampilkan senyum terbaik yang kumiliki.
"Jadi, Nona Brid—"
"Berhentilah memakai topeng, kalau memang mau memaki, maki saja," potong gadis berambut biru langit itu dengan wajah datar.
Seketika senyum terbaikku langsung luntur. Aku menampilkan wajah dinginku padanya. Dan kulihat, Bridget terlihat agak tersentak dan bergerak tak nyaman ketika kupandangi.Well girl, kau yang memancing sisi gelapku. Kau inginku maki? Aku akan memakimu sekarang.
Sophia terlihat kelabakan saat melihatku. "Ka-kakak—" aku mengangkat tangan kiriku, menyuruhnya agar diam.
"Well, Aku pikir Duke Havellort mengajari putrinya tata krama, ternyata tidak ya? Aku kecewa," ucapku santai setelah itu menyesap tehku dengan anggun.
Suasana langsung hening, tidak ada yang berbicara. Mau jadi sebaik apapun perubahanku, aku tetap harus menunjukkan sisi angkuhku agar tidak ada yang berani macam-macam.
Kulihat Bridget menormalkan ekspresinya menjadi datar kembali. Tch, gadis satu ini benar-benar nekat.
"Ya, aku juga berpikir, bukankah seharusnya putri pertama Grand Duke McDeux sangat kasar dan menyakiti adiknya sendiri? Aku pikir kau hanya berakting, tidak ada orang yang bisa merubah sifatnya secepat itu, kecuali dia tengah sekarat," ujarnya tanpa rasa takut.
"B-betty—" aku kembali mengangkat tanganku ketika Sophia hendak berbicara. Saat itu juga mulut Sophia langsung terkatup.
Gigiku bergemelatuk saat dia mengatakn hal itu. Aku menatapnya tajam, sangat tajam. Dapat kulihat dia mati-matian mempertahankan sikap tenang dan wajah datarnya.
Ini yang tak kusuka dengan Bridget. Dia selalu membicarakan kesalahan orang lain yang sudah berlalu, untuk menjatuhkan orang tersebut. Dan saat ini, dia melakukan hal itu padaku.
Aku mendengus lalu menyilangkan tanganku didepan dada. Menyenderkan tubuhku pada kursi kemudian menatapnya remeh.
"Wah, wah, kekanak-kanakkan sekali caramu menjatuhkan orang lain. Itu sama sekali tidak terhormat, Nona Bridget," sindirku sembari mengambil cangkir tehku dengan anggun lalu menyesapnya sambil menutup mata.
"Bukankah, kita memang masih anak-anak? Kau mengatakannya seolah-olah kau sudah dewasa," balasnya yang entah mengapa membuatku kesal.
Aku membuka mataku cepat dengan sebelah alis terangkat. Kuletakkan kembali cangkir pada tatakannya dengan gerakan tegas, hingga terdengar dentingan yang cukup keras. Siku-siku imajiner berwarna merah muncul disisi dahiku. Senyum miring dengan ujung bibir berkedut, terpampang jelas diwajahku, menandakan diriku sangat kesal.
Entah itu dikehidupan masa lalu atau sekarang, aku selalu merasa dongkol setiap kali berdekatan dengannya. Seperti, kami dilahirkan untuk saling menghakimi satu sama lain. Hanya saja dimasa lalu, kami hanya saling melontarkan tatapan tajam tanpa ada niatan adu mulut. Kalau sekarang, beuhh ... ingin sekali rasanya kujahit mulut gadis satu ini.
Ingin sekali rasanya aku berteriak didepan wajah sayu itu, sambil mengatakan, "AKU MEMANG SUDAH DEWASA, UMURKU SUDAH 21 TAHUN!!!" Tetapi demi kelangsungan hidup penuh ketenanganku, aku harus mengurungkannya.
Sebagai gantinya, aku menatapnya penuh intimidasi kemudian berdecih. "Maaf saja, aku merasa diriku lebih dewasa, aku lebih tua setahun darimu. Hormatlah padaku."
"Hmm, kalau begitu kau lebih cepat mati," ucapnya tanpa dosa membuat pergerakanku berhenti.
Aku menatapnya nyalang, sementara Sophia menutup mulutnya tak percaya. Aish, gadis satu ini, sepertinya berminat sekali merasakan tendangan mautku ya?
"Betty, itu tidak sopan," ucap Sophia yang hanya direspon gendikkan bahu oleh Bridget.
Aku tergelak singkat hingga kepalaku menoleh kesamping. Setelah itu aku langsung mengarahkan tatapan tajam padanya. Kulihat dia kembali tersentak, namun wajahnya tetap datar.
Apa yang harus aku lakukan padanya?
*****
First Daughter of Havenford's Dukedom
Bridget Emira Havellort
(Umur: 9 Tahun)
(147/39)
*****
Ting!
You got message from Orca'Mail!
Orca'Mail:
HalOrca semuanya! Jadiiiiiii Orca punya pertanyaan untuk kalian!
Diantara Snorett, Sophia dan Bridger, siapakah yang akan menjadi Permaisuri Callesius?
Orca udah ngasih bocoran dari nama mereka, yang jadi Permaisuri nanti siapa. Sooo ....
Selamat menebak!
*****
Ditulis pada tanggal,
Selasa, 28 September 2021.
Dipublikasikan pada tanggal,
Kamis, 14 Oktober 2021.
FB Page/Account: Tika Riani
IG: @queenorca_
Twitter: @queenoforca
Orca_Cancii🐳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top