Bab 42: Grand Duke dari Utara & Panglima Perang dari Langit.
Sebelum membaca, harap di vote dan komen terlebih dahulu.
*****
"KAKAK!!!"
Suara pekikan itu mengalihkan atensi Alex yang baru saja akan menyerang salah satu manusia bersayap yang tengah sibuk memanah barrier yang melindungi Snow. Ayolah, ayah mana yang bisa baik-baik saja ketika melihat anaknya diserang tanpa ampun. Walaupun dahulu ia tergolong sebagai orang tua durhaka, sekarang pria bersurai putih itu telah sepenuhnya sadar dan kembali waras.
Dari arah jam sembilan, ia mendapati seorang gadis muda bersurai cokelat susu tengah berteriak keatas dengan tangan disisi wajah. Suaranya itu tertuju pada dua dengel yang tengah mengamati pergerakan para pasukan terbang itu. Seragam pelayan yang ia kenakan tampak compang-camping, sobek disana-sini, tak lupa wajahnya dipenuhi cemong bekas abu bakaran. Tanda tanya timbul didalam benak Alex, apa hubungan pelayan putrinya dengan dua manusia bersayap yang tengah asik berbincang ria diatas sana?
Pupil matanya melebar tatkala kedua dengel itu tampak bertengkar sesaat lalu melesat kearah Cerry. Entah darimana datangnya pikiran jahat yang masuk kedalam otak, Alex berlari dengan kecepatan tinggi lalu menarik Cerry kedalam pelukannya. Ia memeluk gadis itu dari belakang lalu mendekatkan pedang kearah leher gadis itu, menjadikan sang gadis sebagai sandera.
Cedric yang melihat aksi sang komandan hanya bisa terdiam dan memulai memasuki tahap waspada. Pedang yang tadi bersarang disisi tubuh langsung ia angkat seakan-akan ada ancaman yang akan terjadi. Begitupula dengan ksatria lain yang ikut melakukan ancang-ancang hendak menyerang.
"Apa yang kau lakukan, bajingan?!" pekik Cerry tepat dibawah dagu pria akhir kepala dua itu.
Alexander sama sekali tidak berkutik. Ia malah mengeratkan pelukannya dan semakin mendekatkan pedang kearah leher Cerry. Sedikit saja Cerry melakukan pergerakan, bisa saja lehernya itu terluka akibat besi tajam yang merobek kulit.
Sepasang alis tebal milik sang grand duke menukik tajam tatkala kedua dengel itu mendarat lima meter dari dirinya. "Sebaiknya kalian hentikan serangan terhadap putriku, atau gadis ini akan mati!!!" ancam sang grand duke dari utara.
"Apa-apaan kau ini?!!" pekik Cerry penuh emosi.
Ia sungguh bergulat dengan tangan pria itu, untuk menjauhkan pedang dari lehernya. Demi apapun, ia sangat lelah. Dia baru saja terlempar dari dalam tenda, terkena luka bakar, dan menghajar beberapa monster untuk sampai kemari. Dan sekarang ini!
Biarkan aku istirahat! rengek gadis itu dalam hati.
"Mengapa si bodoh itu tidak menggunakan kekuatannya?" bisik Roston tepat ditelinga Ayres.
Pria dengan wajah penuh brewok sungguh malas menanggapi hal yang terjadi disekitarnya. Sudah lelah terbang dari Kerajaan Langit tanpa henti hingga kesini, malah disambut dengan acungan pedang bermata dua didepan dada pula. Mending kalau cuman 1-2 orang saja, lah ini ada lebih dari satu peleton.
"Maklum. Kapasitas otaknya memang sedikit lebih kecil dari dengel pada umumnya," balas Ayres pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari sang grand duke dari utara yang tengah menyandera adiknya.
Roston berdecak sebal. Pria menarik keluar parang raksasa yang sedari tadi bersembunyi dibalik punggung. Suara dentuman terdengar keras saat bilahnya menabrak tanah. Saking besarnya, pedang itu hampir saja membelah tubuh salah satu paladin yang berdiri sejauh dua meter dari tempat mereka berada.
"Aku tidak mau mendengar candaan jelekmu sebagai jawaban," ujarnya seraya mengangkat parang tersebut keatas pundak.
Ayres mendengus sebal. Alih-alih mengikuti Roston untuk ikut mengeluarkan senjata, ia malah jalan mendekat kearah Alex dengan santainya. Seolah-olah acungan pedang yang terarah padanya hanyalah tongkat mainan anak-anak.
"Apakah mengacungkan pedang kepada orang lain adalah sambutan khusus disini? Jika memang iya, tidak mengherankan mengapa negeri ini begitu kacau," suara bariton pria bersurai pirang keemasan itu terlantun penuh akan sarkasme.
Pria dengan rambut putih yang menjadi lawan bicara Ayres meneguk ludah gugup. Alex sadar bahwa pria bersayap dihadapannya itu bukanlah orang biasa—terlepas dengan adanya sayap lebar yang mampu menerbangkan tubuh keatas langit. Jika kumpulan orang bersayap yang menyerang putrinya hanya mengikuti perintah, maka kemungkinan besar orang yang mendekat kearahnya ini adalah pemimpin mereka.
Jika tebakannya tidak meleset, maka Alex beranggapan bahwa pria bersayap itu adalah sang raja dari keluarga Nevillia yang memimpin Istana Langit.
Pandangan Alex kembali jatuh pada gadis yang ada didalam pelukannya. Gadis bersurai cokelat susu—yang ia ketahui sebagai pelayan putrinya itu—tampak merengek. Ia terus meminta tolong pada sosok sang raja dan memanggilnya dengan sebutan kakak.
Ia semakin mengeratkan genggamannya pada tubuh Cerry. Ia tidak peduli apa status gadis itu—mau ia seorang putri atau bukan. Yang ada dipikirannya kini hanya satu, ia harus membawa pulang Snorett hidup. Ia tidak bisa mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Setidaknya di kesempatan kali ini, ia ingin melihat gadis itu bermain seperti anak pada umumnya dengan senyuman riang.
Bila perlu, ia bahkan rela jika harus mengulang waktu dan kembali dimana usia gadis itu baru beranjak dua tahun. Saat dimana gadis mungil bersurai perak yang masih sangat pendek itu mendatangi kantornya. Alih-alih mengatakan kata-kata kasar, ia pasti akan langsung menggendong gadis kecil itu kedalam pelukannya dan mengajaknya berjalan-jalan.
Sayangnya, waktu di dunia tidak bisa diulang lebih dari sekali. Jika saja bisa, ia mungkin akan mengulang kejadian waktu berulang kali untuk memperbaiki segala hal yang terjadi di dalam hidupnya. Mungkin Alex lebih memilih mengulang waktu dimana sang ibu masih ada dan membawanya kabur, atau di masa dimana Raphen masih hidup dan menyelamatkannya. Jika hal itu terjadi, mungkin dirinya tidak akan mendapatkan beban seberat ini.
Alex juga sadar. Ia memang pintar, namun tidak cukup pintar untuk memegang kendali didalam pemerintahan. Namun tidak juga bodoh untuk dibiarkan sebagai rakyat jelata. Itulah alasan mengapa ia lebih memilih "bermain didalam kandang", alih-alih ikut pertempuran atau menjalankan aliansi ke luar negeri. Karena Alex takut. Dirinya takut, ia akan mengacaukan segala hal yang ada dan mempermalukan negaranya sendiri.
Alex memang tidak begitu mengingat apa yang terjadi di kehidupan lalu. Yang ia ingat hanyalah memanah Snorett—dengan wujud yang lebih dewasa—yang tengah berlari di tengah hutan gelap nan dingin. Dan menggeret tubuh gadis itu pergi dengan cara yang tak manusiawi. Setelah itu ia tak ingat apa yang telah terjadi.
"Hentikan serangan kalian atau kubunuh gadis ini!" seru pria bersurai putih berang.
Roston yang masih memperhatikan sekitarnya terkekeh pelan. "Bunuh saja! Dia tidak se-berguna itu, kok!" sahutnya.
"PANGLIMA KURANG AJAR!" teriak Cerry penuh amarah. "BEGITUKAH CARAMU BERBICARA DENGAN SEORANG PUTRI, HAH?!!!"
Sebelah alis tebal Alex terangkat. Ternyata benar tebakannya. Cerry adalah seorang putri, dan kemungkinan besar adik dari pria yang kini berjalan kearahnya.
"Kau memang tidak se-berguna itu, Ta," balas Ayres yang masih mengabaikan acungan pedang para manusia penyihir, lalu melanjutkan, "tapi bukan berarti kau bisa mati begitu saja."
Awalnya Cerry merasa terharu dengan ucapan sang raja dengel. Sungguh, demi apapun, itu hal terbaik yang pernah pria itu katakan kepadanya. Tetapi lanjutannya membuat amarah didalam diri kian membara. Bagai bara api yang disiram minyak tanah, semakin membesar dan menjadi-jadi.
Masih dengan wajah datar dan penuh ketenangan, Ayres kembali berujar, "selemah apapun kaum dengel, tidak ada pernah ada satupun yang mati di tangan sorcier. Kau mau jadi yang pertama? Memalukan."
Wajah gadis itu kian memerah. Bahkan tubuhnya mulai bergetar pelan yang coba ditahan kuat-kuat oleh Alex. Seolah-olah gadis itu akan meledak dan menghancurkan seisi tenda.
Seringai miring tampak di wajah Roston kala ia melihat amarah Cerry yang kian memuncak. Ia paham dengan apa yang direncanakan sang raja.
"Hei, Tuan Putri!"
Sang putri melirik pria kekar yang menenteng parang raksasa dipundak. Bilah parang itu berkilat tajam, mirip betul dengan tatapan sang putri kepadanya. "Sampaikan salamku kepada nenek Phoebe, jika kau telah sampai di alam baka!"
DUARR!!!
Dalam sekejap, suara ledakan terdengar memekakan telinga. Tenda yang sebelumnya telah hancur semakin luluhlantak akibat ledakan dahsyat tersebut. Alex berusaha sekuat tenaga untuk membuka matanya yang terasa lebam. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tahu-tahu sudah terlempar begitu saja dan menabrak apapun itu. Saking cepatnya, tubuh pria itu tidak sempat menerima rasa sakit, walaupun ia yakin pasti ada beberapa pendarahan organ dalam atau fraktur pada tulang.
Setelah berusaha setengah mati untuk membuka mata, akhirnya ia bisa kembali melihat, walaupun masih samar-samar. Cahaya putih menyilaukan segala penglihatan membuat Alex kembali menutup mata, sebelum memaksa untuk membuka mata lagi. Kali ini ia pertahankan indra penglihatan, walaupun rasanya sangatlah sakit karena cahaya yang menyilaukan itu.
Alex kembali memejamkan mata saat mendengar segala macam suara ledakan bersatu padu disekitarnya. Gendang telinganya terasa dipukul bertubi-tubi menggunakan palu godam. Sangking sakitnya, yang ia bisa dengarkan hanyalah suara dengungan nada mayor. Sekali lagi ia mencoba membuka mata saat dengungan di telinganya mulai berkurang.
Samar-samar ia melihat di kejauhan, sesosok entitas tak dikenal yang melayang dua meter diatas tanah, tengah membelakangi dirinya. Seluruh tubuh entitas itu dilingkupi oleh cahaya putih layaknya api namun tidak panas—atau sebenarnya panas, namun karena terlalu banyak menerima luka, ia tidak bisa merasakan rasa panas itu. Rambut platinum entitas itu terurai sepanjang mata kaki. Melecut-lecut bagaikan lidah api yang siap memantik apapun menjadi abu bakaran yang berbau anyep.
Alex tidak bisa melihat terlalu jelas. Ia hanya bisa melihat sekelebat sosok itu yang tampak seperti wanita. Selain rambut sewarna platinum yang indah, perawakan mirip wanita, dan kaki yang melayang diatas tanah, tidak ada hal lain yang bisa ia lihat— Oh tunggu dulu!
Sang grand duke memicingkan mata, guna melihat lebih jelas apa yang baru saja retina matanya tangkap. Pupil mata pria itu membesar tatkala menyadari ada sayap putih yang terbuka lebar dipunggung wanita itu. Sayap mirip burung elang dengan bulu putih itu tampak bersinar layaknya cermin yang terkena cahaya.
"Aku tahu apa isi pikiranmu."
Susah payah Alex menggerakkan lehernya guna mencari sumber dari suara tersebut. Tepat diatas sisi kepala sebelah kanannya, dia dapat melihat sesosok pria berambut pirang keperakkan tengah berjongkok santai, seolah-olah berada di warung kopi alih-alih hutan yang tengah dilalap si jago merah. Ia mengenali identitas pria tersebut. Dia adalah Roston yang merupakan panglima perang kaum dengel.
"Kau pasti tengah mengira-ngira mengapa bokong Calista sebesar itu 'kan?" tebak sang panglima dengan senyuman mesem-mesem.
Dahi Alex mengernyit. Apa pria ini sudah gila? pikirnya.
Manik sewarna safir itu kembali melirik sosok Cerry yang telah berubah menjadi Calista. Pupil matanya mengecil tatkala me-notice gumpalan lemak bagian bawah gadis itu yang tampak menonjol karena gaun putih ketat yang ia gunakan.
Sial, dia tidak salah juga, batin Alex menyetujui.
Roston kembali berujar, kali ini tangan ia ikut sertakan, "lihatlah, baru kali ini aku menemui gadis dengan bokong sebesar ini." Tangan pria itu melengkung dengan jarak yang cukup lebar, seolah-olah tengah memegang bokong gadis itu dari kejauhan.
"Sayang, dia seorang hypersex, padahal jika dia normal-normal saja aku berniat ingin menikahinya. Kapan lagi kau mendapatkan seorang putri dengan tubuh setara janda anak tiga," tambahnya.
Alex berdecak dalam hati. Entah dorongan darimana ia berusaha berbicara untuk membalas ucapan pria dengel disebelahnya. Namun alih-alih suara, malah darah yang menyembur keluar. Cairan merah membasahi area dadanya yang tertutupi zirah es yang telah pecah dan kain tunik yang juga telah koyak.
Alex terbatuk-batuk lalu mendongakkan kepala dengan mata terpejam menahan sakit yang membara. Tenggorokan terasa dipelintir lalu diikat hingga aliran udara tidak berjalan seperti seharusnya. Ia bahkan megap-megap ke udara dengan mulut terbuka, tampak seperti ikan koi yang meminta makan. Tangannya spontan memegangi dada sebelah kanan yang terasa panas seperti dipukuli dengan palu godam.
Sang grand duke berusaha mengambil napas dalam-dalam, namun berakhir gagal dan terkena serangan panik. Alex mengerang dengan napas tersengal-sengal, seperti orang yang terkena asma kronis. Dadanya terasa seperti dibakar. Sangat menyakitkan.
"Eiy, bro. Tenang ...," ujar Roston yang kini memegangi dada Alex yang bergerak naik turun tak beraturan.
Perlahan-lahan rasa sakit itu mulai menghilang. Ada energi aneh yang Alex rasakan masuk kedalam tubuhnya kala pria berambut emas perak itu meletakkan tangan diatas dadanya. Energi itu menyembuhkan rasa sesak yang ia rasakan, walaupun tidak menyembuhkan seluruh rasa sakit yang bersemayam ditubuhnya.
Pria bersurai putih itu merunduk untuk melihat sihir macam apa yang para dengel ini miliki, namun hasilnya nihil. Ia tidak melihat adanya cahaya berwarna-warni berpendar di area dada maupun tangan pria itu. Namun, ia tetap dapat merasakan adanya energi yang masuk ke dalam tubuh.
"Sihir kami berbeda," celetuk pria bersayap itu memahami kebingungan Alex.
Keheningan tercipta diantara kedua orang itu. Diiringi dengan suara ledakan dari berbagai arah, Alex masih diam menunggu penjelasan dari sang panglima perang. Sementara Roston sendiri tampak tidak berminat melanjutkan penjelasannya. Barangkali ia terlalu malas untuk merangkai kata-kata yang saintifik agar terdengar lebih cerdas. Walaupun Alex yakin, pria bersayap ini lebih mirip anak berandalan alih-alih kutu buku yang senang menjelaskan segala hal dengan tata bicara yang rapi.
Alex mencoba bangkit tepat setelah Roston menarik tangan dari dadanya. Pria berusia 29 tahun itu mendudukkan diri dengan tunggul kayu yang telah tumbang sebagai sandaran. Kakinya ia luruskan karena belum mampu untuk menopang tubuh.
Roston berdecak melihat keadaan sang grand duke yang terkulai lemah bagaikan kakek-kakek yang telah jompo. "Bagaimana bisa kau memimpin wilayah besar dengan tubuh selemah ini, masbro?" tanyanya heran.
"Kenapa kalian menyerang putriku?" pungkas Alex tanpa terbata-bata ataupun napas yang tersengal-sengal.
Lipatan tercipta di dahi Roston. Sang panglima mengernyit dalam dengan mulut terbuka sedikit dan mata yang menyipit, hingga terlihat konyol. Ia seolah-olah mempertanyakan kemana hilangnya otak pria bersurai putih yang ada dihadapannya itu.
"Apa kau buta?"
Alex mendengus kasar. Jika saja tubuhnya tidak dipenuhi luka seperti saat ini, ia tidak segan-segan mengajak Roston untuk berduel. Dengan tegas, ia berkata, "aku tidak sedang bercanda!"
"Begitupula denganku!" jawab Roston tak kalah tegas. Jari telunjuk pria itu mulai menunjuk-nunjuk ke berbagai tempat yang terbakar dan hancur, lalu melambaikan tangan didepan mata Alex yang langsung ditepis dengan kasar. "Kau lihat segala kekacauan ini? Siapa penyebabnya?"
"Putriku tidak bersalah!!!" bantah Alex dengan berang.
PYAARR!!!
DUAARR!!!
Suara pecahan kaca diiringi dengan ledakan terdengar kencang di penjuru hutan. Roston dan Alex menutup telinga mereka dengan tangan rapat-rapat. Ledakan berdesibel tinggi itu menciptakan kelebatan angin meniup apapun yang ada. Bahkan Alex hampir saja terlempar jika tidak dilindungi oleh sayap milik Roston.
Saat Alex membuka mata, sudah tidak ada lagi barrier hitam yang melindungi putrinya dari serangan pasukan dengel. Dari kejauhan, ia melihat putri kecil kesayangannya telah berada dipelukan seorang wanita bersayap dengan rambut platinum emas yang berkibar diterpa angin. Dengan keadaan tak sadarkan diri, Snorett tampak terkulai lemas didalam gendongan Calista.
"Ah, sepertinya tugas kami telah selesai," ujar Roston seraya bangkit dari duduknya.
Ia melebarkan kedua sayapnya bersiap untuk terbang. Namun, baru akan melesat menyusul kaumnya, pria bersurai platinum itu malah tertahan di ketinggian lima meter. Roston menundukkan kepalanya, mendapati sang grand duke tengah bergelantungan di kaki sebelah kiri dengan dua tangan. Menahan panglima perang tersebut untuk pergi.
"Apa kau bodoh?! Lepaskan aku, sialan!" umpat pria bersayap terhadap si pria berambut putih.
"Tidak akan!" seru Alex tak kalah kencang. "Kembalikan dulu putriku, dasar kalian makhluk pedofil!" tambahnya.
Roston menendang-nendang kaki kirinya, guna melepaskan cengkeraman sang ayah beranak dua. Tetapi alih-alih terjadi dan mengalami beberapa cedera, Alex malah mencengkeram erat kaki tersebut dengan tubuh yang terguncang keatas dan bawah. Ia bahkan tak segan-segan menumbuhkan jarum-jarum es di kaki sang panglima demi mempertahankan pegangan.
Sang pria bersayap itu memekik saat merasakan aliran darah pada kaki kiri membeku. Roston kembali menundukkan lalu menatap berang si pria berambut putih yang mencoba mengokohkan pegangan pada kakinya. Tangan kanannya yang terbuka terangkat keatas seolah-olah mencengkeram angin. Memang tidak tampak adanya energi sihir di tangan pria tersebut, namun percayalah, sihir pria itu mampu membuat lubang sebesar enam meter jika mengenai tanah.
Ia lontarkan sihir itu kearah Alex yang masih bergelantungan di kakinya, mirip monyet yang hinggap diatas pohon. Merasakan energi besar yang tak terlihat menuju kearahnya, Alex sontak menutup mata sembari merapalkan mantra perlindungan. Perisai es tercipta dengan cepat melindungi tubuh Alex dari energi sihir tersebut.
KABOOMM!!!
Suara ledakan kembali terdengar saat energi sihir bertubrukan dengan perisai es yang berukir rune kuno. Perisai yang sebelumnya terbentuk bulat sempurna perlahan-lahan mulai retak.
PYARR!!!
Bagai kaca yang jatuh menubruk tanah, perisai itu langsung pecah berkeping-keping. Beberapa serpihannya menggores wajah Alex hingga berdarah lalu berubah menjadi abu. Pria berkepala itu meringis saat merasakan perih mendera jidat dan sebagian pipinya. Beruntung ia sempat menutup mata saat perisai pecah, sehingga tidak ada serpihan yang masuk ke mata.
"LEPASKAN AKU, BODOH!!!" teriak Roston berang saat melihat Alex tak kunjung lepas juga dari kakinya.
"KEMBALIKAN DULU PUTRIKU, BAJINGAN TOLOL!!!" balas Alex tak kalah keras.
Ia sungguh muak dengan segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Terlahir sebagai anak haram yang diabaikan, mendapatkan takhta hanya karena saudaranya mati dalam perang, membunuh ratusan orang demi menjaga reputasi, hingga membunuh putri kecilnya sendiri, bahkan mengulang kehidupan berulang kali dari masa yang begitu modern. Alex sungguh ingin mengutuk siapapun yang menuliskan garis hidupnya hingga kacau balau seperti ini. Jika perlu, ia ingin mengajak orang itu baku hantam hingga mati dan menjadikan mayatnya sebagai pakan monster yang hidup di penjara bawah tanah.
(Orca: *kaboor*.)
BOOMM!!!
Serangan kembali diarahkan pada sang grand duke saat ia lengah. Serangan itu berasal dari salah satu ksatria dengel yang diperintahkan oleh Ayres untuk menolong Roston yang tengah kesulitan.
Sebelah tangan Alex tergelincir dan lepas dari kaki Roston. Memanfaatkan kesempatan itu, sang panglima perang tanpa basa-basi menendang kaki kirinya, membuat pria bersurai putih itu jatuh bagaikan bulu burung yang tanggal dari si pemilik sayap.
"Terima kasih," tutur pria bersurai platinum itu kepada dengel muda yang membantunya. Pemuda dengel dengan rambut mahoni itu mengangguk pelan sebagai tanggapan.
Tanpa basa-basi, keduanya langsung melesat dengan cepat menyusul rombongan mereka yang telah terbang terlebih dahulu. Meninggalkan segala huru-hara yang terjadi tanpa memberikan penjelasan ataupun solusi untuk memperbaiki kekacauan yang terjadi.
Terlebih lagi, mereka juga membawa kabur biang kerok dari kekacauan ini.
Snorett Serena McDeux.
Sang anak iblis dari dunia bawah.
*****
Mon maap baru update lagi. Semingguan flu+meriang jadi gak sempet lanjutin novel ini. Sebisa mungkin Orca update seminggu sekali deh mulai dari sekarang. Biar produktif kayak dulu lagi.
Roston Eddington Nevillia
The Mighty Warlord of Sky Kingdom
(Usia: 784 tahun)
Selasa, 3 Oktober 2023
Orca_Cancii🐳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top