Bab 39

Sang surya telah naik cukup tinggi, menyebabkan hawa hari itu menjadi gerah. Belum lagi musim gugur menyebabkan suhu menurun dan berbentrokan dengan cuaca siang itu. Rasa-rasanya wilayah hutan yang lembab terkena angin muson dan menyebabkan musim pancaroba.

Saking gerahnya Bridget bahkan harus kembali ke tenda keluarga, untuk melepas jaket rajut dan mengambil topi bonnet-nya. Tentu saja, niat baiknya itu tidak bisa ia lakukan dengan tenang. Baru menginjakkan kaki di depan tenda saja, sudah ada Klein yang menghalangi jalannya.

Keduanya adu cekcok cukup hebat, melupakan adanya entitas lain yang ikut bersama Bridget. Claudia hanya diam ditempat dan melipir saat cekcok keduanya mulai berganti menjadi acara baku hantam. Gadis itu hanya bisa menganga saat Klein menarik rambut Bridget dan Bridget balas menarik rambut saudaranya itu.

Ternyata tingkah anak bangsawan kelas atas seperti ini, ya, batin sang nona Deuter.

"APA YANG KALIAN LAKUKAN, HAH??!!!"

Pekikan membahana sang duchess berhasil menghentikan pergulatan keduanya. Duchess Karina datang dengan langkah kaki lebar dan wajah memerah menahan amarah. Ia bahkan tidak beda jauh dengan granat yang telah dicabut kunci penahannya, siap untuk meledak.

Sesaat akan meledak, sang duchess menyadari adanya makhluk mungil selain anak-anaknya. Amarah wanita itu langsung kembali ke ujung mata kaki saat menemukan sosok Claudia berdiri tidak jauh dari pintu tenda. Hanya dalam hitungan detik, wajah bengis itu berganti dengan senyuman manis yang menawan.

"Oh, halo, Nona Deuter. Apa yang membuat Nona Cantik ini datang ke ke tenda sederhana kami?" Pertanyaan lembut terlontar dari bibir sang duchess.

"Ah, i-itu ... a-anu ...," Claudia seketika tergagap. Ia bersumpah, selama ini ia  hidup di dunia hanya terisi dengan kebohongan. Sejak tinggal di gang kumuh, dirinya selalu mendengar kisah orang-orang mengagumi Duchess Karina sebagai wanita paling sempurna se-kekaisaran. Sosok wanita dengan budi luhur, kelembutan, dan sopan santun setara dengan putri imperial. Bahkan sang duchess hampir menjadi permaisuri kala itu, jika saja ia tidak dilamar lebih dahulu oleh Duke Havellort.

Namun, siapa sangka? Sosok Duchess Karina dihadapannya kini, sungguh berbeda 180° dari rumor yang beredar. Tidak pernah terbersit sedikitpun di pikiran Claudia, ia akan mendapati sosok wanita berbudi luhur muncul dengan wajah bengis bak iblis dari neraka. Ia bersumpah sempat merinding ketakutan saat melihat Duchess Karina keluar dari sisi gelap tenda.

Claudia buru-buru membenahi isi otaknya yang kini berceceran kemana-mana karena terlalu gugup. Ia mengumpat dalam hati saat menyadari telah melakukan hal yang cukup fatal dihadapan wanita yang memiliki gelar jauh diatasnya.

Segera, ia meraih kedua sisi ujung gaun lalu membungkuk badan rendah. Rok gaun mengembang, menyebabkan Claudia tampak tenggelam didalam lapisan gaun yang tebal. "Segala keagungan bagi Yang Mulia Duchess dari Havenford," ujar Claudia lembut.

Senyuman diwajah sang duchess kian lebar. Ia tampak senang dengan courtesy yang diberikan sang nona muda. "Manisnya~ Nona Deuter pintar sekali, ya."

"Maaf atas kegaduhan yang diciptakan putra dan putriku, Nona. Jika boleh tahu, apa tujuan Anda mengunjungi tenda kami?" tanya Duchess Karina tepat setelah memisahkan Klein dan Bridget dari adegan baku hantam.

Kedua bocah bersurai biru itu melipir di kedua sisi sang duchess, Klein di sebelah kanan dan Bridget di sebelah kiri. Keduanya saling melancarkan pelototan maut. Membuat dua pasang mata sewarna violet itu akan keluar dari tempatnya.

"Kau brengsek!" seru Bridget pelan tertuju pada Klein.

"Dasar pendek!" balas Klein tak kalah sengit.

Keduanya kembali terdiam saat Duchess Karina melancarkan cubitan maut dipinggang. Sangat berbanding terbalik dengan senyuman manis yang terpampang apik diwajah cantik sang duchess.

Claudia meneguk ludah kasar. "Ah ... i-itu ..., Nyonya– maksud saya Duchess eh? Yang Mulia Duchess!" seru Claudia tanpa sadar.

Seketika tubuh Claudia berubah kaku. Ia baru saja berteriak di hadapan istri Penyihir Agung!

Aku akan mati! pekik Claudia dalam hati.

Kekehan lembut mengalun pelan dari bibir sang duchess. Wanita bersurai biru dongker itu menepuk kepala Claudia lembut. "Santai saja, panggil saja aku Mama Betty atau Duchess Karina. Tidak perlu terlalu formal."

"A-ah, baik, terima kasih atas kemurahan hati Anda, Yang Mulia," ujar Claudia sambil membungkukkan tubuh dalam.

Bridget yang telah risih langsung melepaskan diri dari kungkungan sang ibu. Tidak peduli akan resiko diomeli Duchess Karina, gadis bersurai biru itu buru-buru menarik Claudia masuk kedalam ruangan khusus miliknya didalam tenda. Duchess Karina yang baru mau membuka mulut, langsung menutupnya kembali.

Helaan nafas lelah lepas dari bibir wanita paruh baya itu. Ia kini berbalik memandang sang putra yang tengah mengusap telinga sebelah kirinya.

"Sebenarnya apa yang terjadi sampai kalian berkelahi seperti itu?"

Bocah itu melirik sang ibu takut-takut. Bibirnya maju beberapa senti, tampak akan mengatakan sesuatu.

"Betty bilang caraku berjalan mirip bebek, jadi kubalas bahwa wajahnya mirip topeng pulu-pulu."

Klein menjelaskan sambil menghindari tatapan maut Duchess Karina. Bocah itu melempar wajahnya kearah yang berlawanan dari tempat sang ibunda berdiri. Sementara wanita bersurai biru kelasi itu masih melancarkan tatapan tajam kearah sang putra.

"Dia marah dan menyerangku menggunakan kaktus sialan itu, akhirnya kami malah baku hantam disini," ujar Klein lalu menghilang menggunakan teleportasi.

Erangan kesal kembali terdengar membuat para pelayan di sekitar tenda terdiam sesaat lalu kembali mengerjakan segalanya dengan cepat. Sementara sang empu tampak amat kesal. Percayalah, walaupun tampak anggun setiap saat, kesabaram wanita bergelar Duchess of Havenford itu tak lebih dari sehelai tisu yang dibelah dua.

"Ya, Tuhan-ku! Mengapa engkau memperbanyak gen Sirius didalam tubuh anak-anakku?!!"

*****

Seorang gadis muda tampak berlari menuju area perkemahan. Surai putih sewarna salju itu berkibar diterpa angin. Suara panggilan dari para ksatria yang mengawal dirinya, sama sekali tak diindahkan. Raut wajah gadis kecil itu tampak kalut dan dipenuhi kekhawatiran.

Langkah kaki gadis kecil itu semakin cepat, tatkala ia melihat tenda dengan bendera ciri khas McDeux berjejer di setiap sisi. Gadis itu menabrak siapapun yang ada disana, pelayan yang membawa baskom, ksatria yang tengah berjaga didepan tenda, hingga Earl Cale yang baru keluar dari tenda.

Pria berkepala tiga itu terlempar ke atas tumpukan daun kering. Para ksatria dan pelayan yang ada disana pun berlomba-lomba membantu sang earl yang tengah kesulitan. Earl Cale akhirnya mampu berdiri setelah dipapah dua orang ksatria. Berbagai macam daun kering menutupi wajah pria paruh baya itu.

"Astaga, siapa itu?" tanyanya usai memuntahkan segenggam daun kering.

Salah satu ksatria menepis daun kering dipundak sang earl, lalu menjawab, "Tadi itu Nona Sophia, my lord."

Pria yang hampir berkepala tiga itu tanpa sadar mengangguk-angguk, namun terhenti saat menyadari ada sesuatu yang ganjal. Earl Cale langsung menatap ksatria tadi dengan tatapan penuh selidik, membuat sang ksatria sedikit terkejut.

"Mengapa Nona Sophia ada disini?"

Sang ksatria terdiam sejenak, lalu menjawab dengan gelagapan, "A-ah ..., untuk perihal itu saya kurang tahu, my lord. Tetapi, saya sempat melihat kereta dari Kuil Suci masuk ke area–"

Ucapan ksatria muda itu terpotong, tepat ketika segerombolan pria berlari memasuki area tenda mereka. Sebagian diantara mereka mengenakan seragam putih dengan rosario tergantung dileher, sebagian lagi mengenakan seragam biru muda khas ksatria dari wilayah Dexter. Tampaknya gabungan dari ksatria yang dikirim untuk menjaga Sophia dan paladin yang ditempatkan untuk mengawasi Sophia.

"Nah, itu rombongan Nona Sophia, my lord," ujar ksatria tadi sambil menunjuk rombongan ksatria gabungan yang tengah diinterogasi didepan tenda.

Tak ada yang bisa Cale lakukan selain memukul dahinya sendiri. Cale sungguh tak habis pikir, ini sudah kedua kalinya sang nona keluar dari Kuil Suci diluar jadwal liburan. Jika begini terus, Sophia bisa saja didepak dari Kuil Suci karena melanggar peraturan kuil.

Ayah dan anak kenapa sama saja tingkahnya?!!

*****

Sophia menerobos masuk kedalam tenda, tidak peduli berapa belas orang telah meneriakkan namanya untuk berhenti. Ia tidak peduli, satu-satunya hal yang ia pikirkan hanyalah keadaan Snow.

Kemarin malam ia baru saja akan beristirahat, setelah seharian mempelajari hakikat dari sihir suci untuk kehidupan duniawi. Namun baru akan terlelap, Dee–burung hantu albino peliharaannya–mengetuk jendela kamar dan membawakan pesan bahwa sang kakak telah diserang oleh salah satu Putri Dunia Bawah, Envy.

Kekalutan muncul ketika menyadari esensi sihir hitam Snorett semakin pekat, itu bukan pertanda yang bagus. Ia dan Snorett adalah saudara kandang, mereka berbagi darah yang sama dan berasal dari bibit yang sama. Sangat wajar jika Sophia bisa merasakan esensi sihir saudaranya, bukan hanya Snorett, kedua orang tuanya juga.

Namun ada satu entitas lain yang juga memiliki sihir yang amat kuat. Sihir aneh yang tidak termasuk dalam Elemen Utama Kehidupan. Sihir yang berusia ribuan tahun, namun Sophia yakin pemiliknya masih berusia belia. Walaupun jauh, ia bisa merasakan sihir entitas itu seperti ia merasakan sihir Snorett. Sophia yakin, ada seorang saudaranya yang hidup di luar grand duchy untuk bertahan hidup.

Tanpa basa-basi, ia langsung mendatangi pendeta asuhnya dan memulai perdebatan. Cekcok hebat sungguh terjadi antara kedua orang itu. Bahkan sang pendeta hampir menjambak rambut sang nona muda, jika saja tidak ditahan oleh paladin yang sedang berjaga.

Di pagi-pagi buta, akhirnya Sophia diijinkan untuk meninggalkan Kuil Suci dalam 4x24 jam. Namun, jika Sophia melanggar perjanjian, pihak kuil tidak akan segan-segan menendangnya keluar dari pendidikan Saint.

Toh, dia juga tidak terlalu peduli. Sophia ingin menjadi saintess karena tidak mau bersanding dengan Adrien. Dan sekarang, Adrien pun tidak lagi mengejarnya tetapi malah mengganggu Snorett. Jika dia didepak dari Kuil Suci, Sophia akan mengganti jobdesk menjadi assassin, agar bisa membunuh Adrien diam-diam tanpa ketahuan.

Setelah perjalanan dua hari satu malam, tanpa henti dan beristirahat. Akhirnya Sophia berhasil mencapai perkemahan dengan baju bau ketek dan mata belel.

PRANG!!!

Seperangkat hiasan zirah baja jatuh menimpa karpet tepat setelah disenggol oleh Sophia. Semua orang terkaget-kaget saat menemukan penampakan gadis kecil itu diantara tumpukan pakaian baja.

Rambut putih sepanjang punggung diikat acak-acakan, matanya tampak memerah akibat kurang tidur, dan kantung mata sembab sehabis menangis. Penampilan sang nona muda tampak amat kacau, bahkan mereka sempat mengira gadis itu adalah pengemis.

"MANA KAKAK??!!!" pekiknya.

Figur pria bersurai putih keluar dari balik ruangan yang ada disana. Dari raut wajahnya, menunjukkan bahwa pria itu tampak marah dengan perempatan imajiner dijidat. Setelah seharian menjaga putri sulungnya, tentu saja membuat Alexander kekurangan tidur.

Sudah tiga hari ia tidak tidur, dua hari akibat mengurus persiapan perburuan, satu hari lagi karena menunggu Snorett bangun dari komanya. Matanya sudah sangat lelah, namun tidak bisa tertutup karena kekalutan akan putrinya yang tak kunjung bangun. Lalu malah ada orang yang menerobos tendanya dan menyebabkan kekacauan.

Orang ini minta dihukum mati, ujar sang duke dalam hati.

Manik serupa permata safir itu bersirobok pandang dengan tumpukan baja yang berserakan diatas karpet. Amarahnya memuncak saat menemukan entitas berbaju kumal diantara baja itu.

"Mengapa kalian biarkan pemulung masuk?!!"

"AYAH!!!" pekik Sophia sambil menubruk tubuh sang ayah.

Alexander terperanjat. Ia menyipitkan matanya, melihat jelas sosok gadis mungil yang tengah memeluk pinggangnya. Setelah mendapati surai warna putih mirip dengan miliknya, barulah ia sadar bahwa bocah itu adalah Sophia.

"Astaga, nak. Ayah hampir saja menghukum mati dirimu."

*****

"Apa yang terjadi sebelumnya?"

Suara adukan teh mengalun mengiringi pertanyaan yang keluar dari mulut Sophie. Ia kini tengah terduduk diatas kasur Snow sembari memegang secangkir teh. Tatapannya jatuh pada pria paruh baya yang tengah menarik kursi kayu untuk duduk.

Alexander mengambil satu buah gula lalu mencemplungkannya kedalam cangkir Sophie. Sikap Alex dihadiahi tatapan datar oleh sang putri. "Biasanya kamu suka minuman manis," ujarnya sambil menggaruk tengkuk.

Sophie menghembuskan nafas lelah lalu menaruh cangkir teh keatas nakas. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada yang lebih serius.

Tak punya pilihan lain, Alexander mulai menceritakan kejadian dimana munculnya Bell di belakang barak ksatria dan kaburnya Snow. Sophie menghela napas panjang mendengar hal itu.

"Kemungkinan besar para bell dipanggil oleh Kak Snow menggunakan sihir hitam. Namun kakak tidak mungkin membuat kekacauan tanpa sebab, bukan?" tanyanya dengan tatapan penuh selidik.

Sepasang alis putih Alexander menukik tajam, merasa aneh dengan perubahan sifat sang putri yang tiba-tiba. "Tidak biasanya kamu seperti ini, kemana perginya Sophie-ku yang manis?"

Gadis kecil itu mendengus kasar. Ia perlahan membuka kancing dipergelangan tangannya lalu menggulung kain tersebut hingga siku. Menampakkan bekas luka memanjang dari pergelangan hingga siku.

"Ayah tahu siapa penyebab luka ini?"

Alexander memejamkan mata lalu menunduk dalam. "Snorett."

"Benar," ujar gadis kecil itu lalu melanjutkan, "apa Ayah tahu alasan kakak melukaiku selama ini?"

Alexander diam. Dia sangat tahu alasan mengapa Snorett begitu membenci Sophie.

"Itu karena Ayah membeda-bedakan kami."

Manik gadis kecil itu mulai berkaca-kaca. Bibir kecilnya bergetar menahan isak tangis yang akan keluar. "Kakak dan aku adalah putri kandungmu, tapi mengapa kau memperlakukan kami dengan cara yang berbeda?"

Pupil mata pria itu melebar saat mendengar Sophie memanggilnya tanpa embel-embel "Ayah".

"Kau memperlakukanku dengan sangat baik, memberikanku makanan yang enak, dan kamar tidur yang nyaman. Tetapi mengapa Kak Snow tidak mendapatkan hal yang sama?

"Kau malah memperlakukannya seperti sampah. Menempatkannya di gedung kecil belakang duchy, harus tidur satu kamar dengan pelayannya sendiri, hingga mengabaikan semua upaya yang telah ia lakukan demi membuatmu bangga!

"Usiaku baru empat tahun saat bertemu dengannya. Walaupun samar, aku masih mengingat pertemuan pertama kami di taman belakang. Aku begitu bersemangat menemui saudariku satu-satunya, namun malah mendapatkan respons yang kurang menyenangkan. Dia langsung menghadiahiku tinjuan sebagai salam pembuka dan mengataiku dengan embel-embel 'Anak Haram'.

"Apa aku marah? Tentu saja, aku marah. Aku langsung mengadukan hal itu pada Ibu dan menunjukkan memar diwajahku. Aku bahkan meminta Ibu untuk mengusir kakak dari duchy, tetapi Ibu malah menceritakan semua kemalangan yang dialami kakak. Dan penyebab kemalangan itu ... KEMALANGAN ITU DISEBABKAN OLEHMU!!!"

Tangis gadis mungil itu akhirnya pecah. Selama bertahun-tahun ia memendam semua rasa sakit yang ia rasakan, dan sekaranglah baru ia bisa melepaskan semua beban itu. Sambil menangis, ia menatap tajam sang ayah dengan mata memerah.

"Ji-jika saja Ibu tidak menceritakanku kehidupan kakak, aku pasti akan berakhir seperti gadis-gadis lain. Membenci saudariku sendiri dan mencoba menyingkirkannya dengan hukuman keji. Tetapi tidak kulakukan karena aku tahu rasa sakit yang kakak alami selama ini.

"I-itulah mengapa aku membiarkan kakak memukuliku, agar aku juga ikut merasakan sakit yang ia rasakan. Kami saudara, kami berbagi darah yang sama, gen yang sama dan marga yang sama. TIDAK AKAN ADA YANG BISA MEMISAHKAN KAMI, SEKALIPUN ITU KAU!!!"

Alexander yang masih terdiam. Ia langsung menarik Sophie kedalam pelukannya. Gadis mungil itu memberontak, ia memekik kesal sambil memukul-mukul setiap bagian tubuh Alex yang bisa ia gapai. Tangisannya semakin kencang saat Alexander mengelus rambutnya lembut sembari memberikan kecupan kecil.

"If you hurt her, then you hurt me too!!!"

Alexander semakin memperdalam ciumannya dipuncak kepala Sophie, sementara sebelah tangannya yang bebas meraih tangan Snow yang masih koma. Tangisan Sophie yang semakin kencang berhasil menarik atensi penghuni tenda itu. Beberapa pelayan hingga Lilianne bahkan merangsek masuk kedalam kamar itu.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi Alex?" ujarnya sambil berjalan mendekat kearah sang suami.

Alexander menggeleng pelan. Ia tersenyum lembut, menenangkan Lily yang ikutan panik karena mendengar tangisan Sophie yang kian kencang. "Hanya cekcok kecil, Sayang. Tidak ada masalah–"

DUARR!!!

*****

Halo semuanya! Sejauh ini masih ada yang baca gak nih?

Orca minta maaf banget kalau lama updatenya. Selama 3 bulan terakhir Orca fokusin semua kegiatan untuk persiapan masuk sekdin, jadi novel ini terbengkalai.

Tapi santai aja kok, besok atau lusa kalau gak ada halangan Orca up epilog season 1. Jadi sampai jumpa besok!

Btw, sedikit bocoran kecil untuk Snow di masa depan.


OrcaBye!

Selasa, 30 Mei 2023

Orca_Cancii🐳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top