Bab 38

Sang surya telah naik cukup tinggi sehingga membuat cuaca lumayan panas. Sama panasnya dengan suasana di perjamuan teh para nona muda itu. Semua orang tampak terganggu dengan kedekatan putri bungsu Penyihir Agung dan anak haram Viscount Deuter.

Siapa yang tidak tahu dengan keluarga Havellort? Satu-satunya keluarga penyihir alam di kekaisaran ini sekaligus pemimpin menara sihir Arcane secara turun-temurun. Sebagai salah satu keluarga bangsawan tersohor, tentu saja anggota keluarga Havellort juga ikut disorot.

Duke Sirius Havellort, kepala keluarga dengan sosok tenang yang memukau. Duchess Karina Havellort, sang nyonya berbudi luhur dan selalu diiringi kesempurnaan. Lalu putra pertama mereka, Lord Klein Havellort yang digadang-gadang akan menjadi penyihir terkuat kelak. Mereka adalah orang-orang terpuji anggota keluarga Havenford yang begitu dihormati.

Namun sangat disayangkan, keluarga sesempurna itu masih harus diberkati dengan satu celah yang fatal. Sang putri bungsu, Bridget Havellort dikenal senang membuat onar. Gadis berusia sembilan tahun itu tidak beda jauh dengan seekor kukang pemalas. Dirinya bagaikan kuman membandel yang menempel pada nama Havellort.

Gadis bersurai biru langit mewarisi kecantikan paripurna sang duchess. Sifat dingin nan tenang seperti ayahnya. Namun ada anomali pada gadis, ia mewariskan wajah cantik sang ibu, siapa yang tidak setuju jika Bridget itu cantik? Tentu saja, dia cantik amat cantik, bahkan  digadang-gadang akan jadi kupu-kupu sosial di masa depan.
Tetapi dengan sifat se-minus itu, apakah mungkin dirinya dijuluki Social Butterfly? Tentu saja, tidak.

Kepribadian seorang Bridget sama sekali tak menunjukkan sifat seorang wanita bangsawan. Malas mengikuti acara sosial, tidak suka keluar rumah, dan senang berbicara kasar menjadi hal paling dihindari seorang gadis bangsawan. Ego-nya yang sangat tinggi dan diikuti oleh sifat malas yang luar bisa adalah momok paling mengerikan bagi sang ibunda.

Setiap saat, Duchess Karina telah mencoba menyadarkan Bridget untuk bersikap lebih baik dan lebih banyak tersenyum setiap kali ada yang menyapa. Namun, hal itu selalu dibantah oleh Bridget dengan wajah kesal dan nada ketus.

"Mama adopsi saja anak monyet yang selalu tersenyum setiap bertemu orang!"

Oh, astaga, Karina rasanya ingin melempar gadis bersurai langit itu ke tengah lautan, jika saja ia bukanlah anaknya. Wajah datar penuh kekesalan itu sungguh mirip dengan sang suami ketika dimarahi untuk bekerja.

Sebenarnya, bukan salah Bridget jika ia memiliki celah sebesar itu. Sesungguhnya, sifat malas yang ia miliki berasal dari kedua orang tuanya sendiri.

Walaupun terlihat sangat profesional, Duke Sirius adalah seekor kukang jika berada di lingkungan rumah. Tidak mau bekerja dan selalu mendep di dalam kamar untuk tidur seharian. Lalu sang ibunda, Duchess Karina sendiri adalah wanita dengan kebiasaan buruk jika sudah masuk ke dalam ruang musik. Setiap kali ia masuk ke dalam ruang musik, yang ia lakukan bukanlah memainkan alat musik melainkan lesehan di lantai marmer yang dingin.

Mungkin dari luar terdengar suara biola yang dimainkan dengan padu dan penuh penghayatan. Tetapi kenyataannya, sang nyonya hanya tidur diatas lantai dan memainkan musik dengan sihir. Ya, saking tidak ingin ada yang melihat sisi malasnya, ia sampai bersembunyi di ruang musik sendirian dan membuat skenario sendiri pula.

Sesungguhnya, mulut para pelayan itu tidak lain dengan bom berjalan. Mereka menyebarkan rumor seperti sumbu yang menghantarkan api ke pusatnya. Lalu ketika bom itu meledak, menandakan seorang bangsawan telah mengetahui keburukan bangsawan lain. Duchess Karina benar-benar menjauhi hal itu terjadi pada keluarganya.

Namun sialnya, Bridget–yang sangat disayangkan ternyata adalah putri bungsunya–tidak mau repot-repot menutupi kebiasaan buruknya. Gadis itu dengan senang hati tertidur di perjamuan teh sambil menelungkupkan kepala diatas meja dan menutup mata dengan sebelah tangan. Dan, voila! Muncullah julukan baru untuk Bridget, yaitu 'Nona Kukang Pemalas'.

Lalu lingkaran pertemanan seorang Bridget pun sangat mengejutkan. Nona berwajah datar itu memiliki persahabatan yang baik dengan beberapa nona kalangan atas, salah satunya adalah Sophia McDeux. Putri bungsu Grand Duke McDeux yang terkenal akan pesona karismatik dan penuh semangat. Beberapa bulan lalu pun, sang nona dikabarkan menjadi salah satu kandidat saintess di masa depan.

Pertemanannya dengan Sophia cukup membuat nama baik Bridget meningkat di kalangan bangsawan. Bukan tanpa alasan, Sophia yang merupakan bola penuh energi disandingkan dengan Bridget si tukang tidur tentu terlihat lucu di mata para nyonya.

Namanya kembali meroket setelah kedekatannya dengan Nona Diana Dorris dari Quetzals. Diana adalah sepupu putra mahkota dari pihak permaisuri dan saudara kembar dari Dean Dorris. Gadis bersurai ungu dengan mata sewarna daun itu memiliki pribadi yang anggun dan karismatik. Tipikal orang yang tidak suka mencari masalah, namun dengan senang hati membogem wajah orang yang berani mengganggunya secara berlebihan.

Kepribadian keduanya amat serasi hingga akhirnya mampu menjalin pertemanan. Walaupun tidak seakur hubungan Bridget dengan Sophia, tetap saja pertemanan antara dua putri duke itu cukup memancing perhatian. Apalagi Diana sendiri adalah keponakan sang kaisar negeri ini.

Semakin baguslah kedudukan Bridget di kursi perjamuan, walaupun masih ada beberapa nona yang berani nyinyir akan sifatnya yang semena-mena. Namun, siapa yang peduli? Kedudukannya lebih tinggi daripada mereka yang hanya bangsawan dari kalangan menengah ke bawah.

Yang paling menggemparkan adalah pertemanannya dengan putri sulung dari Dexter. Snorett McDeux yang tersembunyi. Tidak ada hujan, tidak ada gempa, tiba-tiba pertemanan antara keduanya terjalin.

Seperti yang disebutkan di bab sebelumnya, identitas Snorett itu tersembunyi. Hanya kemampuan-kemampuan hebatnya saja yang berhasil terdengar hingga keluar Dexter. Dan secara tiba-tiba dikabarkan dekat dengan beberapa anak bangsawan ternama, salah satunya Bridget.

Banyak yang berspekulasi bahwa keduanya menjalin ikatan pertemanan ketika Bridget berkunjung ke wilayah Dexter. Namun, jika memang begitu, mengapa tidak dari dulu? Kenapa baru digembar-gemborkan beberapa bulan yang lalu?

Lalu sekarang, anak haram seorang viscount menjadi teman barunya. Apa Nona Havellort sudah sinting?

"Teman baru lagi, heh? Sangat mengejutkan," celetuk Diana seusai menyesap teh kamomil yang disajikan.

Manik berwarna hijau itu memperhatikan sosok Claudia yang duduk disamping Bridget. Gadis itu menunjukkan senyuman tipis yang tampak manis, namun entah mengapa penuh akan tekanan. Claudia sendiri hanya bisa menegak ludahnya gugup atas tatapan dari Nona Dorris.

Setelah puas memperhatikan Claudia, ia pun beralih memandang Bridget. "Selera pertemananmu benar-benar unik, Bet."

Ucapan yang sangat sederhana, jika orang awam yang mendengarnya pasti mengira Diana tengah memuji seorang Bridget Havellort. Tapi sesungguhnya, gadis itu tengah mengejek selera Bridget dalam memilih teman.

Sebelah alis Bridget terangkat, senyuman miring tercipta pada bibir gadis bersurai langit itu. "Tentu saja, jika selera pertemananku biasa-biasa saja, tidak mungkin aku berteman denganmu, Di."

Bagaikan sebilah belati, ucapan sang putri penyihir itu langsung menusuk tepat di relung jiwa. Senyuman masih terlukis di wajah Diana, malah senyuman itu tertarik semakin lebar. Kedua matanya menutup dan terkikik kecil lalu memilih menyesap tehnya dengan anggun.

Dari balik cangkir, gadis bersurai ungu gelap itu mencebikkan bibir kesal. Tak senang dengan tanggapan Bridget yang menyamakan dirinya dengan Claudia.

Awas saja! Akan kulaporkan ini pada ibumu! batin Diana geram.

Puas dengan reaksi yang diberikan Diana, Bridget beralih pada salah satu nona di perjamuan itu. Manik biru keunguannya jatuh pada nona berambut kelabu, yang duduk disamping Rubyanne. Gadis bersurai kelabu itu memalingkan wajahnya kearah lain saat tidak sengaja bersinggungan dengan Bridget.

Elise McDonnie, sepupu jauh McDeux bersaudara. Gadis bersurai kelabu ini adalah putri kedua Earl McDonnie, saudara jauh Grand Duke McDeux terdahulu. Dalam pandangan pertama, gadis ini memang tidak terlihat bermasalah. Wajahnya memenuhi kecantikan standar dengan surai berwarna abu-abu pucat dan mata berwarna biru kehitaman. Terlihat seperti gadis bangsawan pada umumnya.

Sepasang manik violet Bridget memincing, memandang tajam gadis itu dengan wajah angkuh. Elise sendiri langsung menurunkan pandangan. Sebisa mungkin ia menghindari keberadaan Bridget saat ini.

Elise sadar akan kesalahannya telah mengatakan bahwa Snorett sudah tewas. Tetapi mau bagaimana lagi? Semua orang juga sudah mendengarnya, toh dengan begitu kemungkinan besar ayahnya akan menjadi pewaris grand duke selanjutnya dan dia akan menjadi seorang putri. Siapa yang tidak senang mendengar kabar seperti itu.

"Hei, McDonnie, dari mana kau mendengar rumor bodoh itu?"

Sebelah alis Elise terangkat kesal, namun cepat-cepat ia normalkan. Dirinya tidak boleh lengah, dihadapannya ini adalah Bridget Havellort, seorang penyihir muda yang tak kalah berbakat dengan Sophia McDeux, walaupun tidak setara dengan Snorett McDeux.

"Saya mendengarnya dari Ibunda, Yang Mulia," ujar gadis bersurai abu-abu itu lembut.

Dahi Bridget mengernyit dalam dengan alis menukik tajam. Ia tampak terganggu dengan senyuman lembut dan nada pelan dalam suara gadis itu. Sangat jelas jika Elise mencoba meniru gaya berbicara Sophia yang pelan dan lembut.

Gestur mulut Bridget yang menunjukkan rasa jijik melunturkan senyum pada wajah Elise. "Ibumu itu menyesatkan."

Elise langsung menundukkan kepala dalam. Mata berwarna biru pudar itu berkaca-kaca atas komentar pedas yang dilontarkan Bridget. Kaki gadis itu bergerak gelisah dibawah meja, menahan rasa amarah namun tidak bisa ia keluarkan.

Senyuman sinis terbit di wajah cantik Rubyanne, namun ia tutupi menggunakan cangkir teh. Ia memulai aksi dengan meletakkan kembali cangkir tehnya agak keras hingga menimbulkan suara keramik yang beradu. Menyebabkan semua mata melihat kearahnya.

Rubyanne memeluk Elise yang kini menangis sesenggukan didalam rengkuhan gadis bersurai hijau itu. Nona bungsu dari keluarga Fillton itupun menampakan ekspresi memelas dengan gigi yang ditampakkan untuk saling bergemelatuk. Ekspresi wajah tersakiti yang tampak nyata, namun tidak dimata beberapa orang yang duduk disana.

Bridget mendengus sambil memutar bola matanya malas. Diana mengabaikan semua orang dengan menyesap teh kamomil-nya syahdu. Sementara Claudia melempar pandangannya ke segala arah, mencoba menghilangkan perasaan tidak nyaman akan atmosfer perjamuan itu.

"Nona Havellort, saya mengerti Anda marah karena Elise menceritakan kenyataan yang menyakitkan. Tetapi perkataan Anda itu sungguh keterlaluan!" ujar Rubyanne setengah menangis yang berhasil menarik simpati nona-nona disana.

Mendengar ucapan Rubyanne membuat tangis Elise pecah. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada Rubyanne membuat gadis bersurai hijau itu hampir tersedak. Nona Fillton itu mengumpat dalam hati karena pelukan Elise yang amat kencang.

"Terima kasih, Ruby! Kamu memang sahabat terbaikku!" ujar Elise ditengah isak tangisnya.

Bibir Rubyanne melengkung keatas, menampakkan senyuman lembut dengan sorot mata teduh. Setetes air mata dipelupuk mata gadis itu membuat Rubyanne terlihat seperti nona baik hati.

"Tentu saja, Eli. Kamu adalah sahabatku, tidak mungkin aku membiarkanmu mengalami kesulitan. Kamu sudah seperti saudariku sendiri."

Kau beruntung cukup bodoh untuk dijadikan alat. Kalau bukan untuk menjatuhkan Bridget, mana mungkin aku mau memeluk bangsawan rendahan sepertimu, ujar Rubyanne dalam hati.

Tangis Elise semakin pecah, membuat atmosfer perjamuan tidak kondusif. Nona bangsawan yang duduk disamping kiri-kanan Rubyanne dan Elise pun mencoba menenangkan kedua gadis tersebut. Senyuman miring hampir lolos dari bibir Rubyanne kala mendengar bisikan halus yang mengkritik sifat jelek Bridget disekitar meja tersebut. Walaupun pelan, namun cukup membuat Rubyanne puas.

Bridget yang terpojok menghela nafas kasar yang membuat sekitarnya terdiam. "Kalian sebut itu bisikan? Coba langsung ngomong didepanku sini! Dengan senang hati aku akan mengubah kalian menjadi manusia pohon satu persatu!" ujarnya kesal.

Nona-nona bangsawan yang ketahuan berbisik menundukkan kepala dalam. Adapula yang ijin undur diri karena takut diubah sungguhan menjadi pohon. Ketika Bridget telah bersabda, maka yang ia katakan akan sungguhan menjadi kenyataan.

Dengusan kasar lolos dari bibir gadis itu membuat suasana meja semakin mendingin. Pandangan gadis jatuh pada Rubyanne yang masih setia memeluk Elise. Sorot matanya menajam membuat Rubyanne meneguk air ludah gugup.

Sial! Mengapa aku jadi panik begini?! batin Rubyanne.

"Dan kau ...," telunjuk ramping milik Bridget mengarah tepat kearah Rubyanne. "Camkan kata-kataku baik-baik, Fillton. Jangan pernah macam-macam denganku, jika tidak mau keluargamu jatuh miskin!"

Bridget sontak bangun dari duduknya, mengejutkan nona disekitarnya. Ia menarik tangan Claudia, mengajak gadis itu pergi dari perjamuan itu. Namun sebelum kembali melangkah, ia menoleh kearah Diana yang telah bangkit dari duduknya. Kini tengah merapikan gaun dibantu oleh beberapa pelayan.

"Kau mau ikut, Di?"

Sebelah alis Diana terangkat lalu menjawab, "Tidak dulu, Brie. Aku punya urusan."

Senyuman sinis terbit di wajah Bridget. "Urusan apa? Rebahan?"

Dahi Diana mengernyit tak suka. Ia menunjukan wajah songong karena jengkel dengan pertanyaan Bridget yang menyinggung jiwa dan raga.

"Aku lebih suka menyebutnya sebagai 'Aktifitas istirahat yang menenangkan'."

Seusai mengatakan hal itu, Diana langsung membalikkan tubuhnya sombong dan berlalu begitu saja dari area perjamuan. Bridget mendengus geli lalu melanjutkan langkah yang terhenti, namun terhenti ketika Claudia mencoba menarik tangannya.

"Kita mau kemana?" tanya gadis bersurai pirang pucat itu gusar.

"Ke tempat Snow. Firasatku mengatakan dia telah siuman."

*****

Elise be like:

Awoakwoakowakowk

Tinggal 2 chap lagi sebelum masuk S2. Ayo recokin Orca biar cepet tamat!

Selasa, 21 Maret 2023

Orca_Cancii🐳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top