Bab 35: Ruang Benak Tanpa Batas
Mengapa Mammon ada disini?
Tempat apa pula ini?
Aku dan si rambut terong itu saling berhadapan ditengah sebuah lorong panjang berlantai semen. Yang paling aneh, disetiap sisi lorong maupun atap, terdapat pusaran kecil berwarna putih. Seolah-olah pusaran itu dapat terbuka dan menyedot segala hal.
"Ha! Kau pasti tidak tahu tempat apa ini!" terika Si Terong itu tiba-tiba membuatku nyaris terperanjat.
"Ya, mana kutahu, tolol," jawabku ketus.
Perempatan imajiner berwarna merah terlihat di sisi kepala pangeran iblis itu. Ia memandangku kesal, seolah-olah ingin memakanku bulat-bulat. "Tidak heran mengapa kau sangat mudah tertangkap dulu."
Sebelah alisku terangkat sebagai bentuk protes terhadap statement tak berdasar itu. Mudah tertangkap? Aku baru dihukum mati setelah membunuh saudari dan ibu tiriku, memicu perang antar kekaisaran besar, pemusnahan suku massal, pembantaian sebuah desa, dan memburu hewan hingga punah. Dan dengan mudahnya dia bilang aku mudah tertangkap?
Tolol!
"Tempat apa ini?" tanyaku mencoba mengabaikan omong kosong terong itu.
Mammon menghela nafas berat, "Kau itu sungguhan iblis atau bukan, sih?"
"Setengah," jawabku datar.
Mammon menggedikkan bahunya sesaat lalu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Yang entah mengapa membuatku ingin melempar pria itu menggunakan tusuk konde milik Ibunda Lily.
Tiba-tiba Mammon menatapku sinis, yang kubalas dengan mengerutkan dahi tak mengerti. "Aku tahu isi otakmu, bocah. Sebuah tusuk konde tidak akan membunuhku."
Ah! Ternyata ini tempat itu toh!
"Jadi ini Ruang Benak," gumamku tanpa sadar menganggukkan kepala.
Pria berambut panjang seperti terong itu mengiyakan. "Akhirnya kau ingat juga," celetuknya senang tanpa harus merasa pusing menjelaskan tempat apakah ini.
Aku pun hanya mengangguk-anggukkan kepala mengerti. Mirip anak kecil sehabis mendengar penjelasan cara minum air putih dengan benar. Sampai beberapa menit aku baru menyadari adanya sebuah kejanggalan, anomali yang cukup besar terjadi padaku.
Aku mendongak kearah Mammon dengan gerakan leher patah-patah. "Aku seorang azail, bagaimana bisa memiliki kemampuan yang setara dengan defteross?"
*****
Pada umumnya, terdapat tiga jenis iblis yang hidup di dunia bawah, yaitu defteross, sermakiel, dan azail.
Defteross adalah iblis yang terlahir dengan api murni dari neraka. Mereka cenderung berada di strata paling atas dalam monarki, karena para defteross murni diciptakan dari api neraka. Mereka tidak dilahirkan dan mampu hidup hingga dunia kiamat, baru akan mati jika dikehendaki oleh Tuhan. Contohnya adalah 7 Pangeran dan Putri Dunia Bawah, salah satunya Mammon.
Sermakiel adalah iblis biasa. Para sermakiel adalah anak-anak dari 7 Pangeran dan Putri Dunia Bawah yang tidak memiliki hidup lama. Mereka memiliki beberapa kemiripan dengan manusia, namun sifat mereka tidak manusiawi. Para sermakiel juga dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu incubbus/secubbus, djinn, dan stealth.
Yang terakhir adalah azail, strata paling bawah dalam monarki dunia bawah. Azail adalah iblis berdarah campuran atau manusia setengah iblis. Para azail terlahir dari hubungan manusia dan iblis, seperti diriku. Adapula yang awalnya manusia tulen lalu berubah menjadi iblis karena terlalu mendalami sihir hitam, seperti Flynn.
Lalu Ruang Benak, kemampuan ini hanya bisa dimiliki oleh iblis sekelas defteross. Ruang Benak adalah istilah yang digunakan para iblis kelas atas untuk alam sadar yang mereka buat. Ruang Benak berfungsi untuk melihat ingatan manusia incaran mereka untuk diobrak-abrik atau mempengaruhi manusia tersebut melalui ingatan. Dari alam bawah sadar lah iblis mempengaruhi manusia untuk melakukan hal-hal tercela.
Dan di alam bawah sadar ini, ada beberapa celah yang dapat dimasuki iblis tingkat tinggi ini. Bagiku yang seorang azail, aku hanya bisa memantik emosi negatif lewat perkataan dan hal itu tidak selalu berhasil. Tetapi jika sudah menggunakan Ruang Benak, mengobrak-abrik isi otak seseorang hingga membuat ingatan baru pun bisa dilakukan. Namun pertanyaannya adalah, mengapa aku bisa masuk ke dalam Ruang Benak?
"Lucifer yang melakukannya," ujar si Rambut Terong tiba-tiba.
"Apa?"
Lucifer? Raja para iblis yang sombongnya seberat dosa itu? Hahahaha, mustahil!
Mammon melirikku sinis, lalu menarik tanganku kasar dan mulai mengajakku berjalan menyusuri lorong. "Tidak ada yang mustahil, buktinya Lucifer Yang Terkutuk jatuh hati pada seorang bocah ingusan."
"Mana mungkin! Kau bohong!" pekikku sembari berusaha lepas dari cengkeramannya. Segala cara kulakukan, mulai dari menendang, menggigit tangan, memukul pinggang hingga menginjak kaki, tetap tidak membuat Mammon berkutik. Apa aku selemah itu dihadapannya?
"Lepaskan aku, tolol!"
"Diam, bocah!"
"Lepas!"
Mammon masih diam tak berkutik dan tetap melanjutkan langkah kakinya. Sekuat tenaga aku memberontak, bahkan melakukan cara paling beringas sekalipun, tetap tidak membuat Mammon berkutik. Ya, wajar sih, aku hanya seorang bocah azail, sementara dia salah satu pangeran neraka. Melawannya sama dengan melawan bongkahan gunung batu. Keras.
"Tolong! Ada pedofil!" teriakku yang tertelan oleh gema dinding.
"Berhenti berteriak!" seru Mammon kesal, namun tetap tidak menghentikan langkah kaki jenjangnya. "Aku mau menunjukkanmu tentang ingatan orang-orang!"
"Oh?" aku spontan membuka mulut dan bertanya seperti orang bodoh, "Aku bisa melihat ingatan orang lain?"
Si Rambut Terong melirikku sinis, lalu berkata, "Tolol!"
Tak lama kemudian, kami berhenti didepan salah satu pusaran cahaya yang ada di lorong panjang. Pusaran itu mengeluarkan cahaya berwarna kuning dan menempel pada dinding sisi kiri lorong. Percikan-percikan berwarna kuning keemasan seperti api, menguar dari pusaran tersebut yang lama kelamaan menghilang dan menciptakan percikan baru.
Aku melihatnya lamat-lamat, terbawa suasana pada pusaran yang terus berputar, seolah-olah tengah dihipnotis. Mulai dari lingkaran besar dan berangsur-angsur mengecil, lalu menghilang ke dalam dinding.
Untuk ukuran seorang pria dewasa, Mammon ini cukup kasar terhadap anak kecil. Ia menyentak lenganku kuat hingga membuatku hampir limbung keatas tanah. Sontak, kulayangkan tatapan membunuh nan menuduh kepada pria berambut terong itu, namun sama sekali tidak dapat membuatnya takut.
Tentu saja, dia tidak mungkin akan takut padaku. Barangkali ia hanya takut pada kakak-kakaknya, atau hanya kepada Lucifer sebagai pemimpin dunia bawah. Dapat tertebak sekali, bagaimana ia mau-mau saja saat disuruh Lucifer membawaku ke tempat ini. Selain itu, dia pasti ditawari cukup banyak harta jarahan hingga mau melakukan tugas ini, mengingat dirinya menyimbolkan keserakahan.
"Sialan juga isi otakmu, ya." Ia melirikku sinis yang kubalas dengan tatapan tajam. "Sayangnya itu benar, kapan lagi aku bisa mendapatkan 10 drum koin emas hanya untuk mengasuh anak kecil," ucapnya bangga.
Tuh, kan! Dasar mata duitan!
"Hei, pegang itu!" suruhnya padaku.
Dagu lancip pemuda berumur puluhan ribu tahun itu mengarah pada pusaran kuning tadi. Aku kembali melihat lamat-lamat pada pusaran kecil tersebut lalu melayangkan tatapan menuduh pada Mammon.
"Bagaimana jika aku tersedot?!"
"Lakukan saja!" ujarnya sambil mendorong-dorong pundakku. "Agar cerita ini cepat selesai!"
Aku meliriknya sinis melalui ujung mata, lalu kembali memandang pusaran tersebut. Mataku kembali melihat Mammon yang kini tengah berkacak pinggang sambil memandangku nyalang, mirip Ibunda Lily ketika aku dan Sophie tidak sengaja menginjak semak mawarnya.
Helaan nafas lelah menyelinap dari sela-sela bibirku. "Apa untungnya aku menyentuh pusaran itu?"
"Kau ingin mengetahui dalang dibalik kematian ibumu, bukan?"
Spontan, kedua mataku melebar karena kaget. Ucapan yang keluar dari bibir Mammon terdengar seperti kesempatan yang menjanjikan. Orang yang menjebak ibu lah yang selama ini ingin kuketahui kebenarannya. Orang itu yang telah memicu awal mula penderitaanku terjadi. Siapapun dia, akan kupastikan ia mendapat balasan yang setimpal.
Tanganku perlahan terulur pada pusaran kecil tersebut. Jari-jariku menyentuh pusaran, namun tidak terjadi apapun. Apa aku harus merapal mantra terlebih dahulu?
Aku hendak menoleh lagi pada Mammon, menanyakan mantra apa yang harus dirapalkan. Namun baru leherku ingin bergerak, pusaran itu mengeluarkan cahaya yang berpendar hebat. Cahayanya semakin terang seiring pusaran melebar. Dalam hitungan detik, aku langsung tertarik masuk ke dalam pusaran dan dilingkupi cahaya terang.
*****
Cahaya yang menyilaukan mata perlahan-lahan memudar, menampakkan ruangan remang-remang mirip ruang kerja. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, memastikan apa yang sedang kulihat. Kutolehkan kepala kekanan dan kekiri, aku berada dimana?
Arsitektur ruangan ini mirip ruangan Ayah dengan cat dinding berwarna biru-hitam dan plafon berwarna putih. Furnitur-nya juga mirip dengan model beberapa tahun yang lalu sebelum diganti saat musim dingin. Jangan-jangan??
Aku baru sadar ada dua figur didalam ruangan ini, dua sosok pria dengan rambut berbeda warna, Ayah dan seorang pria asing. Perawakan mereka masih terlihat amat muda, mungkin di awal dua puluh.
Pria asing dengan rambut merah sebahu yang diikat setengah terlihat memukau, tengah berdiri didepan meja kerja Ayah. Siapapun dia, dia sangat tampan, bahkan mengalahkan ketampanan Ayah.
Suasana terasa menegangkan, saking menegangkannya leherku bahkan terasa kering. Entah apa yang mereka bicara, namun, yang pasti hal itu adalah masalah cara yang cukup besar.
"Yang mulia, pikirkan baik-baik tindakan Anda! Apa Nyonya Hailey pernah melakukan hal buruk terhadap Anda!?" ujar Si Merah berani dengan mata hitam yang membara.
Oh! Aku ingat dia! Dia ajudan Ayah sebelum Earl Cale!
Lord Agustin dari Attrios, anak kedua Duke of Attrios, kakak Ibunda Lily. Di masa lalu dia selalu mengajakku bermain dan membelikanku banyak gaun. Dia sangat baik dan menyenangkan. Tatapan mata teduhnya setiap kali melihatku, membuatku terasa memiliki seorang Ayah. Setiap kali bermain bersama, dia selalu berkata akan membawaku dan Ibu pergi dari kediaman ini.
Namun kini, ia diasingkan oleh Ayah ke perbatasan untuk menjaga kedamaian disana. Bahkan gelar kebangsawanannya dicopot dan hanya diberikan gelar militer. Itu karena dia mencoba membawa ibu dan diriku kabur.
Padahal dulu, ia sempat menjadi ahli waris utama dukedom Attrios, namun karena perbuatan Ayah. Dia kini hanya seorang prajurit biasa tanpa gelar kebangsawanan.
Lelaki tengik itu!
Ah, dari sini aku telah mengerti. Aku menatap tajam pada sosok Ayah yang masih duduk dengan angkuh diatas kursi kebesarannya. Dagunya yang lancip itu meninggi, meremehkan sang duke muda yang jauh berada dibawahnya. Dia tidak jauh berbeda dengan rongsokan sampah, tak berharga.
Manik sewarna safir itu berkilat tajam. Tiba-tiba saja, ia mengarahkan pedang ke leher Lord Agustin. Pedang perak Ayah berkilau ditengah ruangan remang-remang. Ujung pedang itu menggores kulit leher sang duke muda hingga mengeluarkan darah yang menetes keatas karpet.
"Aku tidak menerima bantahan, Lord." Ayah menekan kata Lord, memperingatkan posisi Lord Agustin yang kala itu masih menjadi seorang pewaris. "Jika kau tak terima, silahkan keluar dari ruangan ini dan aku tidak akan mendukungmu sebagai penerus Dukedom Attrios."
Tatapan Lord Agustin masih tetap teguh, ia memandang Ayah lurus, lalu berkata, "Terserah, Alex terserah. Aku tidak peduli lagi dengan segala tetek bengek urusan keluargaku." Lord diam sesaat lalu kembali melanjutkan, "Aku harap kau tidak menyesali pilihanmu ini."
Ia menepis pedang Ayah, lalu membungkuk hormat dan berlalu pergi. Namun, ia menghentikan langkah sebelum keluar ruangan dan kembali menghadap Ayah. "Kalau kau memang tidak menginginkan Hailey dan Snow, berikan saja mereka padaku. Dengan senang hati aku akan menjadi suami atau ayah yang lebih baik untuk mereka," ucap Lord Cale lantang lalu keluar dari ruangan itu.
Brakk!!!
Ayah menggebrak meja dengan keras hingga menimbulkan retakan yang mengular diatas kayu jati tersebut. "Kurang ajar!" umpat Ayah sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
"OLIVE!" teriak Ayah lantang ditengah sunyinya malam.
Tenggorokan pria itu bergerak maju-mundur setelah mengeluarkan suara yang membahana. Tak membutuhkan waktu lama, sesosok wanita dengan rambut sehijau daun salam memasuki ruang kerja Ayah lalu membungkuk hormat.
Wanita itu masih mengenakan gaun piyama berwarna putih gading. Matanya sayu dan terlihat membengkak, dengan suara serak ia memberi salam pada Ayah, "Segala keagungan bagi Yang Mulia Grand Duke."
Ayah mengambil botol kecil dari dalam laci lalu melemparkannya kearah sang kepala pelayan. "Berikan itu pada kue yang disajikan untuk Lily saat dia piknik di taman dengan wanita iblis itu."
Countess Olive tergopoh-gopoh saat hendak menangkap botol itu. Manik sewarna putik bunga daisy itu memindai setiap sisi botol, sebelum akhirnya, melebar saat menyadari apa isi botol itu.
"A-alex?" lirih Countess Olive dengan pupil mata melebar. "Kau bercanda 'kan?"
Ayah masih tetap diam ditempatnya tanpa menurunkan dagu sedikitpun. Mata pria itu menajam membuat Countess Olive tersentak dan mundur beberapa langkah. "Ini tidak lucu, Alex!"
Huh? Ini aneh. Padahal dia benci setengah mati pada Ibu dan aku, mengapa dia jadi takut ketika disuruh menjebak Ibu? Kupikir dia akan senang.
"Aku lelah harus mengikuti skenariomu terus-menerus! Hailey bahkan tidak melakukan apapun selama ini dan hanya diam di kediamannya yang kumuh itu! Dia tidak melakukan hal buruk, tolol!!!" teriak Countess Olive tepat didepan wajah Ayah.
Rahang Ayah semakin mengeras, gigi gerahamnya bergemelatuk tak senang. Tatapan nyalang ia arahkan pada Countess Olive yang masih berdiri dihadapannya. Ayah sontak berdiri dan menggebrak meja, menyebabkan retakan yang ada semakin melebar.
"DIA MERUSAK HUBUNGANKU DENGAN LILY!!!"
"SALAHMU KENAPA MALAH MENGAJAKNYA MENIKAH, TOLOL!!!" balas Countess Olive tak kalah keras, wanita itu kembali melanjutkan, "Sudah tahu Lily itu anti merebut suami orang apalagi menjadi istri kedua, ya ogahlah dia bersamamu. Kalau memang mau membawa Hailey kabur, seharusnya langsung kau bawa saja dia ke Nevoir dan dia akan mencari cinta sejatinya sendiri!"
Wuiisshh, sangat benar!
Ayah menggeram tak senang atas ucapan Countess Olive. Sontak, ia melompati meja langsung mencekik wanita berambut daun salam itu. Countess Olive yang terkejut langsung meraih tangan Ayah yang kini bertengger di lehernya.
"A—... Alex ...," lirih sang countess lemah. Pasokan udaranya menipis, dan ia tak bisa bernafas karena Ayah mencekiknya.
"Lakukan apa yang kuinginkan, 'Countess'," ia menekan kata Countess, "atau kau dan keluarga kecilmu itu kubuang ke daerah terpencil!" ancam Ayah lalu melempar tubuh Countess keatas lantai.
Countess terengah-engah karena nafasnya sempat terpotong oleh sahabat karib. Ia memandang Ayah dengan tatapan takut dan tak percaya. Dengan tergopoh-gopoh, ia bangkit dan menjauhi figur Ayah yang menjulang tinggi dihadapannya.
"Tidak ...! Kau bukan Alex yang kukenal! Kau bukan Alex, siapa kau?!" ujar Countess Olive ketakutan.
Ia tertawa berharap Ayah ikut tertawa dan berkata "Prank!", namun Ayah masih diam. Tatapannya masih tajam menusuk pada sepasang mata kuning Countess Olive. Pada saat itulah sang countess menyadari sahabat seperjuangannya telah berubah, sangat, sangat berubah. Nafasnya tercekat, namun ia tetap mencoba menghela nafas dan menenangkan diri.
Countess menutup mata lalu menghela nafas dalam, sebelum akhirnya membuka mata. Countess Olive menajamkan tatapannya saat memandang Ayah, seolah-olah tengah memandang musuh dari kerajaan seberang.
"Baiklah, ini terakhir kalinya aku menurutimu, setelah ini jauhi aku dan keluargaku," tegas Countess lalu keluar dari ruangan itu.
*****
Keadaan Orca saat ini:
Hikss, gak lolos NPC😭 Mengsad:(
Sabtu, 08 Oktober 2022
Orca_Cancii🐳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top