Bab 31: Snorett VS Amanis.

Lima menit lagi acara perburuan akan segera dimulai. Aku sudah duduk diatas Erebus, sesekali mengelus surai abu kehitamannya. Dapat kurasakan beberapa ksatria melirikku. Posisiku berada disamping kuda Ayah, namun agak sedikit berada dibelakang setara dengan Earl Cale.

Beberapa anggota tubuhku seperti dada, lengan, dan kaki terbalut oleh zirah besi untuk melindungiku tubuhku dari serangan monster atau hewan liar nanti. Tentu saja, zirah yang kugunakan telah dipesan khusus untukku.

"Apa kamu yakin?"

Aku menoleh dan langsung disambut oleh tatapan khawatir dari Ayah. Aku kembali melihat kedepan dengan pandangan datar. "Sangat," ucapku singkat.

Helaan nafas panjang terdengar dari samping tubuhku lalu diikuti dengan suara besi yang gemerincing. "Jangan merengek jika nanti tubuhmu tergores ranting."

Entah ia ingin sarkas padaku atau apa, tetapi tidakkah dia terlalu berlebihan? Seperti aku bahkan telah merasakan yang namanya dipenggal-pengalamanku bahkan lebih banyak darinya. Tidak mungkin aku akan menangis hanya karena tergores ranting. Aku bersumpah, Betty pasti akan tertawa hingga terkencing-kencing jika mendengar aku menangis karena tergores ranting.

Aku meliriknya dengan tatapan aneh. Dari ujung mata aku melihat ekspresi wajahnya yang datar dan dingin. Well, selama beberapa bulan terakhir ia selalu menunjukkan sifat barbar dan absurd. Sehingga aku jadi ingin tertawa melihatnya sok tenang dan kalem seperti ini.

Tak lama terdengar suara ledakan kecil yang menandakan acara perburuan telah dimulai. Saat itu jugalah tanah mulai berdebum, disebabkan oleh tapal kuda yang menghantam bumi. Rombongan keluarga McDeux mulai berkuda memasuki hutan, begitupula keluarga bangsawan yang lain. Mulai berkompetisi untuk memperebutkan tempat terbaik dan aku akan mendapatkan tempat pertama. Pasti.

*****

Sudah cukup jauh kami memasuki hutan dan aku belum melihat satupun binatang buas ataupun monster ganas. Yang kutemui hanya kelinci, anak rusa, dan binatang kecil lainnya. Tentu saja aku tidak menemukan binatang buas karena Ayah memilih spot aman yang jauh dari kekacauan. Aku menggerutu kecil kala mengetahui hal itu.

"Ayah tidak bisakah kita ke tempat lain? Disini tidak ada apa-apa!" protesku.

Ia menunjuk kearah semak-semak beri liat yang terlihat bergoyang yang menandakan ada makhluk hidup didalam sana. Lalu berkata, "Disana ada kelinci, tangkaplah."

Apa dia mencoba mengejekku?

Kelinci hanya memiliki satu poin dalam perburuan ini. Sedangkan para pemenang biasanya selalu mendapatkan poin diatas 2000. Berarti aku harus menguras populasi kelinci di hutan ini hanya untuk menang dan menjadi bahan ejekan bangsawan lain. Sial!

Dalam perburuan ini, buruan dengan poin tertinggi adalah monster tingkat Menengah hingga Atas. Satu monster ditandai dengan 1000 poin, sementara hewan buas seperti harimau, beruang dan teman-temannya ditandai dengan 60-900 poin. Rusa dan hewan herbivora lainnya ditandai dengan 1-50 poin.

Aku menyiapkan busur lalu mengambil anak panah dari tabung yang ada dibelakang tubuhku. Kubidik semak-semak itu cukup lama lalu melepaskan senar busurku. Anak panah itu melesat cepat, menusuk sesuatu yang berada dibalik semak-semak tersebut. Suara cicitan terdengar kala anak panah itu telah tertancap.

Aku menghela nafas lalu turun dari Erebus, mengelus surainya sesaat lalu menghampiri semak-semak tersebut. Tanganku membuka kumpulan semak itu hingga menampakkan seekor kelinci putih yang tengah mencicit kesakitan. Anak panah itu tertancap dikaki bagian belakangnya.

Kelinci itu terlihat lemah dan tidak berdaya. Memandangku dengan mata merahnya yang bulat, sedikit demi sedikit kehilangan binar dimatanya. Seolah-olah telah yakin kematian akan menjemput dirinya. Aku tertegun saat mengetahui dia mirip sosok menyedihkan di masa lalu.

Sosok yang hanya mampu meringkuk didalam sel bawah tanah setelah kehilangan seluruh semangat hidupnya. Sosok menyedihkan yang telah menyebabkan kekacauan dimana-mana. Sosok seorang wanita berambut putih dengan mata merah yang berakhir dibawah pisau guillotine.

Aku tercekat kala ingatan pedih itu muncul lagi, membuatku ingin menangis. Aku menatap kelinci itu dengan mata sayu, sedih akan rasa sakit yang diterimanya. Dia sama denganku. Kami sama.

Perlahan aku mengangkat tubuh kelinci itu dengan hati-hati. Menaruhnya didalam dekapanku. Kupandangi anak panah yang tertancap pada kaki belakangnya yang entah mengapa, membuat mataku berkaca-kaca. "Kasihan ...," lirihku pelan merasa bersalah.

Spontan aku langsung berlari kearah Ayah dengan kelinci tadi didalam dekapanku. "Ayah!"

Ayah yang tadinya tengah berbicara dengan Earl Cale langsung menoleh kearahku. Sebelah alisnya terangkat kala melihat kelinci tersebut didalam dekapanku. "Tangkapan yang bagus," pujinya mencoba menyenangkanku.

Aku menggelengkan kepala lalu berkata, "Bukan." Kusodorkan kelinci itu padanya dengan dua tangan. "Tolong sembuhkan," ucapku lagi.

"Huh?" Ia dan Earl Cale saling pandang. Sementara para ksatria terlihat saling berbisik atau menatapku dengan tatapan gemas, ada juga yang tidak peduli.

Tak lama, Ayah dan Earl Cale saling bertukar senyum. Ayah kembali menoleh padaku dan dengan perlahan mengambil alih kelinci terluka tersebut. Ia segera memberikan kelinci itu pada seorang ksatria yang juga merangkap sebagai petugas medis untuk diobati.

"Kamu ingin memeliharanya?" tanya Ayahtepat setelah memberikan perintah pada ksatria tadi. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Mengapa? Jika kamu menginginkan kelinci, Ayah bisa membelikan kelinci terbaik untukmu saat mencapai rumah nanti," ujarnya penasaran akan alasan aku ingin memelihara kelinci itu.

Hening melingkupi kami cukup lama sebelum akhirnya aku menjawab, "Karena kami sama."

Ayah terdiam sesaat sambil mengedipkan matanya sekali, sebelum akhirnya tersenyum maklum. "Ah, benar, putih dan merah sangat melambangkan dirimu." Tangannya bergerak meraih kepalaku lalu mengacak poniku yang telah disisir rapi. "Putri Ayah sangat manis," ia berucap senang sembari terkikik kecil.

Aku langsung mendorong tangan Ayah yang hampir sebesar wajahku lalu menepisnya. Mundur beberapa langkah, aku langsung merapikan kembali poni yang tadinya rapi telah teracak-acak.

Menyebalkan.

Aku mendengus kasar lalu kembali menghampiri Erebus yang tengah memakan rumput ilalang. Hanya dengan sekali lompatan, aku berhasil menaiki punggung Erebus yang dikatakan cukup tinggi. Dan akhirnya, kami kembali melanjutkan perjalanan.

*****

Aku mendengus kasar saat menyadari gerombolan ini masih ada dipinggir hutan, belum mencapai bagian tengah ataupun jantung hutan. Ayah benar-benar keterlaluan. Tidakkah dia tahu waktu berumur enam tahun aku pernah membunuh beruang hanya menggunakan duri es berukuran sedang?!

Aku bahkan saat itu sampai menyeret-nyeret bangkai beruang itu untuk ditunjukkan padanya. Bisa dikatakan saat itu aku mencoba membuktikan diri agar menjadi putri kebanggaannya, namun berakhir dengan ia membuang bangkai itu. Padahal bulu beruangnya bisa dibuat karpet atau jaket.

Haahh ... masa lalu yang jelek.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Sedari tadi yang kulihat hanya pohon, semak belukar dan hewan-hewan kecil yang tak berbahaya, seperti rusa dan kelinci. Tidak ada satupun hewan buas ataupun monster yang terlihat. Sial, kalau begini terus bagaimana bisa aku meraih posisi pertama?

Duke Muda Evander-marga keluarga Duke of Exford-pasti telah mengumpulkan ribuan poin sekarang. Entah dia telah memburu macan atau beruang, atau malah monster tingkat Atas. Shit! Aku jadi iri!

Berapa kalipun aku melirik sekitar, tidak ada satupun makhluk yang dapat kutangkap. Karena semuanya hanyalah hewan pengerat atau hewan buruan berpoin kecil. Aku ingin kabur tetapi ksatria suruhan Ayah terus-menerus mengawasiku.

Otakku berpikir keras, apa yang harus kulakukan untuk menghilang dari pengawasan Ayah yang menyebalkan. Selayaknya bohlam lampu yang menyala, aku mendapatkan ide untuk mengecoh rombongan Ayah.

Aku mulai memusatkan aliran mana-ku ke daerah pinggiran hutan yang berada 20 meter dibelakang kami, tepat dibelakang barak ksatria. Beresiko memang karena akan menyebabkan keributan diantara para ksatria, tetapi akan lebih aman membuat keributan disana daripada ditempat lain.

Entah mengapa, aku merasa beruntung bahwa ksatria penjaga disekitarku rata-rata hanya unggul di fisik tetapi payah di sihir. Mana-ku menyebar ke titik yang sudah kutandai. Tak lama kemudian, terdengar suara dentuman seperti sesuatu yang terjatuh dan diikuti dengan suara lengkingan tinggi seperti suara kelinciyabg terjepit. Seluruh rombongan terkesiap, semua orang melihat titik yang sama.

Tujuh meter dibelakang barak ksatria, muncul makhluk-makhluk kecil berwarna putih seperti kelinci berlarian menuju rombongan kami dan barak. Namun yang berbeda dengan kelinci, makhluk itu memiliki taring panjang, mata merah, bulu putih yang tajam, dan suara melengking setiap kali mencicit. Makhluk itu adalah bell, salah satu hewan terkutuk dari dunia bawah.

Namun jangan khawatir, bell adalah hewan terkutuk tingkat rendah. Sangat mudah untuk membunuh mereka, hanya perlu tusuk saja dan mereka akan berubah menjadi abu.

Para ksatria yang ditugaskan untuk mengawasiku langsung maju kedepan. Ayah dan ketua ksatria langsung memberi aba-aba untuk menyerang setiap bell yang mendekat dan halangi bell yang mencoba keluar dari hutan. Suara dentingan pedang mulai menghiasi udara, meningkatkan adrenalin-ku untuk ikut bertarung. Sial!

"Nona, menjauhlah dari tempat ini!" sahut seorang ksatria yang menebas dua bell sekaligus.

Oh, tentu saja, Tuan Ksatria! Selamat bersenang-senang!

Aku segera mengarahkan Erebus untuk keluar dari rombongan dan berlari kedalam hutan. Terlihat beberapa ksatria meneriaki namaku, mengatakan bahwa aku berada dijalur yang salah. Tidak kawan, aku berada dijalur yang benar, sangat benar.

Erebus melaju melewati pohon, melompati akar, dan menerjang semak-semak. Aku agak membungkukkan badan untuk menyeimbangkan diri diatas Erebus. Berkuda dengan kecepatan seperti ini terkadang memang melelahkan.

Tak terasa kami telah berkuda masuk kedalam hutan. Bahkan suara teriakan dan dentingan pedang para ksatria tidak lagi terdengar. Aku memelankan laju Erebus menjadi kecepatan normal. Aku mendongak memerhatikan seisi hutan yang terlihat hijau, tenang, dan nyaman.

Hanya ada suara burung, gemerisik daun, dan serangga yang dapat kudengar. Cahaya matahari berjatuhan dari sela daun, membuat kesan hangat. Sesekali aku juga mendengarkan kicauan burung mockingbird.

Hutan ini terlihat aman dan menenangkan, namun juga sangat berbahaya. Ketenangan ini hanyalah sampul yang menutupi kekacauan yang ada didalam hutan. Monster, tanaman beracun, binatang buas bersembunyi didalam hutan ini. Bahkan terkadang ada beberapa sekte sesat yang membuat persembahan di jantung hutan untuk memuja iblis atau menyembah hal lain.

Suara aliran sungai terdengar, segera kuarahkan Erebus kearah utara. Dari kejauhan aku dapat melihat sungai yang mengalirkan air berwarna biru jernih. Setelah melewati semak-semak, aku akhirnya berada disisi sungai. Turun dari Erebus, aku langsung mengikat kuda gagah berwarna hitam itu ke sebuah pohon apel yang kokoh. Aku juga melirik keatas sesaat lalu kembali melihat kebawah.

Ada yang mengikutiku.

Kualihkan pandangan kearah sungai yang terlihat tenang dan jernih, percikan air juga terlihat bercipratan. Meraih tanganku, kugulung lengan tunik hingga kesiku lalu berlutut disisi sungai dan meraih air sungai untuk mencuci tangan. Sesekali melirik dari balik bahuku kearah pohon tadi.

Seorang pria dewasa berpakaian hitam dan masker menutupi setengah wajahnya. Hanya membawa belati sebagai senjata. Dan lagi, dia mengendalikan sihir hitam sama sepertiku. Sial, ini menyeramkan.

Sebenarnya selama diperjalanan aku telah merasakan ada yang mengejarku, namun saat itu sangat ramai. Mungkin kisaran 10-12 orang yang kuduga pembunuh bayaran. Namun jumlah pembunuh bayaran berkurang seiring pria itu mengikutiku. Tidak ada tanda-tanda bahaya berasal dari pria itu, namun fakta ia mengendalikan sihir hitam itu cukup membuatku berwaspada.

Suara gemerisik terdengar dari balik semak-semak yang ada disisi sungai. Spontan aku langsung memincingkan mata kearah semak-semak itu. Energi yang cukup besar terasa dari balik-balik semak-semak itu, kemungkinan hewan buas atau monster.

Aku mengibaskan tangan yang masih basah lalu meraih anak panah yang terletak dibelakang tubuh. Kusematkan pada busur lalu membidikkannya kearah semak-semak itu, masih dengan posisi berlutut. Cukup lama aku membidik lalu kulepaskan anak panah itu.

Anak panah itu melesat bagaikan cahaya dan menembus semak belukar tadi. Suara cicitan terdengar, namun tidak ada pergerakan dari makhluk dibalik semak-semak. Aku langsung berdiri saat merasa ada yang salah dengan tanah yang kupijaki. Tanah mulai bergetar disekitarku membuat sungai juga ikut bergoncang.

Aku melihat kebawah, diantara kakiku. Mataku melebar saat menyadari makhluk apa yang sedang aku hadapi. Refleks, aku langsung melompat dan melakukan backroll lima detik sebelum makhluk semacam kelabang raksasa keluar dari dalam tanah. Aku terperangah lalu menyeringai saat melihat hewan yang akan kuhadapi.

Dude! Itu seekor amanis dewasa!

Amanis adalah monster tingkat menengah berbentuk kelabang dengan capit seperti kalajengking dibagian depan kepalanya. Tubuhnya berwarna hitam dengan garis berwarna merah disetiap sisi tubuh yang melambangkan esensi api. Benar dia monster yang memiliki elemen api. Huft, untung aku juga mengendalikan elemen es.

Ukurannya ketika bayi sekitar 1-3 meter, namun bisa mencapai 5-8 meter ketika dewasa. Sama seperti kelabang, monster ini beracun, namun racun amanis 30 kali lebih barbahaya daripada kelabang. Ya iyalah, makhluk sebesar ini dibandingkan kelabang yang hanya seuprit saja, tentu lebih berbahaya yang ini.

Amanis itu berteriak sehingga mengeluarkan suara melengking. Bagian dalam mulutnya yang dipenuhi dengan sengat dan taring terpampang jelas kala ia berteriak. Capit dikedua sisi kepala gepeng itu terbuka dengan mengerikan. Ia melayangkan ekornya yang tertusuk panah kearahku membuatku kembali melakukan backroll.

Oh jadi panah tadi mengenai ekornya? Sayang sekali, mengapa tidak mengenai kepala saja.

Aku meraih anak panah dan membidik kearah amanis. Anak panah kembali melesat, namun kali ini menusuk bagian mata makhluk itu. Amanis memiliki kulit sekeras baja, bagian lunak ditubuh mereka hanya mata dan lidah.

Makhluk sebesar enam meter itu memekik kesakitan. Tubuh makhluk itu menggeliat ke segala arah, mencoba menghantamku dengan tubuhnya. Ekor itu kembali melayang kearahku, aku melompat lalu menghindar dari capit raksasanya, kemudian lompat ke tubuh makhluk itu. Aku berlari diatas tubuh amanis dengan kecepatan tinggi, menghindari setiap serangan yang dilayangkan lalu hinggap pada tengkuknya. Kupegang erat sela-sela buku ditengkuk amanis.

Amanis menggeliatkan tubuhnya, mencoba membuatku jatuh dari tubuh sekeras baja itu namun, diriku tetap bertahan. Ditengah kesulitan, aku mencari titik vital yang terletak ditengkuk makhluk itu. Untuk mengalahkan amanis, titik vital dibagian tengkuknya harus dipotong atau ditusuk. Hanya itu satu-satunya cara untuk membunuh makhluk ini.

Dikehidupan lalu aku sudah puas membunuh makhluk ini, hanya untuk mengekstrak racunnya. Jadi membunuh satu lagi bukan hal yang sulit untukku.

Desing pedang terdengar kala aku mencabutnya dari sarung pedang. Bilah perak itu terlihat berkilau saat terkena sinar matahari. Aku mengangkat pedang pemberian Ibu tinggi lalu menghujamnya pada bagian tengkuk makhluk itu. Dengan satu tusukan darah berwarna hitam memercik dari tengkuk sang monster, mengenai wajahku. Amanis langsung jatuh keatas tanah. Menyebabkan suara debuman keras karena tubuhnya yang berat.

Aku mencabut pedang dari tengkuk makhluk itu lalu berdiri. Menghela nafas lega dan menyeka keringat menggunakan pundak. Aku melompat turun dari tubuh amanis lalu memperhatikan tubuh besar itu. Perasaanku dulu amanis tidak sebesar ini. Geez, ini dia memang besar atau aku yang pendek?

Menggelengkan kepala pelan, aku berjalan ke depan kepala makhluk itu. Kuarahkan telapak tanganku ke kepala amanis. Tanpa mengucapkan mantra, telapak tanganku mengeluarkan cahaya biru. Cahaya biru itu menyebar, membuat garis yang membentuk sebuah pola rune.

Rune itu berbentuk burung elang yang tengah merentangkan sayap menyamping sambil membawa dua pedang dicakarnya. Lambang McDeux. Dibagian bawah rune juga tertulis namaku, untuk memastikan siapakah yang telah membunuh monster ini. Pemberian rune dilakukan agar penjaga yang bertugas memeriksa buruan tahu siapa yang telah membunuh monster atau binatang buas yang telah mati.

Setelah memberikan tanda, aku berjalan kearah sungai untuk mencuci muka. Kubasuh wajahku menyebabkan tetesan air bercampur darah amanis jatuh ke sungai. Menyebabkan air sungai terlihat abu-abu karena darah dari amanis. Lalu melirik lagi kearah pohon dan pria itu masih disana, hanya menonton sedari tadi.

*****

Kayaknya pada kagak sabar nungguin Snow ya?😂

Mulai tanggal 10 Mei, Snow dkk bakal up tiap hari. Buat Tante Beatrice dan beberapa teman-teman cerita yang lain bakal hadir lagi kok tapi dengan cerita yang lebih matang. Oh iya, kalian bakal dapet teman baru juga so stay tuned😉

Minggu, 1 Mei 2022

Orca_Cancii🐳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top