Bab 29: Betty, Kau Gila?

Kiehl langsung memegangi lenganku saat aku hendak terjatuh. Refleksnya benar-benar bagus. Ia membantuku berdiri dengan benar sambil bertanya keadaanku. Aku hanya menjawab seadanya dan berterima kasih.

Mataku teralih pada Rubyanne yang masih mengamuk dan terus mengumpatiku. Aku sendiri hanya menatapnya aneh, sesekali melirik Kiehl yang masih memegangi lenganku. Bocah itu memandang Rubyanne dengan pandangan jengah. Yang keluar dari mulut pakan kambing itu tidak jauh-jauh dari kata iblis, sialan, dan jalang. Lumayan juga mulutnya walau masih berusia sembilan tahun.

Untuk ukuran seorang putri marquess, mulut gadis itu sungguh tidak sopan, terlebih lagi usianya masih sangat muda. Walaupun aku lebih parah darinya, setidaknya aku masih bisa mengendalikan diri dan membaca situasi. Aku baru berani berkata kasar seperti itu ketika berusia 12 tahun, tetapi Rubyanne ... Ckckck, aku miris melihatnya.

Entah apa yang telah diajarkan Marquess atau Marchioness Fillton padanya, kedua orang itu tidak cocok menjadi orang tua. Terlalu membebaskan, tidak mengatur sikap Rubyanne dan membuat gadis itu jadi semena-mena. Aku yakin, jika Rubyanne melakukan kesalahan, orang tuanya pasti akan menutup-nutupi kesalahan putri mereka. Sekarang aku sangat mengerti mengapa Kiehl membatalkan pertunangan diantara mereka dikehidupan dulu.

"Nona Fillton, tidak bisakah Anda diam?!" Kiehl membentak. "Sifatmu itu tidak mencerminkan nona bangsawan sama sekali."

Si pakan kambing terdiam dengan manik kuning itu bergetar seolah-olah akan menangis. "Ta-tapi dia menggangguku lebih dulu. Gadis iblis itu—"

"Setidaknya, gadis yang Anda katai iblis ini memiliki derajat yang lebih tinggi daripada Anda," ujarku menginterupsi. "Atas hak apa Anda berani mengatai saya iblis? Apa Marquess dan Marchioness Fillton tidak pernah mengajari Anda etika ketika bertemu dengan seseorang yang memiliki derajat lebih tinggi?"

"Buat apa aku menghormatimu yang bahkan tidak menghormatiku?!" Ia balas membentak.

"Tidak menghormatimu? Aku tidak menghormatimu?" Tanganku langsung bersedekap dan maju beberapa langkah mendekatinya. "Saat dijamuan kemarin sore, Anda tiba-tiba menggiring antek-antek Anda untuk mengatai saya, padahal saya hanya diam dan tidak melakukan apapun. Saya juga memiliki prinsip yang sama seperti Anda. Buat apa saya menghormati seseorang yang menghina saya? Hampir sama, bukan?"

Rubyanne terlihat tertekan, bisik-bisik kian keras. Ia gelagapan. "Setidaknya aku bukanlah seorang iblis!"

Aku tergelak. "Hanya karena matamu berwarna kuning bukan berarti kau orang yang baik, Rubyanne. Kau bahkan lebih buruk dariku."

Aku kembali memprovokasinya. Memprovokasi seseorang untuk berlaku buruk dan membuat kekacauan bukanlah hal yang sulit bagiku. As you all know, I'm a demon, lebih tepatnya ada DNA iblis yang mengalir didalam darahku. Makhluk buruk rupa penghuni perut bumi itu memiliki kemampuan untuk mengendalikan sifat buruk manusia.

Mereka memprovokasi dan mengacaukan pikiran manusia untuk memciptakan kekacauan didunia. Tidak sedikit kasus pemberontakan atau genosida yang terjadi atas dasar hasutan para iblis. Kasus paling tersohor adalah genosida yang dilakukan oleh Kaisar Killion dari Kekaisaran Aupair yang menguasai benua barat.

Kaisar Killion adalah Kaisar ke-67 Aupair yang memerintah diusia yang terbilang sangat muda. Beliau terkenal dengan kepemimpinannya yang otoriter dan enggan dibantah. Ditahun ke-16 ia memerintah, beliau melakukan genosida pada salah satu kerajaan kecil yang berada dibawah kekuasaannya, yaitu Kerajaan Yixia.

Ia melakukan hal tersebut karena terhasut dan diprovokasi oleh seorang bangsawan iblis yang menyamar sebagai salah satu selirnya, Envy. Envy berkata bahwa Raja Yixia hendak bergabung dengan organisasi militer yang dibentuk oleh perkumpulan negara dibenua timur.

Saat itu Kaisar langsung mengirimkan ribuan ksatria dan menjatuhkan nukleus—bom sihir—di kota-kota yang ada di Yixia dan berhasil menewaskan lebih dari dua puluh juta jiwa penghuni Kerajaan Yixia, bahkan anggota keluarga kerajaan juga menjadi korban. Satu-satunya anggota kerajaan yang hidup hanyalah putri bungsu yang baru berusia 12 tahun dan berakhir menjadi selir putra mahkota Aupair. Perisitiwa ini terjadi 500 tahun yang lalu dan menjadi sejarah buruk bagi keturunan Yixia.

Setelah mendengar ceritaku, kalian mendapatkan bayangan betapa buruknya mulut para iblis? Hanya lewat perkataan dan hasutan, mereka berhasil membunuh lebih dari dua puluh jiwa yang tidak berdosa. Apa kabar jika mereka turun tangan? Aku yakin peradaban manusia akan langsung hancur lebur dalam waktu kurang dari sehari.

Dan tentu saja, kemampuan provokasi dan mengacaukan pikiran manusia itu juga menurun padaku. Darah iblis yang mengalir dalam tubuhku juga menginginkan aku membuat kekacauan. Sementara aku sendiri enggan membuat kekacauan dan memilih berdamai dengan dunia. Setidaknya dengan memperalat Rubyanne, aku bisa mengurangi perasaan haus akan kekacauan itu sedikit demi sedikit.

Bagaimana jika Rubyanne stress dan terkena hukum sosial? Masa bodoh, dia duluan yang mencari gara-gara denganku. Aku tidak peduli mau dia terkena hukum sosial atau apapun itu, salahnya sendiri yang asal memilih lawan.

Tatapan Rubyanne kian menajam. Kedua tangannya mengepal disamping tubuh dengan bahu bergetar. Wow, dia mudah diprovokasi, aku tebak dia pasti jarang berdoa ke kuil. Ya, memang tidak ada yang bisa diharapkan darinya.

"Kalau mau marah lihat-lihat situasi, Pakan Kambing. Lihatlah, kau menjadi pusat perhatian sekarang," ujarku sambil mengurut jidat. Aku pusing melihat kebodohannya.

"Itu semua karena kau, Jalang!" serunya nyalang.

Mataku melotot kala ia mengumpatiku, "Hei! Hei! Kau anak kecil, darimana mendengar kata semacam itu, hah? Apa Marchioness tidak mengajarimu sopan santun?"

Dari ujung mata aku melihat seorang wanita berumur mengenakan gaun berlapis-lapis tengah berjalan dengan langkah cepat. Saat Rubyanne hendak berbicara, telinganya langsung ditarik oleh wanita itu. "Rubyanne! Kau mempermalukan nama keluarga!"

Mereka berlalu pergi dengan Marchioness Fillton yang mengomel dan si pakan kambing meringis kesakitan. Dan itulah penutup drama picisan tadi, membosankan. Satu hal yang kuketahui, walaupun anak kesayangan Rubyanne masih sering diamuk oleh orang tuanya. Ckckck, kasihan.

Aku memalingkan wajah kesamping mendapati Kiehl tengah memperhatikanku. "Snow," Ia menyodorkan tangannya dihadapanku seolah-olah meminta sesuatu.

"Hah?" Dia mau apa?

Bibir Kiehl mengerucut sebal. "Sapu tangan!" ujarnya semangat.

"Aku juga ikut berburu yang ada seharusnya aku juga menerima sapu tangan." Benar, aku tidak bisa memberikan sapu tangan untuk orang lain karena aku juga ikut berburu. "Kalau mau sapu tangan, mengapa tidak menerima pemberian si Pakan Kambing tadi?"

Bibir merah Kiehl semakin mengerucut. Ia berdecak sebal sambil menghentakkan kakinya yang terlihat lucu dimataku. Tanpa sadar aku tertawa melihat tingkahnya itu. Kok aku tidak rela ya, jika dia bertunangan dengan Rubyanne?

"Aku hanya menginginkan sapu tangan darimu!" Rengekannya itu semakin membuatku gemas.

"Well, sepertinya kau tidak akan mendapatkan sapu tangan dariku selama mengikuti perburuan. Karena aku akan terus mengikuti perburuan ini," ujarku sembari menaik-turunkan alisku menggodanya.

Kiehl semakin merengek, aku hanya tertawa melihat tingkahnya yang kekanak-kanakkan itu. Dia memang masih anak kecil sih, aku bisa memakluminya.

"Halo, Nona McDeux."

Aku membalikkan badan, mendapati Adrien berdiri dibelakangku mengenakan setelan yang cukup ramai. Rambut hitamnya disisir kesamping. Dan jangan lupakan wajah datarnya yang tanpa ekspresi itu. Hei! Kau masih kecil, nikmati hidupmu, kawan!

"Segala keagungan untuk Yang Mulia Putra Mahkota," salamku dan Kiehl bersamaan.

Adrien menganggukkan kepalanya singkat lalu melihat kearahku, mengabaikan Kiehl. Barangkali keberadaan Kiehl tidak dianggap olehnya. Setahuku mereka tidak memiliki hubungan yang buruk. Dimasa lalu keduanya hanya saling menyapa formal dan berbicara saat ada keperluan. Hanya sekedar kenal sebagai sepupu lalu kembali pada kehidupan masing-masing.

Adrien meraih tanganku lalu mencium punggung tanganku yang tertutup oleh sarung tangan berwarna hitam. "Anda semakin cantik dari terakhir kali saya lihat, Nona. Rasanya sangat cocok untuk menjadi ibu negara ini."

Err ... apa dia baru saja merayuku?

"Emmh, terima kasih atas sanjungannya, Yan Mulia," ucapku dengan senyum bisnis. "Tetapi saya tidak berminat menduduki posisi itu."

"Kalau begitu posisi apa yang Anda kehendaki, Nona?"

Senyuman masih belum hilang dari wajahku. "Panglima perang, Yang Mulia."

Sebelah alis Adrien terangkat dan menatapku ragu. Barangkali perkataanku hanya sekedar guyonan baginya. "Tidak ada panglima perang yang merupakan wanita, Nona."

"Kalau begitu saya akan menjadi yang pertama," ucapku mantap.

Memangnya hanya kaum lelaki sajakah yang bisa bertarung? Walaupun mendiang Permaisuri Lylia telah berhasil mengangkat derajat perempuan, tetapi perempuan masih belum dipercayai untuk menangani masalah militer. Masih cukup banyak orang yang terjebak dengan sistem patriarki.

Sejauh ini para wanita bangsawan yang bisa berdikari mandiri hanya bergelut didunia politik atau menjadi kepala keluarga. Jarang ada yang memasuki dunia militer, jikalaupun ada, hanya sekedar menjadi prajurit bayaran tanpa bisa meraih jabatan. Dan tentu saja, hal itu akan sangat merugikan.

Adrien terkekeh yang membuatku merasa diremehkan. "Saya tidak yakin," ujarnya.

Entah atas dasar apa ia mengatakan hal itu. Terkadang aku heran, para pelayan bilang seluruh orang diibukota telah mengetahui kemampuan swordmaster-ku, tetapi mengapa masih banyak yang meragukanku? Ini aku yang terlalu percaya diri atau mulut para pelayan itu yang berlebihan?

"Barangkali Anda lupa dengan gelar swordmaster yang saya miliki, Yang Mulia. Saya mendapatkan gelar itu ketika berusia delapan tahun," ujarku cukup lantang.

Suara bisikan kembali terdengar disekitarku, membicarakan bahwa gelarku bukan sekedar rumor belaka bahkan masih ada yang mengataiku berbohong. Oh, berarti kalian mengira kemampuanku itu hanya omong kosong? Lihat saja aku akan membawa seekor harimau gunung untuk menyumpal mulut para bangsawan itu.

"Benarkah? Saya pikir itu hanya rumor yang keluar dari mulut seorang pelayan," ujarnya yang membuatku begitu kesal.

Aku menatapnya tajam lalu memalingkan wajah kearah lain. Astaga! Aku ingin meninju wajah bocah sok datar itu!

Tiba-tiba ia menyodorkan tangan kehadapanku. Keningku berkerut melihat tangan mungilnya tersodor begitu saja.

"Hah?" Sadar telah membuat kesalahan, aku langsung meralat. "Maksud saya, apa yang Anda inginkan dari saya, Yang Mulia?"

"Sapu tangan," ucapnya dengan wajah tanpa dosa.

Tadi Kiehl, sekarang Adrien. Sepertinya kalian berdua begitu terobsesi dengan barang-barang pemberianku ya?

"Tidak ada sapu tangan untukmu, dia akan berpartisipasi dalam perburuan." Bukan aku yang menjawab melainkan Kiehl. Ia berkata dengan ketus, tidak suka dengan keberadaan Adrien diantara kami.

"Anda mengikuti perburuan, Nona?" tanyanya memastikan. Takut yang dikatakan Kiehl hanyalah omong kosong semata.

Aku menganggukkan kepala, mengiyakan pertanyaannya. "Benar, Yang Mulia."

"Kau yakin?" tanyanya ragu.

Berhenti meragukanku, sialan! "Sangat, Yang Mulia," ucapku lugas.

"Entah mengapa aku yang merasa tidak yakin," ucapnya lagi yang membuatku ingin melemparnya ke empang yang ada dipojok lapangan.

"Saya bahkan bisa meraih posisi pertama dalam perburuan, jika hanya ingin menyakinkan Anda, Yang Mulia." Nada suaraku mulai bergetar karena kesal.

Ooooooohhhh~

Aku menoleh kekiri dan kekanan, memperhatikan orang yang juga memperhatikanku. Perasaanku atau mereka semua memang cukup kompak hari ini? Kompak dalam menjadikan seseorang menjadi pusat perhatian, kompak dalam melihat objek yang sama, bahkan kompak dalam membuat latar suara.

Ku sarankan kalian pergi ke Kuil Suci dan mendaftar sebagai anggota paduan suara disana. Akan kupastikan para pendeta dan paladin disana langsung menerima kalian. Siapa tahu kedepannya menjadi artis 'kan lumayan.

Lagipula apa mereka tidak memiliki pekerjaan lain untuk dilakukan? Begitu luangnya 'kah, sehingga sibuk memperhatikan dua bocah yang sedang berdebat, sementara yang satunya lagi AFK. Anggap saja kami hanyalah anak kecil yang sedang berdebat memperebutkan sejumput pasir untuk dimainkan. Intinya, berhenti memperhatikan kami!

Dari ujung mata aku juga dapat melihat Duke muda Exford—jodohnya Tania—dan ksatria Exford memandangiku. Barangkali ia merasa omonganku sebagai anak kecil terlalu berlebihan.

Adrien tersenyum menawan. "Baiklah, akan kutunggu hingga hari terakhir, Nona." Ia mendekatkan wajahnya kesamping kepalaku. "Hati-hati saat dihutan nanti."

Saat aku hendak membalas perkataannya, tubuh Adrien tiba-tiba didorong ke samping. Tadinya kukira Kiehl-lah yang mendorong Adrien, namun saat melihat Kiehl. Bocah itu baru mempersiapkan posisi ancang-ancang ingin mendorong. Pelaku utamanya adalah seorang gadis bersurai biru langit yang mengenakan gaun sewarna daun maple.

Suara terkesiap terdengar saat Adrien akan limbung, namun bisa bertahan. Ya siapa juga yang tidak terkejut, jika ada orang yang berani mendorong seorang putra mahkota alias kaisar berikutnya. Walaupun aku tidak menyukai Adrien, aku masih menghormati kedudukannya. Aku tidak mau berada dibawah pisau guillotine untuk kedua kalinya.

"Betty, kau gila?"

*****

Second Daughter of Fotherfox's March
Rubyanne Felicia Fillton
(Umur: 9 tahun)

Maaf baru update, huhu.

Jangan lupa baca cerita Orca yang lain.

Rabu, 9 Maret 2022.

Orca_Cancii🐳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top