Bab 27: Jamuan Teh Pertama dan Segera Menjadi yang Terakhir.
Burung yang berciut terdengar lebih menarik bagiku daripada para lady yang tengah bergosip ini. Disore hari yang indah seharusnya menjadi waktu paling nyaman bagiku untuk tidur sambil menunggu waktu makan malam. Dan sekarang aku malah terjebak bersama para nona manja tukang ghibah ini. Untung saja Bridget juga ikut dan duduk disampingku, kalau tidak aku mungkin sudah ketiduran disini.
Lihatlah, mereka bahkan tidak repot-repot mengajakku berbicara dan lebih memilih berbicara dengan nona muda Fillton yang sibuk membicarakan hartanya. Mereka juga sedang memojokkan anak haram seorang bangsawan bergelar Viscount yang tidak kuketahui namanya. Gadis bersurai pirang itu hanya diam sembari menundukkan kepala dalam dengan airmata menggenang disudut matanya.
Aku tidak mau repot-repot membantu, aku tidak sebaik itu untuk membantu seseorang. Yang ada, aku malah ikutan disembur oleh para anakan ular yang berkamuflase sebagai anak manusia ini. Heran, masih kecil saja sudah seperti ini, bagaimana besarnya?
Akhirnya aku hanya berbicara dengan Bridget tentang pengendalian sihir dan cara berpedang.
"Jadi bagaimana dengan kemampuan berpedangmu?" tanyaku sembari bertopang wajah.
Bridget yang tadinya sedang meminum teh langsung meletakkan cangkirnya kembali. Ia menggumam tak jelas. "Kau bisa memanggilku Betty, Snow."
Kedua alisku terangkat. "Tumben? Bukankah hanya Sophie yang kau perbolehkan memanggilmu seperti itu?"
"Tidak juga," ia melipat tangan didepan dada. "Ayahku memanggilku seperti itu, kau temanku sekarang jadi boleh memanggilku seperti itu."
Aku mengedikkan bahu. "Baiklah. Jadi ... bagaimana dengan pelajaran berpedangmu?"
"Waahh, kupu-kupunya cantik, ya?" ucapnya sambil menunjuk keatas.
"Hah?" Spontan, aku ikut mendongak, dan tidak ada kupu-kupu disana. Hanya sepasang lalat yang tengah terbang bersisian.
Tiba-tiba saja aku tersadar apa yang sedang dia lakukan. Dia mengubah topik pembicaraan. Kemampuan berpedang Bridget sangatlah buruk, mengayunkan pedang kayu saja dia kesusahan. Terakhir kali kami berlatih bersama, dia malah melemparkan pedang kayunya kekepala Kapten Pasukan Ksatria. Untung saja Tuan Kapten Pasukan Ksatria adalah orang yang penyabar, jadi dia hanya memaklumi kami dan tidak marah. Padahal Bridget— maksudku Betty membuat kepalanya benjol.
Aku meliriknya dari ujung mata dengan wajah jengkel. "Payah." Dia tidak menunjukkan afeksi apapun, hanya diam lalu meminum tehnya kembali.
Aku melihat kedepan, tepat kepada para nona-nona muda ini. Para nona itu tengah merundung nona berambut pirang tadi. Kali ini mereka benar-benar brutal, bukan hanya menyindir tetapi juga menyiram baju nona itu menggunakan teh. Dan mereka hanya tertawa ketika nona berambut pirang itu mulai menangis tersedu-sedu.
Nona berambut pirang itu sepertinya seumuran denganku. Dia hanya diam disana sambil menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Airmata mengalir dari sela-sela telapak tangannya. Bodoh, mengapa dia tidak melawan?
Betty menyolek bahuku pelan. "Hei, kau mau membantunya?" bisiknya padaku.
Aku mendekatkan tubuhku padanya, lalu berbisik, "Kau mau disembur oleh mereka?"
Betty menggeleng, menandakan dia tidak mau. Aku bersandar pada kursi lalu melipat tangan didepan dada. "Kalau begitu, aku juga sama."
Betty ikut bersandar sambil menonton para nona itu. Wajahnya terlihat datar lalu memejamkan mata. "Kapan acara ini selesai?" keluhnya.
Aku mengedikkan bahu singkat. "Entahlah, mungkin sampai nona berambut pirang itu trauma, baru acara ini selesai."
Helaan nafas panjang keluar dari bibir Betty. Ia meletakkan lengan kanannya diatas mata, menandakan dirinya sudah benar-benar lelah. Aku mengelus pundaknya pelan, menyuruhnya untuk bersabar. Sebenarnya bisa saja aku pamit duluan dengan Betty, tetapi aku masih ingin melihat bagaiman akhir nona berambut pirang itu.
Tetapi ini cukup aneh, mereka tidak menyemburku sama sekali. Baguslah, setidaknya aku bisa kembali tanpa terkena darah tinggi. Dan sialnya, Rubyanne yang memimpin penindasan itu menoleh padaku dengan senyum manis tercipta diwajahnya. Sial.
*****
Snow dan Rubyanne saling bertatapan, yang satunya tersenyum manis, yang satunya lagi menampilkan raut datar. Semua mata melihat kearah dua gadis tersebut. Mereka berpikir Snow akan menjadi bulan-bulanan Rubyanne seperti nasib para nona yang lainnya.
"Halo, Nona McDeux," sapa Rubyanne dengan senyuman manis.
"Ya," jawab Snow singkat. Gadis bersurai putih itu menggaruk ujung mata sebelah kanannya dengan jari telunjuk. Ia melirik Bridget yang masih bersender dengan lengan menutupi mata. Sial, sekutunya malah molor sekarang.
"Saya lihat Anda sangat dekat dengan Nona Havellort." Rubyanne mencoba berbasa-basi yang hanya dibahas deheman oleh Snow.
Snow hanya meneguk tehnya sambil memperhatikan pemimpin para penindas itu. Rubyanne masih menampilkan senyum manis yang memuakkan itu. Gadis itu belum melemparkan "bom" jadi Snow hanya membawa santai percakapan keduanya. Kalau sempat Rubyanne melemparkan "bom" itu dengan senang hati Snow membalasnya dengan kata-kata yang lebih pedas.
Rubyanne mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada permukaan meja. Suasana masih sunyi, tidak ada yang berbicara, bahkan suara dengkuran Bridget terdengar. Sekarang Snow mengerti, mengapa gadis berambut biru itu bisa mendapatkan julukan "Nona Kukang Pemalas". Bisa-bisanya dia tertidur dijamuan seperti ini, batin Snow.
"Omong-omong, Nona ..." Rubyanne bertopang pipi sembari memutar teh yang ada didalam cangkirnya. "... mata Anda terlihat cantik seperti ... mata iblis," lanjutnya diakhiri dengan senyuman manis.
Ooooo~
Para nona yang ada disana menutup mulut mereka sambil melirik satu sama lain lalu melirik Snow yang tengah menyesap tehnya. Jujur, perkataan Rubyanne tidak berefek apapun padanya. Dia sudah terlalu sering dan kebal dikatai seperti itu.
Mata merah = iblis. Apa tidak ada bahan hinaan yang lain?
Snow meletakkan kembali cangkirnya dengan anggun lalu bertopang dagu. Ia tersenyum manis membuat nona-nona itu saling bertatapan. Tatapan mereka menandakan kebingungan, harapan mereka adalah Snow mengamuk dan merusak acara perburuan. Dan menunjukkan sisi iblisnya, tetapi faktanya ia hanya tersenyum kepada mereka.
Telunjuk lentik milik gadis bersurai putih itu, memutari pinggir cangkir teh miliknya. Senyum manis masih terpampang diwajahnya.
"Terima kasih atas pujiannya, Nona Fillton," ujar Snow masih dengan senyuman manisnya. Senyuman manis itu lama kelamaan berubah menjadi menyeramkan, "Anda juga memiliki rambut yang cantik, sangat cocok untuk pangan kambing," desis Snow diakhir.
Rubyanne terkesiap, seumur-umur baru kali ini ada yang bisa membalas perkataannya. Melawan seorang nona yang berada diatasnya benar-benar sulit. Sama seperti Bridget yang merupakan putri Duke, Snorett juga memiliki perilaku yang tidak beda jauh. Perbedaan keduanya hanya, Snorett mau meladeni orang yang menghinanya, sedangkan Bridget tidak mau repot-repot meladeni orang yang dia anggap bodoh.
Rubyanne benci jenis nona bangsawan semacam itu. Selalu menganggap diri mereka lebih tinggi daripada yang lain. Padahal memang kenyataannya begitu. Gadis bersurai hijau tua itu berdehem.
"Tidakkan Anda merasa hal Anda katakan itu sangat tidak sopan, Nona McDeux?"
Cara paling ampuh bagi Rubyanne untuk melawan orang yang memiliki derajat lebih tinggi darinya, yaitu playing victim. Meletakkan dirinya sendiri sebagai korban dan memancing belas kasih dari orang lain untuk mendukungnya.
Snow terkekeh sembari tersenyum sinis. "Playing victim, huh? Benar-benar cara yang kuno untuk memenangkan sebuah debat, Nona Fillton. Lady Deluxe bahkan lebih baik daripada Anda. Keturunan seorang putri kerajaan memang lebih unggul daripada seorang putri bangsawan yang selalu bersembunyi diketiak ayahnya."
Wajah Rubyanne memerah, ia menekan rasa amarahnya dan masih meletakkan diri sebagai korban. "Saya tahu Anda memiliki gelar yang lebih tinggi dari saya, Nona, tetapi tidak seharusnya Anda merendahkan saya yang hanyalah putri Marquess."
"Merendahkanmu?" Snow kembali terkekeh. "Lalu apa bedanya dengan perlakuannu pada Nona Deuter? Anda berani merundungnya karena dia putri haram seorang Viscount. Tetapi apakah Anda tahu, seorang anak haram terkadang lebih mengagumkan daripada anak kandung. Contohnya adalah Anda dan Lady Deluxe, Lady Deluxe jauh lebih sempurna daripada Anda yang hanya mengetahui yang namanya gaun dan perhiasan."
Akhirnya Rubyanne meledak dalam kemarahan, ia menatap Snow nyalang. "Sayang sekali, gadis haram yang kau bangga-banggakan itu tidak akan menjadi apa-apa, karena akulah yang dipilih Ayah untuk menjadi Marchioness berikutnya!" Rubyanne memekik, membuat terkejut para nona yang lain.
Snow kembali terkekeh. "Oh, benarkah? Saya yakin seminggu setelah penobatan itu terjadi, Lady Kiana akan langsung menggulingkan kekuasaanmu," jelas Snow tajam.
Wajah Rubyanne terdistorsi, ia menundukkan kepala dalam. Kedua tangannya mengepal erat dengan gigi bergemelatuk. "Aku akan membunuhnya sebelum hal itu terjadi."
"Siapa yang mau kau bunuh, Cengeng?"
Tubuh Rubyanne seketika membeku. Ia memutar tubuhnya, mendapati sang kakak— Kiana berdiri disana dengan tangan terlipat didepan dada. Gadis bersurai hitam yang menutupi sebelah mata peraknya itu memandang Rubyanne datar nan dingin. Tunik berwarna putih dan celana kulit membalut tubuh semampainya dengan sempurna. Rubyanne benci perasaan ini, perasaan takut ketika ia bertemu Kiana. Padahal derajatnya lebih tinggi daripada gadis haram itu!
Kiana memajukan wajahnya kesamping wajah Rubyanne, membuat gadis pemilik rambut rumput itu terintimidasi. "Kau ingin membunuhku, tetapi tidak pernah merasakan dicambuk satu kalipun? Jangan harap bisa melakukannya, Adik," bisik Kiana tepat ditelinga Rubyanne.
Kiana kemudian berlalu menuju barak ksatria yang disediakan untuk para ksatria pendamping keluarga. Entah apa yang akan dilakukannya disana, pastinya apapun hal yang dilakukan gadis berumur 17 tahun itu disana, masih berkaitan dengan perkelahian dan pelatihan fisik. Seorang assasin terbaik di kekaisaran memang tidak bisa dianggap enteng.
Senyuman sinis terbit diwajah Snow ketika melihat Rubyanne yang gemetaran, hanya karena dibisiki oleh Kiana. "Kau ingin membunuhnya tetapi ketakutan ketika dibisiki olehnya? Yang ada kau yang mati sambil terkencing-kencing."
Rubyanne melirik Snow dari sela-sela rambutnya. "Diam," ucapnya intens.
"Kau menyuruhku diam?" tanya Snow sambil menunjuk dirinya sendiri. "Seorang putri Marquess— maksudku Marchioness muda yang gagal memimpin sepertimu menyuruh Grand Duchess muda untuk diam, begitu?"
Snow kembali terkekeh, kali ini meremehkan Nona Fillton tersebut. "Kau tidak akan menjadi apa-apa, Rubyanne."
Emosi Rubyanne semakin tersulut. Ia spontan menggebrak meja dengan keras membuat para nona memekik, kecuali Snow dan Bridget yang masih tertidur. "DIAM KAU!"
"Kalau aku tidak mau?" Snow masih menyulut emosi Rubyanne. Dia ingin Rubyanne mempermalukan dirinya sendiri.
BRAKK!
Meja jamuan itu dibalik oleh Rubyanne, membuat peralatan makan serta camilan dan teh itu terjatuh keatas tanah. Cangkir, piring kecil, dan barang-barang yang terbuat dari keramik pecah ketika menghantam lantai. Yang pastinya, kerugian yang dialami sangatlah banyak dan dapat membuat bangkrut seorang Viscount.
Semua orang terdiam ketika melihat Rubyanne yang menarik nafas rakus dengan tatapan benci yang tertuju pada Snow yang masih menampilkan senyum sinis. Bisik-bisik mulai terdengar, membicarakan perilaku Rubyanne yang tidak terpuji. Sebenarnya rencana Snow hanya ingin membuat gadis itu emosi, tetapi siapa sangka gadis rumput itu malah mengamuk. Yah, setidaknya jamuan teh kali ini memberikannya kepuasan.
Beidget yang sedari tadi tertidur langsung terbangun. Ia meregangkan kedua tangannya keatas sambil menguap lebar. Saat membuka mata, meja terbalik, makanan diatas tanah dan pecahan peralatan teh dari keramik bertebaran dimana-mana.
"Wow, apa yang terjadi?" Ia menoleh pada Snow yang menarik tangannya untuk menjauh dari lokasi itu. "Apa baru terjadi gempa?"
Snow mengedikkan bahu. "Tidak, hanya pakan kambing yang mengamuk."
Sebelah alis Bridget terangkat. Ia memandang temannya itu rumit lalu beralih pada tempat mereka duduk tadi yang telah jauh dibelakang. Rubyanne menundukkan kepala karena dimarahi oleh ibunya didepan umum. Akan dipastikan, pamor Rubyanne akan merosot jatuh keesokan harinya.
"Kau ... memprovokasinya hingga membalikkan sebuah meja?" tanya Bridget curiga.
"Dia termakan omongannya sendiri."
Bridget berkedip beberapa kali lalu menatap Snow kagum. "Sial! Aku melewatkan bagian terbaiknya! Kenapa kau tidak membangunkanku, Snow??!!!" Bridget mengguncang bahu Snow membuat sang empu merasa pusing.
Snow menepuk samping kepala Bridget, membuat gadis berambut biru itu berhenti mengguncangnya. "Kau saja yang kebo!"
"Aku itu sedang berfotosintesis," keluh Bridget sambil mengelus bagian kepalanya yang dipukul Snow.
Snow memandang temannya itu aneh. "Memangnya kau tumbuhan?!"
"Itu memang siklus yang dialami oleh penyihir alam!"
Dimatanya Bridget terlihat serius, jadi ia hanya bisa termangut-mangut menanggapi. "Begitu ya, aku baru tahu. Paman Sirius dan Klein juga begitu?"
"Beuhh ..., dua orang itu malah lebih kebo dariku."
Snow tertawa mendengar pengakuan tersebut yang ternyata juga tertular pada Bridget. Kedua gadis itu terlihat lebih bahagia daripada saat menghadiri jamuan yang telah hancur, jauh dibelakang mereka.
Tanpa mereka sadari, seorang gadis menatap penuh dendam dari jauh sambil mengepalkan kedua tangan disamping tubuh.
*****
Minggu, 27 Februari 2022.
Orca_Cancii🐳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top