Bab 24: Gazebo Tua dan Alfred.
Ayo, absen dulu dari planet mana! Cerita ini khusus makhluk antarplanet. Orca asal Nibiru btw.
Olympia
Luyten B
Bumi
Mars
Isi sendiri ...
Jangan lupa vote dan selamat membaca ya!
*****
"Alfred!"
Aku berlari kearahnya sembari melambaikan tangan diudara. "Alfred!" panggilku lagi.
Dari jauh, aku dapat melihat dia menampakkan ekspresi terkejut. Saat aku berhasil menapak lantai gazebo, dia langsung memundurkan tubuhnya sembari gemetar ketakutan. "K-kau siapa?!"
"Hei! Jangan panik, aku—" Tiba-tiba ia jatuh terduduk sambil meringkuk diantara pahanya. Ia mulai menangis dengan tubuh bergetar.
Reflek, aku membawa tubuh mungil itu kedalam pelukanku. Astaga dia bergetar hebat! Kurasa dia benar-benar trauma dengan orang asing. Eh, tapi aku 'kan bukan orang asing! Aku sepupunya!
"There, there." Aku mengelus kepalanya lembut dan perlahan. "Tenanglah, aku orang baik kok."
Aku merasakan pergerakan dalam pelukanku. Alfred mendongakkan kepala, menatapku dengan tatapan polosnya. Namun tetap saja, tidak ada binar kehidupan dimata itu, hanya kekosongan.
"Kau siapa?"
Suara lembut nan halus terdengar dari seorang bocah lelaki. Bocah lelaki disekitarku selalu memberat-beratkan suaranya sendiri agar terdengar seperti pria dewasa, contohnya Adrien dan Klein. Kiehl tidak, karena suara bocah itu melengking dan masih terdengar kekanak-kanakkan. Sedangkan Alfred, murni terdengar seperti anak kecil.
Aku tersenyum cerah. "Aku kakak sepupumu."
"Kakak sepupu?" Alfred bertanya dengan kepala yang dimiringkan. Aww ... so cute!
Seolah tersadar akan sesuatu. Alfred menyentakkan bahunya. Mata merahnya yang bulat membesar kemudian bergetar. Ia langsung membalas pelukanku dengan erat. "Kak Snow!"
Ia kembali terisak didalam pelukanku, namun kali ini. Semakin keras isakannya, semakin erat pula pelukannya. Aku mengelus puncak kepalanya lembut, mencoba menenangkannya. Ia mulai mengadu padaku akan perilaku buruk keluarganya.
Dikeluarga Marquess Douxine ia sering mendapatkan kekerasan dari saudara dan saudarinya disana, bahkan Marquess sendiri. Ia juga bercerita bahwa Bibi Helen tengah sakit keras dan hanya bisa berbaring diatas kasur. Aku tahu, seminggu lagi berita kematian bibi akan tersebar.
Aku membiarkannya menangis didalam pelukanku. Membiarkannya berbagi beban hidup padaku. Dikehidupan lalu aku tidak terlalu dekat dengannya. Setiap kali bertemu, dialah yang mendekatiku lebih dulu, barangkali ia merasa kami memiliki hidup yang sama. Namun, aku selalu mendorongnya menjauh, dan memberi batasan diantara kami.
Kami memiliki nasib yang sama, namun cara kami tumbuh untuk mengatasi hal itu amat berbeda. Alfred tidak mencoba mengatasi, ia membiarkan dirinya dikambinghitamkan lalu mati dengan cara yang menyedihkan. Sedangkan aku berusaha menyelesaikan semua masalah itu dengan cara yang salah dan berakhir dengan kematian pula. Setidaknya akhir kehidupan kami sama.
Sama-sama menyedihkan.
Setidaknya dikehidupan ini, aku akan membantunya dengan menjadi sandaran untuknya. Well, sepertinya aku memiliki tujuan baru.
Alfred telah berhenti menangis. Kami sekarang tengah memandangi langit malam dari dalam gazebo. Gazebo tua berwarna putih, yang mana disetiap pilarnya melilit tanaman merambat yang mengkilat ditutupi embun. Aku bertanya-tanya, bagaimana cara dia menemukan tempat ini?
"Jadi ... apa kau lakukan disini, Al?"
Al, panggilan baruku untuknya.
"Bermain."
Ia menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari langit. Aku baru sadar, dia menatap langit dengan mata yang bergulir, seolah-olah mencari seuatu. Kepalaku kembali mendongak kearah langit, ikut mencari apa ada yang janggal diatas sana.
"Bermain apa?" tanyaku sembari melihat langit.
Ia diam, tidak menjawab. Barangkali pertanyaanku tidak berarti baginya daripada sesuatu yang ia cari itu. Tiba-tiba suara siulan terdengar dari segala arah diikuti dengan Alfred menunjuk langit. "Itu."
Manik mataku melebar dengan pupil yang mengecil. What the hell?!
Sesuatu seperti serangga dengan sayap seperti capung berterbangan diatas kami. Seluruh tubuh makhluk itu memancarkan cahaya berwarna kuning seperti kunang-kunang. Itu pixie! Lebih tepatnya pixie musim panas!
Para pixie itu berterbangan disekelilingku dan Alfred. Pergerakan mereka cepat, lebih cepat daripada pixie musim semi. Mereka terbang dengan kecepatan tinggi disekitarku dan Alfred.
"A-al ..." ucapku agak panik dengan pergerakan cepat para pixie ini.
Tiba-tiba saja pergerakan para pixie itu berhenti. Mereka masih terbang disekitar kami, tetapi tidak menciptakan pergerakan apapun. Satu persatu para pixie itu bersiul.
"Oh no ..." Alfred langsung jongkok sembari menutup kedua telinganya. Aku spontan langsung mengikuti apa yang Alfred lakukan.
Siulan para pixie itu awalnya terdengar merdu, tetapi semakin lama siulan mereka berubah melengking. Gendang telingaku terasa ingin pecah mendengar siulan yang amat melengking itu. Angin bertiup disekitar kami menyebabkan daun-daun pohon kelapa bergerak kesana kemari. Bahkan, aku mendengar suara benda jatuh yang cukup keras, yang kuduga adalah buah kelapa.
Aku mengintip sedikit, sebuah bola cahaya berukuran besar memancarkan warna kuning terang. Bola cahaya yang sama persis seperti milik Cerelia saat ia akan muncul. Selama satu menit kejadian itu belum selesai, lalu pada menit ke lima belas barulah bola itu menyusut membentuk tubuh seorang gadis bertubuh mungil.
Gadis itu memiliki rambut berwarna pirang cerah yang cantik, diikat cepol dua dengan berbagai macam kerang sebagai hiasan rambutnya. Matanya berwarna biru langit yang bulat dan penuh binar. Pipinya tembem dan berwarna kemerahan, serta terdapat lesung pipit ketika ia tersenyum. Ah, dia juga memiliki dua gigi gingsul yang manis.
Pakaian minim bernuansa laut dengan warna kuning terang dan biru membalut tubuh mungil gadis cantik itu. Dibelakang tubuhnya, terbentuk dua pasang sayap transparan seperti capung, yang diujung sayapnya terdapat bintik-bintik hitam bercampur kuning. Ia terbang diantaraku dan Alfred. Hanya dengan sekali lihat, aku langsung tahu siapakan gadis itu. Dia Brooke si Peri Musim Panas.
Dia dan Cerelia sangat berbeda
Air mata bercucuran dari sepasang manik biru tersebut. "Hueee, aku sedih dengan kisah kalian." Ia merengek yang diikuti oleh para pixie yang juga menangis.
Alfred berdiri lalu menepuk-nepuk pundak Brooke pelan. "Cupcupcupcup, jangan menangis Brooke, nanti kamu masuk angin."
Aku hanya terdiam melihat interaksi Alfred dengan Brooke. Dengan sekali lihat, aku tahu bahwa mereka telah bertemu lebih dari sekali. Perasaanku ya, atau setiap bocah yang ada didekatku, pasti kenal dengan para seraphine ini. Aku beruntung atau bagaimana.
Brooke menunjuk kearahku. "Kau!"
"A-apa?" Apa-apaan peri ini?
Brooke terbang dengan kecepatan tinggi lalu berhenti tepat didepan wajahku. Kedua tanganku melindungi wajah, terkena terpaan angin yang berasal dari Brooke. Saat aku membuka mata, wajah cemberut gadis itu terpampang tepat didepan wajahku. Ia berkacak pinggang dengan tubuh agak membungkuk dan sayap yang mengepak.
"Bisa-bisanya kau mengabaikan Alfred-ku yang manis! Kau sebagai seorang kakak seharusnya menemaninya!" ujarnya menggebu-gebu.
Hah? Aku berdehem lalu menatapnya datar. Ia terlihat gentar, Brooke terbang mundur menjauhiku sebanyak satu meter. "Hiii, kau seperti Aether, namun dengan raga Snowlet," komentarnya.
"Dengar ini, Nona Brooke, aku tidak bermaksud menjauhi Alfred. Aku dan dia memiliki kehidupan yang hampir sama. Kehidupanku diliputi perundungan dan kepergian orang-orang terdekatku. Hal itu membuatku trauma dan menolak orang-orang yang mencoba dekat denganku, termasuk Alfred."
Brooke terdiam, ia menatapku lekat dengan kedua matanya yang bulat. Ia langsung memalingkan kepalanya sembari berkacak pinggang. "Alasan!"
Kemudian ia terbang menjauh, menghampiri Alfred. Helaan nafas panjang keluar dari mulutku. Berbeda dengan Cerelia yang anggun dan angkuh, Brooke adalah peri yang hiperaktif dan enerjik. Lihatlah caranya terbang, dengan dua pasang sayap seperti capung. Ia dapat terbang dengan kecepatan tinggi dan melakukan berbagai macam manuver.
Kini ia tengah terbang mengitari Alfred, membuat sepupuku tersenyum senang. Tidak ada satupun pixie yang mendekatiku, semuanya lebih memilih menempel pada Alfred. Barangkali mereka dendam padaku karena selalu mengusir Alfred menjauh.
Tawa Alfred terdengar riang dan ceria. Barangkali, ia amat senang bisa bertemu dengan Brooke dan bermain dengannya. Senyuman tipis terukir diwajahku saat melihat percikan kehidupan dimanik merah Alfred.
Ya, setidaknya dia bahagia sekarang, walaupun hanya sesaat.
*****
Sudah lewat seminggu semenjak aku pulang dari Pulau Alulu. Banyak hal baru yang kutemui dan tidak berkaitan dengan kehancuran. Semua yang kutemui cenderung unik dan indah. Mulai dari kerang-kerang berbentuk unik yang kudapatkan dipantai saat berenang. Oh iya, aku juga membawa beberapa bibit bunga yang tumbuh di musim panas. Aku mendapatkannya dari Viscountess Toria yang merupakan istri pemimpin wilayah Alulu dan salah satu teman dekat Ibunda Lily.
Ia mengantongiku beberapa bibit bunga candytuft, asters, serta catmint. Semua bunga itu hanya bisa tumbuh di musim panas. Jadi aku menanamnya ditaman yang ada digedung tempatku tinggal dulu. By the way, taman ini sekarang diberi nama Taman Snowy. Karena taman itu adalah milikku jadi harus berunsur namaku.
Oh, ya bangunan tua tempatku tinggal dulu telah direnovasi oleh Ayah. Ia membuat bangunan itu menjadi sebuah villa, bahkan ia juga membangun sebuah kolam tepat disamping taman. Sebuah kolam tanpa ikan, kira-kira aku harus mengurus kolamnya dengan ikan apa? Piranha atau hiu cookiecutter?
Lupakan, mari kita fokus bercocok tanam. Kini aku tengah menanam bibit bunga candytuft. Saat tumbuh nanti, bunga ini akan memiliki mahkota bunga sebanyak 11-15 helai, bahkan lebih. Warnanya putih, bentuknya hampir mirip dengan bunga matahari tetapi lebih kecil. Bentuknya pasti akan imut.
Dengan ditemani Sophie pelayan pribadi kami, aku menanam bibit-bibit ini. Cerry terlihat menggali tanah dengan sebuah sekop besar dan berat bersama seorang pelayan berpenampilan tomboy, yang merupakan pelayan pribadi Sophie.
By the way, Rachett dan Elina telah kembali dari akademi untuk liburan musim panas. Mereka sekarang tengah memilah bibit bunga bersama pelayan Sophie. Dari jauh pun terdengar jelas mereka tengah bergosip, membicarakan seorang pewaris Duke of Exford yang katanya sangat tampan. Aku melirik Tania yang ada disampingku. Lihatlah, bahkan calon istrinya dimasa depan tidak terlihat tertarik sama sekali dan sibuk membantuku memupuk tanah. Aku jadi ingin tahu bagaimana cara mereka bertemu dimasa depan.
Ah iya, aku belum memperkenalkan pelayan pribadi Sophie kepada kalian. Sophie memiliki empat pelayan pribadi, rata-rata dari mereka memiliki usia yang tidak beda jauh dengan Cerry.
Yang pertama adalah Yeri Shin, seorang gadis dari rakyat jelata. Rambutnya cokelat tua dipotong pendek seperti laki-laki. Matanya sipit dengan manik berwarna hijau. Sifatnya tidak beda jauh dengan Cerry, malah terkadang salah panggil. Dulu, dia orang paling terdepan menjaga Sophie, bahkan rela mati untuknya. Sangat loyal.
Kedua, Lady Olivia Sherian Petrocoan, putri kedua Earl Petrocoan. Rambutnya berwarna ungu pastel yang selalu diikat cepol dan mata berwarna kuning pekat. Dia sering adu pendapat dengan Elina kemungkinan juga rival, bahkan pernah hampir jambak-jambakkan hanya karena membahas kuda bisa berenang atau tidak. Dimasa depan dia akan menikah dengan Earl Kenedict of Stewards dan menyandang gelar Countess of Stewards.
Note: Untuk jabatan bangsawan yang cuma kusebut marga doang tanpa ada nama wilayah, berarti jabatannya cuman sekedar gelar aja tanpa wilayah atau pekerjaan yang berarti dipemerintahan. Dan gelar itu gak bisa diturunin turun temurun, karena cuman sekedar gelar doang.
Ketiga, Kayla Nichole seorang gadis dari rakyat jelata yang pendiam dan tidak banyak berbicara. Rambut pendek sebahu berwarna oranye seperti warna matanya. Dimasa depan ia akan menjadi seorang alkemis dan menikah dengan Earl of Rewatlis.
Dan yang terakhir, gadis satu ini pelayan yang paling kubenci. Dia adalah Lady Serra Torri Fisher, putri sulung Baron Fisher. Serra salah satu orang yang paling kubenci dikehidupan lalu, karena sering merundungku saat di akademi. Dia dua tahun lebih tua dariku, rambutnya berwarna hijau dan mata berwarna aquamarin seperti Olive. Ya, dia memang anaknya Olive si Kepala Pelayan. Tetapi sekarang, dia tidak mengganggu ataupun merundungku, akhir-akhir ini dia sering mencoba mengajakku mengobrol. Aku tidak tahu akan jadi apa dia dimasa depan, karena dia mati terbunuh olehku seminggu setelah merundungku.
Aku kali ini tengah membuka karung tipis yang menjadi wadah bibit bunga asters. Viscountess Toria bilang asters yang ia berikan dominan dengan warna ungu. Aku suka melihat bentuknya ketika mekar nanti. Di kebun milik Viscountess dipenuhi bunga ini dan terlihat cantik ketika dilihat.
"Kak, kenapa kakak menanam catnip? Kakak mau memelihara kucing?" tanya Sophie membawa sebuah bibit catmint.
Hah? Catnip? "Itu namanya catmint Sophie bukan catnip," sanggahku.
Aku punya pengalaman buruk dengan yang namanya kucing. Jadi aku menghindari segala hal yang berhubungan dengannya, kecuali ikan. Tentu saja aku tidak terima ketika tanaman cantik berwarna ungu itu disebut sebagai tanaman yang berhubungan dengan kucing itu.
"Lalu apa bedanya?" Sophie bertanya balik.
"Tentu saja beda, itu catmint bukan catnip," sanggahku masih berdiri dengan pendirianku.
"Sama!"
"Beda!"
"Sama!"
"Beda!"
Pertengkaran "Sama-Beda" kami bertahan hingga 10 menit kedepan. Para pelayan terlihat gemas dengan interaksi kami. Sampai suasana hangat itu berubah mencekam, ketika Sophie tidak sengaja menggores tangannya sendiri dengan sekop kecil saat menggali tanah.
Kami semua terdiam saat darah mengalir dari sela-sela jari Sophie. Sophie sendiri memperhatikan tangannya dengan tatapan polos dan penuh ingin tahu.
Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan nyaring yang membuatku terkejut. Suara teriakan itu berasal dari Serra, yang sekarang telah berlari memasuki kediaman utama dan meneriakkan nama tabib keluarga. Teriakan Serra juga memancing kepanikan para pelayan yang lain yang ikut kocar-kacir kesana-sini. Hanya beberapa saja yang tetap tenang dan membantu Sophie.
Kuraih telapak tangan yang seputih porselen itu telah dinodai dengan darah. Sebuah goresan yang berukuran sedang tercipta ditelapak tangan itu. Kulihat ekspresi Sophie yang terlihat biasa saja.
"Apa sakit?" tanyaku.
Ia menggeleng lalu tersenyum tipis. "Tidak, rasanya nyaman."
Rahangku terasa ingin jatuh ke tanah. Tidak mungkin 'kan, jika adikku yang manis ini masokis?
*****
Fairy of Summer/Seraphine of Summer Pixie's
Brooke
(Umur: -)
Mon maap kalo lama up-nya. Orca akhir-akhir ini agak gak enak badan😞💔
Sabtu, 19 Februari 2022.
Orca_Cancii🐳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top