Bab 17: Penyesalan Grand Duke Alex.
"Akhirnya datang juga kau, anak sialan!"
Wow, penyambutan yang sangat bagus. Setelah putri sulungmu ini menghilang selama seharian penuh; melewatkan makan siang dan makan malam, bahkan aku tidak sempat minum saat baru datang tadi. Dan kau malah mengatainya "anak sialan"?
Woah, contoh-contoh ayah yang sangat berbakti sekali ya, kawan-kawan. Kupastikan pelayan yang melahirkanmu itu sangat bangga. Tentu saja dia bangga, kau mengikuti jejak ayahmu yang selalu membeda-bedakan darah dagingnya sendiri. Memang ya, buah itu jatuh tak jauh dari pohonnya. Untung saja aku mengikuti jejak ibu bukan kau.
"Segala keagungan untuk Yang Mulia Ayahanda," ujarku penuh hormat dengan membungkukkan badan dan tangan mengangkat ujung gaunku.
"Kenapa kau tidak mati saja diluar sana, hah?!!" satu umpatan kembali terdengar dari congor iblis itu.
Aku yakin mataku mulai berkaca-kaca. Man, this is hurting my heart so much. Jujur, melupakan cintaku terhadap Adrien lebih mudah daripada melupakan harapanku terhadap Ayah.
"Ada apa Yang Mulia Ayahanda memanggil saya?" ucapku setenang mungkin, menutupi rasa sesak akibat umpatannya.
Okay, mungkin terdengar bodoh saat aku mengharapkan sesuatu yang sudah pasti tidak bisa aku dapatkan. But ... hear me out, bayangkan saja kalian seorang gadis kecil yang ingin merasakan kasih sayang seorang ayah, tetapi ayah kalian malah seperti ... you know-lah. Bukankah itu membuat kalian sakit hati?
Tetapi entah mengapa hal itu tidak membuatku benci padanya. Aku malah terkesan mencoba abai tetapi masih berharap, mengerti tidak?
Apa ... apa aku salah jika mengharapkan kasih sayang dari ayahku sendiri? Aku tahu dia takkan pernah membuka hatinya padaku, hanya saja salahkah jika aku sedikit berharap?
Kenapa aku dibedakan dengan Sophie, aku jugalah putrinya. Aku juga darah dagingnya. Kami berbagi DNA yang sama. Tetapi mengapa aku selalu dibedakan? Apa itu memang tradisi dalam keluarga ini? Dadaku terasa sesak setiap kali memikirkan hal ini. Like, why?!
Terkadang aku ingin seperti gadis lain, dimana ayah mereka adalah cinta pertama mereka. Tetapi dengan ayah yang seperti ini bisakah aku mendapatkan hal itu? Aku merasa pepatah "darah lebih kental daripada air" itu sangatlah salah. Kalau memang benar, mengapa saat aku dieksekusi dulu ayah tidak membantuku malah memberatkan hukumanku?
"Semua kesialanku memang berasal dari kau!"
Oh, great! Kau menyalahkan seorang anak kecil yang bahkan tak mengerti apapun. Bagus, bagus, sungguh sifat seorang pria dewasa. Lagipula kau menyalahkanku kesialan atas apa, hah?! Eh, sebentar!
Setelah kutelisik lebih lanjut dengan penampilan Ayah. Emm ... ada benjolan berwarna ungu yang cukup besar didahi sebelah kiri ayah dan sebuah memar kemerahan dipipi sebelah kanannya. Apa dia baru saja diseruduk banteng?
"Karena anak sialan sepertimu! Aku harus dipukuli oleh Lily lagi!" kali ini Ayah menaikkan suaranya, bahkan hidungnya kembang kempis menahan amarah.
Aku mengulum bibirku saat mendengar umpatan yang satu itu. I see ... dia baru saja berbaku hantam dengan Ibunda Lily. Aish, sudah dua kali aku melewatkan pertempuran epik semacam ini. Kapan lagi coba? Bisa melihat wanita anggun seperti Ibunda Lily menyerang seseorang dengan brutal. Apalagi targetnya itu pria dihadapanku ini.
Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya ini bukan pertama kali aku melihat Ayah dalam keadaan lebam-lebam, kecuali untuk yang kemarin. Dulu, atau beberapa bulan yang lalu atau mungkin setiap aku menangis karena Ayah. Ayah selalu berakhir dengan kepala diperban atau wajah membiru. Aku selalu melihatnya seperti itu saat berada dimeja makan.
Dulu aku pikir Ayah didatangi oleh pembunuh bayaran atau semacamnya, tetapi aku sekarang tersadar. Dari dulu Ibunda Lily selalu memukuli Ayah. Ini lumayan masuk akal karena Ayah selalu mendapatkan lebam atau luka sehabisnya dimemarahi atau mengumpatiku. Wow, amazing!
"Aku heran mengapa Lily selalu membela anak iblis sepertimu. Kau bahkan tidak seharusnya hidup!"
Oke, itu sudah sangat keterlaluan. "Aku juga tidak meminta untuk dilahirkan."
"APA KAU BILANG??!!!"
Spontan, aku menghela nafas lelah. Kudongakkan kepalaku tepat kearah Ayah yang terlihat pias. Wajahnya terlihat merah, bahkan memar kemarahn dipipinya tidak lagi terlihat karena menyatu dengan warna kulitnya itu. Dia semakin terlihat seperti iblis, apalagi ada benjolan didahinya, seolah-olah akan tumbuh tanduk didahinya itu.
"Sampai kapan Ayahanda akan seperti ini?"
Wajah Ayah masih pias tetapi aku bisa melihat kebingungan dimatanya. "Maksudmu?"
"Ayahanda, dengarkan aku baik-baik." Aku menghela nafas sejenak lalu mulai berkata, "Saya tak pernah meminta untuk dilahirkan didunia ini jika hanya untuk dibenci. Saya tahu Anda telah menyebarkan rumor buruk tentangku saat diibukota, bukan?"
Ayah tidak mengatakan apa-apa, ia hanya diam. Wajahnya sudah tidak lagi terlihat marah, namun sebagai gantinya sepasang manik safirnya menatapku tajam.
"Mengapa Ayahanda melakukannya?"
"Karena kau pantas mendapatkannya," ujarnya angkuh.
Aku memalingkan wajahku ke samping, sebisa mungkin menahan agar air mata tidak jatuh dari pelupuk mataku. Lalu aku kembali menatap lurus kearahnya. "Atas dasar apa Anda berpikir saya pantas mendapatkannya?"
"Karena kau telah menyakiti putriku, tentu saja. Tidak tahu malu kau mempertanyakan kesalahan yang sudah jelas kau ketahui!"
Aku terkekeh pelan, namun entah mengapa air mata ini semakin ingin menyeruak begitu saja. "Kalau begitu kenapa Anda tidak menghukum diri Anda sendiri?"
"Hah?"
"Saya juga putri Anda, mengapa Anda tidak menghukum diri Anda sendiri?"
Ayah menyipitkan matanya, memandangku sinis. "Kau bukan putriku, kau putri wanita iblis itu!"
"Memang benar saya putri Ibunda Hailey, tetapi saya tidak akan tercipta tanpa adanya Anda, bukankah begitu?"
Ayah tergelak pelan, ia bangkit dari kursi kebesarannya lalu berjalan kearahku. Tubuh besarnya itu berdiri tepat dihadapanku, membuatku terlihat amat kecil dibayangannya. Kepalanya menunduk dengan mata sewarna biru langit itu menatapku penuh cemooh.
Kukepalkan kedua tanganku, menahan diri agar tidak gemetar dihadapannya. Kepalaku mendongak kearahnya, membalas tatapan itu dengan dingin. Sontak, Ayah langsung tergelak kencang seolah-olah baru saja melihat pertunjukan badut. Tubuhku kian gemetar melihat reaksinya itu. Perlahan Ayah membungkuk kearahku, tubuhnya bergerak mendekati telingaku. Ia membisikkan suatu, sesuatu yang membuatku sangat kecewa terhadapnya.
"Bisa saja ibumu mengangkang untuk pria lain, bukan?"
Plak!
Tanganku bergerak dengan sendirinya, menampar wajah Ayah dengan keras. Wajah tampan Ayah terlempar kesamping, pria itu kembali melihatku dnegan tajam. Giginya bergemelatuk geram saat melihatku.
"Kau!"
Ia langsung mendorong tubuh mungilku dengan keras keatas lantai. Aku masih sangat terkejut dengan perkataannya dan perbuatanku tadi, akhirnya tidak bereaksi apapun. Rasa sakit mendera tubuh bagian bawahku, diikuti dengan rasa sakit yang mengenai paha serta punggungku. Benar, Ayah menendang tubuhku berulang kali.
Rasanya amat sakit, namun tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis dan terisak kencang. Berkali-kali aku mengumandangkan kata-kata yang menyuarakan kematian. Sungguh, walaupun banyak orang yang menyayangiku, rasa sakit hati dan kecewaku lebih besar daripada keinginan untuk hidup. "KEMBALIKAN AKU PADA IBUKU!!! KEMBALIKAN!!!!! BUNUH AKU, AYAH!!! BUNUH AKU!!! BIARKAN AKU MATI DAN BERTEMU IBU!!!!"
Sesaat aku tidak lagi merasakan tendangan Ayah ditubuhku. Kucoba mendongak kearahnya, disana aku melihat Ayah terlihat tertegun ditempat sembari melihat kearahku.
Suara pintu terbuka dibanting dengan keras membuatku dan Ayah amat terkejut. Kucoba menoleh kearah pintu berada, namun aku tidak memiliki kekuatan lagi untuk bergerak. Aku bisa merasakan seseorang memelukku dengan hangat lalu menggendongku. Samar-samar aku juga mendengar suara tamparan dan pukulan, sebelum akhirnya kegelapan melingkupi mataku.
*****
Dentingan jam terdengar keras memenuhi ruangan tersebut. Ruangan itu terlihat remang-remang karena hanya ada beberapa lilin diatas meja yang menjadi sumber penerangan. Seorang pria dengan surai putih bersih duduk disebuah sofa dipojok ruangan. Tangannya tersemat sebuah cerutu yang diarahkan pada bibirnya yang membengkak dan berdarah. Segumpal asap keluar dari mulutnya saat ia bernapas.
Pria itu melihat kearah jam yang telah menunjukkan pukul 12 malam. Manik sewarna safir itu beralih kearah jendela yang terbuka lebar, menunjukkan pemandangan langit malam yang dipenuhi bintang. Tak lupa angin malam bertiup, masuk melalui jendela menerbangkan gorden yang terpasang menjulang disetiap sisi jendela. Matanya menerawang pada langit yang dipenuhi bintang yang berkelap-kelip, sangat indah. Berbanding terbalik dengan penampilan pria itu.
Pria itu adalah Alex. Wajah Alex terlihat dipenuhi lebam berwarna biru dan merah yang mengembang seperti kue bakpao. Plester dipasang dimana-mana mencoba menutupi luka diwajah pria berkepala dua itu.
Note: Umur para ortu disini kuubah, soalnya ketuaan aja gitu kesannya.
Rasa sakit yang ditimbulkan dari setiap luka itu tidak berdampak apa-apa padanya, justru hatinya terasa sesak saat ini. Dan penyebabnya adalah Snorett.
Ia juga bingung, kenapa dirinya merasa bersalah pada gadis iblis itu? Seharusnya ia marah pada Snorett karena telah membuat Lilianne memukulinya lagi dan menyebabkan luka-lukanya semakin parah. Tetapi yang ia rasakan malah perasaan yang amat menyesakkan. Terlebih lagi saat ia melihat Snorett yang menangis pilu diatas lantai dengan keadaan yang mengenaskan dan meneriakkan keinginan untuk mati.
Selama ini, ia tak pernah melihat Snorett menangis setiap kali ia pukuli atau tendang. Tentu saja, itu bukan pertama kalinya Alex melakukan tindakan kekerasan kepada Snorett. Dan setiap kali hal itu terjadi, Snorett selalu menahan rasa sakit itu dan tidak pernah menangis. Gadis itu selalu menahannya sendirian, menahan segala luka dan cemoohan dalam tubuh kecil nan rapuh itu. Sesaat, Alex merasa dirinya sangat bodoh dan brengsek.
Otaknya berpikir, selama ini Snorett tidak pernah melakukan kesalahan apapun padanya begitupula dengan Hailey. Kedua perempuan itu bahkan tidak ingin berada disisinya. Ia tahu Hailey jatuh cinta pada pria lain dari kerajaan seberang, namun sayangnya gadis itu diperalat oleh sang ayah dan dinikahkan dengannya.
Saat mereka masih muda, Alex berteman baik dengan Hailey karena Hailey adalah sahabat kekasihnya. Dia dan Hailey tidak terlalu akrab saat bertemu pun karena ketidaksengajaan saat ia hendak menemui Lilianne saat masih di akademi. Saat bertemu mereka hanya bertukar salam, berbasa-basi singkat, dan saling melontarkan senyum formal. Lalu kembali pada urusan masing-masing tidak ada yang spesial.
Suatu hari, Earl Marcail tiba-tiba mendatanginya dan mengatakan omong kosong dan bukti palsu bahwa keluarga McDeux memiliki hutang yang amat banyak pada keluarga Marcail. Alex tidak sebodoh itu, ia sangat tahu semua perkataan sang Earl itu adalah omong kosong. Tetapi saat Earl menyinggung soal pernikahannya dengan Hailey bisa menyelesaikan masalah. Suatu ide gila memasuki otaknya.
Ia berpikir ingin membantu Hailey untuk lepas dari Earl of Grey dengan cara menikahinya kemudian membawa gadis itu ke kerajaan seberang. Dan membawanya menemui pujaan hati perempuan bermata merah itu lalu menceraikannya disana. Ia murni hanya ingin membantu Hailey karena wanita itu adalah sahabat dari kekasihnya yang amat ia cintai.
Alex masih ingat saat Lilianne menceritakan segala kemalangan Hailey karena keluarga Marcail sambil menangis tersedu-sedu. Ia hanya bisa mendengarkan dan menenangkan Lilianne, didalam hatinya ia juga merasa kasihan sekaligus kagum pada sosok Hailey.
Gadis bermata delima itu tangguh namun rapuh disaat yang bersamaan. Disaat ia mendapatkan cemoohan dari orang luar tentang mata merahnya, ia juga mendapatkan tekanan dan perlakuan tak baik dari keluarganya. Tetapi Hailey tetap menjalani hidupnya walau diterpa berbagai macam badai dan bencana. Dirinya seperti bunga mawar damaskus yang tumbuh dipegunungan Creoline, indah, rapuh, sekaligus tangguh.
Alex teringat dengan ekspresi Hailey saat ia berkata akan membantunya lepas dari Earl Marcail. Gadis itu menangis haru lalu memeluknya secara tiba-tiba. Hailey terus mengucapkan terima kasih dengan tulus didalam pelukannya sambil terisak. Ia tahu Hailey memeluk Alex bukan atas perasaan sayang terhadap seorang kekasih, melainkan perasaan sayang seorang adik kepada kakak lelakinya.
Dihari pernikahannya segalanya sangat lancar, keduanya menjalankan rencana dengan sempurna. Namun setelah seminggu sifat Alex berubah, dia tidak lagi menjalankan rencananya untuk membantu Hailey malah semakin menyiksa gadis itu melebihi cara ayahnya menyiksanya. Bahkan Alex tak segan-segan memperkosanya hingga membuat Hailey kehilangan harapan terhadap kehidupan. Yang Hailey ketahui, sikap Alex mulai berubah ketika Lilianne memutuskan hubungan mereka.
Alexander menggeram keras saat memikirkan masa lalunya. Kenapa ia baru teringat dengan rencana itu sekarang. Seharusnya ia tetap membawa Hailey ke Kerajaan Nevoir lalu menceraikannya disana dan kembali menyakinkan Lilianne untuk kembali kepadanya. Bukannya malah menyiksa Hailey dirumahnya, hingga anak gadis itu.
Kedua tangan Alex tak henti-hentinya memukul kepalanya sendiri. Bayangan seorang gadis berumur dua tahun berambut pendek memiliki warna yang sama dengannya, manik gadis itu berwarna merah bulat dan besar memenuhi pikirannya. Gadis kecil itu adalah Snorett, putrinya dengan Hailey.
Snorett saat itu baru bisa berjalan dengan lancar walau agak tertatih-tatih langsung menemuinya. Seingatnya, Snorett dulu terlahir prematur karena dilahirkan saat Hailey baru mencapai kehamilan tujuh bulan. Karena itulah pertumbuhannya tergolong lambat dan baru bisa berjalan saat berusia dua tahun.
Alex masih mengingatnya, saat itu ia tengah merapikan berkas-berkas ia gunakan untuk menjatuhkah keluarga Attrios. Seorang malaikat kecil dengan gaun putih polos selutut masuk kedalam ruang kerjanya. Wajah Snorett kala itu terlihat polos tanpa dosa, seperti kertas putih yang belum dijatuhi noda sedikitpun. Gadis kecil itu tiba-tiba memanggilnya dengan sebutan "Papa" dengan suara cadel yang imut.
Namun yang Alex lakukan setelah itu malah menorehkan tinta hitam paling besar pada sosok Snorett kecil. Pria itu melontarkan kata-kata kasar dan umpatan yang seharusnya tidak boleh didengarkan oleh anak kecil. Snorett kecil hanya bisa terdiam dengan mata bulatnya yang bergetar, dikala sang ayah mengatainya "Anak iblis".
Alexander kembali mendongakkan kepalanya keatas. Air mata terlihat menganak sungai dikedua belah pipi pria itu. Ia menangis sekaligus tertawa saat mengingat segala kebodohannya selama ini dengan ditemani oleh sunyinya suasana malam. Sekarang ia tersadar, dirinya sama brengseknya seperti sosok yang paling ia benci dimasa lalu, Grand Duke Ophien, ayahnya.
*****
Pintu kamar Snorett terbuka dengan perlahan, menampakkan wujud seorang pria dengan rambut putih yang mengenakan baju tidur dengan bagian dada terbuka. Pria itu kembali menutup pintu dengan pelan lalu berjalan kearah kasur yang berisi sesosok gadis kecil berumur 10 tahun yang tertidur dengan lelap.
Manik safir pria itu memindai setiap sudut kamar milik Snorett. Kamar itu didominasi dengan warna merah, krem, dan putih yang terkesan elegan. Sangat luas, sama luasnya dengan kamar putri keduanya. Dia bersyukur Lilianne dan Sophia tidak bersikap seperti para ibu dan saudara tiri yang senang merundung anak atau saudara tiri mereka.
Setelah berada disisi kasur Snorett, Alex memindai tubuh putri sulungnya itu sejenak sebelum akhirnya mendudukkan diri diujung kasur milik putrinya itu. Manik safirnya memandang lekat wajah putrinya yang tengah tertidur pulas. Bentuk mata tajam dan hidung mancung yang sama seperti miliknya. Yang diturunkan oleh Hailey pada Snorett hanyalah bibir kecil berwarna merah muda yang penuh. Dan bisa-bisanya ia berkata Snorett bukanlah darah dagingnya.
Tangan Alex bergerak mengelus puncak kepala Snorett dengan lembut. Sebelum akhirnya turun mengelus dahi gadis itu. Alex mendekatkan wajahnya pada jidat putrinya itu, perlahan ia menurunkan tubuhnya hingga bibirnya menyentuh dahi milik putri sulungnya. Kecupan lembut ia berikan sebelum akhirnya ia tarik kembali tubuhnya.
Tangannya masih mengelus puncak kepala Snorett dengan lembut. Sementara matanya memindai, mencari apakah ada luka pada tubuh Snorett. Ia menurunkan selimut Snorett hingga keperut dengan perlahan. Matanya menangkap perban yang menyembul dibalik gaun tidur gadis itu.
Alex menyingkap sedikit bagian gaun Snorett pada bagian pundak, hingga menampakkan pundak milik gadis kecil itu yang terbungkus perban. Alex meringis saat melihatnya, tangannya beralih mengelus punda putrinya lalu memberi kecupan ringan disana. Setelahnya ia kembali membenarkan gaun Snorett lalu menaikkan lagi selimut hingga menutup leher gadis kecil itu.
Kini dirinya beralih memeriksa kaki Snorett. Seingatnya Snorett terlahir prematur, namun diumur empat tahun gadis itu telah memaksakan diri untuk berlatih berpedang. Ia takut kaki putrinya itu mengalami kelainan karena harus menahan beban yang tidak seharusnya saat diumur yang amat mudah. Bahkan Snorett baru bisa berjalan dengan lancar ketika berumur dua tahun. Lagi-lagi Alex merutuki dirinya sendiri.
Alex menyingkap selimut yang menutupi kaki sang putri. Ia kemudian meraih kedua telapak kaki putrinya itu lalu menyamakan keduanya. Saat masih di akademi, Alex sebelumnya pernah mempelajari yang namanya ilmu penyembuhan tulang yang disebut chiropractic. Dan yang saat ini ia lakukan adalah memeriksa apa kaki Snorett panjang sebelah atau tidak.
Alex mengumpat pelan ketika melihat perbedaan panjang kaki milik putrinya yang cukup jauh. Kaki kanan milik Snorett lebih panjang tiga sentimeter daripada kaki kirinya. Refleks, Alex langsung memijati kaki mungil itu dengan perlahan agar putrinya tidak terbangun dari tidur nyenyaknya.
Namun kegiatan ayah beranak dia itu harus terhenti dikala mendengar teriakan Snorett yang mengigau dalam tidurnya.
"BIARKAN AKU MATI! AKU INGIN MENEMUI IBU!!! TOLONG KIRIMKAN AKU KE LANGIT, YA TUHAN!! BIARKAN AKU MATI DAN MENEMUI IBUKU!!!"
Snorett berteriak bak orang kesetanan, menyuarakan keinginannya untuk mati. Suara gadis itu terdengar memilukan, membuat Alex ketakutan dibuatnya. Pria berumur akhir dua puluh itu langsung memeluk tubuh kecil Snorett dengan, sementara gadis yang ada dipelukannya masih meraung menginginkan kematian. Ia tahu, putri kecilnya itu telah kehilangan keinginannya untuk hidup karena dirinya sendiri.
"Maafkan Ayah, nak. Maafkan Ayah," bisik Alex tepat ditelinga Snorett sembari terisak.
*****
Pak Alex-nya udah sadar nih, guyss!!
Update setiap hari KAMIS!
Ditulis dan dipublikasikan pada tanggal,
Kamis, 6 Januari 2021.
Orca_Cancii🐳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top