36: Kebenaran yang Menyakitkan.

Sebelum mulai baca, Orca mau menyampaikan sesuatu terlebih dahulu. Jadi mending cari tempat duduk dulu gih.

Terima kasih banyak bagi para pembaca yang sudah mengikuti cerita ini dari tahun lalu. Dari yang masih belasan view sampai sebanyak sekarang. Orca tahu, view cerita ini masih kalah sama view cerita kerajaan lain, tapi Orca sangat bersyukur pembacanya sudah sampai sebanyak ini.

Orca ingat babget pas pertama kali bab 2 di publish itu lumayan banyak yang menentang karakter Sophie sampai kalian semua ngerti kenapa Sophie sifatnya begitu. Eh, drama yang buat apa bikin novel kemarin seru loh, kalian nggak mau lanjutin 'kah?😂

Canda, gak boleh berantem ya manteman, dosa loh. Tapi kalau kalian masih mau lanjutin silahkan, sih. Dosa ditanggung masing-masing, ya.

Terus, Orca juga mau meminta maaf sebesar-besarnya sama kalian karena sering kasih harapan palsu. Dari kemarin soalnya Orca sering koar-koar bakal up tiap hari, eh malah up sebulan sekali. Pasti kalian pengen banget gebuk kepala Orca, kan?

Sekali lagi, Orca minta maaf sebesar jidat kalian🙏 Please, jangan digebuk ya?

Oke, itu aja. Oh iya mau ngingetin, pas baca cerita ini harap punya jidat-- maksudnya hati yang besar, ya. Perasaannya juga sabar dan dalam keadaan suci (dikira ngapain kali, ah), Soalnya bab satu ini lumayan ngeselin.

So, please, jangan digebuk ya?

Langsung aja, SELAMAT MEMBACA READERS ORCA TERCINTA!😘😘😘

*****

Latar langsung berubah menjadi taman penuh mawar merah yang indah. Suara air mengalir terdengar syahdu berasal dari air mancur berbentuk putri duyung yang berada di tengah taman.  Kupu-kupu berwarna-warni berterbangan diantara semak mawar, sementara para serdadu katak melompat diatas teratai yang ada didalam air mancur. Para pelayan dan tukang kebun terlihat berlalu lalang demi menjaga keindahan taman.

Tak jauh dari air mancur, nampak dua wanita tengah berbincang-bincang sembari duduk diatas karpet bermotif kotak-kotak biru-putih, ditengah hamparan rumput teki yang hijau. Keduanya terlihat menawan dengan gaun ringan yang menyebar saat mereka duduk.

Ibu mengikat rambutnya setengah dengan pita merah yang khas, sementara Ibunda Lily mengepang rambutnya ke samping. Dua wanita itu berbincang-bincang sembari tertawa kecil. Sungguh keindahan paripurna melihat kedua wanita itu ditengah indahnya taman. Andai aku membawa alat lukis, dengan senang hati aku melukis para figur ibu ini.

Jujur, aku masih dongkol dengan ingatan sebelumnya. Ayah— tidak Alexander itu ... benar-benar tidak memiliki akal. Dari percakapannya dengan Countess Olive, aku bisa menyimpulkan bahwa Alexander menikahi Ibu untuk membawanya kabur ke Nevoir, tetapi malah berakhir menyakiti Ibu karena Ibunda Lily menjauhinya. Tolol, dia manusia paling bodoh yang kukenal.

"Hei, Hailey! Bagaimana kabar Snorett-ku yang manis?" ujar Ibunda Lily sembari meminum tehnya.

Ibu memandang sahabatnya dengan pandangan lembut, lalu meraih secangkir teh dan menyesapnya sedikit. "Baik, dia ...," raut wajah Ibu seketika berubah sedih, namun kembali normal, "... sedang belajar memanah sekarang."

Ibu sangat pintar menutupi perasaannya, mengubah situasi menjadi lebih baik walaupun harus mengorbankan perasaannya sendiri. Ibunda Lily sudah berteman cukup lama dengan Ibu. Bukan hal yang sulit untuk mennyadari kesedihan sang sahabat akan kegigihan putrinya untuk mendapatkan perhatian ayah yang tak menginginkannya—aku.

Ibunda Lily meraih pundak Ibu dan mengusapnya pelan. "Dia masih berusaha mencari perhatian Alex?"

Ibu diam tak menjawab. Jari-jemari lentik Ibu bergerak memutar pada bibir gelas cangkir putih bercorak bunga daffodil. Ibunda Lily menghela nafas lelah lalu menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Begitulah ...."

Ibunda Lily terdiam, ia memandang Ibu lamat-lamat. Perlahan-lahan, ia meraih tangan Ibu lalu mengelusnya pelan. "Segera, dengan bantuan Agustin, aku akan membawamu dan Snorett pergi dari tempat ini," ujar Ibunda Lily dengan intonasi lembut namun dalam.

Tidak ada hal yang bisa Ibu katakan. Ia hanya diam dengan mata sewarna delima yang berkaca-kaca. Sebisa mungkin menahan air matanya didepan banyak orang. Didepan orang-orang yang selama ini hanya mengenalnya sebagai pribadi yang keji tanpa belas kasih. Tanpa mengetahui bahwa dirinya yang selama ini tersiksa hidup didalam kastil yang mewan nan megah. Terkurung layaknya burung dalam sangkar.

Ibu dan Ibunda Lily, mereka berdua terjebak dalam istana yang dibuat oleh seorang pria bernama Alexander. Pria yang memisahkan kedua wanita itu untuk saling mengasihi. Ia menyebarkan banyak rumor dan fitnah untuk ibuku, Hailey.

Menyebarkan rumor bahwa Ibu mengambil tempat Ibunda Lily. Dan menyebarkan fitnah, bahwa anak yang dikandung Ibu bukanlah anaknya. Namun, hal itu berhasil ditepis karena aku terlahir dengan rambut berwarna putih, persis dengan rambutnya. Entah mengapa, aku berharap bukanlah anaknya.

Namun nyatanya, aku adalah anaknya. Anak yang pada akhirnya hanya ditelantarkan dan kehilangan sisi kemanusiaannya.

Anak itu meminta tolong atas sang ibu yang digantung didepan matanya, namun tak ada yang menolongnya.

Anak itu menangis meminta pertolongan, namun tak ada yang memperdulikan.

Anak itu mulai nakal, namun tak ada yang memberikannya bimbingan.

Anak itu mulai mengacak-acak dan menghancurkan segala hal yang ada.

Saat dunia kacau, semua orang malah menyalahkan anak itu, tanpa mengetahui ia hidup dalam penderitaan.

Semua orang mencaci maki anak itu karena terlahir dengan darah iblis, padahal anak itu juga tak ingin terlahir dengan darah makhluk dunia bawah itu. Semua orang menginginkan kematian anak itu.

Kematian anak yang hidup dalam kesepian.

Kematian anak yang selalu dipukuli oleh ayahnya.

Kematian anak yang sedang tersesat.

Anak itu adalah aku. Aku anak yang tidak mereka inginkan, namun harus tetap menjalani hidup yang tak kuinginkan.

Manikku melebar, menyadari aku selama ini sudah terlalu dekat dengannya. Terlalu dekat dengan Alexander, sehingga melupakan tujuan awalku. Tujuan awalku yang tidak ingin berhubungan lagi dengan mereka dan membuat hidup baru. Tetapi faktanya aku malah dekat semua orang. Sophie, Ibunda Lily, Betty, orang-orang yang kubunuh, bahkan Alexander.

Ini tidak benar, aku tidak seharusnya dekat dengan mereka. Setelah aku keluar dari tempat sialan ini, aku akan menjauhi mereka semua. Mungkin mencari saudara kembarku atau memburu Choryrth bukan ide yang buruk.

Countess Olive pun muncul dengan beberapa pelayan berjalan dibelakangnya. Para pelayan itu tampak membawa beberapa cangkir teh dan kue kering yang kuyakini mengandung racun. Countess Olive dan pengikutnya berhenti di hadapan Ibunda Lily dan Ibu, dan langsung mendudukkan tubuh diatas rerumputan.

"Segala keagungan bagi Grand Duchess Hailey dan Lady Lilianne," ujarnya yang diikuti para pelayan.

Dari sini, aku dapat melihat beberapa pelayan tampak enggan mengucapkan nama Ibu. Bahkan ada yang tidak memberi salam pada Ibu dan malah memberikan gelar grand duchess pada Ibunda Lily. Padahal mereka sadar bahwa Ibu masih pemegang gelar itu karena masih menjadi istri pertama Alexander.

Alexander itu bodoh. Kalau dia memang tidak menginginkan Ibu-ku lagi, dia bisa saja menceraikan Ibu. Tapi sebaliknya, ia malah mengurung Ibu di dalam rumah kebanggaannya layaknya hewan dalam kerangkeng.

Kedua wanita berstatus ibu itu hanya mengangguk singkat dan kembali berbincang-bincang. Jantungku berdebar kencang saat Ibunda Lily meminum teh miliknya. Namun setelah sekian menit tidak terjadi apapun membuatku sedikit lega.

Jika bukan di teh, berarti racun itu berada di dalam salah satu kue kering. Pandanganku beralih pada kukis coklat yang hendak diambil Ibunda Lily, sementara Ibu meminum tehnya. Setahuku, kue favorit Ibunda Lily adalah kukis bertabur kepingan coklat. Dia selalu menghabiskan sepiring kue itu setiap kali kami meminum teh di sore hari.

Ibunda Lily memakan seluruh kue itu dengan sekali suapan. Ya, dia memang serakus itu. Di kala para wanita di negeri ini berlomba-lomba menjaga makanan agar tetap kurus, Ibunda Lily malah melahap segala hal yang ada. Tetapi anehnya, ibu tiriku ini sama sekali tidak bertambah berat badan.

Semakin banyak kue yang ia telan, semakin cepat pula jantungku berdetak. Aku spontan memejamkan mata dan menutup telinga saat melihat Ibunda Lily tersedak lalu batuk-batuk sambil memegangi dadanya. Suara batuk yang kencang membuat dadaku semakin bergemuruh.

Suara ribut terdengar memanggil nama Ibunda Lily, suasana terdengar ricuh. Tapak kaki para pelayan terdengar menggebu, berlarian kesana kemari. Demi apapun, walaupun Ibunda Lily bukanlah ibu kandungku, aku tetap menyayanginya seperti aku menyayangi Ibu. Alex bajingan itu sungguh tidak sepadan untuk kedua wanita cantik ini.

Airmata yang menumpuk di pelupuk mata mulai luruh, takut dengan situasi yang ada.

"Oh, astaga! Aku hanya tersedak, kenapa kalian begitu histeris?"

Suara Ibunda Lily yang terdengar ceria masuk ke dalam indra rungu-ku. Airmataku yang sudah menganak sungai langsung tertarik ke dalam tempatnya berasal. Mataku terbuka mendapati pemandangan Ibunda Lily dikerumuni oleh para pelayan yang tampak cemas. Lah?

Aku menoleh mendapati Ibu yang tampak tenang di tempat duduknya. Mataku jatuh pada bungkusan berwarna cokelat dipangkuan Ibu. Tunggu, dari mana asalnya bungkusan itu?

"Tenanglah, semuanya. Lily hanya tersedak," ujar Ibu dengan senyuman tipis di wajahnya.

"Tahu apa kau?!" teriak salah satu pelayan wanita yang langsung dihadiahi tamparan oleh Ibunda Lily. Pelayan perempuan itu tampak syok. Bola matanya bergetar, memandang Ibunda Lily dengan perasaan takut.

"Lancang!" tuduh Ibunda Lily sambil mengelus-elus tangan yang ia gunakan untuk menampar pelayan tadi. Manik sekelam malam itu menghunus tajam tepat pada mata sang pelayan yang masih bergetar sebelum akhirnya melirik Countess Olive yang berdiri tak jauh darinya. Countess Olive berdiri dengan kedua tangan mengamit didepan perut. Wajahnya tidak menunjukkaan ekspresi apapun, hanya datar tanpa emosi.

"Inikah etika yang kau ajarkan kepada mereka saat berhadapan dengan Nyonya Utama wilayah ini?"

"Tidak, Nyonya," jawab Countess Olive sambil memejamkan mata dan merendahkan tubuhnya.

Ibunda Lily mendecih tak senang. "Langsung bawa ke ruang bawah tanah, kau tahu sikap apa yng harus diambil untuk para pembangkang."

Ibunda Lily menoleh pada Ibu yang masih diam pada tempatnya. "Hukuman apa yang perlu diberikan pada pembangkang satu ini, Ley?"

Ibu tersenyum tipis dengan wajah teduh. Wajah cantik itu tampak menyembunyikan amarah yang akan meluap, dari mana aku tahu? Jika kalian lupa, aku adalah putrinya. Dilihat dari dekatpun, tampak adanya anomali pada manik mata Ibu. Pupil mata bulat itu tampak memanjang seperti pupil reptil lalu kembali bulat dalam hitungan detik.

"Terserahmu saja," jawab Ibu sambil mengulum senyum.

Ibunda Lily mengangguk mahfum, ia kembali menoleh pada Countess Olive. "50 kali cambukan dibetis kalau begitu."

Countess Olive mengangguk mahfum lalu membungkuk hormat dan segera memanggil ksatria yang sedang berjaga disekitar taman. Pelayan yang membangkang tadi langsung bersujud dihadapan Ibunda Lily sambil berteriak histeris. Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya pelayan pembangkang itu diseret oleh dua ksatria ke penjara bawah tanah. Suara cempreng wanita itu masih terdengar walaupun keberadaannya telah hilang dibalik pilar mansion.

Merasa tak ada tontonan yang seru lagi, mataku jatuh pada bungkusan di pangkuan Ibu. Aku masih penasaran, apa isi bungkusan itu? Kaki transparan ini melangkah mendekat pada sosok Ibu lalu berjongkok di hadapannya. Dari jarak sedekat ini, aku dapat melihat dengan jelas wajah cantik Ibu yang seputih pualam. Rambut sewarna arang itu masih sama dengan terakhir kali aku melihatnya. Dahiku mengerut dalam saat melihat manik mata Ibu yang tampak menggelap. Warna merah yang biasanya serupa seperti batu delima, kini tampak seperti warna darah yang mengering.

Mirip dengan mata milik Envy. Kelam dan penuh akan kedengkian.

"Apa kau baik-baik saja?"

Suara Ibunda Lily membuyarkan lamunanku. Reflek, aku langsung membalikkan badan, mendapati Ibunda Lily yang melihat tepat kearahku dengan ekspresi khawatir. Eh, tunggu ... dia bisa melihatku?

"Aku baik, Lily." Aku menoleh lagi kearah Ibu. Ibu kandungku itu menjawab ibu tiriku dengan senyuman.

Aku melihat keduanya bergantian beberapa kali lalu melihat dimana tempatku berdiri. Spontan, aku menepuk jidat setelah menyadari dimana diriku berdiri. Bodohnya aku, mengapa aku malah berdiri diantara mereka? Aku akhirnya memilih mengambil posisi di sebelah sebuah keranjang buah yang terletak dipinggir karpet.

"Warna matamu menggelap lagi."

"Ah, begitu ya?" Ibu memejamkan mata lalu mengelus kelopak matanya sendiri. Ibu membuka mmatanya, menampakkan mata sewarna batu delima yang cemerlang. "Aku agak muak dengan penghuni mansion ini."

Ibunda Lily tersenyum miris lalu membuang nafas pelan sambil memejamkan mata. "Ya, akupun sama. Banyak keberadaan orang busuk di kediaman ini."

Ibu mengulum bibir lalu megalihkan pandangan kearah lain. "Ya, begitulah."

Oke, sampai disini perasaanku jelek. Emm ..., tidak mungkin Ibu 'kan yang meracuni Ibunda Lily? Tidak ... dia pasti akan memakan salah satu kue yang ada disini lalu jatuh pingsan. Ya, pasti seperti itu.

"Oh, apa itu?" tanya Ibunda Lily sambil menunjuk kearah bungkusan yang ada di pangkuan Ibu.

Oh, shit! My Lord, please don't!

"Ah, ini ...," Ibu melirik kearah bungkusan itu lalu tersenyum miring. Sesaat aku melihat pupil mata Ibu memanjang lalu membulat kembali. "Kue untukmu."

Telingaku seketika berdenging. Pemandangan disekitarku rubuh berganti dengan penampakan ruangan gelap berdinding batako berwarna abu-abu. Besi-besi memanjang, menancap pada langit-langit dan lantai tampak seperti jeruji penjara. Dibalik jeruji itu tampak seorang wanita tengah meringkuk diatas lantai semen berlumut. Rambut berwarna hitam panjang tergeletak begitu saja diatas lantai. Waajahnya tidak terlihat karena ia membelakangiku, namun aku sangat yakin dia adalah wanita yang paling kucintai di dunia ini.

"Ibu ...."

*****

Orca

Jangan digebuk ya?

Rabu, 14 Desember 2022

Orca_Cancii

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top