Reiner: Your Name

***

Reiner POV

"Hey, kau yang bertubuh pendek." Instruktur Keith menunjuk salah seorang gadis yang berdiri di belakang Eren. Tubuhnya loyo, seperti orang tak memiliki semangat hidup.

"Jangan mengacungkan jari telunjukmu padaku, pak." Protesnya dengan lancang. Dengan kilat di matanya, dia menghela nafas. "Aku ingat pelatihan Militer juga mengajarkan kita tentang tata krama dan sopan santun, apakah itu tidak berlaku untuk anda?"

Dia adalah anak aneh yang sering diperbincangkan Jean dan Connie. Memang dilihat dari sisi manapun, memang dia terlihat misterius. Tubuhnya kerempeng, lemah, dan memiliki aura yang tak dapat dijelaskan.

"Kenapa kau seenaknya? Kau pikir kau siapa?" Kepala botaknya memerah, seolah darahnya mendidih dibalik kulitnya.

"Aku memang bukan siapa-siapa, tapi aku tidak suka kalau kau menunjuk-nunjuk seperti itu. Kau pikir hanya harga dirimu yang tinggi disini?"

"Wah, dia berani sekali." Bisik Bertholdt, menggeleng.

"Nah, anak tidak tahu sopan santun sepertimu akan kupasangkan dengan anak berwajah masam disana," Keith menunjuk ke arahku. Aduh. Lagi-lagi.

Tunggu— Instruktur Keith tak memberinya hukuman? Apakah dia mengasihani gadis itu?

"Apa?" Aku tersentak.

"Yasudah," Gadis cebol itu menerobos kerumunan, mendekatiku. Jantungku berdegup kencang, gadis ini menyeramkan.

"Nah, kalau gitu, hari ini kita akan latihan perlindungan diri. Anggap saja kawanmu adalah musuh, jadi berlatihlah sungguh-sungguh, semuanya!" Seru Instruktur.

"Baik, pak!"

Berhati-hatilah, kuperingatkan diri sendiri. Betapa pun kehadirannya membuat kulitku merinding, aku harus bertahan menghadapinya.

Dia menjaga jarak, berdiri satu lengan jauhnya dari tubuhku. "Ini tak bagus," Gadis itu menghela nafas, pucat.

"H-Hey, ada apa?"

Baru saja ia menunjukkan raut menantang pada Keith, kini ia menciut saat matanya mulai menyapaku. Ada apa sebenarnya dengan gadis ini?

"Aku tak bisa bela diri." Lirihnya. Duh, dia imut sekali.

"Kau hanya perlu—"

"Tolong ajarkan aku, Reiner." Potongnya.

Tunggu. Apakah dia mengenaliku?

"Jangan bingung seperti itu. Ymir bilang dia mengenalmu."

Oh. Apa?

"Ymir? Kau berteman dengannya?"

"Gimana aku menjelaskannya, ya.. Oh, kita hanya kenalan, karena kita rekan sekamar. Tapi tidak bisa dibilang berteman." Dia memutar bola mata. "Cukup basa-basinya, ajarkan saja aku."

"Bangunlah." Kataku, menjulurkan tangan.

"Salam kenal, Reiner." Balasnya, meraih tanganku.

"Yah, salam kenal."

"Ya." Dia.. Tersenyum? "Jadi pertama-tama apa yang perlu kulakukan?"

"Berdiri dengan tegak, ya." Aku meremas bahunya yang tegang. Entah kenapa perutku seperti kena setruman saat menyentuhnya. "Jangan tegang."

"B-Baik." Ketegangan di bahu mungilnya merenggang.

"Lalu kepalkan tanganmu, perhatikan tanganku." Aku menunjukkannya. "Seperti ini."

"Begini?" Matanya membulat seperti anjing. "Reiner, aku sudah bisa meninjumu?"

"Coba saja," Kataku, entah kenapa tapi aku tersenyum.

Gadis itu meninjuku tanpa sedikit pun rasa sakit. Menghajarku seperti anak kecil, kuakui dia lucu sekali. Dan.. Dia ternyata tidak seburuk itu.

Tak terasa Instruktur Keith telah meniup peluitnya. Hari sudah menuju sore, dan aku merasa belum puas. Tapi gadis itu nampaknya tak peduli dan memilih langsung berputar menuju Wisma, dibandingkan bergabung dengan teman-teman.

"Reiner!" Panggil Connie yang tengah merangkul Bertholdt sembari berjalan. "Ayo kita makan!"

Sambil menjajari langkah mereka, aku melempar pandangan pada anak itu, seketika terpana saat mengingat senyuman aneh tadi. 

"Dia aneh, kan?" Bisik Connie, sinis. "Seperti tidak membutuhkan orang lain saja,"

Aku tak tahu harus bagaimana menanggapi percakapan ini. Aku tidak bisa setuju— Padahal bagiku anak gadis itu memang aneh. Aku bahkan tak tahu namanya. Tunggu. Ymir. Aku harus mencarinya. Aku tak peduli jika tindakanku dianggap aneh, aku perlu tahu namanya.

"Hey, apa kalian lihat Ymir?"

"Dia makan di ujung, tuh." Kata Bertholdt, jarinya menunjuk ke tujuanku.

Aku tak membalas, alih-alih aku langsung berlari menghambur ke tempat Ymir dan Christa terduduk. Mungkin aku mengganggunya, tapi aku tidak tahan.

"Yo Ymir, soal kawan sekamarmu.." Sebelum sempat aku melanjutkan, seseorang menghentikanku.

"Kenapa menanyakannya?" Gertak Christa, tak terima. "Kuperingatkan, jangan mengganggunya, Reiner!"

"Aku hanya ingin tahu namanya."

"Lalu apa kalau kau sudah tahu namanya? Sudah lah, kalian anak laki-laki berhenti mengganggunya, atau akan kulaporkan kau pada Instruktur Shadis." Balas Ymir, rautnya tak suka.

"Kalian salah paham." Gerutuku.

"Memangnya kita tidak tahu apa yang selama ini kalian bicarakan tentang dia? Kalian itu jahat sekali, tahu!" Gadis boncel bernama Christa itu menjambak rambutku. "Pokoknya urusanmu akan panjang kalau berani mengganggunya, ya!"

Aku gagal. Bukan seperti itu maksudnya. Mereka tidak mengerti, maksudku tidak sama dengan maksdud kawanku. Aku tahu dia bukan anak yang aneh seperti kata orang-orang. Aku hanya ingin tahu namanya. Itu saja. Karena—

Aku tidak tahu juga. Aku rasa aku harus tahu namanya. Benar-benar harus.

***

Aku pikir itu akan menjadi terakhir kali kami bicara, tapi ternyata aku salah. Kami kembali dipertemukan dalam Regu yang sama saat berlatih di hutan.

"Jadi beritahukan kepadaku," Tanyaku, berusaha menjajari tubuhnya selagi kami bermanuver diantara pohon-pohon. "Siapa namamu?"

"Ymir sudah memberitahuku." Amarahnya tersulut, membenci kata-kataku. "Apa maumu, Reiner?"

"Aku hanya ingin tahu namamu, itu saja." Jantungku hampir lepas, sialan.

"Lalu kalau sudah tahu namaku, kenapa? Supaya kau bisa mencaciku dari belakang?"

"Tidak!" Raungku, mengelak prasangka buruknya. "Aku tidak seperti yang kalian pikirkan! Aku hanya ingin.. Berteman denganmu!"

"Teman?" Gadis itu memerah, seolah barusan ia tersentuh dengan kata-kataku yang tidak berarti— Bagaimana kalau berarti?

"Y-Ya. Jadi ayo kita berkenalan." Ujarku, menariknya untuk berhenti sesaat. "Siapa namamu?"

"Katakan, kenapa kau ingin berteman denganku?!" Ia menodong leherku dengan pedang kayunya. "Kalian semua palsu."

"Kenapa, ya?"

"Jangan main-main denganku, Reiner."

"Karena kau.. Um.. Well, menarik." Masa bodoh lah aku malu sekali. Kalau dia menolak, aku akan tetap memaksa—

"Namaku (Y/N)."

"Sungguh? Namamu secantik waja—" Aku terhenti, saking senangnya aku tak dapat mengendalikan perasaanku.

"Waja?"

"W-Wajan! Ya, Wajan!" Aku selamat.

"Kau sedang menghinaku?"

"Bukan seperti itu! K-Kau tidak paham, (Y/N)!" Dia tertawa lebar. Gila. Aku benar-benar salah sangka selama ini, begitu pula teman-temanku. Dia tidak aneh. Dia.. Cantik.

"Wah, wah." Suara Ymir membuat kami melonjak. "Aku cemburu kau tertawa lebih kencang dengan si wajah kriminal itu, (Y/N)."

"Kriminal? Tutup mulutmu, predator." Protesku. Kemudian Ymir menyeringai padaku. Aku baru kepikiran— Ternyata ini maksudnya. Dia ingin aku berusaha mencari tahunya sendiri. "Terima kasih, Ymir."

"Tak masalah. Sekarang kembali lah ke atas atau Instruktur Shadis akan memotong lehermu." Dia pergi.

Aku merasakan sebuah sentuhan di bahuku, membuatku merinding setengah mati. Saat kutoleh pandanganku, aku mendapati tangan-tangan mungilnya tengah menyentuhku.

"Apa aku melewatkan sesuatu?"

"Apanya?"

"Kenapa kau berterima kasih? Padahal Ymir baru saja mengejekmu."

Aku tertawa. "Kalau bukan karena dia, aku akan terus menjadi pengagum rahasia."

"Apa?!"

"Ayo kita kembali latihan."

"R-Reiner, jawab pertanyaanku! Apa maksudnya?" Dia salah tingkah. Imutnya.

"Bukan apa-apa."

"Aku tak bisa bela diri."

"Aku akan melindungimu."

"B-Bukan itu maksudku. Tolong ajari aku."

"Ya, ya, lain waktu."

"Bagaimana kalau malam ini kita bertemu di lapangan?"

"Kau mengajakku kencan?"

"Maksudku, kau harus mengajariku latihan, kalau tidak, aku takkan bisa lulus Akademi Militer, Reiner!"

"Aku bercanda."

"Jadi, kau mau mengajariku, kan?"

"Malam ini, ya?"

"Iya! Mau, ya? Kumohon."

"Kau harus bayar."

"Apa? Aku tak punya uang."

"Bukan dengan uang."

"Apa?"

"Ayo makan malam bersama. Itu bayarannya."

"Deal."

"Deal?"

"Ya."

"T-Terima kasih, (Y/N)."

Akhirnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top