Reiner: Visit

Modern AU

***

Reiner♡: [Sayang.] 04:00 PM.

Reiner♡: [Aku baru keluar kantor dan sedang mampir ke Supermarket, apa ada sesuatu yang kau butuhkan? Mau makanan manis?] 04:00 PM.

Aku tersenyum lebar pada sebuah pesan yang kekasihku, Reiner, kirim lima menit lalu. Karena sudah mulai musim panas, kita berdua memutuskan mengambil cuti mulai besok hingga satu minggu ke depan, untuk pergi ke kampung halamanku sekalian berlibur.

You: [Aku juga baru keluar, nih! Aku akan ke sana, jadi tunggu, ya!] 04:06 PM.

Reiner♡: [Oke.] 04:07 PM.

Reiner♡: [Hati-hati, pakai sabuk pengaman.] 04:07 PM.

You: [Iya, iya~ Aku bukan anak-anak, aku tahu :p] 04:09 PM.

Reiner♡: [Aduh, terserah, lah.] 04:10 PM.

***

Setelah belanja bersama, Reiner mampir ke Apartemenku. Seperti biasa, dia akan menumpang mandi, dan mengistirahatkan tubuhnya di atas ranjang kecilku. Selagi dia tidur, aku menyiapkan makan malam untuk kita berdua di dapur. Selama itu, aku kepikiran sesuatu-- Kenapa tiba-tiba Reiner mengajakku liburan ke kampung halamanku? Tidak seperti tahun lalu, kami menghabiskan waktu musim panas berdua di Hawaii, atau musim panas dua tahun yang lalu di Swiss. Yah, untungnya rumah orang tuaku tak jauh dari pantai, dan karena Reiner suka anak-anak, mungkin adik sepupu dan para keponakanku akan cocok dengannya.

"Sayang?" Panggil Reiner dari kamar, suaranya parau.

"Yeah?" Sahutku. "Kau sudah bangun?"

Aku mendengar suara langkah kakinya yang berat tengah beranjak ke arahku. Tanpa menoleh karena takut tanganku teriris pisau, aku hanya mengangkat bahu ketika dia berdiri di bingkai pintu dapur.

"Aku mau nginap di Apartemenmu, boleh?" Tanyanya, lalu membantuku mengaduk saus jamur yang tengah kupanaskan di atas pan. "Kalau boleh, aku akan pulang sebentar mengambil barang bawaanku untuk besok."

Setelah selesai mengiris daun bawang, aku mengelap tanganku ke celemek, dan berbalik untuk mengecupnya. Wajahku memanas saat pria itu menyeringai dan mengusap punggungku sembari bibir kita saling sentuh.

"Boleh. Tapi cepatlah kembali." Kataku.

Apartemen kita tidak berjarak terlalu jauh; sekitar dua blok. Seharusnya tidak akan memakan waktu sampai satu jam jika berjalan kaki. Tapi karena Reiner orang yang tidak sabaran, dia mengambil kunci mobilnya di atas meja riasku, mengecupku sesaat sebelum pergi dan berlarian di lorong.

***

Pukul tujuh pagi. Reiner tengah menata barang bawaan kami ke bagasi mobilnya, sedangkan aku menunggu pria itu di kursi depan-- Aku ingin sekali membantu tapi dia melarangku.

Ibu: [Apa kalian sudah berangkat? Ayahmu marah-marah sejak bangun tidur karena tidak sabar ingin bertemu putrinya.] 07:12 AM.

You: [Kami baru mau berangkat, Bu. Apa Ibu sudah sarapan?] 07:12 AM.

Ibu: [Sudah. Kalau begitu, hati-hati di jalan dan sampai ketemu.] 07:14 AM.

Ibu: [Oh, dan jangan lupa sarapan. Kau kan punya penyakit lambung.] 07:14 AM.

You: [Oke! Terima kasih, Bu!] 07:14 AM.

Kami berangkat dengan tenang. Biasanya kalau trip panjang seperti ini, Reiner akan menyetel lagu kesukaannya sambil tangan kirinya menggenggam tanganku. Alih-alih, hari ini dia lebih banyak diam, bahkan membiarkan aku menguasai radionya.

"Sayang, kenapa?" Tanyaku, mengusap bahunya.

Dia menoleh dan menghela napas berat seakan pikirannya tengah bertempur di dalam sana. "Aku baik-baik saja, hanya.."

"Hanya?"

"Kalau nantinya ayahmu tidak suka padaku, aku harus mencari strategi." Lirihnya, pria itu berpaling padaku lalu mengangkat kacamata hitamnya hingga ke dahi. "Apa makanan kesukaan ayahmu? Apa kita harus mampir membeli sesuatu untuknya? Baju? Kacamata? Sepatu?"

Tanpa sadar, karena tingkahnya mendadak kikuk, aku memuntahkan tawa. "Ya ampun, santai saja, dong~"

"Aku serius, Sayang." Geramnya, menghantam keningnya ke setir. "Aku nggak bisa putus kalaupun nanti Ayahmu sampai menyuruhku pergi."

"Nggak akan ada yang putus, Reiner bodoh. Jangan terlalu di pikirkan, oke? Ayahku pasti akan menyukaimu." Sejujurnya, aku juga takut. Tapi Ayah bukan orang yang seperti itu, toh dia sudah tahu Reiner karena aku sempat menceritakan tentangnya beberapa kali lewat telefon.

Reiner menghentikan mobilnya secara mendadak ke bahu jalan, mengeratkan pegangannya pada setir dan menatapku cukup lama. Dengan alis terangkat, dia menjorokkan wajahnya kepadaku.

"Cium."

Bagaimana bisa aku menolak Bayi Besar ini? Aku menciumnya sambil tertawa. "Dasar."

"Ayo berangkat."

***

Lima jam kemudian. Mobil Reiner berhenti di car port rumah orang tuaku. Seperti yang sudah kuduga-duga, keluarga besarku menanti kami di teras sembari melambai-lambai. Mata Ibu terbelalak saat melihat Reiner, mungkin karena akhirnya bisa bertemu pria yang sering kami bicarakan dalam telefon hampir setiap malam.

Di sebelah Ibu, Ayah hanya melambai padaku, seakan tidak menganggap keberadaan Reiner. Reiner yang meski sadar soal itu tapi tetap berusaha berlapang dada, menepuk pundakku, menyuruhku masuk duluan, dan membawa barang-barang kami masuk ke dalam.

"Pacarmu ternyata tampan sekali." Bisik Ibu, sambil mengoper segelas air dingin padaku. "Dia juga kelihatan seperti pria baik-baik."

Pria baik-baik. Aku setuju dengan Ibu. "Ya.. Dia memang pria baik."

Beberapa menit kemudian, Reiner yang bersimbah keringat, masuk ke dapur dan menyapa kami yang sedang berbincang kecil. Dengan gesit, Ibu mengeluarkan sekaleng Coke dan melempar minuman favoritku padanya.

"Ibu memberinya Coke, sedangkan aku hanya dapat air putih? Pilih kasih." Protesku, bergurau. Tapi Reiner, dia malah membuka tutup kaleng itu dan memberikannya padaku.

"Terima kasih. Tapi, apa boleh aku minum air putih saja?" Tiba-tiba rautnya memerah, dia melanjutkan. "Ibu Mertua."

"Eh?"

Kami berdua, yang sama-sama tersentak, menoleh padanya. Bahkan Nenekku, yang sedang asyik merajut di ruang tengah, langsung mengintip ke arah dapur.

"A-Aku.." Reiner berdeham. Seketika menciut. "A-Air putih."

"Oh? Air putih? I-Iya!" Ibu tertawa canggung, langsung berputar mengambil gelas untuknya. "Ini."

"Terima kasih,"

"Hey." Panggil Ayah dari jendela luar, menunjuk pada Reiner.

"Ya?"

"Ayo pergi mancing denganku."

"E-Eh? Ya?"

***

Reiner POV

Ayah Mertua ternyata benar-benar orang yang perhatian. Meski perlakuannya padaku sangat dingin dan tegas, diam-diam dia telah mempersiapkan banyak hal untukku.

Kami makan siang bersama di atas Boat miliknya, di laut sambil memancing ikan. Entah, mungkin karena dengar dari (Y/N) kalau aku suka anak-anak, dia menceritakan berbagai kisah lucu tentang keluarga besarnya di rumah itu. Ada sepupu George, si kembar Jonah dan Jorah, bayi Lola, dan Harry, anak dari adiknya yang saat ini ikut bersama kami.

"Paman Reiner! Ada Ikan Pari!" Sahut Harry, menunjuk ke arah makhluk yang tengah berenang di bawah Boat kami.

"Yeah? Warnanya cantik." Aku membalas, menariknya sedikit ke tengah karena ngeri dia akan terjatuh.

"Iya, kan? Tapi aku suka makan Ikan Pari! Kak (Y/N) selalu membakarnya untukku setiap kami pulang berenang dari laut."

"Oh ya? Kakak sepupumu bisa bakar ikan?"

"Iya! Dia bisa masak apa saja!" Ujar Harry dengan penuh semangat. "Ayo kita berenang! Cuacanya lagi cerah, pemandangan lautnya juga indah, loh!"

Ayah Mertua terkikik, menggelintir kuping anak itu. "Jangan mengajaknya melakukan hal yang aneh-aneh, dasar anak nakal!"

"A-Aduh!" Harry menggeliat, menjulurkan lidahnya pada Ayah Mertua dan bersembunyi di balik badanku. "Aku kan hanya bilang!"

"Abaikan saja dia, Reiner." Rasa takutku seketika menguap saat pria itu tersenyum padaku. Tak lama kemudian, dia mengeluarkan sebuah foto dari saku kemejanya; aku dan (Y/N) saat berlibur di Swiss dua tahun yang lalu. "Terima kasih, Reiner."

"Eh?"

"Di masa lalu, karena terlalu sibuk bekerja, aku tidak pernah mengajak putriku jalan-jalan. Dia selalu pergi berlibur sendirian. Bahkan setelah perjalanan sebulan, dia tidak membawa setidaknya satu foto dirinya, karena dia tidak merasa menikmatinya. Semua berubah sejak anak itu cerita punya pacar pertamanya. Kau."

Aku tahu itu, (Y/N) pernah bercerita sekali saat mabuk berat. Aku hanya mengangguk dan menunduk pada Ayah Mertua.

"Ta-Tapi (Y/N) sangat menyayangi anda, kok, Pak." Balasku. "Dia mengerti situasi anda saat itu, (Y/N) pernah bilang begitu padaku."

Terlintas raut lega di wajahnya, pria itu kini merangkulku dan menarik pancingannya. "Sungguh?"

"Yeah.."

Apa aku harus bilang sekarang?

Apa ini saatnya?

Ah, masa bodoh, lah.

"Sebenarnya.. Ada yang ingin kukatakan pada Ayah Mertua."

***

(Y/N) POV

Aku cinta kampung halamanku. Jauh dari perkotaan, dikelilingi dengan orang-orang berpikiran positif. Tempat di mana aku, yang berumur dua puluh lima tahun ini, bisa minum segelas susu panas dan cookies sebelum tidur tanpa rasa cemas. Tempat di mana aku bisa melupakan kesibukan kota.

Hari sudah gelap. Tapi Reiner, Ayah, dan sepupuku si kecil Harry, belum kunjung pulang. Ibu dan Bibi tidak cemas karena yang seperti ini sudah biasa untuk mereka. Tapi aku, bahkan pesanku yang kukirim dua jam lalu, belum dibaca, jelas-jelas cemas berat.

Aku berusaha mengalihkan kecemasanku seraya menonton kartun di televisi bersama keponakanku, Lola. Beberapa saat setelahnya, suara sensor mobil Reiner terdengar di depan rumah, dan aku langsung melonjak, berlarian ke lantai satu.

Reiner dan Harry, separuh kuyup, bertelanjang dada, sedangkan Ayah membawa satu baskom penuh Ikan tangkapannya.

"Jangan tanya kami. Kami sudah makan malam di perjalanan." Ucap Ayah, mengedipkan satu matanya padaku, yang mana jelas-jelas mencurigakan. "Bawakan handuk untuk pacarmu, sana."

Mereka sudah saling akrab? Aku menatap Reiner yang tampak gembira, berlari dan memeluknya. Sebelum membawanya masuk ke rumah, Reiner menarikku masuk ke dalam mobil, di bangku penumpang.

Kuselimuti kulitnya yang super dingin dengan kardigan rajutku, meniup napasku yang panas di antara kedua telapak tangan raksasanya.

"Itu.." Dengan gemetar, ia menunjuk sebuah kantong di sisiku. "Aku sudah bicara dengan Ayah."

"Apa?" Tanyaku, tak paham.

"Sebentar, sebentar." Reiner mengecup pipiku sesaat sebelum bangkit ke arah depan, mengambil sebuah benda di laci dashboard mobilnya.

"Permen?" Tanyaku, menertawai sebungkus permen berbentuk cincin berlian yang kekanakan di genggamannya.

"Iya. Aku mau melamarmu, Sayangku yang cerdas." Reiner terkekeh, tapi ketika wajahnya mendongak dan tatapan kami bertemu, ekspresi tegang membayang di wajahnya. "Aku sudah beli cincin yang asli, tapi ketinggalan di kamar Apartemenmu. Jadi, sementara waktu, anggaplah permen ini--"

"Ya."

"Huh?"

"Aku bilang, iya." Aku tersenyum lebar pada pria yang sangat kucintai itu, dan memeluknya erat. "Aku menerima lamaranmu."

"Sungguh?" Senyumannya kembali, dia mengecupku sekali lagi lalu membuka bungkus permen itu, memberikannya padaku. "Ayahmu bilang kau suka makan ini waktu kecil. Terima kasih banyak karena sudah menerima lamaranku, omong-omong."

"Ahh, kau imut sekali, Reiner."

"Ayo masuk, di mobil dingin." Bisiknya menggigil, memelukku.

Kami turun, masuk ke dalam, di sambut oleh keluarga besarku yang tengah berkumpul di ruang tengah seraya nonton film.

"Kalian ketinggalan bagian serunya, Calon Pengantin!" Goda Kakek, di atas kursi goyangnya. "Tunggu. Dia bilang 'ya', kan?"

"I-Iya.."

Sorak-sorak gembira memenuhi ruangan. Tapi aku, yang cemas kekasihku akan jatuh demam, segera mungkin membawanya ke lantai dua-- Tepatnya kamar kami.

Sambil mengganti pakaiannya, pria itu menatapku yang sedang menggerogoti permen pemberiannya di atas ranjang. Sebelum melompat dan ikut telentang di sisiku, dia mengusap pipiku lembut-lembut.

"Aku senang." Katanya. "Keluargamu baik sekali."

"Iya? Syukurlah. Mereka juga keluargamu sekarang."

"Terima kasih, Sayang."

"Sama-sama, Tampan."

"Kau menggodaku?" Reiner menyeringai.

"Iya." Aku terkikik selagi pria itu mengecup singkat pipiku beberapa kali.

"Ayo kita ke sini lagi, bulan depan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top