Reiner: As You Wish, My Lady
Modern AU
***
Di puncak rasa frustasi yang menyiksa, kurasakan ponselku bergetar dari balik saku celanaku. Siapa, sih, di siang bolong begini?! Aku menggerutu sendiri sambil mengambil benda kecil itu.
Reiner: [Sudah makan siang? Pulang jam berapa? Kabari aku kalau kelasnya sudah selesai.] 1:23 PM.
Wah, lihat siapa ini.
You: [Belumm~ Sebentar lagi aku keluar, sih. Ada apa? Kangen, ya? (◕દ◕)] 1:24 PM.
Reiner: [Aku jemput.] 1:24 PM.
You: [Mantap! Kau memang paling tahu aku sedang butuh tumpangan~ (✧Д✧) Kau tahu, pagi ini aku kesiangan dan lupa bawa kartu transportasiku ಥ‿ಥ Jadinya aku di usir dari bus dan jalan kaki sampai Kampus, deh ಥ_ಥ] 1:24 PM.
Reiner: [Serius? Tahu begitu kenapa nggak kabari aku saja?] 1:25 PM.
You: [Kan tadi kubilang, aku kesiangan~ ಥ_ಥ Pokoknya begitu. Udah, ya. Kelasku sudah mau ditutup, nih. Cepatlah datang dan jemput aku! ಥ_ಥ] 1:25 PM.
Reiner: [Oke.] 1:26 PM.
Reiner: [Aku berangkat.] 1:26 PM.
Reiner: [Hey. Balas.] 1:27 PM.
You: [Iya! Hati-hati di jalan ಠ_ಠ] 1:28 PM.
Reiner: [Haha. Oke.] 1:28 PM
Aku tidak tahu mau mulai darimana aku menceritakannya. Reiner Braun, ya? Hmm.. Well, dia kawan kecilku, rumah kita bersebelahan, dan kita selalu berada di kelas yang sama saat sekolah dasar dan sekolah menengah. SMA, kita terpisah karena Reiner bersekolah di SMA khusus putra. Dia sangat nakal waktu itu, aku ingat pernah sekali memergokinya berkelahi dengan siswa sekolahku, dan aku tidak mau bicara dengannya selama satu minggu. Kupikir bocah sepertinya tidak akan peduli jika aku mengabaikannya, tapi ternyata dia itu tampangnya saja yang menakutkan. Hari ketujuh aku mengabaikannya, Reiner nekat menjemputku di sekolah dengan sepeda, dia bilang dia akan mentraktirku ramen yang enak jika aku memaafkannya, jadi aku.. Yah, kau tahu lah. Hehe.
Apa? Aku? Naksir pada Reiner? Ah, itu b-benar. Aku menyukainya. Aku tidak tahu dari kapan, tapi aku mulai menyadarinya saat Reiner pergi ke kencan buta minggu lalu. Kau tahu? Rasa kesalku bukan main, aku bahkan mengabaikan teleponnya, padahal dia sudah berjanji akan berkabar ketika kencannya usai.
Kelas ditutup, dan Professor telah meninggalkan ruangan. Aku menunggu beberapa saat sampai kelas sepi, lalu aku keluar. Tak lama ponselku bergetar lagi.
Reiner: [Aku sudah sampai.] 1:52 PM.
Belum sempat aku membalasnya, kurasakan sebuah sentuhan di pinggulku. Aku menoleh dan mendapati Reiner yang sedang mengerutkan alisnya padaku.
"Apa? Kenapa kau lihat-lihat sampai seperti itu?" Gerutuku, menyikutnya.
Pandangannya turun ke celana hot pants yang kukenakan, lalu naik pada kaus oblongku yang tipis.
"Apa-apaan ini?" Dia mendecak.
"Aku kesiangan, kau tahu, kan? Aku hanya ingin pakai sesuatu yang mudah dipakai." Elakku.
Reiner melepas jaket kulitnya, menyodorkan benda itu padaku. "Pakai."
"Huh? Kenapa?" Jantungku berdebar liar saat mencium aroma parfum Reiner yang khas, pasti terpancar dari jaket itu. Aku menurutinya dengan senang hati sambil terkikik.
"Kenapa, katamu? Asal kau tahu, ya. Saat aku masuk ke gedung ini, semua orang sedang membicarakanmu."
"Oh ya? Apa yang mereka katakan?"
Entah kenapa tapi anak itu tampak tersentak, wajahnya memerah. "Mereka bilang kakimu bagus, seksi, dan hal-hal menjijikan lainnya. Bahkan beberapa grup anak cowok melirik-lirik ke arahmu di belakang sana."
"Terus? Kau kesal?"
"Iya, kesal. Aku nggak suka." Kata-kata itu terdengar seakan keluar secara spontan, Reiner langsung membekap mulutnya. "Ma-Maksudku.."
"Ayo, pulang." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan agar dia tidak canggung, tapi Reiner malah kelihatan semakin kesal. Kadang-kadang aku tidak paham dengan isi kepalanya.
Sambil berjalan ke parkiran, aku bisa merasakan tatapan Reiner yang menusuk dari belakangku. Oh. Aku sampai lupa membahas kalau pakaian yang ia kenakan hari ini sangat rapih. Reiner adalah seorang freelancer, jadi untuk apa dia memakai semua itu? Dia ada kencan buta lagi? Duh, kenapa aku jadi resah begini, sih?!
"Kenapa? Ada masalah?" Ia menepuk pundakku, cemas.
"Ah, nggak. Bukan apa-apa." Aku menggelengkan kepala, lantas melanjutkan langkahku dengan cepat.
Kami menggapai mobil Reiner yang terparkir rapih di bawah pohon. Dia membukakan pintu untukku, bahkan memasangkan seat belt seolah-olah aku ini bocah manja. Yah, kadang aku menyukai sisi yang seperti ini darinya. Bukan karena aku pemalas atau semacamnya, hanya saja caranya memperlakukanku itu.. Sial. Tiba-tiba memikirkannya malah terasa sangat menyakitkan.
Reiner itu orang baik-baik, itu saja. Semua yang dia lakukan selama ini terhadapku, adalah karena dia baik. Tapi, semakin kau memperlakukanku dengan baik, aku malah semakin salah paham tentangmu, Reiner. Maksudku, tentu saja mustahil bagi pria sepertimu menyukai gadis berkualitas kentang sepertiku, kan? Haaah, kayaknya perasaanku ini, sampai kapan pun takkan pernah tersampaikan, ya?
"(Y/N)!" Reiner mengguncang tubuhku sambil mendesah frustasi. "Duh, kau ini sebenarnya kenapa?"
"Eh? Maaf." Aku mengerjap beberapa kali lalu bersandar, berusaha untuk menyegarkan pikiranku meski gagal.
"Kau banyak ngelamun." Dia memulai.
"Maaf. Pikiranku sedang kacau."
Reiner menoleh sedikit padaku, lalu kembali fokus pada jalan. "Kenapa? Ada yang mengganggumu?"
"B-Bukan itu.. Hanya saja.." Ucapanku terpotong saat ponsel Reiner berdering.
Historia? Aku mengalihkan pandanganku dari ponsel Reiner, ke luar jendela. Tanpa sadar, rahangku mengencang. Apa perempuan itu adalah perempuan dari kencan buta lalu?
Reiner bahkan sampai menepi untuk mengangkat panggilannya? Gila. Benar-benar cewek yang beruntung. Rasanya mau nangis saja, deh.
"Sebentar, ya." Reiner menepuk kepalaku, lalu keluar dari mobil dengan ponsel genggamnya.
Aku tidak dapat mendengar apa yang ia bicarakan di luar, tapi dia tersenyum, tertawa....
Cukup, pikirku. Aku menyeka mata dan berusaha mengalihkan perhatianku pada ponselku. Ada pesan tak terbaca? Dengan cepat-cepat, aku membukanya karena tidak mau mati penasaran.
Jean-boy: [Yo, aku dengar ada film bagus minggu ini. Mau nonton bareng? Aku traktir, deh ಠಿ‿ಠ] 2:00 PM.
Jean-boy: [Hahaha! Ya ampun, Connie yang mengirimnya, sumpah! (-_-) Anu, itu bercanda, kok. Tapi kalau kau mau, kabarin ya.] 2:01 PM.
Jean-boy: [Duh, iya iya. Aku menyerah. Ayo nonton bareng denganku akhir pekan ini. Sudah lama kita tidak ketemu, kan? Aku yang traktir (。•̀ᴗ-)✧] 2:04 PM.
Aku sibuk menertawai tingkah anak itu sampai tidak sadar Reiner sudah kembali ke dalam mobil. Kali ini dia menatapku, tidak tahu ada apa di wajahku, tapi tatapannya itu seakan tidak ada habisnya.
"Kau dekat?" Tanyanya ragu-ragu. "Dengan Jean?"
"Aku kenal karena dia teman dari teman SMA-ku, Connie. Kapan, ya? Kayaknya pertama kali bertemu di acara ulang tahun Connie yang ke tujuh belas, deh." Balasku sambil menerawang, tapi Reiner tampak tidak senang.
"Jadi, apa kau akan pergi nonton dengannya akhir pekan nanti?"
Apa, sih? Memangnya apa pedulimu? Dasar aneh.
"Nggak tahu, masih kupikirkan."
Tatapannya menggelap, lalu ia memberikan ponselnya padaku, entah untuk apa. "Aku titip, takut jatuh."
"Hah? O-Oke."
"Kau boleh pakai untuk main game."
Apa, sih, maksudnya?
"Benar, nih?"
Aku membuka benda itu, dan terkesiap setengah mati karena ia memakai foto kita berdua sebagai wallpaper. Aku tidak bisa melihat wajahku sendiri saat ini, tapi aku yakin pasti aku sudah terlihat semerah tomat.
"Waktu itu, kenapa kau nggak angkat panggilan dariku? Kau tahu? Aku kesal sekali, memangnya aku salah apa padamu?" Geramnya.
"Oh itu. Maaf, aku ketiduran." Kataku sambil melirik ke arahnya. "Lalu, bagaimana kencannya? Berhasil, kan?"
Reiner memutar bola matanya. "Nggak."
"Huh? Kenapa?" Apa salah jika aku merasa senang sekarang?
Dia tak menjawab sepanjang perjalanan, bahkan saat makan siang, dia tidak bicara apa pun. Tapi, ketika mobilnya terparkir di garasi rumahnya, dan aku hendak keluar, barulah ia menahanku.
Wajahnya yang polos seperti anak-anak itu membuatku tak kuasa menahan senyum. Kutepuk kepalanya, lalu memulai.
"Nggak apa-apa, kau gak perlu jawab--"
"Suka."
Jantungku melonjak. "Eh?"
"Kubilang, aku suka padamu. Itulah kenapa aku membatalkan kencannya." Bisiknya lirih, nadanya terdengar putus asa. "Aku tahu, aku nggak seharusnya mengatakan hal-hal yang dapat merusak pertemanan kita seperti ini, tapi.. Aku nggak tahan. Membayangkan kau jalan dengan bocah ingusan itu, tertawa, merangkulnya, merebut posisiku. Lalu, saat kau mulai mencintainya, kau akan melupakanku suatu hari."
Eh? Dia tidak salah makan, kan? Apa yang telah terjadi pada dunia sampai-sampai Reiner bisa mengatakan hal seperti ini?
"Bagaimana dengan Historia?" Sahutku dengan suara bergetar.
"Historia? Aku memintanya nasihat kencan. Aku berniat mengajakmu nonton akhir pekan ini, tapi--"
"Kalau begitu ayo, kita nonton." Timpalku, tersenyum padanya. "Reiner, aku juga menyukaimu."
Matanya membelalak. "Eh? Sungguh?"
"Y-Ya.. Soal telepon hari itu, jujur saja, aku sengaja mengabaikanmu karena aku kesal."
"S-Sial.. Aku tidak percaya ini." Wajahnya merekah merah. "Sial. Sial. Aku ingin memelukmu, (Y/N)."
"Kemarilah," Aku merentangkan tanganku, memberinya akses untuk memelukku.
Kedua lengan kekarnya melingkar di tubuhku, ia menenggelamkan wajahnya di bahuku sambil sesekali mengucapkan kata 'suka'.
"Kalau begitu, sekarang kita pacaran?"
"Kata siapa?" Godaku.
"Oh, ayolah!" Gertaknya. "Jadilah pacarku, kau pikir ini lelucon?!"
"Kalau kau mau jadi pacarku, kau harus--"
Dia menciumku. Reiner Braun menciumku. Ciuman itu singkat, hangat, tapi membuat jantungku meledak-ledak. Dia mengurai bibirnya dariku lalu tertawa.
"Aku harus apa, nona pacar?"
"Oh, ayolah~ Kau sudah melakukannya. Tidak seru, ah."
"Sekarang aku resmi jadi pacarmu, kan?"
"Oke."
"Oke, apa?" Godanya sambil menjorokkan wajahnya.
"Kalau kau mau pacaran denganku, kita nggak boleh putus, loh."
"As you wish, my lady."
"Hahahaha, lucunya!"
"Ayo kenalan dengan mama mertuamu." Reiner merangkulku keluar dari mobil, sekali lagi ia mengecup pipiku.
Nyonya Braun, yang sedari tadi berdiri di pintu garasi, terbelalak lebar saat mendapati putranya yang akhirnya punya pacar setelah dua puluh tahun.
"Ya ampun, Reiner, putraku, syukurlah." Nyonya Braun terkikik.
"Kenapa seheboh itu, bu?"
"Ibu pikir kau Gay."
"A-Apa?! Ibu kejam sekali!"
Aku menyembur tawa sambil mengangguk pada wanita itu. "Aku setuju denganmu, Nyonya Braun!"
"Nyonya Braun? Ayo panggil aku Ibu." Dia menarikku masuk ke dalam. "Senangnya! Ayo, Ibu akan seduhkan teh~"
Reiner tersenyum padaku, melambai sebelum anak itu naik ke lantai dua untuk ganti baju. Saat ia menghilang dari pandangan, ponselku bergetar.
Reiner: [Aku mencintaimu.] 3:12 PM.
You: [Pakai emoji, dong Ó╭╮Ò] 3:12 PM.
Reiner: [-_-"] 3:13 PM.
Reiner: [Aku mencintaimu (๑˙❥˙๑).. Sudah, kan?] 3:14 PM.
Aku menyembur tawa.
You: [Hahaha! (ノ≧∇≦)ノ ミ ┻━┻] 3:14 PM.
You: [Aku juga mencintaimu! ♡] 3:14 PM.
Reiner: [Ayo nikah.] 3:15 PM.
You: [Apa?! (‘◉⌓◉’)] 3:15 PM.
Reiner: [Haha. Bercanda.] 3:15 PM.
Haha. Meski kaku, humornya boleh juga. Saat Reiner muncul dari arah belakang, akhirnya aku menyerah dan memeluknya erat. Ya ampun, hahaha, aku sayang banget pada orang ini!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top