Levi: Weirdo

Sebagai seseorang yang sudah berteman sekaligus menyukai Kapten Levi sejak lama, dia sedikit merasa sedih. Itu karena Levi memperlakukannya dengan seenaknya, berbeda dengan teman laki-lakinya yang lain.

"Hari ini, aku akan menyatakan perasaan." Bisik Gadis itu pada sahabatnya, Connie.

"Apa? Kau gila? Dia pasti akan menolakmu mentah-mentah lagi, bodoh." Gerutunya, mengguncang bahu (Y/N) dengan brutal. "Apa kau tak kapok dipermalukan seperti terakhir kali?"

Ini bukan pernyataan pertamanya.

"Kalau aku ditolak lagi.. Aku akan menyerah." Senyumannya aneh, membuat Connie merasa iba.

"Semoga beruntung."

"Terima kasih!"

Lantas dengan raut ceria, (Y/N) berlarian, mencari pria es batu itu ke setiap sudut Markas, namun berakhir kecewa karena mendengar kabar bahwa Levi sedang pergi bersama Regunya untuk latihan rutin.

Sekitar enam puluh menit sudah ia habiskan untuk melamunkan seorang Levi Ackerman, akhirnya sosok yang dinanti-nantikannya pun tiba di Markas tanpa segores luka, membuatnya merasa lega.

"Selamat datang," Sambut (Y/N) tersenyum. Pipinya memerah.

"Ya, minggirlah."

Sakit.

"Levi, ada yang ingin kubicarakan denganmu."

Levi memelotot, seolah dia sudah menerawang apa yang akan terjadi padanya.

"Sudah berapa kali kukatakan? Aku, kau, kita takkan bisa bersama." Nadanya santai, tenang, namun menusuk. "Kau menjijikan. Menyerahlah."

"T-Tapi.. Kau tidak ingin tahu kenapa aku menyukaimu?"

"Enyahlah, kau membuatku mual."

Perkataan itu adalah puncak dari rasa sakitnya. Sudah (Y/N) putuskan, sejak detik itu juga dia akan menyerah. Dia akan berhenti mengejar sang Kapten yang angkuh itu.

***

Satu bulan sudah berlalu, dan kini perasaan (Y/N) sudah baik-baik saja, meski ia sedikit kesusahan untuk melupakan si cebol satu itu, dia sedang berusaha.

Mereka tak pernah saling sapa sejak hari itu.

"Apa kau masih sedih?" Lirih Armin, membawakan secangkir teh hitam untuknya. "Minumlah."

Teh hitam— Minuman favorit Kapten Levi, pikirnya dengan raut lesu. "Terima kasih, Armin."

"Tak masalah, kok." Senyumannya yang imut terpancar, membuat (Y/N) merasa dirinya akan ikut tersenyum juga.

"Jadi.. Tumben-tumbenan kau kemari, Armin."

"Yah.. Aku dengar para Prajurit sedang membicarakanmu di Aula. Katanya belum lama ini, kau bertengkar dengan Kapten Levi karena menyatakan perasaan.."

"Hmm, ya," Mengingatnya saja masih membuatnya sakit. Namun dia menutupinya dengan menyembur tawa. "Memang begitu kenyataannya, mau di apakan?"

"K-Kenapa orang sepertimu bisa ditolak juga, sih?" Armin frustasi, memerah.

"Eh? Armin.."

"M-Maksudku bukan berarti— Lupakan! Pokoknya.. Kau kan cantik dan juga baik hati. Lalu, di antara para Prajurit yang mendambakanmu, kau malah memilih satu yang tak menyukaimu.. Lagi pula Kapten Levi itu terlalu bodoh, ya?! Tak habis pikir aku."

"Hehe, kau bawel juga ternyata. Omong-omong.. Memangnya aku cantik?"

"Tentu saja! Lalu, kau itu sangat ramah, aku tak sudi melihatmu diperlakukan seperti itu olehnya."

"Manis sekali, deh." Katanya seraya mencubiti pipi Armin. "Aku baik-baik saja, kok."

"K-Kalau begitu, syukurlah.. Tapi jika saja kau kesusahan, aku akan selalu membantumu. Jadi kau boleh cerita padaku kapanpun kau mau, (Y/N)."

"Armin, ayo kita masuk, udara diluar bertambah dingin, nih." Gadis itu bangkit, mengulurkan satu tangannya pada sang kawan.

Dia mengalihkan pembicaraan.

"Y-Ya,"

Setiap langkahnya diiringi kecanggungan. Entah kenapa namun gadis itu merasa ingin menjerit, tidak nyaman. Lalu langkahnya terhenti seketika saat mendengar sebuah bisikkan dari balik punggungnya.

"Mereka berpacaran?"
"Mana mungkin,"
"Aku tidak punya kesempatan, dong?"
"Tapi kau percaya tidak, sih?"
"Sulit dipercaya."

Tangan Armin yang berukuran sedikit lebih besar menggenggamnya erat supaya tidak tenggelam dalam rasa emosi. Sedikit membantu, sih.

"Jangan didengar. Ayo."

Sebelum sempat membatinkan cara pandangnya terhadap Armin, tiba-tiba saja Levi muncul dari bayang-bayang, mata mereka susah bertemu. Jantungnya berdegup kencang sekali saat ini.

Lalu

"Ayo." Dia meraih tangan gadis itu dengan kasar, matanya memelototi Armin.

"Huh? Hey— Armin—"

Levi menariknya semakin jauh dari lorong itu, kemudian mereka berhenti di sebuah ruangan. Perpustakaan.

"Semua orang tengah menggosipkan kita."

"Dari dulu—"

"Bukan yang itu."

(Y/N) sangat terkejut begitu mendapati ujung telinga Levi memerah, bahkan kali ini dia bicara tanpa menatap lurus ke matanya. Tingkah anehnya semakin mengusik jantung (Y/N), akhirnya ia memberanikan diri untuk menyingkirkan tubuh Levi dari hadapannya.

"Sebenarnya, kenapa kau membawaku kemari?"

Lalu suara samar-samar dari luar terdengar, dua— Tidak. Ada tiga orang yang tengah lewat di luar ruangan itu, dan mereka kebetulan..

"Aku tidak menyangka Kapten Levi betulan berpacaran dengan (Y/N)."
"Kau tahu dari mana?"
"Kapten Levi yang bilang sendiri tadi siang!"
"Bukannya ada rumor kalau perempuan itu ditolak?"
"Hey, kita kan tidak tahu seperti apa sosoi asli Kapten Levi."
"Aduh, seandainya itu aku."

Mata (Y/N) memelotot, saat menoleh ke arah wajah Levi— Bibir pria itu mendesak bibirnya. Nafasnya panas, dan kini, untuk pertama kali dalam seumur hidup ia menyaksikan wajah dinginnya memerah. Dia tak memiliki kemampuan untuk menolak ciuman itu, dan malah menerimanya begitu saja. Upaya melupakannya seketika runtuh.

"K-Kapten, apa yang kau pikirkan?!"

"Jangan bertingkah seperti orang asing, (Y/N)." Ia memicingkan mata, terpaku pada bibir tipis yang ada di hadapannya itu. "Panggil namaku."

"Tidak mau—"

"Panggil saja, ini perintah."

"Terserah." Gertak (Y/N), wajahnya memerah. "Levi.."

"Benar,"

"Lalu, kenapa? Sejak kapan kau peduli tentang omongan mereka?"

"Aku? Cih. Mana mungkin."

"Apa maumu, Levi?"

"(Y/N), kau baik-baik saja? Maksudku.. Tentang rumor yang beredar di antara mereka."

"Apa aku terlihat seperti orang yang peduli akan hal-hal bodoh seperti itu?"

"Tidak juga, sih."

"Nah, lantas kenapa kau berbasa-basi seperti ini dan menciumku begitu saja?"

"Apa kau terganggu?"

"Sangat."

"Tapi kau menerima ciumanku."

"N-Ngarang." Gadis itu merasa dirinya nyaris gila.

"Lalu, kau belum menjelaskan satu hal lagi."

"Apa lagi?"

"Kenapa kau menyukaiku?"

"Kau sudah menolakku, bahkan hari itu kau tidak ingin mendengarnya. Kenapa tiba-tiba?"

"Hari ini, katakanlah."

"Lupakan saja, aku tak ingin membicarkannya. Lagi pula itu sudah basi."

Levi menariknya, menempelkan kening gadis itu pada keningnya. Lalu kemudian dengan raut dingin, dia memaksa untuk menarik wajahnya ke posisi semula.

"(Y/N), apa kau masih menyukaiku?"

"Aku menyukaimu, tapi itu dulu."

Wajah Levi memucat, kemudian ia tertawa supaya gadis itu tak salah paham kepadanya.

"Kalau sekarang? Kau sudah melupakanku secepat itu?"

(Y/N) terdiam sesaat, kemudian ia melanjutkan. "Tidak tahu. Lagi pula itu bukan urusanmu."

"Manusia tidak jelas." Ia memojokkan tubuh gadis itu hingga ke sudut ruangan, membuatnya semakin menggila.

"Lepaskan."

"Ayo berpacaran denganku."

"Apa?" Semburnya, tersedak."Berpacaran— Apa?! Tunggu. Hey, ini terlalu mendadak. Kenapa, sih?"

"Kalau kau menolak, percuma saja karena yang semua orang tahu adalah kita berpacaran."

"Levi, kau menyukaiku?"

"Aku mengajakmu berpacaran karena kau menyukaiku, babi."

"Kalau begitu aku tak mau."

"Apa? Kenapa?"

"Kau bilang karena aku menyukaimu? Lalu jika aku menerima, hubungan kita akan menjadi hubungan sepihak saja, dong?"

"Berisik. Kau mau atau tidak? Kalau tidak—"

"Tidak."

"Kenapa lagi? Sudah jelas kau masih menyukaiku."


"Karena kau tak menyukaiku, sudah jelas. Sekarang biarkan aku pergi, Levi."

"Aku tak bilang kalau aku tak menyukaimu, bodoh. Jadi sekarang kau dan aku berpacaran."

Saat itu juga (Y/N) merasakan tubuhnya terbakar. Salah makan apa lagi aku tadi malam?  Dasar pria aneh!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top