Erwin: Make Me Love You
Hubunganku dan Levi Ackerman menjadi semakin rumit sejak pria itu merekrut seorang kadet lulusan tahun lalu ke regunya. Petra Ral. Aku bisa janji kalau dia bukan anak yang jahat, yang tetap akan merebut perhatian Levi meski sudah mengetahui hubungan kami, tapi.. Tetap saja aku terganggu. Bukan karena Petra. Tapi Levi sendiri. Kekasihku.
Kami sudah berhubungan selama nyaris dua tahun, dan tak pernah sekalipun kudapati Levi bertingkah seperti ini terhadapku sebelumnya. Awalnya aku bisa mengerti sebagai sesama Ketua Regu. Tapi, semakin lama, Levi semakin jarang menemuiku, dan setiap kali aku ingin membahasnya, kita selalu berakhir terjerumus ke argumen-argumen yang tidak ada habisnya.
Beberapa bulan belakangan ini, satu-satunya hal yang membuatku mampu bertahan, adalah dukungan Komandan Erwin. Aku yang sudah membantu pekerjaannya selama nyaris tiga tahun belakangan ini, secara tidak sengaja kelepasan soal perasaanku. Yah, untung Komandan bukan tipe orang yang cuek seperti kekasihku-- tidak juga, sih, Levi juga sangat memperhatikanku, kadang-kadang-- Mungkin tanpa Komandan Erwin, aku sudah berakhir mengikuti keinginan kekanakanku untuk menarik Petra dalam masalah pribadi yang tengah kami lalui.
"Apa yang sedang kau lakukan di luar sini?" Sapa sebuah suara. Panjang umur, dia adalah Komandan Erwin. Mike di sisinya hanya mengangguk dan tersenyum padaku, dan aku memberi balasan yang serupa padanya. Ketika pandanganku terangkat menemui tatapan Komandan, entah kenapa, pria itu membuang muka. Apa aku melakukan kesalahan? Entahlah.
"Hanya sedang berpikir." Kataku, berpaling ke lantai, dan melanjutkan langkah. "Aku permisi dulu--"
"Tunggu sebentar, (Y/N)."
Aku terkejut setengah mati ketika tangan raksasa pria itu mencengkeram pergelangan tanganku. Dingin, tapi di waktu yang bersamaan terasa begitu hangat dan menenangkan.
Aku melepas syal yang mengelilingi leherku, dan meletakkan benda itu di atas tangannya. "Maaf, tapi tanganmu dingin. Sebaiknya Komandan cepat masuk ke dalam, kau juga, Mike."
Mike yang seperti sedang terburu-buru atau entah kenapa dirinya, mengedikkan bahunya dan melesat masuk lebih dulu ke dalam, meninggalkan kami dalam keheningan yang canggung.
Komandan Erwin menggeleng, melilitkan syalku kembali ke leherku, lalu pria itu tersenyum. "Yang ingin kukatakan adalah, (Y/N),"
"Ya?"
Sekilas aku melihat rahangnya mengencang, seakan dia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Kemudian, alih-alih, dia mengembalikan senyumannya dan berkata sambil berlalu, "Jangan terlalu di pikirkan."
Aku ingin berteriak. Kalau bisa tidak memikirkannya, aku juga ingin. Sangat ingin. Tapi, aku mencintai Levi, mustahil untuk aku bertingkah seolah baik-baik saja saat lelaki yang kucintai menjadi jauh dariku karena kehadiran seseorang yang baru.
***
Sekali saja, aku ingin meminta penjelasan. Malam ini aku pun mengambil keputusan memberanikan diri pergi ke ruangan kerjanya untuk bicara, tapi--
Berakhir sudah. Semua di antara diriku dan Levi Ackerman sudah berakhir. Jelas-jelas kudapati Levi mencium gadis itu. Tapi ketika aku ingin menyergap masuk, Hanji yang entah sejak kapan memperhatikan di belakangku, menarikku, membekap mulutku dalam dekapannya.
"Tahan.." Bisik wanita itu, memutar tubuhku. "Kemarilah."
Aku membalasnya, memeluk erat badan Hanji yang saat ini sedang memberiku tatapan bersimpati. Aku benci dikasihani, tapi kali ini, aku benar-benar tidak sanggup lagi menahan kesedihanku.
Setelah beberapa saat, Hanji membawaku perlahan-lahan menjauh dari ruangan itu. Kami berakhir di ruangan Erwin, dan Hanji mulai menceritakan semuanya di sana.
Tentang dirinya yang tidak sengaja mendengar percakapan antara Levi dan Petra tentang aku. Nampaknya, aku baru saja ditusuk dari belakang. Betapa bodohnya selama ini aku mempercayai Petra sebagai anak yang tidak akan melakukan hal seperti itu padaku.
Komandan Erwin yang sedari tadi belum bicara apa-apa, setelah suasana sudah hening, baru membuka mulutnya.
"Sebenarnya aku juga lihat mereka," Lirihnya, menatapku. "Tadi siang."
Pantas saja-- aku menghela napas, kemudian balas menatapnya. "Apa yang terjadi di antara mereka, Komandan?"
"Seperti yang kalian ceritakan tadi."
"Kenapa Komandan diam saja?" Tanyaku, separuh kecewa.
Sesaat kudapati pria itu mengernyit, tapi cepat-cepat mengembalikan ekspresi normalnya ketika menyadari aku yang sedang memperhatikannya.
"Aku ingin menyampaikannya padamu."
"Tapi?"
"Aku tidak mau membuatmu semakin sedih."
Tanpa berkata sesuatu, tiba-tiba saja Hanji menyelonong keluar, meninggalkan kami dalam kecanggungan di ruangan ini. Mungkin niat wanita itu hendak memberi ruang, tapi sialan aku benar-benar butuh dia untuk mengatakan sesuatu dan menyelamatkanku dari suasana yang tidak mengenakan ini sekarang.
"(Y/N)," Panggil Erwin, menarikku kembali ke kenyataan.
"Ya, Komandan."
"Aku peduli padamu."
Tunggu. Apa?-- mataku secara spontan terbelalak lebar mendengar pernyataan tersebut. "Eh? Ya?"
"Aku bilang, aku peduli padamu. Sangat peduli. Maka dari itu, aku minta maaf karena merahasiakannya. A-Aku hanya ingin menjaga perasaanmu." Mendadak pria yang-- biasanya-- bicara dengan tegas dan penuh kebijaksanaan itu tergugup. Dengan wajah memerah, dia melanjutkan seraya menatap lurus ke mataku, dan untuk beberapa alasan, wajahku pun jadi tampak demikian. "Aku menyayangimu."
Jantungku mencelus. Seharusnya yang bilang seperti itu adalah Levi, bukan Komandan Erwin. Seharusnya.. Ah. Tiba-tiba air mataku jatuh begitu saja. Aku pasti benar-benar terlihat bodoh di hadapannya, sekarang ini.
"Aku ingin kau bahagia. Aku selalu berharap untuk melihat mimpimu dengan laki-laki itu terwujud di masa depan, tapi sekarang.." Dia mendekat, menarik tanganku ke pipinya. "Aku benar-benar tidak bisa membiarkan itu terjadi."
"Tidak akan terjadi juga, lagi pula." Kataku pasrah sambil terkekeh, separuh bercanda. Omong-omong, wajahnya terasa lembut.
"Lihat aku, (Y/N)."
Aku menurutinya, menyambut matanya yang berkilat, yang sedang melihatku dengan penuh ketulusan. Tiba-tiba saja perasaan aneh muncul dalam diriku, diiringi dengan sedikit perasaan sedih karena.. sial, seharusnya Levi yang memberiku tatapan seperti itu-- bodohnya aku. Kebaikan pria ini jelas-jelas tidak bisa disamakan dengan Levi.
"Aku melihatmu, Komandan."
"Apakah masih ada kesempatan?"
"Eh?"
"Apakah masih ada ruang di hatimu untuk aku singgahi?"
Aku memastikan dan tidak ada terlihat sedikit pun kebohongan di sorot matanya. Aku mengangguk-- Tapi, kira-kira, aku harus jawab apa, ya? Maksudku, tentu aku menghargai perasaannya. Jika saja situasinya berbeda, aku ingin menghargainya lebih dari ini. Lebih dari sekedar sebuah anggukan terima kasih.
"Maaf malah membuatmu bingung." Komandan berbicara lagi, genggaman tangannya mengerat, menyelimuti tanganku. "Aku ingin kamu mempertimbangkan perasaanku. Aku mencintaimu. Aku akan menjagamu baik-baik."
Aku benar-benar tersentuh. Dalam urusan percintaan, pria ini ternyata sangat lembut dan penyayang, berbeda jauh dengan perawakannya saat bekerja.
"Aku akan mempertimbangkannya," Aku tersenyum kepadanya, mengusap pipinya. "Apa Komandan bisa menunggu, sebentar saja?"
"Seberapa lama pun, aku akan menunggu."
Karena terlarut dalam suasana, bibir kita berakhir saling menemukan satu sama lain. Jujur saja, ciumannya terasa sangat lembut dan tidak tergesa-gesa, berbeda dengan Levi yang sangat agresif-- ah, aku ini benar-benar, ya. Aku harus berhenti membandingkannya dengan Levi.
Omong-omong soal Levi.. bagaimana aku mengakhiri semua ini, ya?
***
Tengah malam, ketika aku sedang menikmati keheningan dan kegelapan yang menyelimuti ruang kamarku, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku langsung tahu siapa itu, tapi aku tidak menduga kalau dia akan tetap datang malam ini.
Dasar bejat!
"Ada apa?"
Tiba-tiba Levi menghambur maju, memelukku. Napasnya singkat-singkat dan panas, dia lalu mulai melepas kancing kemejanya. Tapi maaf saja, aku tidak akan luluh lagi. Tidak setelah apa yang kusaksikan tadi siang.
"Hentikan!" Aku mendorongnya.
"Kenapa?"
"Jangan lakukan itu!"
Sesaat, Levi menatapku dengan tatapan lemah, kecewa. Tapi itu tidak menghentikannya. "Kenapa aku harus mendengarkanmu, nona?"
"Kenapa kau bertingkah begini, Levi?!" Pekikku, berusaha mengelak ciumannya. "Kubilang, hentikan!"
Dengan penolakan itu, nampaknya dia cukup sadar dan menarik diri. Matanya yang membara, kini meredup dan sayu-sayu.
"Aku sudah dengar dari Hanji." Katanya, mendadak suara kasar itu berubah menjadi sebuah bisikan lemah.
"Apa yang kau dengar?"
"Kau."
"Aku?"
"Kau ada di sana tadi siang, kan? Kau melihat semuanya, (Y/N)." Lirihnya, agak bergetar seakan ketakutan.
"Benar."
"Apa kau akan membuangku sekarang?"
Tanpa keraguan, aku mengangguk. "Ya."
"Meski kau sangat mencintaiku? Meski aku sangat mencintaimu?"
"Ya. Meski aku tadinya sangat mencintaimu. Lagi pula, kalau kau cinta padaku, bukankah kau tidak akan melakukannya? Seperti yang selalu kau lakukan sebelum perempuan itu datang dan mengacaukan kita?" Mendadak, aku jadi emosi. Tapi teringat Erwin, aku langsung mengurungkan perasaanku dan berusaha tetap tenang. "Tidak perlu berdebat, Levi. Ayo akhiri--"
"Aku akan meninggalkannya." Geram Levi, meraih pergelangan tanganku. "Aku bisa melakukannya kalau kau mau, (Y/N)."
"Sayang sekali, tapi aku tidak mau."
"Jadi, apa yang kau mau?"
"Memang, kau mau mewujudkannya?"
"Aku bisa mewujudkan apa pun yang kau mau."
Aku menghela napas dan tersenyum. Kepercayaan diri itu lah yang awalnya membuatku sangat suka kepadanya. Dan ketika sudah berjanji, aku tahu Levi pasti selalu mewujudkannya. Tapi, bukankah awalnya dia juga berjanji untuk tidak mengecewakanku? Pada akhirnya, dia juga melanggar sendiri janjinya.
"Baiklah, kalau begitu." Ujarku, penuh keyakinan. "Aku mau putus."
"Apa?"
"Kau akan mewujudkan apa pun yang kumau, bukan?"
"Tentu saja, tapi-- apa ini? Setelah semua yang kita lalui, kau mau putus?"
"Kenapa tidak? Toh kau sudah sangat mengecewakanku. Tidak ada lagi alasan untukku menetap."
"Apa kau sudah tidak mencintaiku?"
"Aku sangat mencintaimu. Tapi cinta yang kuberikan padamu tidak cukup untuk membuatmu menetap, Levi. Aku gagal."
"Jangan bicara begitu."
Levi masih berusaha memelukku, tapi lagi-lagi, aku mengelak dan mendorongnya mundur.
"Itu kenyataannya."
"(Y/N), apa kau benar-benar berpikir jernih?"
"Iya. Sangat jernih."
Mata kami bertemu, dan sesaat, aku mendapatinya nyaris menangis. Entah aku yang salah lihat, atau itu kebenarannya, tapi tidak ada lagi yang bisa mengubah pikiranku.
"Tidak ada yang bisa mencintaiku sebaik dirimu."
"Setidaknya kau masih punya Petra, Levi."
"Dia bukan kau, (Y/N)."
"Tidak harus aku."
"Harus kau." Tegasnya, mencengkeram kedua pundakku. "Maafkan aku."
"Iya. Maaf juga, aku tidak bisa kembali padamu, Levi."
"Aku akan mencoba untuk mengerti. Jika itu yang kau inginkan, aku akan belajar untuk terbiasa tanpa campur tanganmu dalam segala urusanku."
Aku terkekeh. "Maaf selalu mencampuri urusanmu."
"Jangan minta maaf, bodoh. Aku senang dengan kau yang seperti itu, walau agak merepotkan."
Kami tersenyum pada satu sama lain sebelum akhirnya saling berpelukan sebagai sebuah salam perpisahan. Ini yang terbaik, aku yakin.
***
Keesokan harinya, Komandan Erwin memanggilku ke ruangannya setelah latihan. Sepanjang perjalanan menuju ruang kerja Komandan, aku berpikir lagi soal kejadian kemarin-- ciuman pertama kami. Pipiku memanas.
"Komandan," Panggilku sambil mengetuk pintu.
"Masuklah."
Saat aku masuk, pria itu langsung bangun dari kursinya dan menghampiriku, menyambutku dengan seraut cemas.
Aku tidak mau membuat suasana semakin canggung di antara kita, jadi aku tertawa ringan. "Kenapa melihatku sampai seperti itu?"
"Apa kau baik-baik saja?" Tanyanya.
Aku diam sejenak, menarik napas terkesiap. Untungnya pria itu bisa mengerti dan menunggu jawabanku dengan sabar.
"Aku baik-baik saja, Komandan." Setelah melihat wajahku, tentu saja dia tahu itu adalah sebuah kebohongan.
"Baiklah." Dia mengangguk, kemudian mengulurkan telapak tangannya, menepuk ujung kepalaku.
Tiba-tiba saja, tanpa aku ketahui alasannya, air mataku tertumpah. Mungkin hal ini sama seperti bocah ingusan yang diperhatikan ketika sedang sedih, mereka menangis untuk mengadukan masalahnya.
Aku ingin minta maaf karena malah menangis di depannya, tapi saat ini mulutku benar-benar tidak bisa berkutik. Aih, memalukan.
"Tidak apa, (Y/N)" Lirih Komandan Erwin, mengusap pipiku dengan lembut. "Menangislah."
Aku berusaha mengendalikan diri, tapi tangisanku semakin menjadi-jadi waktu mendengar perkataannya. Tiba-tiba saja, aku merasakan lengan-lengan kukuhnya mendekapku erat. Terasa hangat dan menenangkan.
Komandan Erwin sebenarnya ingin membicarakan sesuatu yang bukan ini, aku tahu. Tapi seperti sosok yang kutahu juga, pria itu selalu mengutamakan orang lain terlebih dahulu.
Aku mengurungkan kesedihanku sejenak, mengangkat pandanganku untuk menatapnya. Wajahnya memerah, aku tahu itu karena aku yang membalas pelukannya. Aku agak merasa bersalah karena sudah membuatnya terlihat seperti itu, tapi kuakui, sekarang Komandan terlihat benar-benar imut.
"Terima kasih banyak, Komandan."
"Untuk apa?" Tanyanya, bingung.
"Untuk pelukannya, dan.." Jantungku berdebar-debar kencang, tapi aku tidak berhenti. "Ciuman yang kemarin."
Aku nyaris tersedak karena wajahnya jadi semakin merah. Meski demikian, pria itu masih berjuang mempertahankan raut datarnya.
"Itu benar-benar menenangkan." Aku berkata lagi, karena dia diam saja menanggapi ucapanku sebelumnya. "Dan kurasa.."
"Kau rasa?"
"Aku akan coba," Lirihku, agak meragu.
Dengan mata berbinar-binar, pria itu menatap lurus ke mataku. Kedua tangannya lalu terangkat ke pundakku, mencengkeramnya.
"Apa?" Dia mendesak, tidak sabaran.
Kurasa aku ingin sedikit bermain-main, aku ingin melihat wajah lucu ini sedikit lebih lama lagi.
"Aku akan coba melupakan Levi."
Terlintas sesaat ekspresi kecewa di mukanya. Tapi buru-buru, dengan harapan aku tidak melihat, dia menggantinya dengan senyum palsu.
"Oh, itu bagus." Ujarnya. "Hanya itu?"
"Hanya itu saja, kok~" Godaku.
Pria itu tertunduk, kecewa. Mungkin karena aku memberi jawaban yang tak sesuai dengan harapannya. Matanya yang berbinar itu pun tergantikan oleh sorot sayu yang membuatku merasa bersalah.
Aku terkekeh, mengangkat wajahnya dengan kedua tanganku. Saat tatapan kita bertemu, aku menjorokkan wajahku ke wajahnya, tapi dia mengelak dengan bibir yang sedikit mengerucut.
"Apa yang kau lakukan, (Y/N)?"
"A-Aku.." Mendadak perkataanku menjadi terbata-bata karena gugup. "Maaf. Aku hanya ingin mencium Komandan, karena kupikir.."
"Hm?"
"Karena kupikir perasaan Komandan kepadaku masih sama, jadi--"
Komandan menyergap maju, membungkamku dengan sebuah ciuman yang agak mendesak. Pipinya panas, menyentuh ujung hidungku. Ketika aku membalas ciumannya, barulah pria itu mulai agak tenang, kecupannya di bibirku juga tidak terasa semendesak sebelumnya.
"(Y/N).." Sekilas, kudapati air mata menggenang di kedua belah matanya, tetapi aku tidak tahu apa artinya itu.
Aku tahu ini gila, tapi.. "Komandan, aku ingin mencintaimu."
"Begitu?" Komandan menyeringai, kemudian menggenggam pinggulku, menarik badanku mendekat. "Baiklah."
Dia menciumku lagi dengan liar, kemudian bergeser ke pipiku, lalu turun ke leher. Awalnya aku merasa tergelitik, tapi karena terbawa suasana, aku malah mendesah pelan, membuat pria itu melonjak dan langsung mendongak kepadaku.
"K-Komandan.." Bisikku, kesal karena dia berhenti di tengah jalan.
"Namaku."
Malu-malu, aku membalas tatapannya, kemudian memberi kecupan singkat di keningnya. "Erwin."
"Anak baik," Godanya. "Seterusnya, di saat-saat berdua begini, tolong panggil aku seperti itu."
Aku mengangguk. "Oke.."
Aku pikir dia akan melanjutkan aksi nakalnya seperti tadi, alih-alih, pria itu malah menarik diri dan duduk di kursi yang ada di belakangku.
"Itu saja?" Tanyaku, heran, separuh kesal.
"Kenapa?" Dia menyeringai, kemudian menarik tubuhku hingga terjatuh di atas tubuhnya. "Aku akan melakukan yang lebih dari itu kalau kau sudah mencintaiku."
Aku meledak-ledak, menumbuk dadanya. "Komandan!"
"Erwin." Tegasnya.
"Erwin!"
Dia tertawa. "Aku akan menunggu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top