Erwin: Love You To Death

Song for this chapter:
Mary On A Cross - Ghost

Requested

***

Aku terbangun begitu mendengar suara pecahan kaca dari lantai bawah. Waktu masih menunjukkan pukul dua pagi saat itu, dan dengan pemandangan ranjang kosong si sebelahku, membuat perasaanku semakin tak karuan.

Aku mengenyampingkan kantukku sejenak dan segera berlari menuju sumber suara, mendapati (Y/N), tunanganku, tergeletak di dapur. Kurasa dia jatuh pingsan saat sedang minum, membuat gelas kaca yang dipegangnya terjatuh selagi tubuhnya ambruk ke lantai.

Cemas, aku segera memeriksa denyut nadinya yang, syukurnya, masih bekerja dengan stabil. Suhu tubuhnya panas, dan napasnya pendek-pendek. Segera kuangkat tubuh mungilnya, dan membawanya segera pada Hanji, yang saat itu sedang berjaga di klinik.

Faktor utama (Y/N) jatuh pingsan malam ini sudah jelas akibat kelelahan, kata Hanji. Tak heran. Dia memang wanita pekerja keras, dan dia sangat peduli terhadap banyak orang sehingga tak hanya mengurusi dirinya seorang, dia juga suka membantu mengurusi orang lain yang sedang dalam kesusahan.

(Y/N) dan aku memiliki banyak perbedaan. Contohnya, (Y/N) adalah sosok yang peduli terhadap sesama dan gemar bersosialisasi, sedangkan aku hanya peduli pada urusanku dan tujuanku seorang, aku juga sosok yang tertutup. Contohnya lagi, (Y/N) adalah sosok yang ekspresif. Kalau sedang marah, maka dia akan marah. Kalau sedang senang, dia akan tersenyum. Kalau sedang sedih, maka dia akan menangis. Sedangkan aku, aku seperti patung yang selalu terlihat dingin tak berekspresi. Ketika (Y/N) menyampaikan rasa cintanya melalui ucapan dan tindakan-tindakan besar seperti membuat kejutan yang kekanakan, aku menyampaikan rasa cintaku melalui tindakan-tindakan kecil. Dalam diam. Meski begitu, kita saling melengkapi. Aku mencintai dia dengan caraku, dan dia mencintai aku dengan caranya.

"Selamat pagi." Perempuan itu membuka mata, meremas tanganku yang semalaman menyelimuti tangan-tangan mungilnya.

"Pagi." Balasku, mengangguk. "Bagaimana perasaanmu pagi ini?"

"Sangat baik!" Nadanya ceria seolah tak terjadi apa-apa kepadanya. "Terima kasih sudah merawatku, maaf kalau merepotkan."

"Jangan begitu." Selakku, bergeser untuk duduk di tepi ranjangnya. "Kau adalah kekasihku, (Y/N), itu merupakan kewajibanku untuk merawatmu. Lagipula, aku senang bisa melakukan itu untukmu."

"Manisnya," Katanya seraya terkekeh. (Y/N) bangun ke posisi duduk, lalu merayap naik ke atas pangkuanku. Lucu. Seperti anak-anak.

"Aku mencintaimu, (Y/N)."

Matanya membulat saat mendengarku mengucap kata-kata tersebut lebih dulu. Dia lalu tersenyum lebar, kedua pipinya memerah. "Aku mencintaimu, Erwin."

Aku benar-benar tak berpikir hari itu akan menjadi awal dari segalanya. Beberapa minggu kemudian, insiden yang sama kembali terjadi. Kali ini, sayangnya, benar-benar fatal.

"Dysautonomia. Itu adalah kondisi di mana fungsi otomatis tubuhnya tidak menerima kontrol sadar, sehingga pengaturan suhu, pencernaan, tekanan darah, dan detak jantung gagal berfungsi." Jelas dokter, memberiku tatapan bersimpati.

Beberapa minggu setelah diagnosis tersebut, (Y/N) berusaha keras menjalani hidupnya. Dia mengundurkan diri dari Pasukan Pengintai, menghabiskan hari-harinya di rumah kami dengan hanya membaca buku, atau sesekali melukis.

Belum ada obat untuk penyakitnya tersebut, dan aku bisa merasakan kondisinya kian memburuk setiap harinya. Bahkan sekarang pun, dia sudah tidak bisa lagi berdiri lebih dari waktu tiga menit.

Jujur, aku tak pernah merasa setakut ini dalam seumur hidupku. Tidak saat aku nyaris dimakan titan, tidak juga saat aku nyaris dipecat dari Pasukan Pengintai karena lebih memprioritaskan pasanganku. Maksudku, tentu saja. Aku bisa kehilangan apa pun asalkan jangan dirinya.

"Erwin," (Y/N) membangunkanku dari lamunan, mengelus pipiku secara lembut. "Kau tidak bisa terus-terusan seperti ini."

"Apa maksudmu?"

"Kita akhiri saja semua ini. Coba jelaskan semuanya kepada keluargaku, mereka akan mengerti, aku janji."

Kata-kata itu terasa pedih, bagai sebuah belati yang menikam jantungku. "Apa yang kau katakan, (Y/N)? Aku tak akan melakukan itu."

"Tapi kenapa?" Perempuan itu terheran, bisa kulihat matanya mulai basah. "Aku tak mau menghalangimu--"

"Kau yang kenapa?" Potongku, geram. "Kita akan menikah, (Y/N). Kita sudah berjanji akan melalui semuanya bersama-sama. Baik, buruk, senang, sedih, jatuh, bangun-- Kita akan selalu bersama-sama, dan aku tak akan meninggalkanmu."

"Aku tak yakin bisa bertahan lebih lama lagi." Bisiknya, mulai menangis. "Tolonglah, kita akhiri saja, ya?"

"Lihat aku," Aku mengangkat dagunya dengan telunjukku. "Apa kau masih mencintaiku?"

"Y-Ya.." Dia mulai menangis. "Aku mencintaimu."

"Aku juga." Tegasku, dengan nada yang terkesan mendesaknya. "Tak peduli apa pun yang terjadi, aku akan selalu di sini. Jadi kumohon kepadamu untuk tidak menyerah, (Y/N)."

(Y/N) selalu percaya kepadaku, aku tahu itu. Aku pun mengerti perasaannya, dan aku sejujurnya juga merasakan itu. Kita berdua sama-sama takut kehilangan satu sama lain. Kita berdua sama-sama takut meninggalkan satu sama lain. Dan perasaan ini, aku tak yakin akan bisa merasakannya dari orang lain. 

***

Pagi ini terasa begitu tenang di rumah kami. Hanya ada suara air sungai yang mengalir di halaman belakang, dan suara sapuan daun pohon oak yang tertiup angin, menggesek jendela dapur. Hari ini aku mengambil cuti selama dua hari untuk istirahat setelah kembali dari misi ekspedisi. (Y/N) sangat senang, dan aku suka itu. Aku ikut senang kalau dia senang.

"Erwin, tolong bantu aku berdiri." (Y/N) memanggilku dari atas kursi rodanya, tangannya terangkat menggapai-gapai angin.

Aku tersenyum kepadanya sejenak sebelum beranjak dan menolongnya. "Sebentar."

Aku membantunya berdiri-- tidak. Dia tidak sembuh, justru sebaliknya. Kondisinya semakin parah, dan meski sudah berjanji untuk tidak merenungkan itu, aku menangis juga sesekali. Di suatu tempat, sendirian, tanpa (Y/N) ketahui-- Kakinya yang mungil berpijak pada punggung kakiku, seperti seorang bayi yang sedang belajar berjalan.

Sambil memeluk pinggulnya dari belakang, aku mulai menuntun badan kami ke sebuah tarian kecil. Aku bisa dengar tawanya sesekali. Itu manis sekali. Lalu saat (Y/N) mulai batuk-batuk, dan aku hendak menggiringnya kembali ke kursi roda, dia menolakku. Aku kemudian memutar badannya untuk melihat wajahnya, menemukan sebercak darah di sela-sela bibirnya.

"(Y/N)," Lirihku, berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tak tumpah. "Ayo istirahat."

(Y/N) mengabaikanku, dan menyuruhku untuk melanjutkan tarian yang kita lakukan tadi. Dia tersenyum lagi, seolah tak terjadi apa pun kepadanya.

Hatiku.. berat sekali rasanya. Aku ingin terus bersamanya, di satu sisi. Tapi di sisi lain, aku juga benci melihatnya menderita.

"Kurasa aku benar-benar tak tahan--"

"Bagaimana kalau kita menikah sekarang?" Aku tak mau mendengarnya mengajakku berpisah lagi, maka kupotong dengan tawaran itu. Aku hanya.. berharap dengan ini, dia bisa menghentikan pikiran-pikiran buruknya.

Perempuan itu menggeleng, lalu memainkan rambutku dengan jemarinya. "Erwin, jangan seperti itu."

"Kenapa? Toh semakin cepat semakin baik."

"Hentikan itu." Suaranya mendadak serius, tak pernah kudengar dirinya bicara setegas ini. Telunjuknya lalu menuding ke dirinya sendiri, ke tubuhnya yang kini telah kurus kering, seperti hanya ada tulang dan kulit yang tersisa di sana. "Kau. Lihat aku. Aku kehabisan waktu. Aku tak akan lama dengan badanku yang seperti ini, Erwin."

"Jangan paksa aku, (Y/N). Aku tak akan pergi. Hanya kau yang aku punya, maka dari itu kumohon jangan paksa aku! Persetan dengan semuanya, aku.. aku ingin bersamamu!" Aku, secara tak sengaja, membentaknya dengan kasar. Itu terasa sangat menyakitkan, dan aku secara tak sengaja malah menangis di hadapannya. "Maafkan aku. Sungguh, maafkan aku, (Y/N).."

Wajah (Y/N) melembut, dia memelukku. "Apa pun yang terjadi besok, kita punya hari ini."

Empat jam setelahnya, (Y/N) meninggalkanku. Dia pergi dengan tenang, bisa kulihat dari ujung bibirnya yang terus terangkat bahkan hingga saat-saat terakhirnya.

Aku..

Aku akan baik-baik saja.

Mungkin tidak untuk saat ini, tapi aku akan baik-baik saja.

***

Tahun-tahunku bersamanya merupakan waktu terbaik dalam hidupku. Aku tak pernah merasa begitu bahagia sejak lama sekali. Lalu dia datang. Dia mengajariku banyak hal. Tentang caranya memasak, caranya bersabar, sampai caranya menangis.

Sudah lima tahun. Dunia menjadi sangat kacau setelah kepergiannya-- maksudku, sungguhan kacau. Dua bulan setelah hari pemakamannya, Distrik Shinganshina tertembus, terjadi pembantaian besar-besaran di sana. Sejak insiden tersebut, kami menemukan banyak petunjuk mengenai Titan yang aku yakin (Y/N) akan tercengang kalau mendengar keseluruhan ceritanya.

Hari ini, aku dan pasukanku akan merebut kembali kedamaian di Shinganshina. Aku dan semua orang.. akan melakukan pengorbanan besar-besaran.

Kalau beruntung, aku akan hidup. Kalau tidak, itu pun bukan masalah. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan lagi, aku yakin mereka bisa mengurus sisanya sendiri.

"Pasukanku, serang!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top