Erwin: Love-Hate Kind of Love

Aku tidak terlalu suka pada pria bernama Erwin Smith itu. Dia sok pintar, rambut pirang klimisnya juga tampak konyol. Dia tak ramah dan jarang tersenyum padaku. Ya. Cuma padaku seorang. Kepribadiannya itu membuatku ingin menendangnya dari atas dinding-- bercanda. Tentu saja aku tak sungguh-sungguh. Aku hanya ... kesal karena perlakuannya terhadapku selalu berbeda dari orang lain. Aku salah apa sih? Memang menurutnya, siapa dirinya itu? Padahal cuma pria culun sok pintar yang belagu dan kejam. Dia memang tampan sih, dan dewasa. Aku pernah jatuh cinta padanya, dulu sekali. Tapi dia belagu!

Oh ya, omong-omong, sepi sekali ?

Aku celingak-celinguk ke sekeliling, menyadari semua orang sudah tak ada. Terakhir yang kuingat, aku memang sudah terpisah dari reguku sendiri, lalu aku ditemukan oleh regu Mike. Dan, sekarang, aku terpisah lagi. Hah. Lucu sekali.

Aku terus jalan sesuai arahan yang telah diberikan oleh Komandan Shadis, dan malah bertemu dengan pria menyebalkan itu. Dia sendirian, sama sepertiku. Antara pergi diam-diam atau menghampirinya, aku menimbang-nimbang pilihan itu di hatiku, keduanya berat dan mustahil. Selama satu saat yang mencekam, aku tidak tahu harus berbuat apa.

"Oi," Panggilku, mengikutinya dari belakang. Langkahku tidak sempat jauh begitu kudaku tiba-tiba saja panik karena melihat ular melintas di depannya dan membuatku jatuh telentang. Mataku menatap langit yang berwarna biru gelap, menandakan matahari sudah nyaris tenggelam. Seketika itu pula, aku merasakan sakit di bahu kananku dan baru sadar bahwa aku mendarat di atas sesuatu yang keras.

Tanganku meraba-raba ke sekeliling, menarik patahan batu dari bawah tubuhku. Aku menggeram, mengangkatnya dengan tanganku yang tidak sakit dan hendak melemparkan benda itu, tetapi seseorang kemudian menghentikanku.

"Itu bukan ide yang bagus."

Aku langsung mengenali suara Erwin. Suaranya berat dan dengan intonasi yang lembut, tapi sekaligus terselip nada memerintah. Aku duduk tegak dan melihat Erwin yang sedang turun dari kudanya untuk menghampiriku.

"Kau tidak apa-apa?" Erwin menyeringai, membuatku semakin ingin menghajarnya.

"Aku akan merasa jauh lebih mendingan kalau sudah meledakkan benda celaka ini." Sahutku. Aku berusaha bangkit, sayang tidak berhasil.

Erwin mengambil patahan batu tersebut dari tanganku dan dengan lembut meletakkannya di rumput yang mulai berselubung salju. Dia mengamati luka di bahuku yang sekarang membentuk pingkaran merah cerah di lengan kemejaku.

"Benar-benar nasib yang baik," Keluhku.

Erwin membungkuk, memegang tanganku yang tidak cedera dan menarikku bangkit. "Lukamu mesti diperban."

"Sekarang ini aku tidak punya ide di mana mesti mencari perban," Kataku sambil merogoh saku yang kosong melompong.

"Kau tidak bawa persediaan daruratmu?" Erwin mendecak, kemudian aku menggeleng. Dia menarik napas sejenak, lalu menepuk pundakku. "Kita menyingkir dulu. Aku punya perban."

"Tapi itu kan punyamu."

"Aku tidak dalam kondisi membutuhkannya, (Y/N)."

Erwin melepas jaket cokelatnya dan menyelimutkannya ke bahuku, memegangi lenganku saat mendampingiku menyingkir dari jalan menuju pohon di tepian. Aku merasa agak menyedihkan dengan dibantu Erwin seperti ini-- aku kan bisa jalan sendiri. Dan lagian, belum lama aku baru saja bilang ingin menendangnya dari atas dinding.

Selagi aku bergerak turun untuk duduk, Erwin menggulung kedua lengan bajunya dan membuka botol berisi air minum miliknya, menolak ketika aku menyuruhnya mengambil air minumku. Pria itu memakai kemeja putih berkerah dan berkancing sampai atas, yang tampak sedikit tembus pandang akibat percikan salju, memperlihatkan kulit putih pucatnya. Erwin memiliki bahu yang lebar. Lengan kemejanya menggunduk di sekeliling otot-otot lengannya.

Aku sedang memandangi bibir tipisnya ketika pemuda itu mengangkat pandangannya dari handuk yang dia siram kembali ke wajahku. Kurasakan wajahku memerah saat mengambil lap basah dari tangannya, tidak merasa bangga atas banyaknya perhatian yang kuberikan terhadap dirinya.

"Tidak apa-apa," Kataku sambil berdeham, berusaha sedingin biasa terhadapnya. "Aku bisa sendiri."

Erwin membuka perban sementara aku menheka darah di lukaku. "Apa yang kau lakukan berkeliaran seorang diri seperti itu?"

"Kau sendiri bagaimana?"

"(Y/N), aku bertanya lebih dulu."

"Aku melamun, dan tersesat. Puas? Sekarang beri aku jawaban atas pertanyaanku."

"Seluruh anggota reguku tewas dimakan titan."

"Eh? Erwin, maafkan aku, aku--"

Ketika dia mendekat untuk menempelkan perban di bahuku, aku merasakan embusan napasnya di leherku. Kugosok-gosok kedua tanganku untuk menyembunyikan rasa dingin yang merayapi tanganku. Erwin menempelkan perban lalu menepuk-nepuknya.

"Selesai." Kata Erwin sambil berdiri.

".... Terima kasih." Balasku dengan canggung.

Aku berdiri, menatap bagian atas bahuku, berpura-pura meneliti perban itu sambil merencanakan tindakanku selanjutnya. Aku sudah mengucapkan terima kasih. Sekarang aku bisa berbalik dan naik ke kudaku, tapi tindakanku itu pasti terkesan tidak sopan padahal dia baru saja menolongku.

Jika aku hanya berdiri menunggu dia yang memulai obrolan ringan, mungkin saja aku kelihatan bodoh karena tidak pergi. Aku bahkan tidak mengerti kenapa aku jadi merenungkan tindakan-tindakan mendasar di dekar pria yang tak pernah kusukai hingga hari ini.

Saat aku mendongak ke wajahnya, Erwin sedang menatap langit dengan raut cemas. Menghela napas sejenak, pria itu kembali menatapku.

"Kita takkan selamat kalau melanjutkan perjalanan sore ini."

"Apa?"

"Akan turun badai. Kita takkan bisa melawan para titan dengan kondisi gelap, dan lagi, di tengah terjangan badai salju."

"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Mencari pohon yang tinggi. Kita harus bermalam."

"Hah? Yang benar saja?!"

***

Saat aku terbangun, ternyata sudah tengah malam. Erwin tidak tidur, meringkuk kedinginan di sebelahku, selagi aku menghangatkan diri dengan jaketnya. Aku jadi iba, dan kurasa ingin menarik kata-kataku.

Aku melepas jaket Erwin dan mengembalikan benda itu kepadanya. "Hey, istirahatlah. Aku akan berjaga."

"Tidak, (Y/N). Kau tidak boleh berjaga dengan kondisi seperti itu." Erwin, untuk pertama kalinya, memberiku segaris senyum tipis yang menenangkan. Pria itu memaksaku untuk kembali memakai jaketnya, lalu menepuk pucuk kepalaku. "Jangan cemaskan aku. Aku baik-baik saja."

Tapi senyum Erwin memudar ketika kami berpandangan. Aku masih berusaha membiasakan diri terhadap sikap Erwin, yang ternyata, tak sesuai dari apa yang kupikirkan terhadapnya selama ini. Sentuhan sekecil apa pun dan sikapnya yang paling sederhana sekali pun sekarang, entah bagaimana, menimbulkan efek yang amat mendebarkan pada indraku.

"Erwin?"

"Ya, (Y/N)."

"Maaf," Aku berdeham lalu memutus saling tatap itu saat meraih jaket Erwin supaya lebih erat menyelimuti tubuhku. "Aku tak pernah menyukaimu sampai hari ini."

Erwin terkekeh. "Aku tahu."

"Kau tahu itu? Sejak kapan?"

"Sejak kita bertemu di akademi."

"Kau mau tahu kenapa?"

"Aku tahu, (Y/N)," Erwin mengangguk. "Aku tak bisa apa-apa selama ini karena aku--"

Mendadak dia berhenti dan tak melanjutkan perkataannya. Alih-alih, pria itu malah melempar badannya mundur dan bersandar pada batang pohon, memandangku dengan sorot kosong.

"Kau ... ?" Tanyaku, memintanya untuk melanjutkan perkataannya itu.

"Lupakan." Wajahnya memerah, dan entah kenapa aku kecewa. "Apa pun itu, aku minta maaf sudah membuatmu merasa seperti dimusuhi. Aku tak bermaksud begitu. Sungguh."

"Jadi, apakah sekarang kita berteman?" Tanyaku, berusaha menahan perasaan gembira.

Erwin mengangguk, "Tentu saja."

"Kalau begitu, aku juga minta maaf, ya." Aku bersandar ke pundaknya, tetapi langsung melonjak kaget karena merasakan suhu tubuhnya yang panas. "Ya ampun, kau demam!"

"Jangan dipikirkan."

"Tidak." Aku melepas jaketnya dariku, memaksanya memakai jaket itu selagi dirinya terus menolak.

"Ayolah! Aku sudah baik-baik saja! Kumohon!" Geramku, terus memaksa.

Erwin menghela napas berat kemudian mengalah. Dia memakai jaketnya kembali dan duduk ke posisi semula.

"Kalau kau kedinginan, beri tahu aku."

Aku menggenggam tangan Erwin, dan akhirnya tertidur dengan bibir tersenyum. Jantungku deg-degan sekali.

***

Aku terbangun dan aku ingin berteriak karena sekarang ini Erwin sedang ... memelukku. Kusadari Erwin lagi-lagi memberikan jaketnya kepadaku, jadi kuasumsikan tindakannya saat ini adalah karena aku kedinginan dan ... membuatnya kerepotan. Telingaku bersandar di atas jantung Erwin, dan aku bisa merasakan jantungnya berdetak kencang di dalam sana.

"Pagi,"

Ketika aku berbisik dengan suara serak khas bangun tidurku, kurasakan denyut jantungnya meningkat. Aku mengadah dan mendapatinya tidak sedang tertidur, tetap seawas semalam.

Erwin tidak membalas tatapanku. Sebagai gantinya, matanya tertuju pada tangannya yang perlahan-lahan bergerak ke lenganku.

"Kau masih demam." Kataku, cemas. Dan aku yakin kalau sekarang ini aku juga terserang demam.

"Kau juga demam. Semalam kau menggigil parah sekali." Tangan Erwin bergerak ke bahuku. "Bahumu bengkak."

Aku tidak tahu apa yang merasukiku, tapi aku mendekat dan menghadapkan wajahnya ke arahku. Aku hanya ingin Erwin memandangku. "Erwin. Kau demam."

"Kau juga. Tapi aku setidaknya tak cedera." Balasnya dengan ketus, dia segera bangkit dan menepuk pundakku. "Kita pulang pagi ini dan segera obati lukamu."

***

Setibanya di dinding, alih-alih melapor ke markas, Erwin ikut mengantarku ke klinik terdekat di Distrik Shiganshina, bagian terluar dinding tempat kami biasanya keluar dan masuk dari misi ekspedisi. Aku memintanya untuk diperiksa, tapi dia menolak karena 'katanya' kondisinya tak parah, dan tak ada keluhan selain suhu tubuhnya yang tinggi.

Setelah dokter memberi obat berupa pil dan semacam salep, kami segera pulang ke markas, dan sesuai dugaanku, semua orang terkejut karena berpikir kami berdua sudah mati di luar dinding.

"Ah, akhirnya," Aku menghela napas panjang setelah keluar dari ruangan kerja Komandan Shadis. Erwin di sebelahku hening sekali, dan kusadari kalau posturnya tak setegas biasanya. Maksudku ... tentu saja.

"Kau butuh istirahat," Kata Erwin dengan suara parau. "Biar kuantar kau."

"Tidak." Tolakku, menepuk pundaknya yang sejajar dengan pucuk kepalaku. "Pertama-tama, ayo kita ke kamarmu."

Mendengar ucapan ambigu itu, wajah Erwin memerah. "Apa?"

"M-Maksudku, kau harus istirahat, bodoh. Aku akan memakaikanmu kompres air hangat supaya demamnya turun."

"Tapi--"

"Kalau kau protes, aku takkan berteman denganmu lagi."

"Baiklah," Erwin mendecak, namun entah kenapa, ujung bibirnya terangkat. "Keras kepala sekali."

Kami berjalan menuju kamar Erwin yang berlokasi di lantai empat sambil mengobrol-ngobrol kecil tentang misi ekspedisi selanjutnya, sampai akhirnya kami berpapasan dengan Hanji.

"Waduh, ada apa dengan kalian?" Goda Hanji seraya merangkul kami berdua.

"Sesuatu terjadi kemarin dan sekarang kami berteman." Jelasku sambil menepis tangannya dari bahuku. "Sakit."

Hanji terkekeh. "Kalian berdua demam, loh? Panas sekali."

"Ya. Bermalam di luar dinding dan di musim dingin tanpa persiapan, tentu saja." Aku menyikutnya dengan tanganku yang tak sakit.

"Hanji, kalau tak mau membantu setidaknya pergi saja sana." Erwin memandang Hanji dengan gusar, tampak pucat dan lesu. Badannya lunglai, bertumpu ke dinding di sebelahnya. Agaknya dia tak sanggup berdiri lebih lama lagi.

Wanita itu menatapku, lalu balik menatap Erwin. Sambil memberinya seringai usil, Hanji pun mengangguk dan berbalik. "Yah, yah. Kalau gitu selamat menikmati mimpimu yang jadi kenyataan itu, Erwin."

"Diam kau, Hanji."

Sebelum aku sadar, Erwin sudah beberapa langkah di depanku. Karena tak tega melihatnya lemah, aku merangkulnya dan segera membawanya ke kamar.

***

Sudah enam jam aku duduk di kamar ini selagi melihat Erwin yang berbaring di atas ranjang, tertidur pulas. Sepertinya dia begitu lelah sehingga berhasil tidur tanpa perlu berkata apa pun begitu tiba di kamarnya. Suhunya menurun, tapi napasnya masih pendek dan terasa panas.

Aku, jujur saja, juga lelah. Tapi kalau aku pergi sekarang tak adil rasanya, padahal Erwin sudah menjagaku selama semalaman kemarin, bahkan di malam yang dingin dan penuh bahaya, alih-alih di kamar yang hangat dan aman pada sore hari ini.

Detak jantungku berpacu ketika menyadari bahwa Erwin sudah membuka matanya dan sedang memandangi wajahku.

"Bagaimana kondisimu? Kenapa masih di sini?" Itu yang pertama kali dia katakan setelah tidur sepanjang siang.

"Aku baik-baik saja, dan sialan, tentu saja aku sedang merawatmu!" Balasku, setengah malu setengah gusar.

Dengan paras memerah, dia segera bangkit dari kasurnya. Sorot tak percaya terpancar di matanya saat dia menggigit bibir bawahnya. Dia menggeser pandangannya ke jendela, mengusap-usap wajah dengan telapak tangan saat aku memeras kompresnya.

"Terima kasih, (Y/N)," Lirihnya dengan suara yang terdengar amat lembut dan menenangkan. "Untuk semua ini."

"Aku yang paling berterima kasih. Kau kan sampai begini juga karena menjagaku. Padahal kau bisa saja mengabaikanku dan kembali ke dinding bersama yang lain." Kataku, meraih tangannya. "Kau terlalu baik, tahu? Dulu sebelum kau mulai mengabaikanku, aku menyukaimu karena kau tipe laki-laki yang baik dan dewasa. Tapi aku sebal sejak hari itu. Kalau tahu kau seperhatian begini sedari dulu, mungkin aku bisa-bisa terobsesi padamu." Lanjutku sambil tertawa pelan. Tapi aku tak bercanda.

"Aku suka kau, (Y/N)."

Aku butuh sepuluh menit untuk mencerna kata-kata Erwin barusan. Biasanya aku cepat tanggap terhadap lelucon, tapi barusan pikiranku mendadak bekerja dengan lamban.

"Ha, itu lucu sekali." Aku menyikutnya dengan tawa canggung.

"Tidak. Aku serius." Dia menunduk untuk menatap tanganku yang tiba-tiba dingin. Jemarinya bergetar di bawah sentuhanku. "Aku menyukaimu sejak hari kau menyapaku untuk pertama kalinya di akademi. Alasanku selalu menghindar darimu adalah karena aku ...," Pria itu berhenti sejenak dan menggaruk tengkuknya. "Aku menyukaimu. Kau cantik, memiliki kepribadian cerah yang dapat membuat orang lain bahagia, dan karena kau selalu bersinar di mana pun, semua orang menyukaimu. Aku? Aku kebalikan dari dirimu. Aku ... tak memiliki keberanian untuk bicara padamu karena ... karena aku takut. Dan karena terlalu takut, aku jadi memikirkanmu, dan, kurasa kau adalah cinta pertamaku, (Y/N)."

Aku tidak lagi berusaha mengendalikan napasku. Aku pun berdiri dan maju satu langkah ke arah Erwin, sehingga nyaris meniadakan jarak di antara kami. Kubiarkan jemariku menggesek pipinya, mencermati wajahnya. Kutempelkan kedua tanganku di pundaknya dan Erwin pun akhirnya mengangkat pandangan menemui mataku.

"Ini bodoh, aku tahu," Gumamnya. "Kau selalu tak suka padaku selama ini, tapi sekarang aku malah menyatakan cinta."

"Erwin," Bisikku, tapi aku tak melanjutkan kata-kataku karena aku sendiri pun kebingungan terhadap situasi yang tiba-tiba menjadi seperti ini.

"Kau tak perlu memberiku jawaban apa pun soal itu. Aku cuma merasa kau perlu tahu, karena perasaanku terhadapmu sudah tak terbendung, dan aku juga belakangan jadi muak terhadap diriku karena selalu menjadi pengecut." Suaranya mendadak tegas, namun sepelan sebelumnya. "Aku akan terus mencintaimu kalau kau mengizinkan. Tapi kalau kau ingin aku berhenti, aku akan beru--"

Aku menciumnya. Semua perasaan yang kusimpan untuk Erwin, cinta dan kebencian yang bercampur selama ini, kembali membanjir.

"Makanya jangan belagu." Sindirku, sambil lanjut menciumnya.

Ketika kami selesai, Erwin memelukku, menarikku ke tubuhnya, terduduk di atas pangkuannya. "Kau tidak ingin aku berhenti?"

Cih. Sok berani. Padahal tangan dia sekarang gemetar dan sedingin tanganku. Tapi, tidak. Aku tidak ingin dia berhenti mencintaiku. Malah, perasaan cintaku yang sedari dulu tertutup oleh kebencian itu, kembali mendatangiku.

"Tidak."

"Tidak apanya?" Godanya.

"P-Pokoknya tidak."

"Kau tidak mengizinkanku?"

"Aku tidak ingin kau berhenti mencintaiku." Aku langsung menutup mulutku karena keceplosan.

Erwin mendekatkan bibirnya ke bibirku. Langsung saja kulingkarkan lenganku untuk memeluknya dan membalas ciumannya. Tentu saja aku membalas ciumannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top