Erwin: Clueless

Erwin's POV

Siang itu, saat para prajurit menikmati waktu istirahat mereka, aku masih tenggelam dalam tumpukan laporan ekspedisi kemarin. Kepalaku terasa berat karena kurang tidur, dan fokusku semakin terpecah dengan setiap baris laporan yang ku baca.

Sampai akhirnya, sebuah ketukan terdengar di pintu.

Aku menarik napas panjang, mencoba menekan rasa kesal yang merayap di dadaku.

"Masuk." Aku berusaha menjaga nada suaraku tetap netral.

Dan di sanalah kau berdiri, membawa nampan berisi makan siangku. Aku tak pernah memintamu melakukan ini, namun kau selalu datang—pagi, siang, malam—membawakan makanan yang sering kali kuabaikan. Aku tahu kau melakukannya dengan sukarela, mungkin karena kau tak tahan melihatku bekerja tanpa jeda.

Sejujurnya, aku tak pernah tahu bagaimana harus merespons perhatian seperti ini. Aku terbiasa dengan kepatuhan, bukan ketulusan.

"Lebih sibuk dari biasanya, Komandan?" Kau bertanya dengan senyum ramah.

Aku hanya mengangguk, terlalu lelah untuk sekadar meladeni percakapan ringan. Namun, saat kau mengangkat nampan sarapanku yang masih penuh, aku bisa merasakan atmosfer di antara kita berubah.

"Komandan," suaramu terdengar cemas. "Anda harus makan sekarang juga."

"Aku akan memakannya nanti."

"Anda melewatkan sarapan lagi."

Aku diam, mencoba mengabaikan teguranmu. Namun, saat kau mendekat dan menepuk pundakku, kesabaranku yang sudah menipis akhirnya pecah.

"Diamlah!" Suaraku meninggi, dan tanganku tanpa sadar menepis tanganmu.

Kesunyian yang menyusul terasa menusuk.

Aku melihatmu mundur selangkah, wajahmu dipenuhi keterkejutan dan… mungkin juga sedikit luka.

Kau menunduk, memberi hormat dengan suara gemetar. "M-Maaf karena telah mengganggu Anda, Komandan. Kalau begitu, saya pergi dulu."

Aku seharusnya membiarkanmu pergi. Itu yang biasa kulakukan pada siapa pun yang mencoba masuk terlalu dalam ke kehidupanku. Tapi ketika aku melihat punggungmu yang perlahan menjauh, ada sesuatu dalam diriku yang menolak untuk membiarkanmu pergi begitu saja.

"(Y/N)."

Kau berhenti, menoleh dengan ragu.

Aku berdiri, menarik sebuah kursi ke sisiku. "Kemarilah."

Matamu membesar, namun kau tetap menuruti perintahku. Saat kau sudah di hadapanku, aku menepuk kedua pundakmu, menarikmu lebih dekat.

"Duduk."

"Ta-tapi—"

"Duduk."

Kau akhirnya menurut, meski aku bisa melihat jemarimu saling bertaut, menahan kegugupan.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aku menutup laporan di hadapanku dan bersandar, mencoba meredakan sakit kepala yang berdenyut.

"Apa aku telah membuatmu takut, (Y/N)?" tanyaku akhirnya, suara sedikit serak.

Kau menggeleng. "Sama sekali tidak, Komandan."

"Sakit hati?"

Kali ini, aku bisa melihat keraguan di matamu sebelum akhirnya kau kembali menggeleng.

Aku menghela napas lega, lalu memutar kursiku hingga kita saling berhadapan.

"Kau tahu," aku menegakkan posisiku, menatapmu lebih dalam. "Aku sangat menghargai perhatianmu, (Y/N). Bagiku, kau sangat mempermudah hidupku."

Kulihat kau mengatupkan rahang, seolah bersiap mendengar sesuatu yang lebih buruk.

Aku berhenti sesaat. Entah kenapa, melihat ekspresi itu membuat dadaku sedikit sesak.

"Jangan berhenti." Aku bergumam tanpa sadar.

"Ya?" Kau menatapku dengan bingung.

Aku mengalihkan pandangan, menyisir rambut dengan jemari untuk menyembunyikan rona hangat yang mungkin mulai merayap di wajahku.

"Kalau kau mau, kau bisa melanjutkannya…"

Keningmu berkerut. "Anda mau saya…?"

"Melanjutkannya." Aku menegaskan. "Mengunjungiku, maksudku."

Aku bisa melihat bagaimana kau terdiam, berusaha mencerna kata-kataku.

Aku menghela napas, merapikan kerah kemejaku, lalu menatapmu lagi. "Tak mesti membawakanku makan, tapi, (Y/N)… aku ingin kau mengunjungiku."

Setelah sekian lama, akhirnya aku mengatakan sesuatu yang seharusnya sudah kusampaikan sejak lama.

"Di atas semua itu," suaraku merendah, "aku hendak meminta maaf kepadamu atas perlakuanku tadi."

Aku menatapmu, menunggu jawabanmu. Tapi kau hanya diam—wajahmu merah padam, tanganmu terkepal di pangkuanmu, dan bibirmu sedikit terbuka seolah kau ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak bisa.

Aku menelan ludah, menyadari sesuatu yang baru saja terjadi. Kamu mati kutu. Dan untuk pertama kalinya sejak hari yang panjang ini dimulai, aku membiarkan diriku tersenyum kecil.

Aku masih mencoba memahami apa yang baru saja kukatakan, tetapi saat melihat ekspresimu, aku bisa merasakan sedikit ketegangan di dalam diriku. Kamu menatapku, matamu melebar, dan aku tahu aku telah membuatmu kehilangan kata-kata.

Aku seharusnya tidak merasa aneh karena ini, tapi tetap saja ada sesuatu yang membuat dadaku terasa sedikit berat.

Aku mengalihkan pandangan sejenak, menarik napas pelan sebelum kembali menatapmu. "Bagaimana kalau nanti malam kita makan bersama?"

Suaraku terdengar lebih kaku daripada yang kuharapkan. Aku tidak terbiasa mengusulkan hal seperti ini, apalagi melihat seseorang bereaksi seperti kamu sekarang—terdiam, seolah tidak tahu harus berbuat apa.

Aku merasakan sesuatu yang asing di dalam diriku. Rasa tidak nyaman, mungkin? Atau… sedikit canggung?

Kamu masih tidak mengatakan apa-apa.

Aku mengernyit samar, lalu menggeser posisiku sedikit di kursi, merasa bahwa atmosfer di ruangan ini tiba-tiba berubah menjadi lebih berat dari yang seharusnya.

"Apa aku membuatmu tak nyaman, (Y/N)?" tanyaku, mencoba meredakan situasi, meski nada suaraku terdengar lebih serius daripada bercanda.

Kamu membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Aku menunggu, tetapi untuk pertama kalinya, aku merasa tidak yakin apakah sebaiknya aku menarik kembali ucapanku atau tetap menunggu jawabanmu.

Kamu menarik napas, lalu akhirnya berkata, "Saya… baiklah."

Aku mengangkat alis. Itu saja?

Aku menekan rasa ragu yang tiba-tiba muncul dalam benakku. Aku tidak tahu apa yang kuharapkan, tapi mendengar jawabanmu yang seolah setengah ragu membuatku merasakan sesuatu yang hampir seperti… kegelisahan.

Aku menegakkan punggungku, menatapmu dengan ekspresi tetap tenang. "Aku akan menjemputmu setelah tugas selesai."

Kamu mengangguk, meskipun aku bisa melihat bahwa pikiranmu masih berputar, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

Aku kembali menatap dokumen di hadapanku, mencoba mengalihkan pikiranku, tapi entah kenapa, aku menyadari bahwa fokusku mulai terpecah.

Dan itu… menggangguku.

***

AKU KEMBALI DAN SELAMAT PUASA ALL

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top