Eren vs Reiner: First Meeting

INI BAKAL PANJANG BANGET DAN GA AKAN KELAR DALAM SATU CHAPTER, JADI.. HEHE.

Note: (Y/F/N) Your Full Name

***

Reiner POV

Pukul delapan, di wisma pengungsian Distrik Trost. Selama empat puluh menit penuh aku, Annie, dan Bertholdt mengantri bersama ribuan pengungsi lainnya. Untuk apa? Untuk sebuah roti hambar yang dingin dan sudah mulai mengeras-- belum tahu juga, sejujurnya. Aku hanya dengar dari komentar-komentar orang yang lewat. Pokoknya tempat ini buruk banget, sangat jauh dari kampung halamanku.

"Baru sehari pergi rasanya seperti setahun." Gerutu Bertholdt. Dia berjongkok sesaat karena tak dapat menahan rasa pegalnya. 

"Makanya kita harus bekerja dengan cepat." Annie menyahut. "Semakin cepat kita menyelesaikan omong kosong ini, semakin cepat juga kita bisa pulang. Omong-omong, bagaimana rencana berikutnya?"

"Kita baru sampai dan kau langsung mau membahasnya?" Bertholdt memprotes, menatap ke arahku yang tak begitu mempedulikan mereka. 

Kematian Marcel benar-benar membuatku terpukul. Bagaimana tidak, berkatnya lah aku bisa mendapat kekuatan ini. Dan kayaknya hal tersebut lebih pantas untuk dipusingkan dibanding perdebatan nggak guna seperti yang baru saja kudengar dari arah belakangku.

Tiba-tiba seorang gadis yang entah dari mana datangnya menepuk pundakku sambil tersenyum. Kalau dilihat-lihat, sekiranya usianya seumuran denganku. Dia beberapa senti lebih jangkung dariku, tapi aku yakin dia kemari tidak untuk mengajak berkelahi. 

"Hai," Sapanya ramah. "Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Kau buta?" Geram Annie, memutar bola matanya. "Bilang saja kalau kau mau ikut baris dengan kami, dasar bocah curang."

"Ah.. Bukan begitu, maaf." 

Raut gadis itu tampak terluka. Herannya dia masih bisa tersenyum dengan tabah menghadapi respons Annie yang bahkan membuatku tak nyaman mendengarnya. Kemudian telunjuk anak itu mengarah pada sebuah tenda yang berjarak beberapa meter dari tempat kami berbaris.

"Anak-anak dan lansia boleh mengambil makan malam lebih dulu di sana.." Dia mengangguk. "Rotinya masih hangat, loh."

Annie tanpa berbasa-basi pergi keluar barisan, dengan Bertholdt-- yang syukurnya masih memiliki sedikit sopan santun dalam dirinya-- membungkuk sebagai ucapan terima kasih dan segera menyusul Annie. Aku? Aku nggak tahu harus apa. Aku ingin pergi, tapi aku jadi penasaran.

"H-Hey." Panggilku ketika bocah itu hendak berbalik ke arah yang sama dengan Annie dan Bertholdt.

"Eh? Ya? Ada yang bisa kubantu?"

"Siapa namamu?"

"Aku? Namaku (Y/F/N).. Ah.. Anu.. Panggil (Y/N) saja." Kudapati dia berjuang menutupi ekspresi sedihnya. "Oh iya! Siapa namamu?"

"Reiner Braun." Aku menjabat tangannya. Wah. Walaupun tubuhnya jangkung, tangan dan jemari-jemarinya jauh lebih mungil dari tanganku. "Kau pengungsi?"

"Iya,"

"Sendirian?"

"Aku dengan Nenekku di sana." (Y/N) menunjuk ke arah tenda yang sepertinya merupakan klinik. Dia mengerjap sesaat, kemudian tersenyum hangat kepadaku. "Ayo, kita ambil makan!"

***

Ketika aku dan (Y/N) tiba, hanya ada satu roti di meja yang tersisa. Dia melirik ke arahku dengan tatapan bersimpati dan lagi-lagi tersenyum. Kau tahu? Agak menyedihkan rasanya melihat senyuman yang seperti itu. Maksudku, dia terlalu muda untuk menyembunyikan segala kesedihannya sendirian. 

"Kau kan pendek," (Y/N) sambil terkikik, menepuk kepalaku. Aku merasakan sesuatu bergejolak di dalam perutku. Apa, ya? Padahal aku tidak sedang ingin buang air. "Kau boleh ambil rotinya, Reiner."

"Apa?"

"Aku bilang, kau boleh ambil rotinya~"

"Eh? Kenapa? Kau bagaimana?"

"Supaya kau bisa bertumbuh tinggi! Hahaha! Lagi pula menahan rasa lapar selama semalaman tidak akan membuatku mati, jadi.." Dia meledek, tapi aku sama sekali tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. (Y/N) adalah anak yang paling menyenangkan yang pernah kutemui sejauh ini, dan kurasa menetap beberapa tahun di tempat yang menyiksa ini tidak akan terasa terlalu buruk kalau aku melaluinya dengan perempuan ini. 

Aku menurut dan membawa satu buah roti yang tersisa itu ke genggamanku. Ketika (Y/N) melambai kepadaku dan berpamitan karena ingin memeriksa kondisi neneknya, aku mengejarnya, mengabaikan ajakan Annie dan Bertholdt yang hendak kembali ke wisma untuk tidur. Padahal aku baru ingin berbagi roti dengannya, tapi anak itu cepat sekali hilangnya. 

Akhirnya tibalah aku di depan tenda klinik. Aku mendengar suara seorang gadis menjerit dari dalam sana yang ternyata adalah (Y/N). Neneknya meninggal dunia karena kehabisan darah. Titan yang kami bawa sempat menghancurkan rumah mereka dan membuat sang nenek tertindih puing-puing bangunan, tapi wanita itu ternyata masih bisa bertahan hingga ke pengungsian. Rasa sedih, rasa marah, serta rasa bersalah berkecamuk dalam diriku. Ini semua salahku.

Kalau sudah salah, aku harus tanggung jawab, kan? Ketika (Y/N) berlari sambil menangis meninggalkan klinik, aku mengejarnya. Dia berhenti di tepi sungai dan menjerit kencang, meluapkan kepedihannya yang membendung. 

"(Y/N)?" Aku berjalan secara perlahan mendekatinya.

Dia jatuh bersimpuh. "Se-Sekarang aku nggak punya apa-apa lagi yang tersisa. Ayah, Ibu, Kakak.. Nenek.."

Aku duduk di hadapannya, menggenggam kedua tangannya. Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku. Aku mengulangi pernyataan itu dalam hatiku sebanyak mungkin. Membayangkan seperti apa perasaanku jika jadi dirinya, aku malah ikut menangis. 

"Aku.. A-Ada aku.." Dengan terbata-bata aku memeras kedua tangan mungilnya. 

Setelah beberapa saat kemudian, (Y/N) berhenti menangis. Aku berakhir memberinya seluruh bagian rotiku karena iba. Tapi aku tak keberatan, omong-omong. Aku jadi ingat perkataannya. Menahan rasa lapar selama semalaman tidak akan membuatku mati, jadi.. 

"Terima kasih, Reiner." Gadis itu berbisik dengan suara serak sambil terus mengunyah makanannya.

"Hey, (Y/N)."

"Hm?"

Aku berdeham, berjuang melawan rasa maluku. Kemudian dengan gemetar, aku mengelus kapalanya dan memaksakan senyum-- yang aku tahu pasti terlihat aneh karena tak lama setelah itu (Y/N) tertawa.

"Aku memang baru kenal denganmu, tapi.." Gumamku, dan melanjutkan. "Aku akan menjagamu. Kau nggak akan sendirian. Aku akan jadi teman terbaikmu selamanya. Aku janji."

Aku merasa bersalah karena mengucap janji yang-- mau tak mau-- akan berakhir jadi janji palsu. Tapi karena kupikir saat itu dia hanya seorang bocah, dan suatu hari dia akan lupa tentang hari ini, aku tidak.. terlalu mencemaskannya.

Aku berbohong. Sebenarnya aku sangat cemas karena aku tidak ingin janji itu menjadi sebuah sumpah palsu yang dangkal. Tapi lagi-lagi keadan membuatku serba salah-- Ah. Lupakan. Yang terpenting adalah saat ini. Aku masih punya banyak waktu, jadi akan kumanfaatkan sebaik mungkin. Aku akan menjadi teman yang baik.

***

Itulah pertama dan terakhir kalinya aku melihat (Y/F/N). Dia menghilang di keesokan harinya, entah ke mana. Itu membuatku benar-benar sedih karena masih begitu banyak hal yang ingin kuceritakan padanya. Aku benar-benar merasa terhubung dengannya. Bahkan hingga sekarang, dua tahun setelah hari itu, aku masih memikirkannya.

Selama dua tahun yang terlewati ini aku bertumbuh dengan cukup baik. Kini tubuhku sudah jauh lebih tinggi dari yang sebelumnya. Aku yakin kalau kita bertemu lagi, dia akan kalah tinggi denganku dan aku akan memanggilnya cebol.

Kini, di bawah teriknya sinar matahari, Instruktur Shadis berkeliling sambil meneriaki omong kosong-- yang kurasa tidak begitu penting-- pada kami semua tentang kemanusiaan dan semacamnya. Aku sih sudah punya jawaban kalau nantinya dia akan marah-marah dan mengajukan pertanyaan padaku. Tapi..

"Hey kau!" Pria botak itu menuding-- kalau tak salah lihat-- ke arahku.

"Aku?"

"Bukan. Yang pendek di belakangmu itu!"

Aku menoleh dan merasakan jantungku nyaris lepas. Wajahnya benar-benar sama dengan (Y/N) cilik yang kutemui dua tahun lalu. Bibirnya yang tipis dan mungil, rambut (H/C) nya yang halus. Yang membedakan hanya.. aduh.. aku tak tahu apa aku boleh mengatakannya.. payudaranya sedikit lebih besar dibanding yang dulu.

"Ya, Kapten!" Serunya dengan suara yang bahkan tak sedikit pun berubah.

"Beri aku nama. Jangan lama-lama kecuali kau ingin lari dengan anak yang makan kentang itu!"

"(Y/F/N), Kapten!" Dia membalas tatapanku. Awalnya agak bingung, tapi setelah berpikir sejenak, senyumannya yang manis kembali. "Reiner!"

Ah...

Ketemu!

"Kau ngobrol dengan siapa, huh?! Kau pikir aku bercanda?! Kalian berdua! Lima puluh putaran!"

***

Eren POV

Anak-anak cowok memandang serius ke arah seorang cewek yang sedang lari di depan asrama bersama Sasha dan seorang bocah jangkung yang tadi siang mengobrol dengannya. Karena itulah mereka dihukum, omong-omong.

Kalau dilihat-lihat, mereka sepertinya saling kenal. Mereka juga terlihat dua tahun lebih tua dibanding kami kebanyakan. Mungkin ada beberapa dari mereka seperti cowok jangkung yang duduk dengan cewek pirang di sudut ruangan, dan cewek aneh yang seharian ini menempel dengan Christa.

Cewek yang sedang lari itu, kuakui dia memang memiliki kecantikan yang di atas rata-rata. Tapi aku nggak terlalu peduli karena aku nggak kenal dengannya. Yang jelas, aku nggak heran kenapa anak-anak cowok yang aneh ini sampai segitunya memperhatikan dia. Melihat wajahnya saja seperti terbawa ke dunia mimpi penuh peri. Dia tidak pantas berada di tempat nan berlumpur dan panas ini. Tapi bukankah semua orang punya alasan? Mungkin sama sepertiku, cewek itu telah melalui masa yang sulit di masa lalu. Entahlah.

***

Ketika mereka selesai berlari, kedua orang itu datang berdampingan. Yah, aura yang terpancar dari keduanya sangat kuat sehingga semua orang berpikir kalau mereka pasti menjalin hubungan. Tapi menurutku, entah kenapa, mereka sama sekali nggak cocok. Cowok pirang yang disebelahnya itu hanya jangkung, tapi dia nggak ganteng. Well, kalau aku boleh beropini, aku merasa diriku lebih ganteng berkali-kali lipat dibanding dirinya. Tapi masa bodoh, deh. Tiba-tiba aku jadi nggak jelas begini.

"Oh?" Tiba-tiba cewek itu berhenti di hadapanku. Tingginya sedikit melebihi Mikasa, jadi aku harus agak mendongak sehingga tatapan kami bisa bertemu. "Kau bocah yang datang Shinganshina itu, kan? Namaku (Y/N)."

"E-Eh? Y-Ya.. Aku Eren Yeager.." Tiba-tiba aku mati kutu ketika tangannya dan tanganku saling bertemu. Lembut, halus, seperti tidak pernah merasakan sulitnya kehidupan.

"Eh? Kenapa gugup begitu? Santai saja, dong!" (Y/N)-- atau senior, mungkin?-- menepuk pundakku, tapi cowok jangkung yang disebelahku itu segera menepis tangannya.

"Kau ini jangan suka menyentuh cowok seenaknya. Nggak baik, tahu?" Ujarnya. Aku setuju, tapi entah kenapa aku kesal.

"Kenapa? pAku hanya ingin berteman dengan Eren. Iya, kan?" Dengan ramah, cewek itu tersenyum. Cantik. Jantungku jadi berdebar.

"Y-Ya... mungkin?"

"Nah Eren, karena kau teman baruku, aku ingin kau berteman juga dengan teman baikku yang keras kepala dan menyebalkan ini, Reiner."

"Keras kepala? Kau tuh yang keras kepala." Cowok itu menyentil keningnya, membuat (Y/N) meringis.

"Aduh! Apa, sih? Pergi sana!" Bualnya, sebal.

Dia tampak menggemaskan, seperti anak-anak. Padahal aku lah yang anak-anak, tapi tetap saja..

Cowok yang bernama Reiner itu mengacak-acak rambut (H/C) nya-- membuatku agak iri-- dan untungnya, dia segera enyah dari hadapan kami, menghampiri kawannya yang lain.

Kini hanya ada aku dan (Y/N) di depan kafetaria. Bisa-bisanya dia tidak canggung padahal aku di sini grogi setengah mati menghadapinya.

"Jadi.. kenapa kau melihatku seperti itu?" Tanyanya, membuat jantungku semakin terpanjat. Dia menjorokkan wajahnya untuk menatap wajahku lebih detail, dan tersenyum. "Kamu ini ganteng, tapi pemalu, ya?"

"Apa?"

"Aku bilang--"

"S-Senior juga cantik, kok! Cantik banget, malahan! S-Seperti tuan putri!" Tanpa sadar, kata-kata itu meluncur dari mulutku. Entah kenapa aku jadi bicara bahasa baku karena salah tingkah.

"Eh?" Cewek yang kebingungan itu mengerjap, berusaha menahan tawa, tapi akhirnya dia gagal. "Hahahaha! Kau lucu banget, Eren!"

"A-Apa, sih.. Maksudku.."

"Eren! Ternyata kau di sini!" Armin memanggilku seraya berlari. Tapi dia berhenti ketika melihat sosok di hadapanku. "Oh? Ma-Maafkan aku!"

"Nggak apa-apa. Toh aku juga harus kembali ke asramaku." Dia tersenyum, melambai, dan berbalik. "Dah. Selamat malam, Eren."

A-Apa ini? Sialan.. Sepertinya aku.. Jatuh cinta pada pandangan pertama!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top