Bertholdt: Till Then

Warning! Angst

***

Bertholdt POV

Tidak tahu kapan tepatnya aku mulai menanam perasaan ini-- Kutulis kata-kata itu di atas selembar kertas yang nantinya akan kuberikan pada (Y/N) sebelum pergi.

Ah, sial. Seharusnya aku dengar nasihat Reiner untuk tak terlalu dekat dengannya. Sekarang semuanya menjadi semakin rumit dan aku tidak mungkin bisa meninggalkannya kecewa. Wajah cantik itu.. Terlalu berharga untuk dijatuhi air mata.

"Bert?" Suara lembutnya mengejutkanku.

Aku melipat buku catatanku dan berlari menuju pintu, menghampirinya. Begitu pintu membuka, gadis itu langsung memelukku erat-erat.

"E-Eh?"

"Reiner bilang kau sedang kurang sehat. Apa yang kau rasakan sekarang?" Pandangannya terangkat menemuiku. "Apa perlu konsultasi dengan Dokter?"

Tak mampu menahan rasa gemasku, aku menarik pipinya dan tertawa. "Aku hanya kurang tidur, kok."

"Sungguh?"

"Sungguh."

"Kau janji akan baik-baik saja?"

"Aku akan baik-baik saja, (Y/N)."

Selama beberapa menit, perempuan itu tak bergerak, hanya menatapku. Jantungku berdebar liar saat semakin larut dalam tatapannya.

"Kau nggak peka, atau memang bodoh, sih?" Bentaknya, merajuk, memegangi rambutnya yang..

Oh. Dia potong rambut.

Manisnya.

"Kemari," Aku menariknya kembali ke pelukanku, dan mengangkat tubuhnya seperti anak-anak. "Kau jadi terlihat cantik sekali, (Y/N)."

"Jangan dibahas. Aku malas."

"Sungguh. Saking cantiknya aku ingin menangis." Godaku, menjorokkan wajahku padanya.

Dia bergerak maju, menciumku, lalu menciut malu, menyembunyikan wajahnya ke dadaku. "Ma-Makasih."

"Jadi, apa kabarmu hari ini?"

(Y/N) tersenyum, mengangguk. "Kapten Levi mencubitku karena tidak menyapu lantai dengan benar."

"Yang mana yang sakit?"

Dia menunjuk pipi kirinya. "Ini."

"Dia mencubit pipimu?!" Entah kenapa, aku kesal.

"I-Iya. Tapi bukan seperti yang kau pikirkan. Ini benar-benar sakit, tahu."

"Sakit, ya?"

"Iya, sakit."

Aku mengecup pipinya, membuat rona merah di wajahnya meledak-ledak. Aku suka sekali bagian ini darinya, dia jadi terlihat beribu-ribu kali lipat lebih imut dari biasanya.

"Masih sakit?"

"Sudah nggak. Tapi yang barusan itu menggelikan sekali, Bert."

"Hahahahaha!"

***

Aku merobek kertasnya. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada (Y/N), dan hari ini sudah tiba saatnya kami pergi. Ya. Lebih baik begitu. Reiner dan Tuan Zeke juga setuju, kok. Aku hanya akan menambah luka di hatinya kalau aku menyampaikan semua ini padanya.

"Reiner, Bertholdt! Mari bicara!"

Aku rasa aku benar-benar sudah gila karena sampai berhalusinasi mendengar suaranya sekarang. Mustahil, bukan? Tapi entah kenapa, saat ini aku benar-benar mengharapkan kedatangannya. Aku berharap suara itu nyata.

"Bertholdt!" Reiner memukul lenganku.

"Apa?!" Jeritku, terpekik.

"Dia di sini." Bisiknya, memandang Tuan Zeke yang sudah bersiap dengan pisau di tangan kanannya. "Kau pilih. Kami yang akan mengakhirinya, atau kau sendiri?"

Jantungku terasa nyeri. Tidak. Tidak boleh seperti ini. Apa yang kau lakukan, (Y/N)? Berputarlah, kembali ke Markas dan tidur dengan nyenyak!

"Itu pacarmu, Bert?" Tanya Tuan Zeke, matanya berkilat memelototiku.

"I-Iya, Tuan." Aku menunduk, memutuskan untuk berlutut di hadapannya. "Kumohon. Jangan."

"Kau tahu? Kalau kita melepaskannya, dia hanya akan menambah masalah baru." Reiner memberiku tatapan bersimpati dan membantuku kembali berdiri. "Kita ini pejuang, kan? Sebagai pejuang, kita harus siap mengorbankan apa pun."

"Aku setuju dengan Reiner." Ujar Tuan Zeke, menuding telunjuknya ke arah (Y/N) yang tengah beranjak kian mendekat. "Pilih. Kita atau kau."

"A-Aku.." Air mataku jatuh. "Aku ingin membawanya pulang. Kumohon, izinkan aku. Aku tidak bisa melakukan ini."

"Huh? Hahahaha!" Tawa Tuan Zeke terlepas. Lalu, dia mengembalikan tatapan tajamnya padaku. "Lalu apa? Dia hanya akan mengacaukan Liberio. Di sini lah rumahnya, Bertholdt."

"Tapi, Tuan, semua bisa selesai kalau kita saling bicara!"

"Ya ampun, dia mengeluarkan pedang!" Kata Reiner, mengamati pergerakan (Y/N), matanya terbelalak. "Dia semakin mendekat!"

"Baik. Kalau kau tidak sanggup, jangan melihat, Bertholdt. Aku janji akan menghabisinya dengan cepat." Tuan Zeke menyeringai, mengeluarkan pisaunya.

Jantungku terasa nyaris berhenti.

Kenapa? Kenapa (Y/N) di antara semua orang? Kenapa harus orang yang sangat berharga untukku? Sial. Tidak adil. Aku benar-benar ingin menyelamatkannya. Tapi-- Sial! Aku harus apa?!

"Bertholdt! Tuan Zeke! Ayolah!"

"Bert?" Tuan Zeke bersiap untuk berbalik. "Bert!"

Ketika (Y/N) mendaratkan pijakannya di atas dinding dan berjalan ke arah kami, sekilas aku melihat tampang terluka di wajahnya, namun itu bergulir dengan cepat menjadi seraut kemurkaan. Baru kali ini aku merasa sesedih ini. Aku hanya dapat melihat kedua matanya, berkilat pucat di kulitnya yang putih.

Gadis itu harus merasakan penderitaan karenaku. Aku benar-benar ingin memeluknya seperti hari kemarin. Aku ingin.. berbohong lebih lama lagi. Aku ingin membuatnya bahagia. Aku masih ingin bersamanya.

Aku maju selangkah, merampas pisau dari tangan Tuan Zeke. Dari kejauhan, (Y/N) mendongak kepadaku, matanya menyipit. Karena dia gadis yang cerdas, (Y/N) cukup bisa membaca suasana dan berhenti beberapa meter dari tempat kami berdiri menantinya.

Kedua mata (Y/N) menampakkan kemarahan meluap-luap dan kesedihan yang mendalam. Dia jatuh berlutut dan diam di tempatnya, dadanya naik turun terengah-engah.

"(Y/N).."

Perempuan itu memandangiku, kehilangan kata-kata, saat aku berdiri dengan limbung dan melangkah maju. Tak seorang pun, baik Tuan Zeke atau Reiner, yang bergerak saat mereka mengawasiku, jelas terlalu tercengang untuk melakukan apa pun.

"Aku kemari untuk bicara." Gumam (Y/N), suaranya parau. "Kumohon, Bertholdt. Sebenarnya apa yang terjadi?"

Aku mendesah frustasi. "Ceritanya panjang."

"Jadi, apa itu?"

Aku menatap matanya, menjelaskan semuanya mulai dari perpecahan kaum Eldia, hingga terbentuknya Pulau Paradis. Kenapa kami harus merebut kekuatan Founding Titan yang ada di dalam tubuh Eren, dan seberapa mematikannya itu untuk semua orang. Dan..

"Ya ampun.." Desis (Y/N), syok berat.

"Kau sudah tahu terlalu banyak," Dengan berat hati aku menyerbunya secara mendadak, menancapkan pisau itu di perutnya. Aku menjerit kencang ketika gadis itu memuntahkan darah dari sela-sela bibirnya yang tertutup rapat. "Aku benci melakukan ini. Tapi demi kebaikan bersama, dan demi menyelamatkan milyaran manusia di luar sana, aku harus melakukannya."

(Y/N) mengadah bercucuran air mata, mengangguk. "Ya. Aku percaya.." Dia terbatuk sesaat. "Dengan semua omong kosong ini. Jadi, tolong.. kumohon pada kalian semua.. selamatkan dunia."

"Akhiri sekarang, Bertholdt. Kau membuatnya kesakitan." Tegas Tuan Zeke, meringis. "Jangan menyiksanya."

"Maafkan aku, (Y/N)." Kataku, berbisik. Aku tidak bisa membunuhnya. Aku ingin membawanya pulang, aku ingin menjalankan kehidupan yang normal di masa depan bersamanya. "Aku nggak mau kau membenciku."

Gadis yang bersimbah darah itu melemas, menarik tubuhku yang gemetar dan memeluknya. Seperti saat-saat menyedihkan biasa, (Y/N) memberiku tepukan nan hangat dan menenangkan di punggungku.

"A-Aku mengerti. Aku menyayangimu. Akan selalu se-seperti itu." Dia memejamkan matanya. Tidak. Jangan pejamkan matamu, lihat aku. "K-Kau juga punya alasan kenapa aku harus mati. D-Dan jika kematianku dapat membantumu menyelamatkan dunia, a-aku mau kau berjanji satu hal padaku, B-Bertholdt."

Aku mengangguk, mengecup keningnya. "Aku janji. Apa pun itu."

"Jangan menangis lagi," Jemarinya yang mungil menyentuh pipiku, menyeka air mata yang mengalir di sana. Tak lama, tangannya jatuh. Tubuh (Y/N) berhenti bergetar, kaku. Kedua bola matanya kembali ke posisi lurus, terpaku ke arah langit hitam di atas kami, di ambang kehidupannya. "A-Aku nggak membencimu, jadi jangan menangis lagi, Bert.. holdt. Aku men.."

Gadis itu tak menyelesaikan perkataannya. Kedua matanya menutup, tubuhnya terkulai. Mulutnya menghembuskan napas terakhir.

Sesuatu bergolak dalam diriku. Tiba-tiba kenangan tentang hari-hari bahagia kami, di mana (Y/N) tertawa, memanjat tubuhku yang lebih tinggi tiga puluh senti darinya, bermain air di sungai bersama Reiner dan Jean, memeluk tubuhku ketika aku menangis, menggenggam tanganku ketika lari dari Instruktur Shadis yang mengamuk, berkelebat di benakku.

Aku merengkuhnya sekuat tenaga, berharap itu bisa membuatnya kembali membuka mata, dan untuk mengungkapkan terima kasih karena telah menjadi kekasih sekaligus teman terbaikku, terima kasih karena telah memberiku kasih sayang yang bahkan orang tuaku tak pernah tunjukkan kepadaku.

Aku mencintaimu, (Y/N). Sampai kapan pun itu, aku akan selalu mencintaimu.

Selanjutnya, akan kupastikan aku takkan kehilanganmu.. lagi. Dan sampai saat itu tiba, lihatlah aku. Aku akan berjuang.

Sampai bertemu lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top