Bertholdt: Just A Hug

[Requested]

Perempuan itu memandang altar dengan raut depresi. Setelah pengantin resmi dinyatakan sebagai suami istri, dan semua orang bersorak gembira, dia langsung bangkit dari bangku dan melesat ke luar bangunan untuk menenangkan pikiran.

Annie Leonhardt, sahabat sekaligus satu-satunya kawan yang ia punya, menikah dengan Armin Arlert, laki-laki yang pernah menjanjikannya sebuah pernikahan. Hubungan (Y/N) dan Armin baru saja berakhir minggu lalu, tapi apa ini sekarang?

"Kejamnya," Dia berbisik pada dirinya sendiri selagi membiarkan air mata mengalir di pipinya.

Di saat-saat sulit, (Y/N) selalu ada untuk Armin. Di saat-saat sulit, (Y/N) juga selalu ada untuk Annie. Tapi alih-alih balasan, mereka berdua malah menyulitkannya.

"Hei," Sapa Bertholdt, entah sejak kapan dia datang, berdiri di belakang perempuan itu. "Kau baik-baik saja?-- Ah, maaf. Tentu saja kau sedang tidak baik-baik saja, tapi.. Kau menangis.."

Bertholdt Hoover. Dia juga sudah mencintai Annie selama bertahun-tahun, namun bertepuk sebelah tangan. Padahal selalu ada kesempatan, tapi tidak tahu kenapa orang ini enggan maju lebih dulu. Mungkin karena terlalu canggung? Merasa tidak pantas? Atau sudah ditolak sejak awal?

"Tentu saja karena baru kehilangan orang yang kau sayang. Aku juga sama, tapi," Dengan wajah semerah tomat, dia mengangguk, lalu mengguncang pundak lawan bicaranya. "Tidak ada gunanya menangis."

Itu benar, tetapi (Y/N) merasa sedang tidak baik-baik saja saat ini. Tidak mau membuat keributan, perempuan itu hanya diam sembari berusaha menguatkan diri.

Tiba-tiba Bertholdt melepas jasnya, menyelimuti pundak serta lengan (Y/N) yang terbuka karena saat ini sedang menggunakan gaun pesta.

"Bukan berarti tidak boleh menangis." Tambahnya sambil tersenyum tipis. "Maksudku, air mata yang jatuh ini tidak akan bisa mengembalikan orang yang kau sayang."

"Setidaknya air mata ini membuat perasaanku jadi lebih baik."

"Begitu? Irinya." Bertholdt terkekeh, namun matanya tidak bisa berbohong. Tak lama setelah tawa kecilnya berhenti, dia tertunduk. "Aku ingin sekali menangis, tapi tidak bisa."

"Kenapa? Kau takut seseorang akan melihatmu?" Goda (Y/N), nada bicaranya meledek. Setelah beberapa saat menertawai kata-katanya sendiri, raut perempuan itu kembali serius. Dia melanjutkan, "Menangis bukan berarti lemah."

"A-Aku tahu, tapi bukan seperti itu. Entahlah, rasanya meski hatiku sangat sedih, tapi aku tidak bisa menangis." Katanya.

"Lalu apa yang kau lakukan untuk meluapkan kesedihanmu?"

"Apa itu perlu?"

"Bertholdt Hoover," (Y/N) menghela napas berat. "Kau ini suka memendam masalahmu sendiri, ya?"

Awalnya, Bertholdt hanya diam, tampak agak keberatan untuk menjawab. Tapi melihat tidak ada sedikit pun ekspresi mengejek di wajah lawan bicaranya, Bertholdt akhirnya mengangkat bahu, mencoba memberanikan diri melakukan hal baru.

"Begitulah."

"Baiklah, aku mengerti." Perempuan itu menepuk pundak Bertholdt. "Mumpung kita sudah bicara begini, dan karena kau sudah menemaniku menangis tadi, apa ada hal yang bisa kulakukan untuk setidaknya menghibur perasaanmu?"

"Kurasa.." Saat Bertholdt menoleh dan mata mereka bertemu, wajahnya kembali memerah, dan dia menampakkan raut aneh, mungkin sebuah senyuman canggung. "Kurasa sebuah pelukan bisa membantu."

"Eh? Maaf?"

"Aku tahu ini agak lancang, tapi.. Apa aku boleh mendapat sebuah pelukan?"

(Y/N) mendongak dengan tatapan meneliti, berharap kata-kata yang didengarnya barusan hanyalah guyonan semata. Tetapi rupanya laki-laki itu tidak sedang bercanda. Lagi pula, ini hanya pelukan biasa, kan?

"Baik, kemarilah." Katanya, menghela napas, lalu merentangkan tangannya.

Bertholdt menghambur maju, memeluk tubuh (Y/N) yang jauh lebih mungil jika dibandingkan dengan dirinya. Saat tangan (Y/N) akhirnya melingkar di tubuh Bertholdt, pelukan laki-laki itu semakin erat, seakan dia sedang berkeluh tentang kesedihannya di sana.

"Aku tidak tahu kalau berpelukan ternyata terasa senyaman ini." Bisik Bertholdt, masih belum melepaskan pelukannya.

"Kau bicara seolah belum pernah dipeluk seseorang." Ledek (Y/N) sembari terkikik.

"Memang belum pernah, kok."

"Oleh orang tuamu?"

"Ayahku sakit keras sejak aku masih kecil, dan ibuku sudah meninggal."

"E-Eh? Maaf.. Aku cuma-- Aku tak bermaksud-- Ya ampun!" (Y/N) tersedak, secara spontan menarik diri.

"Tidak apa-apa, sungguh." Bertholdt dengan tampang setengah sedih, menggaruk lehernya, canggung. "Aku yang minta maaf sudah membuatmu tak nyaman."

"Jangan sungkan, aku tidak merasa keberatan sama sekali, kok."

"Syukurlah." Bertholdt kembali tersenyum, menjabat tangannya. "Omong-omong, kita belum berkenalan dengan benar. Salam kenal."

"Eh? Iya juga, ya.." (Y/N) malu, memerah, menyambut jabatan tangannya. "Salam kenal, ya."

Walau sejak lama sama-sama tahu satu sama lain, mereka tidak begitu banyak saling bicara karena bekerja di divisi yang berbeda; (Y/N) anggota Polisi Militer, Bertholdt Pasukan Pengintai.

"Jadi, apakah pelukan barusan cukup membantu?"

Bertholdt menciut malu, sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan, ia mengangguk. "Sangat membantu."

"Syukurlah." (Y/N) Tersenyum, sumringah. "Alangkah bagusnya jika kita bisa meluapkan kesedihan. Rasanya jadi lega, bukan?"

Kata-kata itu agak membuat Bertholdt sedih, sejak mengingat kenyataan bahwa dirinya tidak pernah berani meluapkan kesedihannya pada siapa pun. Bahkan tidak juga pada Reiner, teman dekatnya.

Baginya, menunjukkan kelemahannya hanya akan membuat dirinya diinjak-injak oleh orang, maka dari itu Bertholdt menutup diri dan membuat dirinya dikenal sebagai sosok yang kaku. Awalnya (Y/N) juga berpikir demikian tentang laki-laki itu, tapi setelah perbincangan barusan, semua berubah. Ternyata, Bertholdt hanyalah laki-laki sepantarannya yang kesepian, yang memendam begitu banyak kesedihan sendirian.

"Apa nanti, jika aku merasa sedih lagi, aku boleh mendatangimu?" Tanya Bertholdt.

(Y/N) mengangguk. "Tentu. Kau boleh temui aku kapan pun."

"Kalau begitu, boleh kita bertemu besok malam?"

"Hey, kau sedang mengajakku kencan, nih?" Sembur (Y/N), tertawa. Mengingat pelukan tadi, jantungnya jadi berdebar.

"Y-Yah.. B-Bagaimana, ya.." Pria itu gugup. "Anggap saja begitu, kau.. mau?"

"Boleh. Jemput aku, ya? Nanti akan kutuliskan alamat tempat tinggalku."

"E-Eh? Sungguh?"

"Kenapa?"

"K-Ka-Kau mau?"

"Jadi kau maunya kalau aku balas tidak mau saja?"

"B-Bukan begitu!" Bertholdt memeledak, menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Aku hanya tidak menduga kau akan mau... jalan.. denganku."

Sebagai balasan, (Y/N) hanya mengedikkan bahu seraya berputar ke arah pintu masuk. Terdengar lantunan musik yang lebih pelan dan tenang dari dalam. Sebelum akhirnya lenyap ditelan kerumunan, perempuan itu mengulurkan tangan.

"Mau dansa?" Dia menawarkan.

"B-Boleh!"

Dengan senyuman lebar terpampang di mukanya, laki-laki itu berlari kecil untuk menjajari (Y/N), meraih uluran tangannya, dan mereka pun sama-sama berjalan masuk ke dalam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top