Bertholdt: Instant Boyfie
Warning! SMUT
***
Reader POV
Rasanya sesak sekali saat seseorang yang kita cintai dengan baik malah memilih orang lain, seseorang yang memiliki rupa jauh lebih indah— Sial, sakit.
Aku menenggak sebotol Rum yang kubeli dari bar siang tadi, meminumnya sampai tak tersisa, meninggalkan sebuah sensasi aneh di kepalaku. Well, mungkin aku sudah mabuk, tapi aku tak peduli. Aku hanya tak ingin lagi memikirkan pria menjengkelkan itu.
Aku merasakan dahiku menabrak punggung seseorang, tubuhnya jangkung dan kerempeng. Namun aku tak dapat melihat jelas wajahnya karena pencahayaan di lorong ini begitu minim.
"Selamat malam, Senior." Sapa anak itu yang tak lain adalah Bertholdt Hoover, rekan satu timku. Wajahnya merah saat mata kami saling temu.
Bertholdt adalah anak yang sangat lembut dan sopan. Meski usia kita hanya berjarak satu tahun, dia tak segan-segan memanggilku senior. Jauh berbeda dengan kawannya, Reiner, yang tak tahu sopan santun dan doyan menggerutu saat bicara.
"Malam," Aku berusaha tak menampakkan ekspresi atau tingkah aneh dari efek mabukku, namun tetap saja, tubuhku oleng.
"Kau baik-baik saja, Senior?" Anak itu mengulurkan tangannya untuk membantuku bangkit.
"Y-Yeah, aku baik-baik saja." Kataku, sempoyongan. "Kenapa kau tidak latihan? Lihat, mataharinya—"
"Ini sudah tengah malam. Tunggu— Apa kau mabuk?!" Ia mengendusku, menyadari bau alkohol yang menusuk penciumannya.
"Jangan adukan pada Erwin, kumohon." Aku memohon padanya, nyaris menangis.
"Apa kau sedang ada masalah?" Tanyanya, khawatir.
"Bertholdt, apakah Eren dan Mikasa.."
"Ya." Ia mengangguk, seolah langsung mengerti kemana arah pembicaraanku. Memang sih, kabar tentang hubungan Eren dan Mikasa tersebar pesat di kalangan Prajurit. "Jadi karena itu, ya?"
Tanpa sadar aku menghambur maju, memeluk tubuh jangkungnya, terasa hangat, dan menggemaskan. Aku tak dapat berpikir jernih lagi, namun aku merasakan wajahku yang menjorok ke wajah anak itu.
"A-Apa yang anda pikirkan?!" Bertholdt menepis mulutku yang berusaha menciumnya.
"Eren.."
"Senior, aku—"
Anak itu tak menolak. Dia menerima ciumanku, meski sedikit melonjak di awal. Aku benar-benar merasa bodoh saat itu.
"Eren.."
"Senior, sadarlah. Aku Bertholdt." Nafasnya panas, tersenggal.
"Bertholdt?"
"Y-Ya.." Ia melemas.
"Bertholdt," Aku tersenyum.
Dia menggotongku setelah itu, namun dengan bodohnya, aku malah menariknya untuk ikut masuk ke kamarku. Setelah itu, kita melakukan hal yang tak seharusnya.
Aku bahkan tak begitu akrab dengan anak ini— Sekedar kenal saja, tapi aku benar-benar hilang akal— Anehnya, Bertholdt tak memberontak. Dia membiarkanku melakukan apa pun yang kumau kepadanya.
"S-Senior.." Suaranya lemah, membuatku gemas. "Apakah anda yakin ingin melakukannya?"
"Panggil namaku."
Ah, aku bodoh sekali.
"(Y/N).." Ia meragu. "Jangan seperti ini.. Aku bukanlah Eren—"
"Eren meninggalkanku."
"Eh?" Mata anak itu membulat. "Tunggu dulu— Apa? Kalian.. Berkencan?"
"Ya. Tapi selama ini Eren menolak untuk memberi tahunya pada orang-orang, mungkin karena.. Karena aku bodoh. Aku tak seperti Mikasa, itulah mengapa." Aku terisak. "Dia menkhianatiku."
Bertholdt menatapku, rona merah di wajahnya tebal, dia menggila saat bibir kami bersentuhan. Pelukannya erat, seperti dia tak ingin melepasku.
"Senior, kau itu.. Sempurna." Lirihnya. "Ini semua bukan salahmu."
"Bertholdt, bagaimana, nih?" Tangisanku terpecah. "Aku ingin melupakannya, aku ingin mabuk, tapi lihat sekarang. Aku malah semakin gila."
"Kau bisa melupakan Eren.." Ia tersenyum. "Dan aku bisa membantumu,"
Aku merasakan nafas Bertholdt yang panas menyapu wajahku, dia mengecupku, seperti yang seharusnya Eren lakukan, namun.. Dia tak pernah melakukannya padaku— Justru bocah ini yang melakukannya.
Malam Pertamaku terjadi karena kecerobohanku pada anak yang begitu naif ini. Dia menerimanya, mungkin karena kasihan. Tapi aku tak peduli. Aku hanya butuh seseorang untuk menghiburku malam ini.
***
Aku membuka mata, mendapatkan Bertholdt yang tengah menatapku dari sisi ranjang. Dia memelotot saat menyadari lirikanku.
"S-Selamat pagi, Senior," Ucapnya, gugup.
"Pagi, Bertholdt."
"Anu.." Sebelum sempat ia berkata, aku memotongnya.
"Maaf atas semalam, Bertholdt." Aku menghela nafas, dan bangun. Aku tak ingat kapan, tapi aku memakai sweater Bertholdt yang sangat megar di badanku. Terasa nyaman.
"Aku lah yang seharusnya meminta maaf, seandainya aku tak terbawa suasana, ini semua takkan terjadi." Kepalanya terhuyung ke bawah. "Senior,"
"Ya?"
"Apakah kau akan mengabaikanku? Maksudku— Atas apa yang terjadi tadi malam.. Apa kau akan membenciku?" Air matanya hampir tumpah.
"Apa? Jangan bodoh, Bertholdt!" Aku mencengkeram pundaknya. "Aku takkan membencimu, paham? Ini kan kesalahanku,"
"Sungguh?" Senyumannya kembali. "Syukurlah kalau tidak. Tapi.. Jangan salahkan dirimu."
Sial— Tidak hanya imut, dia tampan sekali.
"Ya." Aku memendaratkan kepalaku di bahunya. "Maafkan aku jadi merepotkanmu begini."
"Serius, jangan berkata seperti itu." Elaknya. "Lagipula.."
"Apa?"
"Aku tak keberatan denganmu."
Jantungku melonjak. Aku merasa diriku akan semakin gila jika terus-terusan melihatnya seperti ini.
"T-Tak keberatan?"
"Aku benci melihatmu menangis karena Eren. Padahal dia tak peduli padamu sedikit pun."
Kalau dipikir-pikir perkataannya memang benar. Selama ini hanya aku yang peduli, sedangkan Eren tidak. Kami berkencan karena kebetulan, dan hanya aku yang sungguh-sungguh. Ironis.
"Senior?"
Panggilan itu menarikku pada kenyataan. Saat ini aku benar-benar perlu menerima fakta bahwa Eren sudah memilih Mikasa, dan aku akan.. Sendirian. Selepas anak ini pergi, mungkin dia akan canggung terhadapku.
"Kau boleh keluar." Kataku.
"Aku mengerti," Dia mengangguk. "Tapi, apa kita bisa bertemu lagi?" Pertanyaan yang tak kuduga.
"Apa maksudmu? Tentu saja, kita kan Rekan—"
"Bukan yang seperti itu maksudku, Senior."
"Lalu?"
"Apa kau tidak keberatan kalau aku ingin sering-sering menemuimu?" Wajahnya memerah. "Namun aku mengerti kalau kau menolak."
Wah.
"Boleh saja," Aku merasakan diriku bisa tersenyum, padahal tadi malam hatiku rasanya kacau. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Bertholdt."
Ia membantuku bangkit— Udara pagi ini sangat dingin, tapi dia cukup kuat untuk bertelanjang dada, sedangkan sweaternya ada padaku.
"Senior.." Aku suka sekali nada bicaranya saat memanggilku seperti barusan. Kurasa dia benar-benar imut. Sial.
"Panggil namaku." Aku memerah. "Setelah semuanya, tidak mungkin kau masih bisa bicara formal padaku. Maksudku.."
"Ya, (Y/N).." Senyumannya sangat lebar, dia nampak seperti anak kecil— Aku merasakan sesuatu di perutku saat ia memanggil namaku dengan benar.
"Begitu, dong."
"Duh— Kurasa aku tambah sangat menyukaimu." Ujarnya, menghela nafas, memerah. "Aku tahu ini aneh, tapi.. Semalam kau benar-benar membuatku sangat tergila-gila padamu."
Apakah perasaan ini wajar? Apa dia bersungguh-sungguh atas kalimatnya? Menghabiskan satu malam bersama, dan kini dia menyatakan perasaannya padaku seolah dia sangat serius. Kenapa? Apa aku melewatkan sesuatu?
"Apa?"
"Kau mungkin tak ingat apa yang kau katakan setelah kita melakukan itu."
"Apa maksudmu?"
"Tapi, (Y/N), aku serius. Aku suka.. Kau."
Aku tahu dia serius. Dari matanya pun aku tahu. Namun aku tetap tak ingat apa pun yang kubicarakan padanya semalam sampai dia seperti itu.
Tunggu—Aku ingat.
***
Ritual sudah usai. Kami merebahkan tubuh berdampingan di atas ranjangku yang sampit. Bertholdt mengorbankan lengannya untuk kepalaku supaya aku bisa berbaring dengan nyaman.
"S-Senior, apa kau masih bisa mendengarkanku?" Bertholdt terengah-engah.
"Y-Ya, ada apa?"
"Aku tidak tahu rasanya mabuk, entah kau akan mengingat perkataanku atau tidak.." Anak itu menarik nafas panjang. "Lupakanlah Eren, dan berpacaran saja denganku. A-Aku akan membuatmu bahagia."
"Apa?"
"Aku akan melakukan apa pun, untukmu," Dia mengecup pipiku. "Apa pun itu. Kumohon, lupakan saja anak itu."
"Tapi, apa kau tidak merasa aneh?"
"Aku bisa menunggu."
Tangannya meraih tanganku, sebelum aku terpejam, aku mengatakan sesuatu yang.. Sekarang aku paham kenapa dia jadi bertingkah aneh.
"Aku akan melupakannya.— Maksudku, Eren." Lirihku, kemudian melanjutkan. "Ayo berpacaran."
***
Aku tersedak, membuat anak bertubuh jangkung itu berbalik dan langsung menghampiriku. "K-Kau baik-baik saja?! Aku akan mengambilkanmu air—"
"Tunggu, Bertholdt." Aku menarik pergelangan tangannya. "Aku ingat!"
"Eh?"
"Kenapa tak bilang dari tadi saja, sih?!"
"Apa maksudmu?" Ia memerah.
"Kalau kita berpacaran?!"
"Kau mau?"
"Aku harus bertanggung jawab, bukan?" Kataku, menyeringai.
"Benar." Anak itu meraih tubuhku. "Kau harus bertanggung jawab, (Y/N)."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top