Armin: Unexpected Proposal
Modern AU
***
Sebagai wanita dewasa berumur dua puluh delapan tahun, gemuruh dan kilat yang berasal dari atas langit adalah satu-satunya hal yang masih kutakutkan. Bukan badut, bukan serangga, bahkan hantu, melainkan petir.
Dulu ketika badai melanda, biasanya entah itu Ayah atau Ibu, akan datang ke kamarku dan membacakan sebuah dongeng agar rasa takutku berkurang. Tapi kini aku sudah terlalu tua untuk itu, dan lagi pula aku tinggal sendirian sekarang-- Bekerja di luar kota.
Sambil meringkuk di balik selimut, aku membuka ponselku dan mendapatkan sebuah pesan tak terbaca yang baru terkirim sekitar lima menit lalu. Awalnya aku tak berniat membukanya karena bisa jadi itu hanya Porco si tukang mabuk yang berusaha menggodaku. Jujur saja, dia tampan, hot, mapan, dan segalanya. Tapi, terlepas dari penampilan dan gaya hidupnya yang super fancy, dia benar-benar lelaki yang kacau. Lagi pula, itu tidak penting. Aku sudah terlanjur membukanya karena bosan, dan alih-alih malah mendapatkan pesan dari Armin, atasanku, dan satu-satunya kawan yang kupunya di kantor. Bukan. Bukan sekedar kawan. Dia sahabatku.
Armin: [Hai, Love. Lagi apa?] 18:20 PM.
Armin: [Aku sedang di Mall, samping Apartemenmu. Mau ketemu?] 18:21 PM.
Armin: [Mau Pizza?] 18:22 PM.
Armin: [Kau sedang tidur?] 18:23 PM.
Rasa merinding menjalariku. Armin memang selalu begini. Dia perhatian, penyayang, baik, dan pengertian. Hal itu lah yang menjadi alasan kenapa aku sangat menyukainya. Tapi, masalahnya adalah Armin tidak pernah terbuka soal kehidupan percintaannya, meski kita sudah sangat lama berteman-- Sekitar hampir enam tahun; sejak hari pertama aku masuk kerja. Aku ingin tahu, setidaknya--
Lamunanku terpecah ketika ponselku bergetar. Kutoleh benda kecil yang berada di genggamanku itu, lalu mendapati lagi-lagi nama Armin, meneleponku.
"Halo?" Aku memulai, dan mendengar suara napasnya yang tersengal-sengal. "Armin?"
"Oh? Ya.. Hei." Dia berbisik. Dari suaranya seakan pria itu habis berlari.
"Kenapa?"
"Aku yang seharusnya bertanya," Gerutunya, kesal. "Kenapa tidak balas pesanku? Apa kau baik-baik saja?"
"Aku--" Duar! Lagi-lagi suara itu membuatku menjerit kencang. "Mama!"
"Hey, (Y/N)?"
"Y-Ya."
"Aku sekarang di lobby Apartemenmu."
***
Armin yang separuh kuyup melepas kemeja dan jasnya, berbaring di atas sofa, di depan televisi selagi aku mengeringkan pakaiannya dengan hair dryer di dapur.
Sesekali tatapan kami bertemu, tapi dengan cepat aku mengalihkannya karena malu. Pria itu terlihat tampan hari ini, membuatku jadi bertanya-tanya, apakah dia habis pergi kencan? Toh ini akhir pekan, Kantor tutup, jadi mustahil kalau nantinya dia bilang habis ke Kantor, kan?
"Omong-omong.." Kataku, memandangnya. Armin menoleh dan tersenyum, seperti yang biasa dilakukannya jika seseorang memanggilnya. "Kau habis dari mana?"
"Itu," Armin berdeham sesaat, wajahnya memerah. "Tadinya--"
Duar! Lagi-lagi. Aku menjerit, lebih kencang dari sebelumnya. "Sialan! Sialan! Sialan!"
Armin bangkit dari sofa, berjalan ke arahku yang tengah berdiri di counter dapur. Tiba-tiba saja dagunya menempel di pundakku, kedua tangannya melingkar di pinggangku-- Memelukku dari belakang. Aku yang terkejut dengan tingkahnya yang mendadak aneh, langsung bergedik dan menarik diri.
"H-Hey!"
Ketika tubuh kami saling terurai, bisa kudapati wajah Armin tampak terluka. Meski begitu, dia langsung menunduk dan meminta maaf padaku. "Ma-Maafkan aku, (Y/N). Kau terlihat ketakutan, jadi aku.."
"Tidak, bukan begitu, Armin!" Selakku, mengangkat pandangannya. "Hanya, karena kau melakukan itu tiba-tiba, dan karena ingin menghiburku saja, aku bisa benar-benar salah paham terhadapmu."
Setelah mendengarku selesai, Armin, yang tengah bertelanjang dada di hadapanku saat ini, langsung meraih tanganku. Dia menggeleng dengan manisnya, lalu menunduk lagi.
"Dengar, (Y/N)." Lirihnya. "Pertama, apa yang tadi ingin kukatakan, adalah bahwa sebenarnya aku ingin mengajakmu jalan dan makan malam bersama karena ada yang harus kubicarakan denganmu. Yang kedua, aku melakukan itu karena aku tidak bisa terus-terusan menahan diri. Ketiga," Dia berhenti sesaat kemudian mengambil selangkah mendekat. "(Y/N), aku sangat mencintaimu."
Kerongkonganku terasa tersekat. Aku tidak bisa berkata apa-apa saking kagetnya. Sebagai tanda jawaban, aku menempelkan bibirku ke bibir tipisnya, dan secara tak terduga, Armin balik menciumku. Dia melingkarkan kedua tangannya, lagi-lagi di pinggangku. Setelah beberapa menit, ketika ciuman itu semakin dalam, dan suhu di sekitar mulai meningkat, Armin menggotong tubuhku ke sofa tanpa mengurai ciumannya sedikit pun, bahkan setelah kami duduk.
Ketika selesai dan mulut kami saling urai, dia merosot turun dan berlutut di depanku. Aku tidak tahu apa maksudnya, tiba-tiba dia menyandarkan keningnya di lututku.
"Aku nggak akan basa-basi lagi, (Y/N)."
"E-Eh?"
Dia merogoh sesuatu di saku celananya yang masih sedikit basah, lalu mendongak menatapku. Secara perlahan, dia mengeluarkan sesuatu dari sana-- Sebuah boks kecil-- Cincin.
Jantungku terasa mau lepas. "A-Armin?"
"Aku benar-benar mencintaimu. Aku mau menikah denganmu." Dia beringsut gelisah, bertarung dengan dirinya sendiri. "Aku tahu ini mendadak, dan bahwa sebelumnya kita bahkan tidak pernah berpacaran. Tapi, semakin lama, setiap harinya, aku semakin jatuh cinta padamu. Umurku tiga puluh dua tahun, aku tidak mau berbasa-basi dan berujung kehilanganmu. Aku sangat serius tentangmu, jadi.."
"Armin.."
"Sudah enam tahun kita saling kenal." Ucap Armin dengan raut memohon, dia mengecup punggung tangan kananku. "Kumohon, aku bisa membuatmu bahagia, membuat mimpimu menjadi nyata. Aku akan membeli rumah yang kedap suara supaya kamu tidak ketakutan lagi setiap badai. Aku akan membawamu keliling dunia. Aku akan menyiapkan ruangan khusus pakaianmu, karena aku tahu kamu cinta belanja. Aku.. Aku akan menjadi suami yang baik untukmu. Aku akan melakukan apa pun, jadi tolong pertimbangkan lamaranku."
Ini aneh, kau tahu? Jaman sekarang, pernikahan seperti bukan sesuatu yang penting bagi beberapa kalangan. Apa lagi aku tahu Armin adalah sosok Boss yang gila kerja, aku jadi semakin sulit percaya. Awalnya aku pikir dia tidak akan sampai sejauh ini, tapi.. Aku, yang sejak lama mencintainya diam-diam, yang sudah tahu hampir semuanya tentang Armin-- well, semuanya.. Mungkin terkecuali kehidupan percintaannya, seperti yang telah kukatakan sebelumnya-- mustahil untukku sanggup untuk menolaknya.
"Aku menerima." Lirihku, menghambur maju untuk memeluknya. "Aku.. Juga sangat mencintaimu, Armin."
Dia menyeringai dan mengecup singkat keningku. "Seleramu memang bagus, Nyonya Arlert."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top