Armin: New Start

Requested

***

Salah satu penderitaan terbesarku adalah cinta bertepuk sebelah tangan. Aku dan dia. Lagi dan lagi. Selalu nyaris, tetapi tak pernah sampai.

"Tidak kah kamu ingin bilang sesuatu, Armin?" Dia bertanya padaku waktu itu, tepatnya di hari pernikahannya, sebelum upacara dimulai. Wajah perempuan itu tampak seolah dia sedang menunggu sesuatu untuk keluar dari mulutku.

Tapi aku hanya seorang pengecut, aku tidak berkata apa pun; aku tidak tahu apa yang mesti aku katakan kepadanya-- aku terjebak dalam cinta segitiga dengan salah satu sisinya yang telah mati. Jadi, alih-alih mengutarakan perasaanku, aku malah tersenyum dan berkata kepadanya,

"Aku turut bahagia untukmu." Itu menyakitkan.

Aku merebahkan badanku di bak mandi, tak berpikir dan tanpa melakukan apa pun. Setelah beberapa saat, seseorang mengetuk pintu kamar mandi dengan brutal.

"Ini aku," Gumam Eren, suaranya terdengar sedih. "Sesuatu terjadi kepada (Y/N)."

***

3rd Person POV

Armin dan Eren berdiri di antara kerumunan, melihat sebuah peti mati perlahan-lahan diturunkan ke liang kubur. Di sisi seberang mereka, salah seorang tokoh masyarakat memberi pidato singkat berupa doa-doa kepada jenazah seraya mengiringi proses pemakaman. Tangisan terpecah di sepenjuru kerumunan saat tanah mulai mengubur peti mati tersebut. Dan dari tempatnya berdiri, Armin melihat (Y/N) merintih, dengan Mikasa dan Sasha yang memeluknya, berusaha menenangkannya.

Terjadi kecelakaan di wilayah selatan Dinding Maria dua hari lalu. Itu menewaskan semua orang, termasuk suami dari perempuan itu. Sangat disayangkan karena usia pernikahan mereka seharusnya sudah genap satu tahun hari ini.

Setelah proses pemakaman berakhir, sebagian orang kembali ke rumah masing-masing, tapi sebagian besar melakukan kunjungan ke kediaman orang yang ditinggali untuk melakukan semacam ritual penghiburan. Dan Armin? Lagi-lagi tidak termasuk dalam golongan mayoritas tersebut.

***

Sudah dua tahun terlewat sejak hari yang menyedihkan itu, dan mereka masih belum saling bicara kepada satu sama lain.

Kematian meninggalkan rasa sakit yang tak bisa disembuhkan oleh siapa pun, dan cinta meninggalkan kenangan yang tidak bisa dicuri oleh siapa pun-- Armin secara spontan menutup buku bacaannya setelah melihat sebaris kata tersebut.

Tak lama, seorang pelayan datang dengan secangkir kopi pesanannya. Begitu mendongak untuk mengucapkan kata-kata terima kasih, Armin mendadak membeku.

"Aku juga suka buku itu," Kata (Y/N), tersenyum. "Halaman lima puluh enam, baris ke tiga puluh dua."

"Eh? K-Kamu ingin aku membacanya untukmu?"

"Ya. Anggap saja itu tip untukku."

Armin menelan ludah, jantungnya yang berpacu membuatnya sedikit kesusahan untuk bicara. Tapi ketika halaman yang dimaksud sudah berhasil ditemukan, Armin mendadak diam. Matanya berkaca-kaca.

"Aku mencintaimu." Rasanya, Armin seperti tengah mencekik dirinya sendiri. Dan dengan itu, matanya kembali memandang (Y/N) yang masih tersenyum kepadanya.

"Itu saja yang ingin kudengar. Terima kasih, Armin." (Y/N) membungkuk. "Aku harap kau hidup dengan baik."

"Tunggu."

"Aku permisi dulu."

"Aku akan tulis surat untukmu. Jika ada kesempatan, bacalah." Armin menyentuh tangan perempuan itu, tapi dengan cepat, (Y/N) menarik diri dan beranjak pergi.

***

Yang ingin kukatakan kepadamu hari itu, (Y/N), adalah bahwa aku cinta padamu. Betapa ironisnya kalau kata-kata itu hanya akan menandakan akhir dari segalanya di antara kita.

Maaf atas segalanya. Baca atau robeklah, terserah padamu. Selama jantung berdetak, aku akan menunggu.

Dengan cinta,
Armin Arlert.

***

Setiap harinya bahkan setelah hari itu, Armin selalu menyempatkan diri untuk mampir ke kedai tempat (Y/N) bekerja. Seperti biasanya, dia akan menyurati perempuan itu, menyampaikan perasaannya yang takkan berubah.

Tapi hari ini berbeda. (Y/N) tidak datang ke kedai, dan tak seorang pun pekerja yang tahu tentang keberadaannya, atau setidaknya alasan kenapa dia tidak datang.

Armin sudah mengupayakan segala cara untuk dapat alamat rumah perempuan itu, namun tak seorang pun mau membantunya. Bahkan Eren dan Mikasa.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Eren saat Armin membanting pintu kamarnya dengan raut frustasi.

"Tidak. Dan kau tidak bisa membantu sama sekali, Eren, jadi diamlah."

Eren menatap Armin yang balas menatapnya dengan penuh amarah, tetapi terlihat jelas lelaki itu tengah mengharapkan sesuatu. Dan selain itu, tersirat pula kesedihan yang mendalam.

"Ayo pergi," Kata Eren, mendesah frustasi, kemudian menyambar tangan Armin.

"Kau membolehkanku?"

"Hanya jika kau bisa berjanji satu hal," Tegasnya, menuding wajah Armin. "Jangan lari lagi."

Dengan penuh keyakinan, laki-laki itu mengangguk. "Aku janji."

Maka Eren dan Armin pergi menuju kediamannya yang agak terpencil dari perkotaan. Tak terlalu besar, sederhana, dan sangat bersih, tampak nyaman ditinggali.

Alih-alih (Y/N), seorang wanita paruh baya lah yang menyambut mereka. Tapi dari sela-sela pintu yang setengah terbuka, Armin bisa melihat keberadaan perempuan itu yang tengah sibuk merajut di depan perapian tanpa menaruh sedikit perhatiannya kepada mereka sama sekali.

"Kami ingin bertemu dengan (Y/F/N)." Eren membungkuk pada wanita itu.

"Ada keperluan apa?"

"Mereka teman lamaku, Bu." Akhirnya (Y/N) membela, berjalan ke arah pintu.

Wanita paruh baya itu tak berkutik, hanya melempar tatapan sinis kepada Armin dan Eren, lalu pergi. Setelah situasi sekiranya aman, (Y/N) menghela napas.

"Itu ibu mertuaku. Dia kemari untuk mengambil beberapa barang mendiang suamiku." Bisiknya, lalu membukakan pintu. "Masuklah."

Eren dan Armin masuk, duduk di bangku yang berseberangan dengan tempat perempuan itu. Tak ada kata-kata yang terucap selama beberapa menit, sampai akhirnya Armin menyadari sesuatu di ruangan itu.

"Kau masih menyimpan surat-suratku?" Armin terbelalak, menunjuk ke arah tumpukan amplop di atas meja kerja perempuan itu.

(Y/N) tersenyum, lalu mengangguk. "Iya."

"Kau membacanya?"

"Aku membacanya."

Armin tersenyum mendengarnya. "Terima kasih. Aku tersanjung."

"Armin."

"Ya?"

"Terima kasih sudah mengatakannya."

Percakapan singkat itu lah awal dari lembaran baru di kehidupan mereka. Sejak hari itu, hubungan di antara keduanya mulai pulih. Mereka bahkan sepakat untuk selalu bertemu setidaknya sekali dalam seminggu, untuk tetap menjaga komunikasi.

***

(Y/N) dan Armin hanyut dalam keheningan sambil terus berjalan. Mereka akan pergi piknik di tepi sungai tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama dulu.

"Armin--" (Y/N) tersandung, namun dengan cepat laki-laki itu meraihnya.

"Pelan-pelan, (Y/N)." Kata Armin, setengah tertawa.

Setelahnya mereka melanjutkan perjalanan sambil berpegangan tangan, bersenda gurau sesekali. Tak seperti biasanya, Armin bertingkah sedikit berani hari ini.

"Duduklah," Armin menggelar tikar seraya mulai menyiapkan barang bawaan mereka. "Hari ini biar aku yang melakukan semuanya."

(Y/N) tak mengerti toh tertawa juga. "Kau ini kenapa, Armin? Lucu sekali."

Armin berusaha sekuat mungkin agar tak ketahuan, lalu dia mulai mengeluarkan barang-barang dari keranjang piknik yang mereka bawa. (Y/N) tak mengerti kenapa Armin membawa sebuah buku bersama mereka, tapi dia tak berkata apa-apa sampai Armin memberikan benda itu kepadanya untuk dibaca.

"Sudah kutandai. Bukalah."

(Y/N) melempar tatapan bertanya-tanya. "Tumben."

"Buka saja, (Y/N), kumohon."

"Iya, iya." (Y/N) memutar bola matanya dan mulai membuka buku tersebut.

Sebuah cincin terselip di halaman itu, dan satu-satunya kata yang tertulis di sana hanyalah 'Aku mencintaimu, dan akan selalu begitu'. Benda kecil tersebut awalnya membuat (Y/N) mengernyit, tetapi tatapan Armin yang tulus membuatnya sedikit bisa tenang. Perempuan itu mengambilnya.

"Armin?"

"Dengar, (Y/N)," Armin tersenyum, meremas tangannya. "Aku tahu ini terdengar sedikit tak tahu diri, tapi aku benar-benar serius tentangmu. Sejak hari di mana hatiku memilihmu, aku selalu memikirkan masa depanku denganmu. Itu.. Aku tahu perasaan seseorang takkan bisa berubah dengan cepat, dan aku takkan melarangmu untuk menghapusnya. Kau bahkan bisa terus hidup dengan itu jika kau mau. Tapi yang jelas, aku akan selalu mencintaimu, dan perasaanku ini takkan berubah. Aku ingin menikahimu, dan aku siap untuk mengisi lembaran baru dari kehidupanmu-- kehidupan kita. Maka dari itu.."

"Y-Ya."

"Ya?"

Dengan kedua mata yang berkaca-kaca, perempuan itu merengkuh tubuh Armin, merasakan kehangatan dari badannya yang terasa menenangkan. "Aku bilang, iya, Armin."

"Sungguhan? K-Kau tidak sedang bercanda, kan?"

"Kurasa kau benar, Armin. Sudah saatnya untuk diriku memulai cerita baru." Katanya, dia mengangkat pandangan Armin. "Dan perasaan ini, aku tidak mempermainkanmu."

"Jadi, kau mau bilang kalau kau.."

"Aku juga cinta padamu, Armin."

Armin terkejut setengah mati, dan wajahnya mendadak merah. Ketika bibir perempuan itu mendekat hingga akhirnya saling bersentuhan dengan bibirnya, Armin menitikkan air mata bahagia.

"Selamanya, (Y/N)."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top