All: Meets Again

Eren

Sudah dua hari sejak kejadian absurd itu, dan kamu masih tidak bisa melupakan sosoknya. Sekarang, dengan tidak semangat, kamu melanjutkan langkahmu mengitari taman kota, mencari angin sejenak untuk menyegarkan pikiran.

Setelah beberapa waktu, akhirnya kamu mulai merasa lelah dan duduk di salah satu bangku taman. Kamu melihat pria aneh-- si cabul-- itu lagi, di seberang, sedang berjalan ke arahmu.

Panik, kamu segera bangkit dan berputar, tapi malah berakhir menubruk punggung seseorang dengan keningmu. Karena tidak mau menjadi semakin rumit, dan karena kamu harus buru-buru menghindar dari pria itu, kamu hanya membungkuk, meminta maaf pada seseorang yang kamu tabrak itu. Tapi ketika mendongak untuk menemui wajahnya, kamu terpekik kaget.

"Loh?" Kata kalian berdua secara serentak, mengalihkan pandangan ke satu sama lain.

"Nona!" Eren tersenyum hangat, membungkuk padamu. "Kayak takdir, ya?"

"O-Oh, halo, Eren!"

"Hai. Apa yang--"

"Aku harus pergi!"

Kamu cepat-cepat memotong perkataannya dan melesat pergi. Sedangkan di tempatnya berdiri saat ini, Eren mematung kebingungan.

Ketika menyadari sesuatu yang mengejarmu ada di sekitar, laki-laki itu dengan gusar menyergapnya, seperti seorang polisi yang tengah memergoki maling.

"Jangan sentuh wanitaku lagi, kecuali sudah bosan hidup." Ancamnya.

Setelahnya, Eren lari mengejarmu dan kalian pun berakhir berhenti di pantai. Sepanjang hari itu, kalian menghabiskan waktu bersama sambil mencari tahu tentang satu sama lain.

***

Levi

Apa aku salah, ya, bicara begitu?-- kamu berpikir sambil jalan ke arah acak; kamu sedang jalan-jalan sore. Mendadak raut tajam itu kembali membayang di pikiranmu-- Mungkin Komandan Erwin Smith adalah orang yang sangat spesial, dia saja sampai tersinggung begitu.

Berusaha untuk tidak memikirkannya lagi, kamu memutuskan untuk pergi ke tempat yang lebih ramai. Sedang ada festival di pusat kota, kebetulan.

"Toh cuma orang asing." Kamu berbisik, untuk menghibur diri.

"Apanya?"

Kamu langsung terhuyung mundur, terkejut karena ada yang menyahuti kata-katamu. Alih-alih menyapa ramah, kamu hanya bisa memelotot ketika menoleh kepada sang pembicara. Tidak. Tepatnya, kamu mati kutu.

Itu adalah Kapten Levi Ackerman.

"N-Nggak.." Pipimu memerah, lalu kamu menggeleng. "K-Kapten Levi!"

Pria itu mengangguk, melanjutkan langkahnya menjajarimu. Di sisinya, kamu yang masih tidak mempercayai kejadian barusan, hanya menutup mulut sambil terus memandanginya.

Mungkin karena resah diperhatikan begitu, wajahnya memerah. Levi memprotes, "Mau sampai kapan anda melihat wajah saya?"

"E-Eh? Maaf?" Katamu, masih bingung.

Kamu akhirnya berterus terang tentang pikiranmu belum lama ini, tapi kalian malah terjebak pada satu sama lain. Levi juga akhirnya membuka diri dan mengobrol sedikit lebih santai padamu-- dia bahkan berani menceritakan kedekatannya dengan mendiang mantan Komandan, seberapa berharganya pertemanan mereka sehingga pria itu terpuruk hingga berhari-hari karena kepergiannya.

Karena sama-sama suka minum teh, kalian sepakat untuk pergi bersama ke salah satu kedai teh yang ada di salah satu perbukitan di dinding Rose, lain waktu. Lembaran baru dari kisah hidup kalian pun dimulai sejak saat itu.

***

Jean

Karena terlalu syok dan lelah, kamu langsung pingsan begitu menginjakkan kaki di tempat evakuasi. Bahkan kamu belum sempat bilang terima kasih pada anak yang menyelamatkanmu. Itu membuatmu kepikiran sampai selama beberapa hari setelahnya.

Setelah mengambil libur, kamu kembali lagi karena harus menghadiri upacara kelulusan dan menentukan pada divisi mana kamu akan bekerja selanjutnya.

Entah apa yang telah menimpuk kepalamu, tapi sejak hari itu kamu jadi sangat termotivasi untuk melawan titan dan melindungi seluruh umat manusia di dalam dinding. Padahal sebelumnya, kamu begitu ketakutan dan berambisi untuk bisa kerja dengan Polisi Militer, di bawah lindungan pemerintah.

Setelah Komandan Erwin menyelesaikan pidatonya, tak sedikit anak yang membubarkan diri, ketakutan. Tapi ada beberapa juga yang tinggal, termasuk anak itu-- kamu hanya melihatnya sekilas karena posisi barisan kalian agak jauh, tapi kamu yakin itu adalah Jean, anak yang telah menyelamatkan hidupmu.

"Hai." Ketika kamu sedang berjalan menuju wisma untuk membenahi peralatanmu karena harus segera pindah ke markas baru, tiba-tiba seseorang menyapamu.

Kamu berputar dan mendapati Jean dengan seorang temannya sedang berlari padamu. Dari yang kamu ingat, wajahnya malam ini agak berbeda. Tampak sedih.

Siapa yang tidak sedih setelah menyaksikan teman-teman seperjuanganmu mati, sedangkan kau tidak?

"Hai. Apa kabar?" Kamu menjabat tangannya yang kasar, lalu mendongak menemui mukanya, karena dia lebih tinggi. "Terima kasih soal waktu itu. Kalo kamu nggak datang, mungkin aku sudah mati."

"Sama-sama. Senang bisa melihatmu lagi."

Teman di sebelahnya, yang tidak terlalu tinggi, tiba-tiba merebut tanganmu dari genggamannya. Dia tersenyum lebar, lalu mengayun-ayunkan tangan kalian yang sekarang ini masih saling genggam.

"Kenalkan, ya! Namaku Connie Springer!"

Kamu tertawa dan menganggukan kepala. "Kenalkan juga, aku (Y/F/N)!"

"Baik, itu sudah cukup. Pergi sana."

Jean menengahi, kemudian menarik Connie menjauh beberapa meter dari tempatmu berdiri. Setelah sempat berdiskusi sejenak, Connie sepakat, mengangguk pada Jean dan meninggalkan mereka berdua di sana.

Jean kembali lagi. "Gimana kondisimu?"

"Aku sudah sehat, terima kasih. Kau sendiri?"

Jean menceritakan masalahnya, tentang dirinya yang kehilangan sosok teman terdekatnya saat misi kemarin. Dia cerita kalau ternyata dia juga tidak pernah berniat bergabung dengan Pasukan Pengintai-- sama sepertimu, dia ingin masuk ke divisi Polisi Militer-- tapi tiba-tiba sesuatu dalam dirinya membuatnya berubah pikiran sehingga dia bisa berada di sini sekarang.

Ketika dia selesai, kamu juga menceritakan kejadian yang serupa tentang Pasukan Pengintai. Sejak saat itu, pembicaraan kalian jadi berbelok ke mana-mana. Tapi karena sudah kehabisan waktu, kalian memutuskan untuk melanjutkan obrolan-obrolan kalian besok.

***

Erwin

Sudah beberapa bulan sejak pertemuan singkat itu, tapi kamu selalu kepikiran tentangnya-- Dia sudah baca bukunya belum, ya?

Kamu menggeser matamu ke arah buku yang bulan lalu sempat kamu perjuangkan mati-matian tetapi berakhir terbengkalai karena kamu membenci alurnya yang terkesan terlalu klise. Kamu bahkan sampai bertanya-tanya pada dirimu sendiri, apakah buku itu memang tidak menarik, atau seleramu saja yang terlalu buruk.

Mungkin keduanya, pikirmu sambil mengedikkan bahu. Kamu mengikat tali sepatu botmu lalu melesat ke toko buku langgananmu. Seperti biasa, di meja kasir ada paman pemilik toko yang menyapamu dengan ramah.

Biasanya kalian berbincang-bincang kecil dulu tentang buku yang kamu beli sebelumnya, tapi kali ini kamu langsung menyelonong karena tak tertarik. Paman itu juga mengerti, sebagai seseorang yang sudah mengenalmu sejak saat kamu masih kecil dan dirinya masih begitu muda.

Kali ini kamu berniat untuk belajar sesuatu, jadi kamu tidak pergi ke rak yang berisi buku-buku novel. Karena kamu berjalan secara acak, sekarang ini kamu berada di rak bagian buku-buku sejarah dan strategi perang. Kamu bertemu lagi dengan prajurit muda itu.

"Loh?" Kamu mendekatinya.

Mendengar suara yang tak asing baginha itu, Erwin langsung berpaling dari buku bacaannya, kepadamu. Kamu tidak tahu pasti kenapa, tapi kamu melihat pipinya memerah.

"Ah, nona." Dia menunduk, dengan sopan menyapamu.

"Hai, tuan Smith! Apa kabar?"

"Baik." Dia tersenyum, matanya bergeser turun ke arah tanganmu yang kosong. "Mau beli buku, ya?"

"Iya. Sebenarnya belakangan ini aku agak jenuh membaca novel. Aku ingin mencoba baca sesuatu yang baru."

"Itu bagus." Balasnya seraya mengambil salah satu buku di rak yang ada di depannya. Buku sejarah dinding. "Aku merekomendasikan ini."

Kamu memutar bola mata melihat buku itu. "Aku punya buku ini. Aku sudah baca juga."

"Apa pendapat anda?"

"Omong kosong." Kamu mencela, lalu menggeleng. "Maksudku, aku tahu aku ini memang bodoh dan nggak tahu apa-apa. Tapi menurutku, hal-hal yang tertera di dalam buku ini, semuanya nggak masuk akal. Benar-benar seperti dongeng anak-anak."

"Oh," Erwin takjub mendengar kritikanmu yang jujur. Pria itu menarik napas, kemudian melanjutkan. "Bagaimana bisa setelah bicara seperti itu, anda menyatakan diri anda bodoh, nona?"

Mendengar pujiannya itu, pipimu memanas, dan jantungmu jadi berdebar-debar tidak jelas. Kamu meraih buku itu, meletakkannya di tempat yang seharusnya benda itu berada.

"Aku jadi mau dengar, pandanganmu tentang buku itu."

"Baiklah."

"Karena ini toko buku, dan kita tidak diperbolehkan berisik, bagaimana kalau kita lanjut di luar?"

"Itu boleh juga."

"Kamu sedang libur, kan?"

"Iya, nona."

"Oke, bagus! Aku akan menculikmu seharian ini!"

Erwin terkekeh pelan. "Mohon bantuannya."

***

Connie

"Hey, Connie, kalau semua sudah selesai, cobalah berbaur sedikit dengan cewek." Sasha pernah bilang begitu pada Connie. Kemudian, sambil memamerkan gelangnya, dia membuka mulutnya. "Aku tahu kamu nggak akan suka ide ini, tapi aku bisa kenalkan kau dengan sahabat baikku. Aku selalu berharap supaya dia dapat pasangan yang bisa menjaganya, karena kadang-kadang dia payah banget, ceroboh pula."

Sahabat baiknya, itu berarti (Y/N). Kamu. Perempuan yang sering mereka bicarakan diam-diam karena tingkah kekanakannya.

"Sebagai gantinya, kalau kau mau kencan buta dengannya, aku traktir daging, deh!"

Connie tersenyum. "Nggak buruk juga. Tentukan saja kapan aku harus bertemu dengannya."

"Nanti. Masih lama. Kita harus menyelesaikan semua urusan di sini dulu!"

Tapi malam harinya setelah perbincangan tersebut, Sasha tewas tertembak oleh salah satu prajurit Marley. Mimpi mereka, dan hal-hal yang telah mereka janjikan akan dilakukan bersama di masa depan, kandas.

Sampai waktu itu di pemakaman, Connie akhirnya melihatmu. Kamu mengingatkannya pada Sasha; walau tidak serupa, kalian sama.

Sayangnya karena sejak itu kamu mulai menutup diri, kalian tidak pernah bertemu lagi. Tidak sampai akhirnya kalian berpapasan di taman kota sore ini.

Kamu tersandung ketika sedang menyeberangi jalan. Beruntungnya ada Connie yang kebetulan sedang lewat, langsung bergegas membantumu.

"Benar, ya, Sasha." Kata pria itu sambil mengangkat topinya. "Temanmu ini ceroboh banget."

"Eh?"

***

Reiner

Imut-- sejak mendengar kata-kata pujian itu, kamu selalu menghindar dari kerumunan anak tahun pertama, berusaha supaya tidak berurusan dengan anak itu.

Kenapa? Karena kamu selalu kepikiran, dan itu membuatmu jadi kehilangan konstentrasi, sedangkan ada cita-cita yang harus diraih.

Sekarang, sudah enam tahun lamanya, dan sayangnya, kamu gagal tahun lalu. Karena divisi Pasukan Penjaga sudah terlalu penuh, dan karena kamu tidak mau menghabiskan sisa hidup di rumah sebagai pengangguran menyedihkan, kamu memutuskan untuk bergabung dan menjadi anggota Pasukan Pengintai.

Upacara pelantikan yang digelar di markas utama sudah usai, dan di sanalah kamu bertemu lagi dengan Reiner, anak yang selama beberapa tahun ini membuat jantungmu sangat kerepotan.

"Wuah! K-Kau!" Pekiknya dengan pipi semerah tomat. Tangannya yang gemetar meraih kedua pipimu, dia tercengir lebar, dan mulai bertingkah seperti orang mabuk. "Tambah imut!"

"Anak ini, makin nggak tahu sopan santun, ya?!" Kamu membentak, menepis tangannya.

Dia tersenyum semakin lebar ketika kamu marah. "Tuh, kan? Imut sekali!"

"Tapi, kudengar namamu masuk di dalam daftar sepuluh nama lulusan terbaik tahun ini. Kenapa kau bisa ada di sini?"

"Karena aku mau ketemu Senior."

"Gila, ya?" Kamu menjitak kecil kepalanya. "Divisi ini sama sekali nggak cocok buat anak yang nggak serius sepertimu. Pekerjaan yang akan kamu hadapi nantinya itu sangat berbahaya, tahu? Serius, dong!"

"Baik, baik.. Sebenarnya aku juga punya tujuan."

"Oh? Tujuan, ya? Kau sudah punya rencana juga, rupanya?"

"Senior nggak tahu banyak tentangku, sih."

"Kalau begitu, beri tahu aku lebih jauh lagi, dong?"

Kini rona merahnya merata di wajah anak itu. Bibirnya bergetar, menahan tawa. Untuk menutupi ekspresi anehnya, Reiner menutup muka dengan kedua tangannya.

"Kenapa? Apa ada yang lucu?"

"Sial! Senior lucu banget!"

"Aku?"

"Senior itu agresif juga, ya? Aku suka banget, bikin deg-degan saja!" Reiner menyambar maju dan memeluk badanmu yang lebih kecil darinya. "Senior bilang pekerjaan ini berbahaya, hm? Kalau begitu, mulai sekarang, Senior tidak perlu cemas karena aku akan melindungi Senior!"

"Huwaa! Menjijikan, jangan sentuh-sentuh!" Jeritmu. Mendadak jantungmu jadi ikut berdebar-debar.

"Ayo menikah denganku, Senior!~"

Setelah hari itu, Reiner selalu memperhatikanmu. Saat latihan-- bahkan itu membuat dirinya sampai dihukum oleh pelatihnya-- Saat jam makan dia biasanya akan menghampirimu dan memberikan jatah makanan penutupnya untukmu, atau memakan jatah makananmu yang tidak kau sukai. Saat kegiatan sudah selesai, dia berusaha mencuri-curi waktu untuk mengobrol denganmu tentang apa pun.

Pandanganmu terhadapnya, yang tadinya menganggap dirinya sebagai seorang bocah cabul yang tidak bisa diandalkan, lambat laun mulai berubah. Bahkan setelah beberapa bulan, kamu mulai menyukainya.

***

Bertholdt

Kamu langsung menjerit histeris begitu membuka mata, mengingat-ingat kejadian lalu; seluruh anggota keluargamu yang tewas dimakan oleh para makhluk-makhluk menyeramkan yang pagi ini menembus dinding tempat tinggalmu, Shiganshina.

Beberapa perawat sudah mencoba menenangkanmu, tetapi tidak berhasil. Tidak ada yang bisa menolongmu saat ini. Tidak dengan permen, bahkan kudapan enak.

Di tengah-tengah keributan itu, seorang bocah menerobos kerumunan yang sedang menguping dari luar tenda-- karena kapasitas rumah sakit sudah terlalu penuh, mereka merawatmu di wilayah pengungsian.

"Jelaskan ada kepentingan apa kau kemari?!" Bentak salah seorang perawat yang kewalahan.

"A-Aku.."

Bertholdt memelotot memandangi sebuah jarum suntik yang ada di genggaman orang itu; membuatnya teringat akan sesuatu. Melirik ke arah ranjang, tempat di mana kamu sedang memberontak, Bertholdt langsung merebut benda itu dan membungkuk.

"A-Aku kakaknya!"

"Namamu."

"B-Bertholdt."

"Nama keluarga."

Ah, mati aku!

"Ho-Hoover."

Sang perawat berwajah masam, langsung mengecek ulang papan yang berisi daftar nama pasien di meja kerjanya, kemudian menggelintir kuping Bertholdt karena merasa tertipu.

"Anak nakal! Tidak ada seorang pun di sini yang berasal dari keluarga--"

"Aku mengenalnya!" Kamu berhenti menangis dan melambai pada perawat itu, membuat ketegangan di wajahnya merenggang. "Dia... Dia saudara jauhku!"

Karena harus mengurus pasien lainnya, dia pun memutuskan mengalah, memberi Bertholdt sedikit jalan untuk masuk.

"Terserah. Tapi jangan berisik."

"Terima kasih, nyonya perawat!" Sekali lagi, Bertholdt membungkuk kepadanya dengan wajah gembira.

Kamu menarik napas dalam-dalam sebelum memalsukan senyum. Saat Bertholdt tiba dan menarik kursi ke sisi ranjangmu, kamu malah menangis tersedu-sedu, seolah sedang mengadu kepadanya.

Anak laki-laki itu kini memasang raut bersalah, menyambar tanganmu. "Aku minta maaf."

"E-Eh? Kenapa m-minta maaf?"

"Pokoknya aku minta maaf.." Dia berbisik lirih, ikut menangis. "Soal keluargamu, soal kamu.."

"Aduh.. Kamu nggak perlu berlebihan begitu," Katamu seraya menepuk punggungnya. "Aku (Y/F/N). Siapa namamu?"

"Bertholdt Hoover."

"Nah, Bertholdt, terima kasih banyak sudah menolongku. Senang bisa bertemu denganmu!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top