All: First Meeting

Eren

Suasana Liberio sangat tentram sore ini. Kamu sedang duduk di teras sebuah kedai sembari menyesap secangkir kopi, ditemani sepiring kudapan manis yang kau sukai. Semua masih biasa-biasa saja, sampai kamu menyadari tatapan seseorang dari meja di seberangmu.

Tanpa dijelaskan saja, kamu sudah tahu maksud dari tatapannya. Itu tatapan menjijikan seorang pria ketika dia hendak meniduri seseorang wanita.

Lalu kamu memutar tatapan ke sekelilingmu, berharap ada seseorang yang cukup kamu kenali untuk diminta pertolongan. Namun, sayang sekali tidak ada seorang pun yang kamu kenali, mengingat posisimu saat ini sangat jauh dari daerah tempat tinggalmu.

Ketika kamu berdiri, pria di seberangmu itu mengikuti pergerakanmu, dan itu membuatmu ingin menjerit, tapi--

"Sayang~"

Seorang pria-- yang memiliki rambut cukup panjang, tampan, dan tubuh jangkung-- menepuk bahumu. Tapi terlepas dari tampangnya yang di atas rata-rata, dia tetaplah orang asing gila yang lancang dan tidak kamu kenali.

"Kau gil---"

"Sudah mau pergi? Maaf aku terlambat~" Dia tersenyum, lalu berbisik di telingamu, "Kalau mau selamat, ikuti saja alurnya."

"Huh?" Awalnya, kamu kebingungan, lalu dia mencubit pinggangmu, dan membuatmu melonjak kaget. "A-Ah, ya.. tidak apa-apa. Jadi, s-sayang, mau ke mana kita setelah ini?"

"Ke mana, ya? Hmm.. Sudah sore, nih, bagaimana kalau pulang ke rumahku? Aku mau tidur."

Setelah mendengar kata-kata itu, pria aneh yang tadi di seberangmu, langsung berputar dengan raut canggung. Separuh takut, malu, dan separuh berterima kasih, kamu melepas genggamanmu dari lengannya.

"Baik.. terima kasih." Kamu berdeham untuk menutupi raut malumu. "Terima kasih banyak atas.. bantuannya, kurasa?"

"Sama-sama. Aku hanya tidak mau jika sesuatu yang menjijikan menimpamu. Dunia ini dipenuhi oleh orang-orang gila, kau tahu?" Dia terkekeh dan menepuk kepalamu. "Kalau boleh tahu, di mana rumahmu, nona? Biar aku antar."

"A-Aku bisa naik taxi."

"Baiklah.."

Kamu hanya mengangguk mengiyakan kata-katanya, lalu meletakkan uang ke atas meja untuk membayar kopi dan kudapanmu sebelum berbalik meninggalkan kedai tersebut.

"Namaku Eren." Dia berkata dari arah belakang, membuatmu kembali menoleh kepadanya. "Namamu?"

"Kenapa ingin tahu?"

"Entahlah?" Pria bernama Eren itu mengangkat kedua bahunya sembari tertawa. "Aku hanya merasa kalau kita akan bertemu lagi."

"(Y/N)."

"Nama yang cantik. Sangat cocok dengan wajah nan cantik itu."

Mendengar itu, wajahmu merekah merah. Kamu benci mengakuinya, tapi pria itu sangat manis, membuat jantungmu berdebar begitu liar.

"Sampai jumpa, Eren."

***

Levi

Kamu sedang patah hati berat, baru saja dicampakkan oleh kekasih selama dua tahunmu. Sekarang ini, karena tidak tahu hal bermanfaat macam apa lagi yang harus dilakukan untuk mengenyahkan rasa sedihmu, kamu pergi ke sebuah Bar.

Alih-alih memesan segelas bir, kamu memesan secangkir teh hitam panas. Kenapa? karena mantan kekasihmu tidak menyukai teh hitam.. Yah, tentu saja itu hanya sebuah alasan yang dibuat-buat. Kamu memesannya karena kamu menyukainya, dan kamu tidak punya cukup uang untuk pergi ke kedai teh karena harga secangkirnya di sana terlalu mahal, dan kamu baru saja mengeluarkan semua sisa uangmu untuk pindah rumah, omong-omong.

Di sudut ruangan, ada seseorang yang sangat menarik perhatianmu. Kamu-- dan mungkin semua orang yang ada di dalam bangunan ini-- mengenalnya. Dia adalah Kapten Levi Ackerman, dari Survey Corps. Dia tidak tahu kamu, tapi dia membalas tatapanmu dan mengangguk kecil, entah apa maksud dia melakukannya.

Penasaran, kamu bangkit dan berjalan ke arah mejanya. "Halo."

"Ya." Dia balas menyapa, nadanya agak dingin, tapi kamu mengerti kalau dia tidak melakukannya karena terganggu dengan kehadiranmu. Dia hanya agak.. kaku.

"Jika kamu butuh teman untuk ngobrol sambil minum teh, atau semacamnya.." Kamu berkata dengan canggung. Menyadari betapa anehnya kata-katamu, kamu ingin menjerit.

Dia mengadah menatapmu. Ketika mata kalian bertemu, Kapten Levi langsung membuang kembali tatapannya ke arah cangkir di hadapannya. "Itu tidak penting, tapi kau boleh duduk.. kalau mau."

"Jadi, kau suka teh, Kapten?" Kamu tersenyum, bersiap untuk mendengar jawaban dari pertanyaan itu. Tanpa membalas tatapanmu, dia mengangguk. Lalu kamu melanjutkan, "Bagaimana misi perebutan Shinganshina kemarin?"

"Seperti yang tertulis di koran."

"Oh.." Lalu kamu teringat sesuatu. "Aku turut berduka soal Komandan--"

"Hm. Aku harus pergi." Pria itu dengan cepat bangkit dari kursinya dan menunduk kepadamu sebelum berbalik pergi. "Terima kasih sudah menemaniku, nona."

***

Jean

Distrik Trost tertembus. Saat ini, kamu terjebak di atas atap sebuah bangunan karena alat manuvermu rusak. Sulit untukmu berpikir jernih karena sedari tadi harus menyaksikan satu per satu rekanmu tewas sambil berpikir mungkin berikutnya adalah giliranmu.

Ketika salah satu Titan melompat dan memakan temanmu, yang juga sedang berlindung di atas atap sepertimu, kamu semakin yakin kalau cepat atau lambat, kamu akan tetap mati hari ini.

Memikirkan itu, kamu menangis seperti bayi. Sampai akhirnya sesuatu menimpuk kepalamu, kamu menoleh dan mendapati sekelompok kadet sepertimu sedang bermanuver ke arahmu.

"Jangan hanya nangis begitu, bodoh! Cepat berdiri, kita tidak punya banyak waktu!" Teriak salah seorang anak-- yang tadi menimpuk kepalamu dengan botol kosong-- merentangkan tangannya kepadamu.

Begitu mendarat di depanmu, anak laki-laki itu langsung mengangkat tubuhmu, dan secepat mungkin menuju ke tempat evakuasi.

"Apa kau baik-baik saja? Ada luka yang serius?" Dia memastikan.

"Tidak."

"Bagus. Kumohon, bertahanlah."

Kamu menangis lagi, "T-Terima kasih."

"Jean."

"Huh?"

"Namaku Jean, dasar anak cengeng. Kau..?"

"(Y/N)."

***

Erwin

Kamu adalah seorang penggemar buku. Suatu hari, kamu sedang pergi ke toko untuk membeli buku cerita keluaran terbaru yang belakangan ini sedang sangat terkenal di kalangan warga Dinding Rose.

"Selamat datang, (Y/N)." Paman pemilik toko buku menyapamu. Kalian sangat akrab karena kamu sering membeli buku di tokonya sejak masih anak-anak.

"Terima kasih, Paman." Kamu tersenyum kemudian membungkuk dengan sopan kepadanya.

"Biar Paman tebak," Paman mengangkat jari telunjuknya, tampak seolah sedang berpikir. "Buku yang baru itu, huh?"

"Jenius!" Kamu mengacungkan ibu jarimu, membenarkan tebakannya.

"Di Blok B, cari saja di bagian tengah."

"Terima kasih." Sambil berlalu, kamu melambai kepadanya.

Ketika tiba di Blok B, semangatmu mendadak lenyap. Buku yang ingin kamu beli hanya tersisa satu buah, dan kini kamu harus repot-repot berlari supaya tidak kehabisan.

Ketika kamu sampai tempat di mana buku itu berada, seseorang menggapainya lebih dulu. Karena kelewat bersemangat, kamu yang berhenti mendadak pun terjatuh ke lantai, berusaha supaya tidak menabraknya.

"Apa anda baik-baik saja, nona?" Tangan raksasanya menyambut untuk membantumu berdiri.

"Y-Yah, aku.."

Matamu tak bisa lepas dari sepatu botnya yang khas. Ya. Tak salah lagi, dia adalah seorang prajurit. Mati aku, batinmu sambil mengerjap sesaat.

"Anda..?"

Kamu menghela napas, membalas sambutan tangannya dan berdiri. "Aku baik-baik saja, terima kasih."

"Baiklah." Pria itu terkekeh pelan, menyodorkan buku itu kepadamu. "Sepertinya anda lebih membutuhkannya. Silahkan, nona."

Kamu memerah, malu. "A-Ah, tidak, kok! A-Aku hanya kelewat bersemangat, makanya s-sampai berlari dan jatuh. Kau bisa memilikinya, t-tuan, sungguh!"

Pria itu tertawa lepas. "Tidak, kok. Saya hanya penasaran karena.. buku ini sedang ramai diperbincangkan."

"Iya, kan? Aku kesal sekali setiap berkumpul dengan teman-temanku, mereka selalu berdiskusi tentang buku ini! Kurasa hanya aku yang ketinggalan zaman!" Kamu berkeluh, mendesah frustasi.

"Baiklah. Memang anda yang lebih membutuhkannya." Dia masih tertawa, meletakkan buku itu ke tanganmu secara paksa. "Maafkan saya karena telah membuat anda sampai jatuh seperti itu. Kumohon, ambilah."

"Serius? Terima kasih banyak, tuan..."

"Erwin. Erwin Smith."

"Ya, tuan Smith." Kamu memeluk buku pemberiannya, menepuk pundaknya, lalu berbalik. "Pokoknya terima kasih banyak!"

"Ah.." Kamu menyadari dia sedang berusaha mengatakan sesuatu, maka dari itu kamu berhenti sesaat untuk menunggunya. Tapi kemudian dia menggeleng. "Sampai jumpa, nona.."

Langsung mengetahui apa yang hendak dikatakannya itu, kamu tertawa dan melambai. "Namaku (Y/F/N)."

"Baik. Itu bagus."

"Apanya?"

"Bukan apa-apa."

"Kamu lucu. Kalau begitu.. Sampai jumpa!"

***

Connie

Kamu dan Sasha bersahabat sejak kecil. Ayah kalian adalah seorang pemburu, begitu juga dengan kalian. Meski terbiasa bersama dan tak terpisahkan, kamu tidak mengikuti Sasha yang dikirim oleh ayahnya ke Akademi Militer, dan itu adalah penyesalan terbesar dalam hidupmu.

Seandainya saja aku ikut denganmu waktu itu, mungkin kamu masih ada di sini sekarang, bersamaku-- kamu selalu mengulangnya dalam hati ketika mengingatnya. Berusaha kuat, berusaha tegar, kamu menyeka air matamu.

"Kita belum sempat bertemu," Kamu terkekeh, meletakkan sebuket bunga ke atas makamnya. "Aku merindukanmu, bodoh."

Tiba-tiba, dari balik pundakmu, seseorang menyodorkan sapu tangannya padamu. Ketika menoleh, dan kamu sedikit mendongakkan pandanganmu ke arah wajahnya, kamu mendapati seorang laki-laki; kira-kira usianya sepantaran denganmu, jangkung, dan dia memiliki perawakan yang tegas.

"Hai." Sapanya sambil tersenyum.

"Ya. Hai." Balasmu, menerima tawaran sapu tangan itu. "Terima kasih."

"Melihatmu sampai seperti ini.. kamu pasti sangat dekat dengannya." Dia ikut duduk di sisimu, matanya terpaku pada batu nisan di hadapan kalian yang tertera nama Sasha di dalamnya.

"Ya. sangat."

"Mungkin kalau sekiranya aku tidak salah, kamu adalah anak yang sering diceritakan Sasha itu, ya?"

Matamu membulat. "Sasha sering bercerita tentangku?"

"Ya. Katanya, kalian sering bergulat saat kanak-kanak. Kamu menggigit lengannya ketika dia menjambak rambutmu. Tapi ketika semua sudah baik-baik saja, kalian kembali saling menyayangi satu sama lain. Aku percaya kamu adalah orang yang diceritakannya itu."

"Jika dia sampai menceritakan itu, berarti kau juga pasti sangat dekat dengannya." Kamu tertawa. "Ya. Aku adalah anak itu."

"Tentu saja. Aku dan Sasha itu sudah seperti saudara kembar." Dia menunduk sesaat, lalu kembali kepadamu. "Namaku Connie, omong-omong."

"(Y/N). (Y/F/N)." Katamu, mengangguk. "Tapi, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku adalah orang itu?"

Connie menggulung kemejanya, menampilkan sebuah gelang dengan liontin taring serigala; seperti milikmu dan Sasha, kalian membuatnya bersama ketika pertama kali diperbolehkan berburu di alam liar. Dia menunjuk ke arah benda yang sama yang ada di pergelangan tanganmu.

***

Reiner

Kamu sedang duduk menyendiri sembari melamunkan sesuatu di atas atap salah satu rumah. Kamu adalah kadet tahun kedua, dan itu adalah hal paling membosankan untuk diingat.

Merasa pegal-pegal, kamu akhirnya mengangkat bokongmu dan melesat pergi kembali ke wilayah pelatihan. Tentu saja tidak ada kegiatan karena hari ini sedang libur, tapi kamu tidak tahu apa lagi yang bisa kamu lalukan.

Dari arah pepohonan yang mengelilingi tempatmu melintas saat ini, kamu mendengar suara sebuah manuver. Awalnya kamu berpikir kalau itu hanya seorang junior yang sedang berlatih, sampai akhirnya suara itu terdengar semakin dekat, dan kamu--

"Woah! Awas!" Dia berteriak.

Dia menabrakmu-- bahkan menindihmu-- dengan badan bongsornya. Kamu yang terlalu syok itu langsung bangkit dan menyingkirkan badannya dari hadapanmu dengan kasar.

"Apa, sih, yang kau pikirkan, dasar gila?!" Kamu menggerutu, berusaha bersikap sebiasa mungkin meski kepalamu terasa pening. "Itu sakit sekali, tahu?! Tapi, yang terpenting, apa kau baik-baik saja?"

"Ma-Maaf, Senior, kupikir anda seseorang yang kukenal." Dia membungkuk begitu menyadari sebuah penanda di jaketmu; sebuah bros dengan simbol yang menandakan kalau kamu adalah anggota dari kadet tahun kedua.

Kamu menggeleng, menepuk pundaknya. "Oh, ayolah, hentikan itu. Siapa namamu?"

Dia kembali berdiri tegak, tersenyum, wajahnya memerah. "Braun. R-Reiner-- Reiner Braun."

Kamu terkejut melihat ekspresinya, memiringkan kepala. "Aku (Y/N). Omong-omong, apa ada yang salah dariku?"

"T-Tidak, kok!"

"Terus? Kenapa kau seperti itu? Ekspresi macam apa itu?"

"Bukan apa-apa.. Maksudku.. Anda hanya terlalu imut untuk.. uh.. dipanggil Senior."

Mendengar pernyataan itu, kamu ikut memerah sepertinya. Kecanggungan menyelimuti suasana di antara kalian, dan tak lama setelah itu kamu akhirnya tertawa terbahak-bahak.

"Benar juga.. tapi aku kan tidak minta dipanggil Senior olehmu." Kamu berjalan mendekat, menempelkan bahumu di sisi lengannya; bahkan ujung kepalamu hanya segaris dengan kupingnya. "Kamu tinggi banget, deh! Berapa umurmu?"

"Tujuh belas. Mungkin kita seumuran, atau mungkin aku lebih tua dari Senior, ya?"

Kalian seumuran. Merasa senang, kamu meraih tangannya, lalu berayun-ayun. "Sama, dong?! Aku juga tujuh belas tahun."

"Agak sulit dipercaya, sih, tapi senang bisa bertemu dengan Senior."

"Kenapa?"

"Pertama, Senior sangat imut. Kedua, senior sangat sangat imut. Ketiga.."

"Senior imut?" Kamu memutar bola matamu, membuatnya tertawa.

"Sangat. Sangat.. sangat terlalu imut." Dia memerah, tapi masih berusaha.

"Apa itu semua ada bedanya?"

"Tidak. Tapi keimutan Senior tidak cukup untuk dikatakan hanya sebanyak satu kali. Jika Senior ingin aku mengulangnya lagi, tentu saja akan kulakukan."

"Kau sinting, huh? Kenapa juga kamu memanggilku imut?" Gertakmu, mencubit pinggulnya.

Dia meringis kesakitan, lalu terkekeh. "Karena itu."

***

Bertholdt

Kamu menjerit ketika pengejarmu semakin mendekat. Kamu adalah warga Shinganshina, dan ini adalah hari yang kamu tidak pernah duga-duga akan datang. Ya. Dinding tertembus, dan semua Titan yang ada diluar menerobos masuk, memakan semua anggota keluargamu.

Sedikit lagi. Sedikit lagi usaha dan kamu akan selamat, tapi-- tidak. Kamu menyaksikan jembatan di hadapanmu hancur. Berbalik sudah mustahil, berbelok pun tidak memungkinkan. Kamu masih berusaha selagi makhluk itu masih berlari mendekat.

"Tidak, tidak. Kumohon, jangan sekarang!"

Kamu memejamkan matamu seraya menangis. Lalu kamu merasakan sebuah tangan meraih pergelangan tanganmu, membawamu lari dengan kecepatan tinggi. Kamu hanya bisa melihat punggungnya, tapi kamu yakin dia bukan orang dewasa.

"T-Tunggu!" Kamu berteriak kepadanya. Kamu tahu dia mendengarkan, tetapi tidak tertarik untuk menoleh dan berbasa-basi. "Terlalu cepat!"

"Sedikit lagi!" Dia membalas, mengeratkan genggamannya di tanganmu.

Kamu nyaris terlempar karena kehabisan napas. Anak di depanmu, yang menyadarinya dengan cepat, langsung berlutut menawarkan punggungnya untukmu.

"Naik!"

"A-Apa?!"

"Aku bilang--" Dia mengangkat paksa tubuhmu. "Diamlah dan jangan berkomentar!"

***

Armin

Instruktur Shadis sedang menatapmu dengan kedua alisnya yang berkerut, wajahnya tampak murka. Bagaimana tidak, lagi-lagi kamu mendapat nilai terendah dalam ujian tahun ini, dan itu membuat dirinya-- yang selalu berusaha membelamu pada atasannya agar kamu dapat kesempatan-- frustasi berat dan merasa kecewa.

"Kumohon." Kamu memohon, kali ini sangat serius sehingga kamu berani berlutut kepadanya.

"Apa yang harus kulakukan jika kamu mengecewakanku lagi tahun depan?!" Dia membentak.

"Anda boleh berhenti membelaku, Instruktur. Kumohon, sekali ini saja, beri aku kesempatan."

Alasan kamu berjuang sampai seperti itu adalah karena kamu tidak tahu harus ke mana lagi kamu akan pulang jika Militer Pusat tidak menerimamu-- Kamu sudah tidak punya keluarga, rumahmu di Shinganshina juga sudah hancur berkeping-keping. Kemungkinan terburuknya, kamu akan jadi gelandangan.

Tentu saja kamu sudah berusaha sekeras mungkin. Namun, kamu sangat lemah dalam bidang hitung-hitungan dan itulah yang sedang dipermasalahkan saat ini.

"Baiklah." Shadis membantumu berdiri, menepuk kedua pundakmu. "Ingat. Ini kesempatan terakhir dariku untukmu, (Y/F/N). Selanjutnya, tidak akan ada toleransi lagi, paham?"

"Ba-Baik! Terima kasih banyak, Instruktur!" Kamu berseru gembira. Saking senangnya, sekujur wajahmu memerah.

"Ya, ya. Sekarang pergilah, aku banyak pekerjaan."

"Baik! Terima kasih banyak, Instruktur, sekali lagi!"

"Ah, dan satu lagi," Panggilnya. "Kurasa ada seseorang yang bisa membantumu."

"Ya?"

"Armin Arlert. Cari anak itu."

"Ba-Baik! Terima kasih, Instruktur! Kalau begitu, saya pamit. Selamat siang!"

Setelah keluar dari ruangan Instruktur Shadis, kamu langsung bergerak mencari nama yang baru saja disebut-sebut itu ke asrama anak laki-laki-- panjang umur.

"Armin! Tunggu aku!" Panggil seorang bocah dari arah salah satu bangunan

"Eren? Apa yang kau lakukan? Bukannya kau akan pergi latihan bersama Reiner?"

"Ya! Maka dari itu, aku mau titip sesuatu padamu." Anak itu menyodorkan sesuatu pada temannya yang kalau tidak salah bernama Armin itu. "Kalau Jean menanyakan sesuatu tentang benda ini, bilang saja kau tidak melihatnya, paham?"

"Baik, aku mengerti. Pergilah, Eren."

"Baik. Aku pergi dulu. Sampai jumpa, Armin!"

Matamu bergeser, menemui seorang bocah berambut pirang yang agak imut-- kamu tersedak dan menggeleng, berusaha fokus. Tanganmu mencengkeram erat buku catatan yang kamu sembunyikan di balik badanmu sambil mulai melangkah ke arahnya.

Mengumpulkan tekad, kemudian kamu mengambil napas sesaat. "A-Armin Arlert!"

"Eh?" Anak itu menoleh kepadamu dengan raut bingung. "Ya? Ada yang bisa kubantu.."

"(Y/N)! Namaku (Y/F/N)!" Kamu mendekat dan menjabat tangannya. "Salam kenal!"

"Ya, salam kenal juga, ya." Dia tersenyum. Kamu tahu dia sedang berusaha menyembunyikan raut canggungnya. Dia melanjutkan, "Jadi.."

"Apa kamu ingin menyelamatkan hidup seseorang?"

"Menyelamatkan hidup seseorang? T-Tentu saja!"

"Kalau begitu, kumohon tolong aku!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top