2. Eren vs Reiner: I'll Take Her Home

***

Sudah satu tahun berlalu nampaknya. Perjalanan menuju ujian akhir yang akan menentukan masa depan mereka tinggal setengah jalan lagi. Seharusnya mereka fokus, tapi..

Reiner membenci Eren yang telah merebut (Y/N) darinya. Eren membenci Reiner yang berusaha merebut (Y/N) darinya. Meski begitu, terlepas dari hal rebut-merebut, mereka adalah rekan yang baik. Reiner banyak membantu Eren dalam latihan manuver, dan Eren.. Yah, mungkin sangat membantu Reiner dalam proses pengendalian emosinya. Seperti saat ini.

"(Y/N), kalau akhir pekan ini nggak ada rencana.. ayo kita latihan bareng!" Eren tiba-tiba saja datang merangkul gadis itu, membuat Reiner yang saat ini sedang bersamanya merasa jengkel.

"Aku ada rencana dengannya. Pergi saja latihan dengan yang lain." Bentak Reiner, nadanya serius.

"Rencana apa?" Dengan polosnya, (Y/N) bertanya.

"A-Aku baru ingin mengajakmu ke.." Reiner memerah, malu. "K-Ke pusat kota untuk mencari beberapa perlengkapan asrama. Kau mau temani aku, kan?"

"Maksudmu belanja?! Mau!" Dengan matanya yang berbinar-binar, (Y/N) mengangguk menyetujui ajakan Reiner.

Dengan raut puas, Reiner mencaci Eren dengan menjulurkan lidahnya. Dia menggenggam pergelangan tangan gadis itu dan menariknya ke sisinya.

"Orang-orang bilang kita cocok," Reiner separuh ragu berseru. "Memang benar, ya, Eren?"

"Apa? Reiner!" (Y/N) menyikut perut anak laki-laki itu dan menutup wajahnya karena malu. Atau... karena yang lain.

"Nggak, tuh?" Cela Eren, nggak suka. "Kau terlalu aneh untuk (Y/N), Reiner. Jangan ngelantur yang nggak-nggak."

"Apa?"

"Sudah, sudah. Ayo kita lanjutkan latihannya, Reiner." (Y/N) memutar bola matanya, mendorong Reiner yang mulai terpancing. Ketika tangan perempuan itu  menggenggam tangannya, amarahnya seolah menciut secara instan. Reiner tersenyum dan mengangguk. Sekali lagi perempuan itu melirik ke belakang, separuh sedih. "Sampai jumpa, Eren!"

Ya. Itu bagus. Fokuslah padaku seorang. Dia membatin seraya mengeratkan genggamannya pada tangan (Y/N). Eren, di belakang mereka, yang tidak tahan melihat pemandangan tersebut, menarik (Y/N), membuat tubuhnya nyaris jatuh terhempas ke belakang.

"Apa yang kau pikirkan?!" Gerutu Reiner, menahan badan (Y/N) dengan tangannya yang kukuh.

"Aku hanya--"

"Aku baik-baik saja, ya ampun." Kata perempuan itu, tersenyum, pipinya sedikit merona. "Apa ada yang ingin kau katakan lagi, Eren?"

"(Y/N), kita harus bicara!"

***

Hati Reiner hancur berkeping-keping setelah (Y/N) menceritakan semua padanya tentang hubungan baru antara dirinya dan Eren. Meski begitu, bukan berarti Reiner akan berhenti menjaga dan mempedulikannya juga. Tampaknya itu tetap berlaku. Akan selalu.

Eren mengetahui dirinya telah menang, tak merisaukan kehadiran Reiner di sekitar pacarnya lagi. Dia tahu Reiner bukan orang yang seburuk itu, jadi dia sedikit lebih santai sekarang.

Ternyata (Y/N) juga sudah mulai tertarik pada Eren sejak bocah itu bercerita tentang Titan di kafetaria, tahun lalu. Dia suka sosoknya yang percaya diri dan selalu ceria, membuatnya ikut bahagia ketika sedang bersamanya. Fakta tersebut membuat hati Reiner sejujurnya sangat terluka, tapi dia sudah berusaha sekuat mungkin mengurung perasaannya. Meski ada beberapa waktu dimana dia akan terjaga semalaman dan memikirkan perempuan itu.

"Aduh, gila, deh." Keluh (Y/N), meremas kertas catatannya. "Reiner, bantu aku, dong! Setelah menarik handelnya, apa yang harus kita lakukan?"

"Sudah tahun kedua dan kau masih bertanya hal semudah itu?" Reiner dengan sombongnya terkekeh, mengelus kepala (Y/N) dengan lembut. "Nah, kau tinggal mengayunkan badan dan melepas handelnya supaya tidak tersangkut."

"Setelah itu?" (Y/N) mencatat perkataan sang kawan ke dalam bukunya.

"Setelah itu? Kau harus memberiku jatah makanan penutupmu, oke?" Goda Reiner, membuat (Y/N) memutar bola matanya. Reiner sangat mengerti seberapa cintanya perempuan itu terhadap makan manis, jadi itu satu-satunya hal yang bisa Reiner lakukan untuk memancing amarah (Y/N) yang terkenal tabah.

"Ayolah, Reiner. Kau nggak boleh begitu." Dia merengek seperti seorang bocah.

"Aduh, aduh. Kau ini," Reiner tertawa dan bergeser mendekat untuk memeriksa isi buku catatan temannya itu. "Setelah itu, ulangi lagi dari langkah awal hingga seterusnya."

"Begitu saja?"

"Iya. Begitu saja."

"Wah~ Terima kasih banyak loh, Reiner!" (Y/N) memeluk tubuh bongsornya dan berayun-ayun di sana. "Kau memang yang terbaik~"

Ketika Reiner menyadari jarak wajah mereka yang hanya tinggal beberapa senti dari satu sama lain, anak laki-laki itu langsung menarik diri, takut hilang kendali.

Dibandingkan Eren yang suka memberi (Y/N) pembuktian atas perhatiannya dalam hal-hal yang rumit, Reiner lebih suka memberikannya dalam bentuk yang sederhana. Seperti mengorbankan jatah makanan penutupnya pada (Y/N), menyeduhkan teh setiap sore pasca latihan, mendengarkan ceritanya dengan sabar ketika perempuan itu melalui hari yang buruk atau sedang bertengkar dengan Eren, dan masih banyak lagi. Dia ingin (Y/N) menyadari itu, tapi karena rasa sayangnya terhadap Eren membutakannya, Reiner hanya selalu mengangguk ketika perempuan itu bercerita kalau Eren memberinya perlakuan-- yang baginya tak sebanding dengan perlakuannya-- seraya tersenyum. Bagi Reiner, kebahagiaannya yang terpenting.

"Hey, Reiner." Panggil (Y/N), perhatiannya masih terfokus pada buku catatannya. "Omong-omong.."

"Ya."

"Orang sepertimu.. kenapa nggak punya pacar, sih?"

Cara bicaranya yang ringan dan santai membuat Reiner kesal-- tidak. Dia kecewa karena seakan (Y/N) tidak merasa sadar sedikit pun tentang pertanyaannya.

"Maksudku, kau kan bukan yang sedang berada di posisi rumit. Berpacaranlah mumpung masih muda." Katanya, menepuk lengan pria itu. "Siapa pun pasti beruntung punya pacar sepertimu."

"Itu.."

Di waktu yang kurang tepat begini, Eren datang membawa setangkai bunga daisy di tangan kanannya. Dia melambai pada (Y/N), dan dalam sekejap gadis itu berlarian menyambutnya dengan pelukan.

"A-Aku memetik ini dalam perjalanan." Lirihnya, wajahnya memerah. "Sebenarnya tadi aku lihat bunga yang lebih cantik di perjalanan, tapi Instruktur Shadis ternyata menyuruh kami kembali ke asrama dengan rute yang berbeda.. maaf, ya. Lain kali akan kubawakan."

"Eren, kau manis banget~" (Y/N) mencubit pipinya dan tertawa.

Eren yang merasa senang bisa melihat pacarnya lagi setelah melalui latihan yang panjang dan melelahkan, menggenggam tangan (Y/N) dan membawanya keluar, bergabung dengan teman-temannya yang lain.

Reiner yang tertinggal hanya bisa menghela napas dan menggeleng. Dia merapihkan peralatan tulis (Y/N) ke dalam kotak, menutup buku catatannya dan meletakkan benda-benda itu ke atas meja.

"Dasar si cebol yang pikun.." Bisiknya pada buku yang masih berada di genggamannya itu.

Tak lama kemudian Annie dan Bertholdt masuk, bergabung dengannya. Sejujurnya Bertholdt agak cemas dengan kondisi Reiner yang terjebak dalam kebuntuan. Sedangkan Annie, dia memang tidak menyukai (Y/N) sejak awal. Dia datang hanya karena ingin ikut menggertak saja.

"Apa tidak sebaiknya kau berhenti saja?" Bertholdt berbicara, duduk di sisi kawannya. "Maksudku, tentu saja (Y/N) sangat baik dan.. kau tahu.. cantik. Tapi tetap saja.."

"Ya. Dia itu sebenarnya tahu kau menyukainya. Dia hanya mempermainkanmu, Reiner."

Mempermainkan-- Reiner membenci stigma Annie terhadap (Y/N) yang selalu negatif. Dengan kalut, telapak tangannya membanting meja. Kedua matanya memelotot.

"Dia itu hanya bertingkah baik. Terhadap semua orang juga berlaku! Itu saja!"

"Kebaikannya itu yang membuatmu kerepotan, tolol! Pikirkan dong, mana yang memang bersikap baik dan mana yang murni bodoh! Dia toh hanya salah satu iblis--"

"Annie, sudah cukup!" Bertholdt membekap mulut Annie. "Kau kelewatan!"

"Hey, Annie." Desis Reiner, dingin. "Aku nggak peduli meski kau perempuan sekalipun. Jika kau mengganggu (Y/N), aku akan menghabisimu."

***

Hari-hari berikutnya terasa begitu cepat hingga tibalah mereka di tahun ketiga. Rata-rata dari lulusan terbaik angkatan ke-104 memilih bergabung ke Pasukan Pengintai, begitu juga dengan (Y/N) yang meski dirinya tidak termasuk dalam daftar lulusan terbaik.

Reiner sempat nggak setuju awalnya, karena pekerjaan itu terlalu beresiko. Sedangkan Eren, dia mendukung apa pun keputusan (Y/N)-- lebih berfokus pada tujuannya seorang.

Saat itu, di hadapan api unggun yang berkobar-kobar tinggi, semua anak berkumpul membentuk lingkaran. Itu adalah satu hari sebelum ekspedisi pertama mereka, jadi semua orang berusaha memanfaatkan waktu-- yang mungkin bisa saja menjadi malam terakhirnya-- dengan sebaik mungkin bersama orang-orang terdekat.

Eren di sisi (Y/N) tersenyum sendiri mengagumi kecantikannya. Di sekeliling mereka semua orang hanya bisa mengamati kemesraan dua bocah itu dengan hati iri. Bertanya-tanya dalam hati, kapan mereka bisa dapat pasangan yang melihat mereka seperti Eren terhadap (Y/N).

"(Y/N)."

"Hm?"

"Coba mendekatlah, dan dengar.." Eren bergumam pada (Y/N), menggelitik pinggulnya agar gadis itu teralih dari lamunannya.

"Eh? Oke, oke," (Y/N) mendekatkan kupingnya kepada Eren sambil menahan tawa. "Ada apa?"

Tiba-tiba saja, bibir pria itu mengecup pipinya dengan singkat. Eren yang menyadari apa yang baru saja diperbuatnya, menutup mukanya, malu. Kemudian mendongak lagi, kali ini mengarah ke bibirnya. (Y/N) terkejut, wajahnya merekah semerah tomat-- Itu adalah ciuman pertama mereka setelah dua tahun berkencan.

(Y/N) merasakan sesuatu meledak-ledak di dalam perutnya. "E-Eren.."

"Yang benar saja." Desis Reiner, memutar bola matanya.

"Apa itu? Payah banget, lakukan lebih mesra lagi, dong!" Jean mendesak mereka, menepuk tangannya. "Kau ini benar-benar anak nakal, Eren."

"Tutup mulutmu, Jean." Lawan Eren, menumpuk pipinya.

Seperti yang biasanya terjadi di antara mereka, Eren dan Jean berdebat hebat. Sedangkan (Y/N) yang sudah terlalu terbiasa dengan situasi itu, mengabaikan mereka dan beralih pada Mikasa yang tampak muram. Dia tahu kenapa, tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, dia tidak ingin mengetahuinya.

"Jangan." Reiner menahan tangan gadis itu ketika dia hendak bangkit ke sisi Mikasa. "Kau tidak perlu sampai begitu."

"Tapi.. Aku hanya.."

"Hak Eren memilihmu. Hakmu memilihnya. Pikirkan saja dirimu sendiri lebih dulu.. seperti kau yang biasa, oke?" Bisik Reiner.

Seperti kau yang biasa-- (Y/N) memandang Reiner tak mengerti. "Apa maksudmu?"

"Nggak. Aku hanya asal ngomong saja."

"Reiner!"

"Oh iya, (Y/N)." Bertholdt dari sisi Reiner menyapanya. Kalau dipikir-pikir ini kali pertama Bertholdt berbicara padanya setelah pertemuan pertama mereka di pengungsian.

"Ya?"

"Aku hanya penasaran, kau juga tak perlu menjawabnya jika keberatan, tapi aku ingin tahu.." Gumam Bertholdt, awalnya bergeser sesaat menatap Reiner dengan ragu-ragu. "Sebelum semua ini terjadi, apa kau punya cita-cita?"

Sekilas (Y/N) menapakkan ekspresi sedih, tapi dia segera menghalaunya dengan senyuman."Cita-cita, ya? Kayaknya nggak, deh. Dulunya aku itu anak manja karena ayahku adalah seorang pengusaha yang sukses di Shinganshina. Jadi aku hanya berpikir hidup dengan.. duh, kau tahu, deh. Memalukan, ya? Tapi aku kepikiran sesuatu belakangan ini."

"Apa itu?" Alih-alih Bertholdt, Reiner tampaknya lebih tertarik.

"Aku ingin membuka toko kue.. jika keadaannya berbeda." Dia tertawa lagi.

Tawa palsu yang menyakitkan itu, Reiner benci melihatnya. Meski mereka bersahabat baik sekarang, tapi Reiner tahu kalau terkadang ada beberapa hal kelam yang tak bisa (Y/N) ceritakan pada dirinya. Bukan karena (Y/N) tak mempercayainya. Justru karena (Y/N) menganggap kedekatan mereka, dan tak mau terlalu banyak membebani Reiner dengan segala keluhan-keluhan kekanakannya. Reiner juga diam-diam tahu itu.

***

Malamnya sebelum tidur, Reiner melamun di hadapan jendela kamar yang terbuka. Bertholdt hanya bisa menunggu sang kawan mau membuka mulutnya, tapi ini sudah nyaris satu jam dan dia sudah mulai mengantuk karena terhanyut oleh keheningan itu.

"Reiner. Bicaralah."

Awalnya Reiner tak menjawab. Kepalan tangannya mengencang ketika mendengar suara Bertholdt menyapa dirinya, tapi tak lama kemudian dia segera merenggangkan ketegangannya dan menghempaskan tubuh ke atas kasur. Memejamkan mata, dan menggemeretakkan giginya.

"Aku akan membawanya pulang, Bert."

"Reiner.." Bertholdt tersentak mendengar pengakuannya. Dia tak menduga kalau perasaan yang dimiliki Reiner terhadap (Y/N) ternyata sejauh itu. "Apa yang kau.."

"Aku akan membuatnya bahagia."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top