Bab 8. Pekerjaan dan Janji Yang Terabaikan
“Jam berapa ini?”
Franzine menggeliat, meluruskan orot-otot tubuhnya yang terasa berbelit menimbulkan pegal di sana-sini.
Tidak ada jawaban apapun. Ia menoleh dan melihat Jace terkapar di lantai, menggunakan matras sebagai alas berbaring dan jaketnya sendiri yang digulung sebagai bantal. Dengkuran Jace terdengar seperti suara mesin fokopi saat sedang bekerja.
Franzine menghela napas dan beranjak dari kursi. Laptopnya dibiarkan menyala sementara ia berjalan menyeret sandal menuju dapur kantor di sebelah sel yang saat ini hanya dihuni oleh Gramm, seorang tunawisma yang sudah menjadi langganan kantor polisi. Dia adalah penghuni tidak tetap sel itu yang datang dan pergi sesuka hati.
“Hei, Franz, buatkan aku juga,” suara Gramm terdengar saat Franzine melewati sel. “Suara keyboardmu membuatku haus.”
Franzine berhenti di depan sel. Gramm meringkuk di atas matras dengan selimut tipis menutup sampai ke leher. Ia menaikkan kepala sedikit dan menatap Franzine sambil nyengir, memperlihatkan gigi-giginya yang tidak rapi, tetapi anehnya terlihat bersih dan putih.
“Membuatkanmu apa?” dengkus Franzine. Kadang-kadang Gramm memerintahkan para polisi seperti mereka ada bawahannya. Tunawisma itu selalu seenaknya dan tidak kenal takut.
“Kopi. Apalagi?” Gramm terkekeh dan bangun sambil menyingkirkan selimutnya. “Kau selalu membuat kopi setiap selesai mengetik selama lebih dari dua jam dan kopi buatanmu enak.”
“Jangan bilang kopi buatanku yang membuatmu selalu kembali ke sini?”
“Mungkin. Well, kalian punya kasus baru?”
“Tunggu sebentar.”
Franzine melanjutkan langkah ke dapur dan membuat kopi untuk dirinya sendiri dan Gramm. Semua orang di kantor polisi terutama divisi kejahatan berat sudah mengenal Gramm seolah-olah dia adalah bagian dari mereka sendiri.
Gramm biasanya hanya melakukan pelanggaran kecil seperti mabuk di jalan, kemudian dia akan terhuyung-huyung datang ke kantor polisi dan masuk dengan sendirinya ke dalam sel di divisi kejahatan berat. Hal paling parah yang pernah dilakukannya hanyalah menakut-nakuti anak sekolah menengah atas yang meludahinya karena dia bau alkohol.
Pada awalnya para polisi kesal karena kebiasaannya menumpang tidur di dalam sel. Mereka menganggapnya mengganggu.
Namun, ketika pada suatu hari dia membantu menangkap seorang penipu dengan informasi yang dia dengar selagi berada di jalan, mereka mulai membiarkannya tidur di sel dan sesekali memintanya ke jalanan untuk mencari informasi. Dia menjadi semacam informan tidak resmi untuk kantor polisi itu, terutama divisi kejahatan berat.
Franzine membawa dua cangkir kopi itu ke luar. Gramm duduk bersandar pada dinding di sisi jeruji besi, duduk meluruskan kaki dan menyelubungi dirinya dengan selimut. Wajahnya berseri-seri ketika menerima cangkir kopi dari Farnzine.
“Ada yang dibunuh akhir-akhir ini?” tanya Gramm setelah menyesap kopinya dengan suara berisik. “Kulihat Kapten Jace terkapar di bawah meja kerjanya seperti zombie belum mendapat jatah manusia untuk di gigit dan Kapten Lusia pulang dengan terhuyung-huyung. Dia bahkan kelihatan lebih mabuk daripada aku tadi.”
Franzine duduk melipat kedua kaki di bawah paha di depan sel. Kadang-kadang ia geli mendengar Gramm selalu menyebut semua orang Kapten dan berusaha membetulkan penyebutan pangkat setiap orang yang dipanggilnya, tetapi tidak pernah ada gunanya. Bagi Gramm, semua orang adalah Kapten.
“Hm. Ada seorang psikopat berkeliaran dan membunuh para wanita secara acak. Dia terampil dan hampir tidak meninggalkan jejak di setiap TKP yang ditinggalkannya.”
“Hampir. Berarti sedikitnya ada jejak yang dia tinggalkan.”
“Aku tidak tahu apakah itu benar-benar sebuah jejak atau hanya sekedar keinginanku menganggapnya sebagai sebuah jejak.”
“Kau pasti senang, bisa menyibukkan diri lagi dengan kasus seperti ini, Kapt.”
“Apa maksudmu?”
“Kau selalu murung, akhir-akhir ini. Menghela napas panjang-panjang dan mengembuskannya cepat-cepat sampai seisi kantor harus menutup telinga setiap kali mendengarnya.”
“Brengsek! Aku tidak begitu!” sergah Franzine sambil menggebrak jeruji besi. “Jangan mengada-ada, kau pemabuk tua.”
Tawa Gramm menggelegar di seluruh ruang kantor yang kosong. Jace menggeliat dan bergumam, sebelum berguling ke satu sisi dan meneruskan dengkurannya yang terpotong.
“Apa yang dia lakukan? Pembunuh itu?”
“Forensik mengatakan bahwa dia meracuni korbannya, hanya saja korban selalu ditemukan dalam keadaan bersih, seolah-olah si pembunuh menunggui korbannya sampai tewas kemudian membersihkannya dengan teliti.”
“Uh, itu mengerikan. Dia berdarah dingin.”
Franzine menghabiskan tetes kopi terakhir di cangkirnya dan berdiri. Ia mengulurkan tangan. “Habiskan cepat. Aku akan mencucinya sebelum pulang.”
Gramm berdiri dan melempar selimutnya begitu saja ke lantai kemudian keluar dari balik sel yang memang tidak dikunci. Ia mengikuti Franzine ke dapur dan berdiri bersandar pada konter selagi memperhatikan Franzine mencuci cangkir.
“Hei, Kapt, apa kira-kira kau perlu bantuanku untuk kasus ini?”
Franzine mengeringkan tangan pada lap yang menggantung di atas wastafel. “Mungkin. Untuk saat ini, belum terlalu banyak petunjuk yang cukup berarti, tetapi kurasa aku agak memerlukanmu untuk mencari tahu beberapa hal kecil di luar sana.”
“Siap, Kapt. Aku menyukai kemeja biru bergaris-garis putih yang kemarin kau pakai. Kurasa akan sangat cocok kupakai besok. Anakku ulang tahun dan aku ingin membelikan kue tart kecil untuknya. Kemeja itu akan menjadi imbalan informasi yang kudapatkan. Bagaimana?"
Franzine menaikkan sebelah alisnya. Ia baru mendengar bahwa Gramm mempunyai anak. Selama ini semua orang mengira dia hanyalah seorang tunawisma sebatangkara.
“Kau punya anak?”
“Satu anak laki-laki. Besok umurnya duabelas tahun. Dia seorang anak yang sangat tampan dan cerdas.”
“Mengapa kau ....”
Gramm tertawa terkekeh mendengar ucapan Franzine yang menggantung. “Menjadi gelandangan pemabuk, berkeliaran di siang hari dan menumpang tidur di sel kepolisian di malam hari?”
Franzine mendengar nada getir di dalam suara tawa dan ucapan Gramm. Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang dilupakan olehnya. “Kau tidak perlu membicarakannya kalau tidak mau.”
“Aku dan ibunya tidak pernah menikah. Kami berpacaran lama sekali sampai akhirnya semua terasa hambar, tetapi kemudian dia hamil dan aku terlanjur menerima pekerjaan sebagai kontraktor di luar kota. Dia menikah dengan orang lain, seorang bankir. Aku bekerja tanpa memikirkannya atau anak kami sama sekali.” Gramm menghela napas dan berhenti sejenak.
Franzine menunggu, sambil mengingat-ingat apa hal yang dilupakannya. "Lalu?"
“Perusahaan tempatku bekerja bangkrut dan ketika aku ingin menemuinya, semua sudah terlambat. Dia terlihat sangat bahagia dan anakku memanggil laki-laki bankir itu dengan sebutan Papa.”
“Kau tidak pernah mencoba untuk menemuinya?”
“Aku tidak mempunyai keberanian untuk itu. Anak itu mungkin sama sekali tidak akan mengenaliku. Satu-satunya yang dapat kulakukan hanyalah mengirimkan kue ulang tahun untuknya setiap tahun dan sedikit uang. Orang mungkin mengira aku hanyalah seorang gelandangan yang hanya luntang-lantung ke sana ke mari. Namun, aku punya uang. Aku menabung setiap sen uangku waktu bekerja untuk anak itu dan aku juga menanamkan sedikit pada saham.”
“Wow! Kurasa aku harus iri padamu karena sepertinya kau lebih kaya dariku. Kau tidak perlu meminta kemejaku sejak kau bisa membelinya sendiri.”
Gramm menggaruk kepalanya dan tersenyum sedih. “Tidak, Kapt. Kau lebih beruntung karena bagaimanapun juga kau memiliki kesempatan untuk bersama dengan anak-anakmu, merasakan dan menikmati kebersamaan dengan mereka. Kau harus menjaga hal itu.”
Tiba-tiba, ucapan Gramm terdengar seperti suara petir di dalam kepala Franzine dan membentuk sebuah ingatan yang menyambarnya seketika. Ia terkesiap. “Gramm, aku harus pergi. Tolong bangunkan Jace dan katakan padanya untuk memeriksa daftar yang sudah kukirim ke komputernya.”
“Hei, kenapa terburu-buru, Kapt? Apa aku salah mengucapkan sesuatu?” tanya Gramm terkejut.
“Tidak. Tidak. Ini tidak ada hubungannya denganmu. Hanya lakukan saja apa yang kukatakan tadi dan jangan lupa menutup sel kalau kau tidur.”
“Tapi ....”
Franzine berlari keluar dari dapur. Ia mematikan laptop dengan cepat, menyambar jaket dari sandaran kursi, dan tidak memedulikan Gram yang berteriak menanyakan di mana ia menyimpan kemeja yang disukai Gramm itu.
Franzine melihat jam tangan dan berjalan dengan cepat menuju tempat parkir. Ia mengambil telepon dari saku jaket dan menelepon seseorang. Panggilannya tidak terjawab. Ia mencoba lagi dan setelah tiga kali, seseorang di saluran lain menerima panggilannya.
“Sheryl ....”
“Apa yang kau lakukan, Franz?”
Franzine berhenti melangkah. Ia menelan ludah, mendengar betapa dingin suara Sheryl. “Sheryl, hei, aku minta maaf. Sungguh, aku tidak bermaksud untuk melupakan janji. Ada sebuah kasus yang baru-baru ini terjadi dan ....”
“Franz,” potong Sheryl tajam. “Kau tahu kalau kau selalu memakai alasan itu itu sejak dulu, kan? Tidak bisakah kau berubah sedikit saja, demi si kembar? Seharian ini mereka gelisah dan terus menatap telepon.”
Hati Franzine seperti diremas sebuah tangan besar yang kasar. “Aku ... maafkan aku, Sheryl. Aku tahu lagi-lagi aku melalaikan kewajibanku dan aku tidak layak dimaafkan, tetapi aku akan menebus semuanya besok. Aku akan mengirimkan hadiah untuk mereka dan menelepon.”
“Kau mau mendengar saranku, Franz?”
“Hm.”
“Cobalah untuk belajar tidak menganggap apa-apa yang berhubungan dengan si kembar sebagai sebuah kewajiban, supaya kau tidak dengan mudah berjanji, melupakan, kemudian memperbaikinya dengan memberikan janji lain. Suatu saat, dengan semua itu, kesempatanmu dengan mereka mungkin akan menjadi semakin berkurang. Mereka adalah hak untukmu, hak untuk kau buat bahagia dan memberimu kebahagiaan yang sama. Ketika kau menganggap mereka sebagai kewajiban, kau akan merasa terbeban kemudian lupa. Orang tidak menyukai kewajiban, tetapi cenderung mengingat hak.”
“A-apa maksudmu, Sher? A-aku benar-benar tidak bermaksud untuk lalai kali ini.”
“Kau tahu, petugas sosial akan bertanya langsung pada anak-anak tanpa aku dapat mengatur mereka harus menjawab apa. Itu tidak akan terasa adil untuk mereka, mengingat hari ini mereka begitu gembira sejak bangun tidur, menunggu teleponmu sepanjang hari, kemudian pergi tidur dengan murung. Kau mengerti maksudku?”
“Aku akan memperbaikinya, Sher, aku akan memperbaikinya dan tidak akan terjadi lagi. Aku akan memasang pengingat di teleponku. Katakan pada si kembar aku minta maaf dan akan menelepon mereka besok. Kumohon?”
“Aku akan mengatakannya. Aku selalu mencoba berada di sisimu, Franz, kau tahu itu sejak dulu. Namun, sejak kau tidak pernah menghargai aku dan apa yang kulalui demi agar si kembar tetap menghargaimu sebagai Ayah mereka, aku harus minta maaf bila suatu saat kau benar-benar tidak bisa bahkan meski hanya untuk menelepon mereka.”
Franzine tertegun. Sheryl memutuskan sambungan setelah mengucapkan kalimatnya, kali ini dengan nada sedih. Tangan Franzine gemetar dan sudut matanya terasa panas, ketika ia menatap layar teleponnya yang sekarang berwarna hitam.
Seperti pikirannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top