Bab 6. Korban Kedua

“Jadi dia bukannya sekedar seorang wanita tua yang tinggal sendiri karena anak-anaknya menolak tinggal bersama?” tanya Brad dengan mata menyipit.

Brad duduk di atas kursi putarnya sambil mengangguk-angguk seperti burung Kakaktua. Ia sedang mempelajari laporan tidak resmi yang disodorkan oleh Jace, berupa coretan-coretan tumpang tindih yang harus dibaca dengan memutar-mutar buku catatan lusuh milik Jace.

“Anak-anaknya menolak tinggal dengan Antonia karena kebetulan saja sang Ibu memiliki temperamen buruk. Hal itu dibuktikan dengan semua komentar negatif yang kalian kumpulkan dari para tetangga?” tanya Brad lagi, memastikan ia membaca dengan benar.

“Yah, setidaknya, beberapa dari mereka berusaha untuk tetap berbicara baik tentangnya, tetapi wajah dan perilaku mereka sama sekali tidak bisa menutupi perasaan mereka yang sesungguhnya bahwa mereka sedang berbohong demi etika sosial. Dilarang berbicara buruk tentang orang yang sudah meninggal," sahut Jace sambil menguap lebar. Ia mengambil buku catatannya dari tangan Brad.

"Perbaiki tulisan tanganmu, Jace," sergah Brad. "Tulisanmu membuat vertigoku kambuh."

Jace tertawa kecil dan berdiri dari kursi di depan meja kerja Brad. Ia berjalan keluar dari ruangan Brad. “Ah, aku lupa memberitahumu, Franzine membawa kartu kreditmu. Katanya, anak-anak sekolah biasanya akan lebih mudah berbicara bila ditawari sesuatu.”

“Franzine sialan itu, awas saja kalau dia sampai memakai kartu kreditku untuk berfoya-foya,” maki Brad sambil menggebrak meja.

Brad menutup pintu di belakangnya sambil tertawa. Ia mengempaskan tubuhnya ke atas sofa dan memakai lengannya melintang di atas matanya. Ia butuh tidur dan meluruskan kaki sebentar sebelum menjemput Franzine di sekolah dasar tempat Antonia Gerard pernah menjadi guru semasa hidupnya.

Jace pandai berhadapan dengan wanita, terutama dalam rentang usia 20 sampai 50 tahun. Ia mempunyai senyum manis yang bisa berubah-ubah dari senyum polos kekanakkan, senyum miring yang menggoda, sampai senyum lembut penuh perhatian. Namun, kelemahannya adalah anak-anak. Ia menyerahkan tugas menyelidiki kehidupan Antonia Gerard sebagai guru sekolah kepada Franzine.

Franzine mempunyai dua orang anak kembar perempuan yang aktif dan atraktif. Dia lebih luwes untuk berhadapan dengan anak-anak. Jace berpikir, Franzine kelihatan agak senang ketika mereka membagi tugas dan dia harus pergi ke seolah dasar. Mungkin, dia merindukan Shane dan Shuli—kedua gadis kecilnya dan berinteraksi dengan anak-anak dapat mengobati kerinduannya.

“Jace, hei, Jace, bangun!”

  Jace merasa tubuhnya diguncang-guncang dengan brutal. Ia menggeram dan bangun dari posisi berbaring dengan tiba-tiba dan siapapun orang yang mengguncangnya mundur beberapa langkah, terkejut. Mata Jace belum sepenuhnya terbuka dan David berdiri di depannya sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Dave! Aku baru tidur beberapa menit dan kau sudah membuatku nyaris tenggelam di sofa ini karena guncanganmu yang kuat!” Jace  berteriak kepadanya.

“Jace, kau sudah tidur selama limapupuh enam menit dan sebaiknya segera bawa wajahmu yang sembab seperti pemabuk tua ke kamar mandi, cuci wajahmu dengan benar dan segera pergi ke TKP!”

Jace menoleh dan melihat Brad berdiri di depan ruang kerjanya dengan kedua tangan berada di pinggangnya yang gemuk. Jelas dia sedang berada dalam suasana hati yang buruk.

“Ada korban kedua, Jace,” ujar David pelan. “Franzine sudah berada di TKP sekarang dan dia meminta Brad untuk mengirimmu ke sana.”

“Korban kedua? Ah, damn!”

Jace melesat ke kamar mandi di ujung koridor, membasuh wajahnya dan menggosok gigi. David sudah menunggunya dengan kunci mobil di tangan ketika ia keluar. “Aku akan menyetir,” katanya sambil mempermainkan kunci mobil. “Brad tidak mau kau menabrakkan mobil dinas dengan alasan kau terlalu mengantuk untuk menyetir. Lagi pula, aku harus menyalin semua laporan forensik sebagai gambaran awal.”

“Yeah, yeah, aku tahu, anak nakal! Aku sudah melakukannya berkali-kali sejak kau masih mengompol di celanamu.”

David menggerutu dan berjalan mendahului Jace. Ia paling tidak suka dipasangkan dengan Jace atau Franzine. Keduanya detektif paling andal di divisi, tetapi sikap mereka yang menyebalkan sering kali membuat David kesal. Kalau bukan Brad berkeras agar ia belajar dari mereka, ia lebih suka tugas administrasi saja.

Jace dan David sampai di sebuah jalan setapak yang padat karena banyak orang berkerumun di sepanjang jalan itu. David harus memarkir mobil di depan jalan.

  Jace keluar dari mobil dan memandang berkeliling, memerhatikan situasi. Ia kemudian menerobos kerumunan orang untuk sampai di depan sebuah rumah kecil yang dipasangi garis polisi. Beberapa orang polisi muda memberi hormat dan membuka jalan untuknya. Dua orang petugas forensik dalam pakaian khas mereka lalu lalang sambil memotret segala macam dan mencatat.

Franzine keluar dari pintu rumah yang di cat dengan warna biru norak bersama dokter Albern Gregory yang kelihatan khawatir. Dokter yang tampan itu selalu memiliki kerut-kerut melintang bertingkat-tingkat di dahinya.
Franzine mendongak dan melihat Jace.

“Jace!”

Franzine terlihat lelah. Matanya berkantung dan kantung matanya mempunyai kantung juga. Dia pasti belum sempat tidur, pikir Jace, sedikit mersa bersalah karena ia sendiri sudah merasakan tidur di sofa kantor.

“Apa ini, Franz? Korban kedua, katamu?” tanya Jace, tampak sama sekali tidak terkesan. Ia melongok ke dalam rumah. “Sejak kapan kau di sini? Kusangka kau sedang menghamburkan uang di dalam kartu kredit Brad untuk mentraktir anak-anak sekolah yang akan kau tanyai tentang Antonia Gerard.”

“Aku sedang melakukan setengahnya—mentraktir anak-anak sekolah itu, tetapi belum sempat menanyai mereka ketika Brad memanggil dan menyuruhku langsung meluncur ke sini.”

“Jadi, kita punya apa di sini?”

“Seorang wanita, tinggal sendiri, sepertinya dia adalah seorang model amatiran dan juga pekerja di bar kecil. Dia diracuni, dibersihkan setelah memuntahkan seluruh isi perutnya, dan ditinggalkan mati lemas,” ujar dokter Albern dengan nada sedatar penggaris besi. “Tidak ada tanda-tanda pelaku masuk dengan paksa, tidak ada tanda-tanda pelecehan secara seksual.”

“Botol susu kosong di dapur,” tambah Franzine.

“Ada luka cakar di kakinya.”

Franzine menutup buku catatannya. Ia menepuk bahu dokter Albern. “Hubungi kami begitu hasilnya keluar, dok.”

Dokter Albern mengangguk kemudian berjalan menjauh dari Franzine dan Jace, memeriksa pekerjaan anak buahnya di bagian samping rumah. Franzine menunjuk ke dalam rumah.

“Kau mau masuk?”

“Mereka sudah mengangkat jenasahnya?” tanya Jace sambil melihat ke dalam rumah melalui pintu yang terbuka di belakang Franzine.

“Tentu saja belum,” jawab Franzine sambil berjalan mendahului Jace masuk. “Tidak banyak yang bisa dilihat.”

Jace melihat-lihat isi rumah kecil itu dengan seksama. “Siapa namanya?”

“Elaine Moss, 32 tahun. Pekerja lepas di klub Metronom dan sesekali menerima pekerjaan sebagai model amatir untuk iklan kafe atau restoran lokal. Menurut tetangga sekitarnya, dia jarang terlihat dan lebih banyak berada di dalam rumah apabila tidak bekerja. Yatim piatu sejak remaja dan ini adalah rumah neneknya, yang kemudian meninggal satu tahun setelah dia lulus SMA.”

“Wanita yang malang,” gumam Jace. "Hidup sendirian dan mati kesakitan."

Franzine menunjuk ke pintu yang terbuka di sisi kanan ruangan. Jace masuk ke dalam ruangan itu dan segera memalingkan lagi wajahnya ketika melihat jenasah yang terbaring dalam posisi aneh di lantai.

Elaine Moss bertubuh tinggi dan ramping. Hal itu terlihat jelas bahkan ketika ia meninggal dalam bentuk meliuk-liuk kaku. Ia berbaring dalam posisi separuh telungkup dengan tangan kanan menekuk di pertengahan perut seolah-olah sedang berusaha menahan perutnya. Tangan kirinya menjangkau jauh dari tubuhnya di lantai dan kuku-kuku jarinya patah dalam bentuk acak. Garis-garis berwarna merah dan ceceran pecahan kuku di lantai menandakan Elaine mungkin mencoba menggaruk lantai ketika menahan sakit di perutnya.

“Pelakunya membereskan kekacauan yang dibuatnya, selagi dia menyaksikan Elaine menahan sakit. Aku membayangkan dia bersiul-siul selagi membersihkan berkas muntahan Elaine di lantai dengan desikfentan. Bau pembersih sialan itu sangat tajam ketika aku masuk,” ujar Franzine geram.

“Luka cakar ini,” ujar Jace sambil memeriksa luka cakar di kaki Elaine. “Mungkinkah milik si pembunuh? Elaine mungkin mencoba membela diri.”

“Itu luka cakar yang sudah hampir mengering. Dokter Albern akan memeriksanya.”

“Jadi, setidaknya kita punya satu petunjuk yang memiliki  kesamaan dengan kasus Antonia Gerard. Botol-botol susu.”

“Yah, setidaknya itu memberi kemungkinan yang lebih sempit tentang pelakunya. Pengantar susu? Orang dari pabrik susu?”

“Mengapa susu?” gumam Jace sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Susu adalah minuman yang dapat menetralisir racun, kan?”

Franzine menghela napas. “Ayo kembali dulu ke kantor. Aku perlu kopi kental dan kaos kaki baru sebelum bisa berpikir lagi.”

Franzine dan Jace beriringan keluar dari kamar itu dan ketika hampie melewati ambang pintu, tiba-tiba saja Franzine menyadari sesuatu. Ia mundur dan menatap dinding. Ada sebuah foto lama digantung pada dinding.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top