Bab 4. Malam Panjang
Brad melemparkan sebuah map ke atas meja kerja Franzine yang berantakan. Ia menguap lebar dan menggerakkan tubuhnya untuk mengusir rasa pegal. Franzine menatap map yang dilemparkan oleh atasannya itu dengan tatapan kosong, kemudian menutup berkas yang sedang dibacanya.
“Pulanglah, Franz,” ucap Brad sambil meraih jaket kulitnya dari kapstok di dinding di belakang meja kerjanya. “Kita semua butuh kewarasan untuk memecahkan kasus yang semakin menumpuk di meja kita, dan untuk menjaga kewarasan itu kita butuh tidur, atau setidaknya berbaring dengan posisi nyaman.”
“Aku benar-benar merindukan tempat tidurku, Brad, tetapi laporan kasus penganiayaan asisten pribadi artis M ini harus segera kuselesaikan. Aku muak mendengar celoteh orang-orang administrasi yang terus-menerus menagih laporan,” ujar Franzine sambil menahan kuap. “Sesekali tidak ada salahnya kau mengajak Madam Chen makan malam di restoran yang agak mahal sedikit, Brad, supaya dia sedikit melunak kepada kita.”
Brad tertawa kering. Marion Chen adalah kepala divisi administrasi yang sudah lama menyukai Brad, sejak mereka berdua masih sama-sama berada dalam satu kelompok pendidikan. Dia mengendurkan upayanya meraih hati Brad setelah Brad menikah, tetapi semua orang tahu bahwa oa masih menyimpan hatinya untuk Brad dan belum menikah sampai usianya sudah berkepala empat.
“Dia hanya tegas dan disiplin, Franz, jangan berprasangka buruk kepadanya,” sahut Brad sambil menepuk bahu Franzine. “Akan kupesankan tomyam dan soda dalam perjalanan pulang. Letakkan salinan laporanmu di atas mejaku setelah kau selesai, lalu pulang dan tidurlah.”
Franzine hanya bergumam menanggapi ucapan Brad dan kembali menekuri berkas yang dibukanya kembali. Ia melirik map yang dilemparkan Brad sebelumnya dan mengambil map itu dan membukanya.
Map itu berisi notulen rapat awal kasus keracunan Nyonya Antonia Gerard. Franzine melihat-lihat foto-foto di dalam map dan mengambil kaca pembesar, berusaha melihat lehih jelas, siapa tahu ada detil yang terlewat.
Foto-foto di tempat kejadian perkara pada suatu kasus kejahatan bukanlah sesuatu yang bernilai seni dan sedap dipandang mata. Pada awal masa tugasnya, Franzine selalu harus berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya saat ia melihat tempat kejadian perkara lengkap dengan korban. Brad memberinya saran supaya dia mengunyah permen mentol selagi memeriksa tempat kejadian perkara dan saran itu ternyata membantu Franzine mengatasi mual. Ia selalu mengantungi permen mentol setelah itu dan kebiasaan membuat ia kadang-kadang lupa mengunyah permennya saat memeriksa sekarang.
Franzine memeriksa salah satu foto dan menemukan sesuatu yang menarik perhatian. Ia mendekatkan kertas foto dan melihat ke dalam gambar foto itu dengan kaca pembesar. Kadang-kadang, petugas ahli forensik yang paling andal pun luput memeriksa sebuah detil kecil. Ada sebuah titik berwarna putih di lantai marmer tempat jenasah Nyonya Antonia Gerard berbaring. Titik itu agak menggembung, seperti tetesan air yang jatuh ke lantai.
“Kukira kau sudah pulang.”
Franzine hampir melompat dari kursinya ketika mendengar suara di belakangnya. Ia menoleh gusar dan mendapati Jace mendekat ke arahnya sambil menenteng dua buah kantong kertas.
“Astaga, Jace, kau bergerak seperti hantu,” gerutu Franzine sambil menahan diri agar tidak melemparkan kaca pembesar di tangannya kepada Jace. “Tidak bisakah kau berjalan dengan sedikit menimbulkan suara?”
Jace menarik kursi dari salah satu kubikel yang kosong dan membawanya ke meja Franzine. “Kenapa? Kau takut hantu?” tanya Jace sambil tertawa. “Kau sedang apa?”
“Menyelesaikan laporan,” jawab Franzine sambil lalu dan kembali mengamati foto di tangannya. “Madam Chen membuatku stres dengan sindiran dan kerling matanya. Kenapa kau kembali? Kukira kau punya kecan buta malam ini.”
“Kencan buta kepalamu,” sergah Jace sambil membuka kantong kertas yang dibawanya. “Itu hanya lelucon buatan Lucia dan David untuk mengerjaiku. Mereka menyebarkan rumor itu untuk membalas leluconku yang mengatakan mereka berciuman di kamar mandi di lantai tiga. Mereka sedang mengejek kehidupan percintaanku yang kering kerontang."
“Layak untukmu. Kau selalu mencari kesulitanmu sendiri,” gumam Franzine sambil tertawa.
Jace tertawa juga dan menyenggol lengan Franzine. “Makan dulu. Aku bertemu Boss di luar dan dia menyuruhku memesan tomyam untukmu. Aku memesan dua dan juga soda dingin. Kalau kau masih mau yang lain, kartu kredit milik Brad masih ada padaku.”
"Sebentar lagi. Coba kau lihat ini dulu." Franzine menunjuk foto di tangannya, pada titik yang sedang diperiksanya dengan kaca pembesar. “Jace, kau pergi ke tempat kejadian perkara kemarin, kan? Apa kau menemukan sesuatu yang lain, yang mungkin terlewat oleh forensik?”
Jace mengambil foto dari tangan Franzine. “Tidak ada. Forensik sudah memerikasa semuanya dan tempat kejadian perkara itu sudah dianggap bersih sekarang, setelah mereka memindahkan jenasah korban ke ruang periksa di badan forensik. Kenapa? Kau menemukan sesuatu?”
“Ini, lihat. Menurutmu ini apa?”
“Hm?”
“Ini seperti sesuatu yang menetes ke lantai. Melihat warnanya yang sama dengan marmer, ini mungkin susu.”
Jace mengambil kaca pembesar dari tangan Franzine dan melihat foto dengan lebih teliti. “Kurasa kau benar. Hei, tim forensik pasti melewatkannya karena mengira ini hanyalah motif dari lantai marmer.”
“Kurasa begitu. Tetesan ini sangat kecil dan jatuhnya di atas lantai berwarna sama, tetapi bila diamati dengan cermat, sudah jelas ini adalah tetesan susu, sangat sedikit tetapi sudah jelas ini tidak datar, melainkan cembung seperti bila kita melihat embun pada permukaan daun.”
“Wah, matamu setajam burung elang, Franz,” ujar Jace kagum. “Tapi, aku yakin sekarang kita tidak akan menemukan noda ini di tempat kejadian perkara. Ini hanya sedikit sekali tetesan dan mungkin sudah mengering atau dibersihkan.”
“Aku tahu. Aku hanya penasaran, apa itu. Untuk sebuah kasus, petunjuk kecil yang paling tidak terlihat dan dianggap tidak berkaitan pun, sebenarnya bisa bercerita lebih banyak daripada senjata pembunuh yang mungkin tergeletak tepat di samping jenasah korban.”
“Menurutmu, apa itu? Warnanya putih, tidak bening seperti air.”
“Dugaanku, susu. Laporan menyebutkan bahwa korban menyimpan banyak botol susu bekas pakai yang sudah dicuci di bawah bak cucinya.”
“Mungkinkah korban minum susu yang sudah diracuni?”
“Mungkin saja.”
“Tetapi, bukankah susu adalah salah satu bahan untuk mengobati keracunan? Mungkinkah korban malah minum susu untuk menawarkan racun yang sudah diminum sebelumnya?”
Franzine termangu. Ia mencoba melogikakan kaitan antara racun—jenis apapun yang telah dikonsumsi oleh korban dengan susu yang tampaknya merupakan minuman favorit korban, mengingat banyak botol susu kosong di dapurnya.
“Tampaknya tim forensik menganggap korban mencoba bunuh diri dengan minum sejenis racun yang membuatnya muntah-muntah dengan hebat sebelum kehilangan kesadaran. Yang membuatku tidak habis pikir, bagaimana mungkin korban masih sempat membersihkan dirinya sendiri setelah muntah dengan demikian hebatnya. Kamar mandinya bersih.”
“Ada orang lain yang membersihkannya,” gumam Franzine sambil menjentikkan jari. Orang itu mengawasi korban selagi dia menguras isi perutnya di toilet dan melihat bagaimana korban yang kesakitan terhuyung-huyung berusahan menyelamatkan diri, sampai terbentur ke sana- ke mari dan akhirnya tewas setelah tubuhnya tidak kuat lagi menahan kesakitan.”
“Biadab!” maki Jace penuh kemarahan. “Dia hanya melihat korban kesakitan dan kurasa dia memang sengaja membuat korban sangat menderita di akhir hidupnya.”
“Kau tahu, Jace,” ujar Franzine sambil menyelipkan kembali foto di tangannya ke dalam map dan menyingkirkan semua berkas di atas mejanya ke sisi kanan. Ia meraih salah satu kantong kertas yang dibawa Jace dan mengeluarkan isinya. Sebuah mangkok berisi satu porsi tomyan. “Kurasa, mulai malam ini, kita harus mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi malam-malam panjang dengan mata belel dan perut diganjal tomyan yang tidak enak ini dan soda dingin.”
“Hm? Menurutmu begitu?”
“Aku khawatir, meskipun forensik mungkin akan menganggap bahwa Nyonya Antonia Gerard tewas karena keracunan yang merupakan kelalaian sendiri atau bunuh diri sekalipun, ini tidak hanya sesederhana itu dan kurasa dia bukan kasus pertama dan terakhir.”
Jace menghela napas panjang dan mempermainkan sendoknya di atas mangkok miliknya. “Huft! Kau membuat tom yam ini menjadi semakin tidak enak rasanya!”
Franzine tertawa. “Kau akan terbiasa. Makan saja. Kau akan sulit menemukan makanan layak konsumsi setelah ini. Percayalah padaku.”
***o*o***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top