Bab 14. Botol Susu Yang Hilang
“Tidak ada yang aneh,” ujar Gramm lesu. Ia duduk di lantai di ruang istirahat, dengan cangkir kopi yang kedua di tangannya, hampir habis juga isinya. “Mereka tetap beroperasi seperti biasa. Aku melihat Richard bertengkar dengan anaknya dan ketika aku bertanya pada wanita kasir itu, katanya, mereka bertengkar soal peternakan mereka. Hal biasa, katanya."
“Apa yang terjadi dengan peternakan itu?” tanya Lusia sambil terus bekerja. Ia memijit dahinya dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Kau sedang melakukan apa, Kapt?” Alih-alih menjawab pertanyaan Lusia, Gramm malah balik bertanya. Ia berdiri dan mengibaskan debu imajiner di bokongnya, kemudian mendekati Lusia dan duduk di kursi di sebelahnya. “Apa itu, yang membuatmu memijit kening dan menggelengkan kepala sejak tadi?”
“Bon-bon dan kwitansi tua ini membuatku penat,” keluh Lusia sambil merebahkan kepala ke atas meja. “Dia bahkan menyimpan bon pembelian sekotak klip kertas dari dua tahun sebelumnya.”
“Eer ... siapa dia, yang kau bicarakan ini?”
“Monica Haven, korban ketiga kita.”
“Ah! Usianya sudah tua, pasti.”
“52 tahhn, dan, hei, jangan katakan ah dengan nada begitu,” sergah Lusia sambil kembali mengambil selembar kertas. “Kau mau bantu aku? Setidaknya, temukan sesuatu yang tidak biasa di antara tumpukan sampah ini.”
Gramm menyingkirkan cangkir kopinya yang sekarang kosong. Ia menyukai Lusia karena wanita itu sering membelikan atau membawakannya roti kismis kesukaannya. Lusia juga cantik dan rajin. Dan lajang. Ia suka tipe seperti itu.
“Kenapa dia menyimpan kertas-kertas tidak berguna seperti ini,” gumam Gramm sambil memicingkan mata, mencoba membaca tulisan buram di atas salah satu kwitansi. “Hei, Kapt, dapatkah kau meminjamiku kaca pembesar itu? Mataku memang tajam, tetapi tulisan ini keterlaluan kaburnya.”
Lusia memberikan kaca pembesar yang sedang dipakainya kepada Gramm. Ia berdiri dan berjalan menuju konter untuk membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Ia ingin menawari Gramm, tetapi urung, ketika melihat sudah ada satu cangkir bekas pakai di wastafel dan ia melihat cangkir yang diletakkan oleh Gramm di atas meja.
Luigi masuk ke dalam ruangan. Ia menenteng sebuah kantong plastik dan meletakkanya di atas meja di bagian yang kosong. Gramm mendongak dan tersenyum kepada Luigi dan melirik kantong plastik yang diletakkan di depannya. Ada bau harum yang tercium lezat dari kantong plastik itu, tetapi ia tidak berani bertanya. Luigi tidak jahat, tetapi dia juga tidak ramah kepadanya.
“Bagaimana, ada yang kau temukan di antara sampah-sampah itu?” tanya Luigi, ditujukan kepada Lusia. Ia mendekati wanita yang disukainya itu dan membuat segelas teh manis untuk dirinya sendiri.
“Sampai sejauh ini, belum,” jawab Lusia. Ada nada bosan di dalam suaranya. “Kurasa, korban ketiga ini akan menyulitkan kita dibandingkan dengan dua korban sebelumnya.”
“Aku mendengar Franzine dan Jace berdebat soal botol susu.”
“Hm.” Lusia berdiri dengan cangkir kopi di tangan, menyandarkan bagian bawah tubuhnya ke konter dapur. Keningnya berkerut beberapa tingkat. “Memang aneh. Setelah Franzine setengah mati khawatir sehingga meminta Gramm mengawasi lagi Happy Kitchen karena dari sanalah dua korban sebelumnya memesan susu, begitu juga dengan istri dan anak-anak Franzine, ajaibnya, sama sekali tidak ditemukan botol susu di rumah Monica Haven.”
“Apa anehnya?” tanya Luigi bingung. “Mungkin, Monica memang tidak suka minum susu, jadi dia tidak pernah berlangganan susu dari Happy Kitchen atau toko swalayan manapun.”
“Masalahnya, selama ini, yang kita yakini adalah, kedua orang korban sebelumnya mempunyai satu kesamaan, segaris benang merah yang sangat tipis—kurasa, yaitu bahwa keduanya adalah pelanggan tetap Happy Kitchen. Entah mengapa, botol-botol susu yang ditemukan di rumah kedua korban sebelumnya seolah-olah memberi kita sebuah petunjuk, meskipun setelah diselidiki berulang, benang mearah itu tetap saja hanya benang merah, tidak memberikan petunjuk lebih jelas.”
“Tidak adanya botol susu di rumah korban ketiga, mematahkan teori lemah tentang botol susu yang mungkin menjadi penyebab kematian para korban? Korban ketiga menyalahi aturan kematian yang sudah tersusun cantik dari dua korban sebelumnya?”
“Yah, kau menggambarkannya dengan cukup puitis, tetapi seperti itulah kira-kira. Nah, karena botol susu yang hilang itu, sekarang kita harus mengalihkan fokus pada hal lain dan membiarkan Happy Kitchen tetap menebarkan kebahagiaan untuk para wanita pelanggannya karena terbukti bahwa mereka benar-benar bersih. Susu yang dijual di toko mereka kualitas terbaik dan tidak meyebabkan pelanggannya mati keracunan.”
“Aku selalu beranggapan bahwa susu adalah penetralisir racun, bukan sebaliknya, susu menjadi media untuk menaruh racun.”
“Entahlah. Itu harus kau tanyakan kepada bagian Forensik, kurasa.”
“Ehm, Kapt, kurasa, apapun yang kau bawa dalam kantong plastik itu, sudah mulai menghilang bau harumnya,” sela Gramm sambil menunjuk kantong plastik di depannya.
Luigi tertawa kecil dan meletakkan cangkir teh yang sudah kosong di wastafel. Ia mendekati Gramm dan menepuk bahunya. “Itu untukmu dan Lusia. Franzine menyuruhku membelinya.”
Wajah Gramm berseri-seri dan ia segera meletakkan kaca pembesar dan kertas di tangannya. Ia menarik kantong plastik itu dan mengeluarkan isinya, dua buah kotak sterofoam. Bagian luar kotak sterofoam itu masih terasa hangat dan baunya enak.
“Terima kasih, Kapt,” ucap Gramm cepat. “Kapten Lusia, ayo kita makan dulu. Kertas-kertas bon ini tidak akan kemana-mana selama kita makan.”
“Itu kwetiaw komplit yang paling enak di pecinan. Mereka memberikan tambahan udang di dalamnya. Pemilik restoran itu pengagum Franzine,” ujar Luigi. Ia berjalan keluar dari ruangan sambil bersiul-siul.
Lusia kembali ke kursinya dan menerima sebuah kotak sterofoam dari Gramm yang sudah membuka kotak sendiri dan bersiap menyantap isinya. Lusia makan sambil berpikir. Beberapa kali ia berhenti menyuap, hanya mengacak-acak makanannya tanpa minat. Gramm memperhatikan tingkahnya dengan dahi berkerut.
“Kapt, ayolah, kau harus makan dengan benar,” tegur Gramm halus. “Kasihan makananmu itu, hanya kau acak-acak sejak tadi. Kita memerlukan energi lebih banyak untuk menemukan sesuatu dari kertas-kertas itu.”
“Hm. Kau benar,” gumam Lusia sambil menyendok dan menyuapkan makanannya cepat. “Kemana perginya botol-botol susu itu, ya?”
“Aku heran, mengapa kalian begitu yakin bahwa botol-botol susu itu adalah petunjuk penting?”
“Sebenarnya bukan hanya itu,” terang Lusia ringan. “Kenyataan bahwa korban pertama dan korban kedua pernah berada di tempat yang sama pada suatu waktu, yaitu sekolah tempat mereka menjadi guru dan murid, itu yang lebih penting. Ada koneksi di antara kedua korban sebelumnya dan terasa lebih kuat lagi karena mereka juga berlangganan susu di toko yang sama bahkan setelah keduanya berjauhan.”
“Dan ... kalian berharap, bila ada korban baru, setidaknya akan lebih meyakinkan kalian bahwa ini adalah sebuah pembunuhan berantai? Semua korban adalah wanita-wanita yang hidup sendiri, pernah berada di suatu tempat yang sama, yaitu sekolah Paradiso City, dan berlangganan susu di toko yang sama, begitu?”
“Gramm, apa yang kau bilang tadi?”
“Huh? Apa?”
“Coba sebutkan lagi kalimatmu barusan.”
“Semua korban adalah wanita-wanita yang hidup sendiri, pernah berada di suatu tempat yang sama, yaitu sekolah Paradiso City, dan berlangganan susu di toko yang sama?”
“Yup!” Lusia menjentikkan jari. “Mereka semua hidup sendiri, tetapi antara korban pertama dan kedua, tidak berhubungan apa-apa dengan korban ketiga, dan korban ketiga tidak berlangganan susu dari toko yang sama dengan korban pertama dan korban kedua.”
“Aduh, Kapt, kalimatmu membuatku sakit kepala.”
“Itu dia, Gramm! Aku yakin, pembunuhnya adalah orang yang sama. Bagaimanapun, dia menggunakan metode pembunuhan yang sama kepada ketiga korban dan menandai korbannya dengan sebuah kesamaan, yaitu semuanya hidup sendiri dan tidak hanya itu, semua korbannya adalah wanita-wanita single yang tidak bergaul dengan siapapun di lingkungannya, sehingga sulit bagi mereka untuk meminta pertolongan ketika kematian mereka datang. Monica Haven baru ditemukan dua hari atau mungkin lebih, setelah kematiannya.”
“Tapi, kedua korban sebelumnya tidak mempunyai hubungan dengan korban ketiga.”
“Bukannya tidak punya, tetapi aku yakin, kita hanya belum menemukannya.”
“Kau pikir begitu? Lalu bagaimana dengan botol susu yang hilang?”
“Itu hanya pengalihan. Bagaimana kalau botol susu itu bahkan sama sekali tidak ada hubungannya dengan para korban? Pembunuhnya hanya ingin membuat kita tersesat.”
Gramm tidak menjawab. Ia cepat-cepat menghabiskan makanannya, kemudian mencuci tangan di wastafel dan kembali ke meja dan tenggelam dalam lautan bon-bon dan kwitansi tua di atas meja. Lusia mengikuti jejaknya. Keheningan mengisi udara di ruang istirahat.
“Kapt,” ujar Gramm pelan. Ia menyodorkan beberapa buah bon kepada Lusia. “Lihat ini.”
“Huh? Kau menemukan sesuatu?”
“Ini bon-bon pembelian dari Happy Kitchen.”
Lusia meraih bon-bon di tangan Gramm dan menelitinya satu per satu. Itu memang bon-bon pembelian dari Happy Kitchen dan tanggal paling lama adalah enam bulan yang lalu.
“Lihat,” tunjuk Gramm. “Apa barang yang selalu ada pada setiap bon?”
Lusia membaca satu per satu bon-bon itu, membandingkan dan mengurutkan. “Bumbu masak, kecap, dan daging ayam?”
“Yup! Bagaimana kalau korban ketiga diracuni melalu daging ayam, bukannya susu?”
“Pembunuhnya mengganti pola?”
“Atau ketiga korban memang diracuni melalui daging ayam yang mereka beli dari Happy Kitchen,” ujar Franzine yang tiba-tiba masuk ke ruangan. Ia melambaikan sebuah diska lepas. “Tolong periksa ini, Lus. Menurut August Bain, si penjaga toko, Antonia Gerard dan Monica Haven pernah bertemu di Happy Kitchen dan mereka saling merekomendasikan aneka makanan yang akan mereka beli.”
“Itu tandanya ... mereka cukup akrab?” tanya Gramm cepat.
“Sepertinya begitu,” angguk Franzine tegas. “Aku tidak akan membicarakan soal makanan apa yang kumakan kepada orang yang baru kukenal dan aku yakin kita semua juga tidak.”
"Kita harus menanyai orang-orang di Happy Kitchen lagi?"
"Sepertinya begitu, meskipun aku ragu Richard akan menerima dengan senang hati kalau kita kembali ke sana."
“Oh!” Gramm menjentikkan jari.
“Apa, Gramm? Kau menemukan sesuatu dan baru teringat sekarang?” tanya Franzine waspada.
Gramm tidak menjawab. Ia menebar semua bon dan kwitansi di atas meja, kemudian mencari-cari sesuatu. Franzine dan Lusia menunggu dengan sabar dan setelah beberapa saat. Gramm mengambil salah satu kwitansi. Ia membaca isi kwitansi itu dan meyerahkannya dengan wajah penuh kebanggan kepada Franzine.
“Lihat! Aku menemukan ini.”
Franzine mengambil kwitansi dari tangan Gramm. Wajahnya perlahan-lahan berubah, setelah membaca beberapa saat. “Ini dia!”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top