Bab 12. Happy Kitchen

“Kenapa kalian tidak langsung menangkapnya saja?”

Gramm memerhatikan dengan cermat gerakan tangan Franzine saat mengaduk kopi di dalam cangkir. Kopi buatan Franzine selalu lebih enak dari yang lain, meskipun hanya ada satu merek yang dipakai di semua divisi di kantor polisi ini. Mungkin jumlah adukan atau cara mengaduk yang membedakan.

“Itu pertanyaan bodoh, Gramm,” sentak Jace. “Kau sudah menjadi bagian dari kantor polisi ini bertahun-tahun, tapi masih juga mempertanyakan hal sederhana seperti itu.”

Gramm nyengir dan ketika Franzine mendekati meja, ia segera mengambil cangkir kopi yang disodorkan oleh detektif itu kepadanya. “Ya. Ya. Aku tahu. Kalian tidak punya bukti yang cukup untuk mengaitkan dia dengan kasus ini.”

“Pemiliknya mempunyai alibi yang kuat dan usahanya juga legal,” jelas Franzine sambil memutar-mutar cangkir kopinya. “Dari hasil pemeriksaan sebelumnya, dia mempunyai peternakan sendiri dan semua urusan memerah susu sampai memotong dagingnya diurus sendiri olehnya. Dia mengurus sendiri semua perijinan yang berkaitan dengan kesehatan dan keamanan produknya.”

“Secara pribadi, kau yakin dia tidak mempunyai hubungan apapun dengan para korban?” tanya Jace dengan kening berkerut. “Jarak dari tokonya ke rumah para korban cukup jauh, tetapi mereka tetap mengambil susu dari tokonya. Apabila ada hubungan pribadi antara pemilik toko dengan para korban, hal itu mungkin menjadi masuk akal.”

“Aku yakin tidak. Pemilik toko itu tidak bisa mengingat dan mengenal pelanggannya satu per satu. Terlalu merepotkan, katanya. Tokonya memang tidak terlalu besar, tetapi cukup lengkap dan memiliki banyak pengunjung.”

“Kapten Franz mencemaskan anak istrinya,” gumam Gramm setengah melamun. “Karena sekarang mereka minum susu dari toko Tuan Richard.”

Jace mengangkat sebelah alisnya, mendengar ucapan Gramm. Ia menunggu Franzine mengoreksi ucapan Gramm soal ‘istrinya’, tetapi tampaknya Franzine tidak memedulikan hal itu. “Jadi, apa kita perlu melakukan pemeriksaan ulang terhadap toko itu?”

“Begini,” ujar Franzine dengan nada ragu. “Sepertinya kita akan menerima keluhan dari pemilik toko soal pemeriksaan terus-menerus terhadap toko mereka, kalau kita melakukan pemeriksaan ulang. Pemiliknya—Richard McNamara,  adalah mantan seorang dosen dan aku yakin dia mengerti prosedur pemeriksaan polisi yang benar. Kau dengar sendiri bagaimana dia memprotes Luigi ketika memeriksa rekaman CCTV tokonya untuk kedua kalinya? Dia bahkan meminta Luigi membawa surat perintah dari pengadilan sebelum melakukan pemeriksaan ulang. Bagaimana kalau kali ini kita lakukan saja penyelidikan ulang secara ... diam-diam?”

“Maksudmu ....”

Jace menggantung ucapannya dan bersamaan dengan Franzine, menatap Gramm yang sedang menyesap sisa kopi di cangkirnya. Gramm melihat kedua detektif di depannya dengan mata melebar, kemudian menaruh cangkir kopi ke atas meja dan meraih topi. Ia berdiri dari kursi yang didudukinya dan menggeliat meluruskan otot-otot di tubuhnya.

“Siap, Kapten,” ujar Gramm dengan nada malas. “Siapkan saja uang kalian untuk membelikan aku jaket baru kalau ada sesuatu yang kutemukan dari sana. Akhir-akhir ini cuaca cukup dingin.”

Gramm keluar dari ruang istirahat sambil bersiul-siul. Ia melambaikan tangan kepada Lusia yang sedang membaca berkas di mejanya dan membuka topinya untuk memberi hormat kepada Brad di pintu keluar.

Brad menatap punggung Brad berjalan keluar dari kantor polisi. Ia mendekati Lusia dan menepuk bahunya pelan. “Kau tahu apa yang diperintahkan oleh Franzine atau Jace kepadanya?” tanya Brad sambil menunjuk keluar.

“Gramm?” Lusia balik bertanya. “Aku tidak tahu, Bos. Mereka minum kopi bersama sejak tadi, tetapi aku harus menyelesaikan membaca ulang laporan kasus pembunuhan asisten rumah tangga ini.”

Brad memberi isyarat tangan kepada Lusia agar dia meneruskan pekerjaannya dan berjalan ke arah ruang istirahat. Jace sedang mencuci cangkir-cangkir bekas kopi ketika Brad masuk. Franzine mendongak dan tersenyum ketika melihat Brad.

“Aku sudah bilang, jangan membuat Gramm melakukan pekerjaan kita, Franz,” tegur Brad dengan kening berkerut. “Kau akan membuat orang-orang bergosip tentang kinerja divisi kita.”

“Madam Chen, maksudmu? Mempertanyakan keabsahan penyelidikan kita karena menurut dia, kita hanya berleha-leha sambil menunggu Gramm membawakan hasil penyelidikannya?” tawa Jace sambil mengeringkan tangan.

Brad menghela napas. Franzine dan Jace adalah dua detektif terbaik di kantor polisi ini dan semua orang mengakui hal itu, setelah semua kasus yang berhasil mereka selesaikan. Namun, tetap saja, banyak juga yang tidak senang ketika mereka mengetahui bahwa seorang tuna wisma seperti Gramm juga sering dimanfaatkan jasanya untuk membantu mereka mengawasi tersangka atau melakukan penyelidikan-penyelidikan kecil.

“Kali ini, apa yang akan dia lakukan?”

“Tidak banyak, Bos,” ujar Franzine tenang. “Hanya mengawasi Happy Kitchen sedikit. Kurasa ada sesuatu yang kita lewatkan dari sana.”

“Toko itu sudah dua kali diperiksa, kan, sebelumnya?”

Franzine menggaruk-garuk tengkuknya dengan sikap serba salah. Brad selalu teliti dan meminta alasan jelas ketika anak buahnya memutuskan untuk melakukan sesuatu di luar prosedur, bahkan ketika itu berkaitan dengan kasus yang sedang mereka tangani. Ketegasan dan kedispilinannya itu yang membuat Brad disegani semua orang. Dia benar-benar ‘bersih’ dan taat.

“Sheryl dan si kembar minum susu yang sama dengan para korban, Bos,” ujar Jace sambil melirik sahabatnya.

Alis kanan Brad terangkat. “Kau khawatir akan terjadi sesuatu kepada mereka karena alasan itu?”

“Yah ....”

“Mereka baik-baik saja?”

“Mereka baik-baik saja,” jawab Franzine pelan. Pertanyaan Brad membuat ia merasa seperti orang yang terlalu paranoid. “Aku hanya merasa tidak enak hati. Botol-botol susu itu membuatku khawatir.”

Brad mengangguk-angguk. Ia berdiri dan menepuk bahu Franzine sebelum keluar dari ruang istirahat. Franzine menggores-gores meja marmer dengan dengan kuku sebelum gerakannya ditahan oleh Jace yang memukul tangannya pelan.

“Dia mengerti, Franz. Brad adalah seorang atasan paling penuh pengertian yang pernah kutemui. Jangan terlalu khawatir.”

“Aku mungkin terdengar seperti orang yang paranoid,” gumam Franzine, lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. “Tetapi, entah kenapa, melihat botol-botol susu itu, perasaanku mendadak gelisah. Ada suatu aura tidak menyenangkan yang terasa ketika aku menatap deretan botol-botol susu itu.”

“Kau mungkin memiliki bakat sebagai cenayang.”

Jace tertawa sambil berjalan keluar dari ruang istirahat. Franzine mengikuti jejaknya dan langsung menuju meja kerjanya. Ia membuka komputer dan mencari berkas tentang Happy Kitchen.

Pemilik toko itu bernama Richard McNamara, seorang duda berusia 56 tahun yang agak kurang ramah. Istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal sebelas tahun yang lalu dan sejak itu dia memutuskan untuk pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang dosen dan membuka toko swalayan. Dia mengatakan bahwa membuka toko swalayan adalah impian istrinya sejak mereka baru menikah.

Richard bukan hanya membuka toko swalayan. Uang asuransi kematian almarhum istrinya dan uang pensiun yang diperolehnya dari kampus tempat dia mengajar cukup besar, sehingga dia memutuskan untuk membeli sebuah peternakan kecil yang hampir bangkrut di pinggir kota. Pemilik lamanya pindah keluar kota setelah menyelesaikan urusan jual beli, meninggalkan peternakan yang tidak terurus, dengan beberapa ekor sapi kurus, domba, dan ayam ke tangan Richard.

Jack McNamara adalah anak tunggal Richard, seorang laki-laki kemayu yang jelas merupakan sumber kekhawatiran terbesar untuk Richard. Usianya sudah hampir 26 tahun, tetapi kelihatannya Jack tidak punya niat untuk meninggalkan ketiak ayahnya. Richard menjadikan dia sebagai pengurus peternakan kecilnya dan sesekali melatihnya mengelola toko.

Happy Kitchen tidak mempunyai banyak pekerja tetap. Richard hanya mempekerjakan dua orang pegawai tetap, yaitu Maia Crane—seorang janda berusia 32 tahun yang bertugas sebagai kasir dan pengurus pembukuan toko. Dia tinggal di belakang toko swalayan dan dari bahasa tubuhnya, jelas terlihat dia naksir dan berharap Richard akan membalas cintanya suatu hari nanti. Maia mengagumi Richard karena hanya laki-laki paruh baya itu yang mau menerima Maia untuk bekerja padanya, setelah dia keluar dari pusat rehabilitasi pecandu alkohol selama dua tahun.

Satu orang pekerja tetap lain adalah August Bain—seorang laki-laki berusia 47 tahun yang pendiam, tetapi bertubuh kuat dan rajin bekerja. August adalah mantan pekerja di sebuah galangan kapal dan berhenti setelah mengalami kecelakaan yang membuat sebelah kakinya menjadi agak pincang. Tugasnya di Happy Kitchen adalah menjaga sekaligus membereskan dan membersihkan toko. Dia tinggal di sebuah apartemen studio bersama seekor kucing.

Franzine mematikan komputer sambil menghela napas panjang. Tidak ada apa-apa yang mencurigakan pada mereka. Semua orang berada pada waktu dan tempat mereka masing-masing dan tidak terkait dengan korban sebelum atau sesudah kematiannya.

“Hoi!”

Teriakan keras dari pintu masuk membuat semua orang menoleh terkejut. Brad juga keluar dari ruang kerjanya dan Jace berhenti mencar—cari sesuatu dari lemari arsip. Luigi, terengah-engah dengan wajah memerah dan keringat membuat dahinya basah, berdiri di depan pintu sambil melambaikan teleponnya. Ia berusaha mengatur napas sebelum melanjutkan ucapannya.

“Korban ketiga!”

***

Akhirnya bisa update lagi, setelah lama absen karena sakit dll dsb, semoga teman-teman pembaca belum lupa pada paman ganteng detektif Franzine Luke ... Kasusnya makin berbelit dan jalan menuju penyelesaian juga makin rumit, nih ...
Stay tune ya, diusahakan untuk update 2x seminggu ...
Stay safe and healty, yaa ... ❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top