8 | Okay, I Like Him

Emang bisa naksir sama orang yang sering bikin jengkel kita? Pertanyaan itu hampir tiap hari aku pikirin. Soalnya aku merasa hal itu nggak mungkin banget. Kayak nggak sinkron gitu. Tapi, masalahnya aku merasakan dua hal itu bersamaan. Aku jengkel setengah mati sama Pak Ezra karena dia nggak mau revisi bagian ending novel 'Perbatasan', di sisi lain aku juga deg-degan terus, tiap matanya nggak sengaja tatapan sama mataku.

Kupikirin terus, aku tuh kenapa? Apa ini yang dimaksud otak sama hati nggak seirama? Konslet? Bertolak belakang? Masa bisa?

"Saya nggak suka ending alternatif yang kamu tawarkan ke saya semalam. Itu beda jauh sama ending original yang saya tulis."

Tuh, kan? Si bos nyebelin abis. Kadang aku mempertanyakan kewarasanku sendiri sih, yakin mau naksir cowok model begini? Kemarin, aku kasih pendapatku tentang ending 'Perbatasan' yang menggantung. Maksudku, kasihan banget pembacanya digantung dua kali, dari novel pertama sampai terakhir. Terus, Pak Ezra minta aku buat bikin alternatif ending-nya. Eh, pas ku sodorin, si om nolak. Dibilang ending-nya beda sama yang dia tulis. Kalau aku mau ending-nya sama, ngapain aku protes ending yang sekarang. Aneh, 'kan?

"Setidaknya kasih conclusion lah Pak, kalau Nalesh sama Agora itu akhirnya bersama, walaupun nggak ada scene mereka bareng."

"Agora memang sengaja saya buat untuk pindah. Tapi kan, nggak ada jaminan, kalau dia pindah desa, mereka nggak bisa ketemu lagi. Toh, saya nggak buat gantung, tapi open ending."

Aku meremas kepalaku. Open ending yang terlalu terbuka namanya! "Ya bisa kan Pak, dikasih narasi atau dialog yang kasih sedikit klu, kalau mereka bakal berjumpa lagi. Pak, kasihan pembaca Bapak! Di-PHP mulu!" raungku.

Satu alis si om terangkat. "Sebenarnya saya suka reaksi penasaran mereka."

Aneh-aneh wae, sih? Kalau mereka pada mati penasaran, emangnya situ siap digentayangin? "Ada saatnya manusia penginnya dikasih jawaban pasti, Pak. Itu sih saran saya sebagai editor Bapak. Gimana Bapak mau eksekusi naskahnya nanti, terserah Pak Ezra. Lagian, saya juga nggak pernah dianggap, 'kan?"

Dia terdiam sejenak. Kenapa? Apa aku salah ngomong? Apa dia tersinggung sama sindiranku barusan?

"Kamu ngambek ya, Kelsy?"

Ngambek? Emangnya aku anak kecil apa? "Nggak kok."

"Lha itu, kamu tiba-tiba marah."

"Saya cuma ngomong apa adanya, Pak. Kalau Bapak nggak bisa terima saran toh, nggak masalah," aku mencebik.

"Oke."

Aku mengernyit bingung. Mulai kan ngomong serba iritnya. "Oke apa, Pak?"

"Saya akan revisi ending 'Perbatasan'."

Aku mengangguk puas sambil tersenyum. "Nah, gitu dong, Pak! Jangan karena Bapak jomlo, tokoh-tokoh novel Bapak dibikin jomlo semua! Solidaritas yang nggak mendasar itu! Lagian, kalau saya perhatiin ya Pak, Bapak sering bikin open ending yang terlalu gantung. Jangan terlalu sering lah, Pak. Bapak sih cowok, nggak tahu rasanya digantungin gimana ... soalnya suka gantungin perasaan orang."

"Udah?"

"Eh, iya Pak?" Aku nyengir karena tidak paham apa maksudnya.

"Kamu cukup koreksi naskah saya, tidak perlu repot-repot koreksi hidup saya," tukasnya datar.

Jleb banget, ya Allah! Padahal aku cuma berpendapat! Ini si om kenapa baperan banget, sih?!

"Saya single, bukan karena nggak ada yang mau. Tapi, bukan prioritas saya saat ini aja menjalin hubungan. Nggak kayak kamu."

Mataku melebar! Mulutnya, ya Tuhan, tajem amat! Kok nyinyirannya lebih sadis dari pada Nona Manis? Aku merasa kesaing! Berarti, besok aku nggak boleh kasih ampun kalau review novel dia!

"Kalau begitu saya permisi, Pak," pamitku sebelum meledak di ruangan si om.

***

Salah satu enaknya kerja jadi editor di penerbitan itu jam kerjanya yang fleksibel. Lihat aja hari ini, pegawai yang setor muka ke kantor cuma lima orang aja. Mas Agam, Miska, Teh Farah, Bang Fachri dan aku. Jangan tanya ke mana yang lain. Ada yang lagi diklat, ada yang lagi liburan, ada yang lagi nemenin istri anak di rumah. Itu alasan Bang Rozak tiap ditanyain kenapa satu minggu nggak pernah full di kantor.

"Gue punya anak lucu, istri cantik, sayang lah kalau ditinggal-tinggal terus."

Di sini, cuma aku, yang rajin tiap hari ke kantor. Ya ... meskipun revisi naksah bisa di rumah, nggak bisa pamer baju cetar kalau nggak ngantor. Nggak bisa pakai blush on merah merona, atau highlighter yang blinding abis. Daripada mereka terbuang sia-sia, mending aku jadi rajin masuk. Lagian, kantor Lentera cozy abis. Ada ruang tamu, kursi pijat, pantri lengkap dengan berbagai makanan, balkon buat ngopi cantik, sama ruang nonton yang ada sofanya empuk banget, mirip sama home cinema. Tapi, kalau lagi hectic, pastilah kita semua bisa pulang sampai habis maghrib.

Dengan teh hijau yang mengepul di cangkir, aku menghampiri Miska yang lagi istirahat santai, di balkon sambil makan burger dari restauran siap saji sebelah kantor. Sekarang jam tiga sore, fungsi kerja otak udah lelet-leletnya. Jadi, sebelum oleng dan nggak fokus, aku sering banget nyantai sambil ngemil begini. Atau malah curi tidur siang di ruang nonton kalau lagi nggak dipakai.

"Tadi nggak makan siang?" tanyaku membuka obrolan.

Miska menggeleng. "Belum laper, Mbak ... kebanyakan makan cokelat. Sekarang baru kerasa deh lapernya. Lo tumben bikin teh hijau anget panas-panas begini?"

"Mumpung yang punya lagi nggak ada," jawabku. Teh hijau di dapur ini punya Mbak Carol sebenarnya. Dia rajin banget stok minuman sehat itu. "Eh Mis, gue pengin nanya sesuatu, deh."

"Apaan Mbak?" Miska beringsut mendekatiku.

"Menurut lo orang bisa suka sama orang yang dibenci nggak?" Aku perlu diskusi sama orang lain soal dilema yang mengendap di kepalaku.

Miska menghela napas lalu mengubah posisi duduknya. "Gue belum pernah ngerasain sih, Mbak. Tapi, lo pernah dengar istilah benci sama cinta itu bedanya tipis?"

"Pernah sih, tapi coba lo pikir-pikir ya, masa hati lo tiba-tiba cenat-cenut sama orang yang tiap harinya bikin lo dongkol? Kan kalau dipikir nggak nalar, Mis."

"Ya emang sih, Mbak. Tapi kadang, pas lo benci sama seseorang, lo jadi lebih perhatian sama orang itu buat cari-cari kesalahannya. Nah, makin lama lo jadi hafal sama kebiasaannya, terus tanpa sadar lo malah jatuh hati sama dia," terang Miska panjang lebar. "Btw, emang lo lagi naksir sama siapa, Mbak?"

Aku cuma menghembuskan napas. "Jadi, menurut lo memungkinkan ya, suka sama orang yang lo benci?"

Miska mengangguk mantap. "Ya mungkin itu juga buah dari karma sih, Mbak. You know karma is bitch right?"

Oke, aku ngerti. Tuhan kayak kasih 'hukuman' karena aku udah benci salah satu makhluk-Nya, jadi Dia bikin aku naksir sama orang yang kubenci. Challenge accepted! Kalau kupikir-pikir aku emang tahu sih kebiasaan si om. Dia nggak pernah makan siang bareng temen kerjanya. Dia selalu datang ke kantor jam delapan lewat lima belas menit, nggak pernah lebih atau kurang. Tiap berangkat kantor, dia selalu bawa minum di tangannya. Entah itu susu pisang, susu kotak, kopi Starbuck, atau teh panas dari kafetaria bawah. Terus, nggak pernah sekali pun dia nggak kelihatan ganteng. Kalau yang satu itu, termasuk kebiasaan bukan, ya?

***

Setelah menerima fakta kalau kemungkinan besar aku emang naksir Pak Ezra, aku jadi cari faktor-faktor yang kira-kira berhasil bikin aku suka dia. Tapi, sayangnya aku nggak nemu alasan spesifik kenapa aku bisa klepek-klepek sama si om. Ya, si Om Ezra ini emang dari sananya sengaja didesain Tuhan, buat bikin anak gadis orang keblingsatan sih, jadi nggak heran.

Berulangkali aku lihatin ponselku, nunggu balesan si om, padahal udah aku chat dari jam enam sore lalu. Tadi aku dapet e-mail dari Bu Gamel---Kepala Divisi Inovasi dan Kreativitas---dia kasih rancangan gimana acara lomba naskah yang diusulkan Pak Ezra. Beliau minta masukan dari divisi kita, udah sesuai apa belum sama maunya si bos. Nah, udah aku sampaiin ke Pak Ezra lewat e-mail, lewat WhatsApp juga, tapi belum dibalas. Nggak biasanya dia telat balas chat sampai di atas jam sembilan. Nah, ini udah hampir jam sebelas. Ke mana aja sih, si om?

Apa jangan-jangan dia masih ngambek ya, gara-gara celetukanku di kantor tadi? Aduh! Payah sih, kalau sampai Pak Ezra marah ke aku. Cepat-cepat aku nge-chat si om lagi.

To: Om Ezra
Malem Pak, Bapak sudah buka email dari saya?

Setengah jam kemudian, masih belum ada jawaban. Aku chat dia lagi akhirnya.

To: Om Ezra
Bapak marah sama saya ya? Maaf deh Pak 🙏🙏🙏

Padahal udah centang dua, tapi nunggu centang birunya lama banget. Mataku udah berat, pantes sih sekarang hampir jam dua belas. Biasanya juga princess udah bobok cantik jam segini.

To: Om Ezra
Bapak saya udah ngantuk nungguin balesan dari Bapak. Kalau Bapak emang nggak ngambek, besok harus pakai kemeja pink. Selamat malem Pak! Jangan lupa buka email.

Paginya, aku berangkat ke kantor dengan sedikit nggak bersemangat. Mukaku terlihat nggak glowing soalnya nggak pakai masker malemnya. Karena mood-ku agak jelek, aku sampai lupa pilih baju cetar, jadi aku cuma pakai kemeja lengan panjang merah muda---ya siapa tahu si om pakai kemeja merah muda juga jadi bisa couple-an---sama celana jeans biru pudar. Semuanya gara-gara si om. Awas aja kalau hari ini doi nggak masuk.

Pas baru aja aku duduk, dari pintu si om muncul sendirian tanpa Mas Aryo, pakai kemeja warna pink! Ya, ampun! Beneran dong dipakai! Aku buru-buru nyusul si bos ke ruangan, nggak peduli sama tatapan aneh temen-temen. Karena aku masuk tanpa ketuk pintu dulu, bikin dia sedikit kaget.

"Ada apa?"

"Bapak pakai baju pink!"

"Iya."

"Jadi, Bapak udah nggak marah?"

"Saya pakai baju merah muda, 'kan?"

Cengiran di bibirku pasti udah lebar banget. Aku terus duduk di hadapan Pak Ezra, membuat satu alisnya terangkat.

"Bapak udah buka e-mail dari saya?"

"Belum sempat. Nanti saya cek."

"Semalem Bapak ke mana sih? Di-chat nggak bales!" kataku sebal. "Saya diteror Bu Gamel, Pak! Mereka minta respon secepatnya. Ya udah akhirnya saya bohong, saya bilang aja kalau Bapak udah punya plan buat lomba sendiri, terus nanti bakal disampaikan ke Bu Gamel kalau Bapak udah nggak sibuk."

"Semalem saya ada acara keluarga," jawabnya santai tanpa rasa bersalah.

Acara keluarga macem apa sampai nggak bisa buka hape. Aku berdecih. "Sampai nggak bisa buka hape?"

"Hape saya ketinggalan di kamar, dan saya males buat ambilnya."

"Acara keluarga apaan sih, Pak? Katanya Bapak single," tanyaku penasaran.

"Saya belum berkeluarga, bukan berarti saya nggak punya keluarga kan, Kelsy? Semalam ada pesta peringatan pernikahan kedua orangtua saya yang ke empat puluh tahun. Adik saya datang, tante saya datang, keponakan saya datang, banyak keluarga yang datang," jelasnya panjang lebar. "Saya nggak enak kalau mau lihat kerjaan, ketemu mereka nggak pasti satu tahun sekali."

"Oke. Tapi, paling nggak kalau Bapak ngabarin lagi ada acara, kan nggak saya tungguin sampai tengah malem! Terus, saya nggak perlu bohong ke Bu Gamel!" sungutku.

"Oke, saya salah, maaf ya."

Itu minta maaf nggak ikhlas banget, sih? Kayaknya aku punya ide bagus deh. Aku terkikik dalam hati. "Ya Bapak harus tebus kesalahan Bapak, dong! Traktir saya makan siang."

"Makan siang?"

Aku mengangguk. "Kita harus diskusi rencana lomba secepatnya, Pak. Saya hari ini cuma free pas makan siang, ya mau nggak mau, kita harus makan siang bareng." Asyik! Kesempatan makan bareng sama calon gebetan. Padahal mah hari ini aku nganggur aja sih, cuma di kantor.

"Oke," jawabnya lagi-lagi terlampau singkat dan datar.

"Bapak yang traktir lho."

"Iya, Kelsy."

"Makan steak?"

"Makan apa pun yang kamu mau," sahutnya. "Kalau gitu saya harus baca e-mail dari kamu, 'kan? Biar kita bisa diskusi nanti. Sekarang kamu boleh keluar."

"Baik, Pak." Aku mengangguk sambil tersenyum sopan.

Kali ini aku nggak masalah diusir, soalnya nanti mau ditraktir makan siang sama si om. Eh ini, bisa dibilang kencan nggak, sih? Ya ampun, kok hatiku jumpalitan sendiri!

TBC
***

Aku juga kalo jadi Kelsy liat si om mau pake baju pink klepek-klepek🫠🫠

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top