6 | Just Ordinary Chocolate

Malam ini bukannya ngedit naskah, aku malah sibuk jadi detektif online dadakan, cari-cari info kehidupan asmara Om Ezra. Selama ini, dia nggak pernah ada gosip atau ketangkap akun lambe-lambean. Tapi, waktu aku searching, nemu beberapa foto dia sama cewek yang diambil diem-diem sama fans. Terus, ada juga video wawancara dia sama majalah dua bulan lalu, yang bilang kalau dirinya single dan nggak berniat buat cari pendamping dalam waktu dekat.

"Jangan bilang si om ini tipe orang yang nggak mau komitmen atau nikah," gumamku. "Foto sama ceweknya pun nggak ada yang mesra."

Dia doyannya batangan kali.

Aku menggeleng keras. Nggak mungkin. Dia aja jago banget nulis adegan erotis di novel-novel romantisnya. Kemungkinan kedua, karena dia emang nggak mau jalin hubungan sama cewek, si om sukanya 'makai' cewek cuma buat memenuhi kebutuhan biologisnya aja. Tapi, tadi kalau gitu dia ngomong I love you sama siapa?

Aku mengacak-acak rambutku kesal! Setengah nggak percaya dia sebangsat itu. Walaupun dia ngeselin abis sebagai bos, aku yakin kayaknya dia bukan tipe cowok buaya yang tiap minggu ganti pasangan, deh. Aku nggak rela aja, aku naksir cowok buaya kayak gini, padahal sebelumnya naksir cowok sealim Mas Agam.

Wait! Wait!

Naksir?

Serius, Kel? Itu yang otakmu pikirin? Lo naksir sama si om itu gara-gara dikasih cokelat. Rendah sekali harga diri kau ternyata, ya ....

"Dari pada lo pusing mikirin aneh-aneh nggak guna begini, mending kerjain naskah-naskah itu, cepet kelar, cepet dapet duit," tekadku. "Tapi, kalau lo penasaran banget, dari pada jadi gila, mending besok lo tanya langsung orangnya."

Aku mengangguk-angguk, setuju dengan usulan dariku sendiri. Lihat? Aku emang mulai nggak waras, bisa-bisanya diskusi sama diriku sendiri? Aku memejamkan mata. Otakku kayaknya harus diistirahatkan.

***

Rencana hari ini, aku mau nemuin Pak Ezra, buat kasih review novel dia, sekaligus basa-basi modus. Tapi, sebelum melancarkan aksiku, si om udah panggil aku duluan. Aku mengetuk pintu ruangannya, setelah dapat sahutan yang mempersilakanku masuk, aku membuka pintu. Si om kelihatan serius banget sambil hadap laptop. Kacamata bulat bening yang bertengger di hidungnya bikin dia tambah manis. Pantes banget pokoknya kalau dipanggil sugar daddy.

"Duduk, Kel."

Aku pun duduk di kursi di depan mejanya. Deg-degan parah sih, lihatin orang ganteng sedeket ini. Rasanya kayak jantung merosot sampai perut.

"Iya, ada apa Pak? Sekalian saya mau kasih review 'Perbatasan' bab satu sampai sepuluh."

Pak Ezra manggut-manggut. "Makasih, malam ini langsung saya baca. Sebenernya ada yang mau saya tanyakan sama kamu. Kamu nggak bocorin tentang naskah Perbatasan ke orang lain, 'kan?"

Aku melotot. Siaga level satu. "Nggak lah, Pak. Ke temen-temen editor aja nggak."

Si om menghela napas, wajahnya serius banget. "Saya percaya, sih. Tapi, anehnya kenapa kok ada orang luar yang tahu saya masih garap sekuel dari Monster." Dia lalu kasih selembar kertas ke aku. Mataku membelalak lihat screenshoot-an foto unggahan di Nona Manis, yang baru banget aku unggah kemarin malem.

"Dapet ini dari Grace, staf marketing saya," katanya datar. "Kenapa ada akun reviewer yang tahu, ya?"

Hayo, kenapa coba, Kel? Mati aku! Sumpah! Keningku mulai keringetan. Napasku juga udah pendek-pendek. Aduh ... aku belum siap ditendang dari sini! Siaga level dua!

"Akun Instagram saya kadang dipegang Grace, tapi saya selalu cek secara berkala dan akun Nona Manis itu, rajin banget review novel saya."

"Iseng aja kali Pak, biasa kan cuma buat gimik gitu," jawabku sambil nyengir super gugup. "Bapak suka baca review-review novel dari online gitu?"

Siaga level tiga.

"Nggak semua. Awalnya juga saya nggak baca Nona Manis. Tapi, Grace bilang akun itu selalu kasih review negatif ke novel saya. Jadi ya, saya cek sendiri."

"Nggak, Pak!" Enak aja si Grace ini! Banyak emang novel si om yang kubantai, tapi nggak semuanya! Contohnya novel yang rilis dua tahun lalu dengan judul The Bouncing Little Dot. Harus kuakui sih, walaupun nggak ada genre romantisnya, tapi tetep bagus. Asyiknya, tegangnya, fantasinya, petualangannya, dapet banget.

Pak Ezra memicingkan mata kepadaku. "Kamu tahu Nona Manis, Kelsy?"

Aku tersenyum canggung. Siaga level empat. "Saya follow akun itu." Berbohong demi keselamatan diri sendiri, nggak apa-apa kan Tuhan?

"Oh, pantes."

Eh, emang kenapa? "Ada apa ya, Pak?"

"Kamu tergiring opini sama review novel Monster yang ditulis dia," balasnya santai.

Dia hafal review yang kutulis di Nona Manis? Gila! Si om ternyata berpikiran positif sekali, ya .... Status diturunkan ke level satu lagi. Tapi, jantungku masih berdebar-debar. Mungkin karena sisa adrenalin tadi, atau karena faktor lain. Misalnya, tatapan tajam Pak Ezra di balik kacamatanya, bikin aku panas dingin.

"Nggak juga sih Pak, tapi saya setuju sama beberapa review dia."

"Oke, kalau gitu." Pak Ezra kembali fokus ke layar laptop. "Berarti Nona Manis cuma attention seeker aja, ya? Nggak penting juga."

Enak aja, akun alter aku disamain sama attention seeker! Itu tuh ladang cari duit, Pak! Akun itu yang bikin aku bisa beli baju warna-warni, bulu-bulu, bling-bling dari brand kelas atas. Enak mah situ! Penulis kebanyakan duit sampai punya asisten, staf marketing sendiri dan mungkin staf-staf yang lain.

"Bapak punya staf marketing sendiri?"

"Saya butuh itu."

"Kan penerbit yang menangani pemasaran buku Bapak."

"Memang. Tapi, biar pemasarannya ideal dan sesuai keinginan saya, saya berdiskusi dengan staf marketing, lalu mereka yang akan berkomunikasi dengan penerbit."

Buat apa gitu? "Kan Bapak bisa ngomong sendiri? Pak Ezra juga kerja di sini."

"Sebelumnya saya kan nggak bekerja di penerbit. Jadi, tugas tim saya yang akan bicara sama pihak penerbit. Saya nggak selalu ada di Indonesia. Saya cukup pantau saja."

Oke, bos mah cara kerjanya beda. Jadi, dia cuma setor naskah aja. Dan itu pun pasti si om rekues biar nggak revisi banyak-banyak, nggak mau ide awal dia diubah sama orang lain. Habis itu, dia keliling dunia, jalan-jalan cari cewek-cewek dari luar negeri, biar nggak ketahuan sama lambe-lambean di sini.

Ya Allah, Kel! Kenapa baru kepikiran, sih? Jangan-jangan dia udah punya keluarga kecil yang diungsikan di Kutub Utara, sama orang Eskimo? Stop naksir laki orang! Don't step that low, Kelsy! Tapi kan, belum nanya ... nanya dulu apa, ya?

"Kenapa masih di sini?"

"Ehm ... anu Pak, ada yang mau saya tanyakan." Sorot mata si om menunjukkan jika dia menunggu pertanyaan dariku. "Bapak udah punya pacar?"

Dia malah tertawa!

Ya Allah, lesung pipitnya, kok baru sadar ya kalau dia bisa semanis itu kalau ketawa. Walaupun matanya nggak jadi segaris kayak Mas Agam.

"Kenapa? Kamu naksir saya?"

Aku menggeleng cepat. Nggak lah! Mana mungkin aku ngaku, kan? Lagian aku juga masih fifty-fifty, alias nggak yakin.

"Saya lihat di akun gosip Pak," bohongku.

Sudut bibir si om berkedut, terlihat tidak senang. "Grace nggak laporin apa-apa. Hidup saya terlalu sibuk buat mikirin sosial media."

Jadi, jawabannya apa, Pak? Situ punya pacar nggak? "Lha terus cewek yang di foto siapa, Pak? Yang rambutnya panjang itu loh, di pinggir jalan."

"Teman. Saya nggak tertarik untuk menjalin hubungan."

"Yakin? Terus, kemarin teleponan pakai ngomong I love you segala, masa bukan pacar?" pancingku.

Keningnya mengkerut. "Kamu nguping?"

"Nggak sengaja denger," cicitku.

"Itu adik saya, dia baru pulang ke Indonesia," jawabnya.

"Oh ... kirain pacar. Tapi, Pak Ezra tertarik sama cewek, 'kan?" Aduh, jangan-jangan bener doyannya batangan?

Dia termenung sejenak, sepertinya mikirin perkataanku. "Kamu nuduh saya gay?"

"Nggak kok, Pak!" Aku melambaikan tangan panik. "Jadi, Bapak bukan jeruk makan je---"

Suara ketukan pintu terdengar, sebelum Pak Ezra sempat menjawab, Mbak Carol masuk sama bawa map di tangannya. Dia langsung menghampiri meja kerja si om dan menyerahkan map itu pada lelaki itu.

"Ini ya Pak, laporan daftar naskah novel teenlit tahun ini dan tahun depan."

"Oke, Carol. Terima kasih."

"Eh Pak, saya minta lagi cokelatnya satu, ya? Enak banget Pak, cokelat yang dikasih Bapak kemarin."

"Silakan ambil."

Sejak kapan ada toples di atas meja si om? Dan isinya ada cokelat sama persis yang dikasih Om Ezra ke aku. Jadi, si om nggak cuma kasih cokelat ini ke aku? Tapi, juga ke Mbak Carol? Terus, jangan-jangan temen kantor yang lain juga dikasih? Ah! Aku tiba-tiba jadi badmood! Padahal cokelatnya kusimpen di kulkas rumah, mau kuawet-awet karena pengin kumakan pas malam minggu.

"Sono Kel, keluar! Gantian gue mau ada urusan sama Pak Ezra," usir Mbak Carol seenak jidat.

Okelah! Terserah Anda! Aku langsung berdiri dan keluar dari ruangan sambil sengaja menjejakkan kaki keras-keras. Aku kembali ke kubikelku, dengan perasaan kesal. Aku melirik ke arah Miska dan mergoki dia lagi makan cokelat dengan merk sama kayak yang aku punya.

"Mis, lo dapet cokelat itu dari mana?"

"Dari Pak Ezra, Mbak. Emang lo nggak dikasih? Kemarin dia bagi-bagi cokelat, 'kan?"

"Kapan? Kok gue nggak lihat," gerutuku.

"Serius, Mbak Kelsy nggak dapet?" Miska menunjuk ruangan Pak Ezra dengan dagunya. "Minta aja, Mbak ... Mbak Carol aja mau minta lagi katanya. Emang enak banget sih."

Sebel! Sebel! Sebel!

Bego banget kamu, Kel! Otakmu itu gimana kok bisa sampai mikir Pak Ezra cuma kasih cokelat ke kamu? Siapa kamu? Boro-boro masih dapet cokelat Kel, kalau Pak Ezra tahu akun Nona Manis itu punyamu, mati aja kau!

Status: Korban PHP detected!

TBC
***

Sorry.. Suka lupa sama cerita ini🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top