4 | Under His Order

Abu-abu. Suasana Divisi Editing dan Translating yang biasanya semangat, ceria, penuh warna, mendadak berubah. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aturan-aturan baru dari Pak Ezra. Dari semalem udah suntuk karena bikin review buat novel terbaru si om yang tebelnya ngalahin kamus Inggris-Indonesia langganan anak sekolah, bikin aku nggak mood buat tampil cantik paripurna. Ditambah, pagi-pagi banget tadi ada rapat dadakan.

"Gue mau kerja apaan coba? Kalau nggak akan cetak novel teenlit lagi sampai tahun depan," gerutu Mbak Carol.

Jadi, tadi Pak Ezra bikin pengumuman mencengangkan, dengan bilang bakal berhenti cari novel-novel genre teenlit. Mbak Carol, selaku editor novel teenlit protes, dong. Dia langsung nggak terima.

"Stop ambil teenlit. Udah terlalu banyak," tukas Pak Ezra singkat. "Cari genre lain, mulai cari dari thriller, misteri, action, sama fantasi juga."

"Pak, tapi kan teenlit itu paling banyak dicari! Mangsa pasar kita ada di sono!" sungut Mbak Carol.

Aku masih diam. Tenagaku terkuras habis buat baca naskah terbaru Om Ezra tadi malem. Biarin aku dianggap melempem hari ini. Biar sekalian doi nggak sadar ada aku.

"Tahu." Pak Ezra mengangguk.

Kenapa aku merasa dia ngomongnya singkat-singkat ya, sekarang? Beda banget sama pas perkenalan? Ah dasar, cowok mah selalu gitu, cuma manis di awal.

"Tapi, bukan berarti kita harus terbawa arus pasar. Ada saatnya kita membuat trend, dan menciptakan arus pasar sendiri," jawab Pak Ezra lugas. "Saya sedikit prihatin sebenernya, kenapa genre thriller, fantasi, aksi, masih banyak yang dari novel terjemahan. Kenapa kita nggak mendesak penulis-penulis yang lagi hits buat memenuhi kebutuhan novel genre-genre itu?"

Semuanya diam. Nggak ada yang nyahut. Baru aja diomongi ngomongnya pendek-pendek, eh sekarang panjang lagi.

"Tiga tahun ini saya alih genre buat lebih fokus menulis fantasi dan thriller."

"Ide bagus tuh, Pak. Apalagi stok judul-judul teenlit kita sebenernya masih banyak. Dan temanya juga nggak terlalu beragam." Dari meja depan Mas Agam bersuara.

Duhai Mas Agam, apakah engkau ingin bersekutu dengan bos baru?

"Betul, 'kan?" Pak Ezra menatap Agam. "Adakan lomba menulis genre fantasi adventure atau thriller, saya jurinya."

Kenapa malah meleber ke sini? Harusnya kan tim kreativitas dan inovasi yang mikir beginian! Sungguh ambisi dan obsesi Pak Ezra nggak main-main. Kalau si om ini politikus, dijamin dia bakal bikin kudeta, buat menumbangkan pemerintah untuk menjalankan ide-ide gila dia.

"Kelsy?"

Ehm, kok kayaknya ada yang panggil aku ya? Iya? Halo? Kelsy is not in the line, because she is tired as hell.

"Susun proposal buat dikasih ke divisi sebelah. Kalau cuma ngomong, nanti mereka anggap usul kita nggak serius. Kalau ada proposal kegiatan, mereka bakal ngerti kita serius. Soal tanda tangan ke Pak Hardi, saya yang urus," terangnya panjang lebar. "Kalau ada yang belum jelas, bisa didiskusikan sama saya. Sanggup, 'kan?"

Gimana coba, mau geleng-geleng kepala kalau yang minta seganteng Pak Ezra? Mana lagi ngomongnya, halus, walaupun tanpa ekspresi. Aduh, hati perawanku berkedut-kedut. "Kenapa saya, Pak?"

"Kenapa nggak kamu?"

Kami saling bertatapan selama beberapa detik, sampai akhirnya aku mengangguk. Ya udah, lah! Situ bosnya juga! Apalah daya, aku hanya kacung semata!

"Sepet banget wajahnya," goda Bang Rozak seraya meletakkan satu cup es kopi di atas mejaku.

"Buat gue, Bang?" Aku langsung minum es kopi itu, lumayan buat nyegerin otak sama tenggorokan. "Selama beberapa hari ke depan, kalau gue jelek, itu karena Pak Ezra."

"Mana bisa?! Kalau jelek, mah jelek aja. Nggak usah nyalahin orang." Bang Rozak lalu beralih menatap Mbak Carol. "Eh In, lo tadi ke ruang Pak Ezra ngapain?"

"Dipanggil dialah. Katanya, kalau mau cari naskah teenlit, kalau bisa yang petualang gitu. Jangan yang romance high school story. Kata dia, udah basi," adu Mbak Carol. "Padahal dia tahu, konsumen kita paling banyak dari teenlit."

"Kalau menurut gue, dia itu ada maksud terselubung gitu nggak, sih? Dia kan lagi demen nulis genre fantasi adventure sama thriller tuh akhir-akhir ini? Ya mungkin, dia mau nyesuaiin sama selera dia." Teh Farah ikut nimbrung.

"Ya, nggak bisa dong, Teh! Apa-apa diubah seenak selera dia! Emang ini penerbitan siape? Penerbitan punya dia? Bapaknya?"

"Bisa jadi punya dia sih, Kel," ujar Bang Rozak sambil menyengir.

Aku mendengkus kencang-kencang. Iya, sih! Bisa juga ini penerbitan udah dibeli sama si om, ya? Pak Ezra ini emang masih demen nulis genre thriller, fantasi yang petualangan minim romance gitu sama misteri ala-ala detektif. Sejak empat atau lima tahun lalu dia mulai banting stir dari romantis ke tiga genre tadi. Bisa dibilang, doi ini penulis serba bisa. Semua novelnya selalu laku keras. Apa pun genre-nya. Tapi, novel dia yang jadi favorit para pembaca tetep tulisan romantis si om yang mengandung unsur baper dan galau. Apalagi novel-novel adult romance-nya, beh, nggak usah diragukan lagi. Bikin panas dingin kalau dibaca. Penuh adegan yang menggairahkan.

"Kenapa sih Pak Ezra jadi suka nulis yang serem-serem begitu?" dumalku.

Seenggaknya, kalau edit naskah romantis si om kan, bahagia lahir batin. Dari pada baca novel yang isinya potong-potong badan, darah ke mana-mana, atau tentang monster berkepala tiga. Nggak ada tokoh yang bisa buat bahan halu.

"Padahal, gue suka banget sama novel dia yang Bulan Merah sama Blooming. Fantasi sih, tapi masih enteng gitu," sahut Mbak Carol.

Aku menyengir. "Dih! Lo sukanya yang banyak wik-wiknya ya, Mbak bacanya?! Kebelet kawin lo?"

Mbak Carol melotot ke arahku. "Nah, lo juga tahu? Udah nggak betah jadi perawan?"

"Tunggu! Tunggu!" Bang Rozak menyela. "Emang tuh novel ceritanya tentang apa? Mirip Fifty Shades of Grey gitu?"

Aduh! Kok tiba-tiba wajahku jadi panas, ya? Bayangin adegan ranjang Luna dan Archael di 'Bulan Merah', emang nggak sehat sih buat jomlo. Novel 'Bulan Merah' cerita romance-fantasy Om Ezra yang berhasil bikin banyak ciwi-ciwi baper, terus review novel itu pakai tagar rahim anget. Ceritanya, ada pasangan suami-istri yang udah lama nggak punya anak akhirnya dititipin anak sama Dewi Bulan. Luna--anak titipan Dewi Bulan--- lahir bertepatan pas lagi gerhana bulan.

Nah, si Luna ini, umurnya nggak panjang, kalau dia udah jatuh cinta sama cowok, dan nikah, dia akan balik ke Dewi Bulan, pas bulan merah. Bulan merah muncul setelah tiga belas purnama. Novel ini bahas gimana usaha Luna sama Archael biar si Luna tetep stay di bumi. Salah satu caranya adalah bikin Luna hamil. Tapi, masalahnya Luna nggak akan bisa hamil kalau pembuahannya nggak pas waktu bukan purnama. Ya pokoknya gitu deh, ribet. Bisa bayangin kan, gimana Luna sama Archael nyoba-nyoba pas bikin anak? Apalagi ada dua belas purnama sebelum akhirnya si Luna hamil.

Gila emang si om. Totalitas bikin adegan anu-anunya. Fifty Shades of Grey mah kalah. Kalau 'Blooming', cerita romance biasa sih, tentang Alika—dokter bedah workaholic, akhirnya bertemu Dave—cowok yang bikin hati dia klepek-klepek. Tapi, ending-nya gantung, bikin emosi aja pas baca. Dan itu, bukan satu-satunya novel Om Ezra yang punya ending nyebelin begitu.

"Kenapa kalian ciwi-ciwi malah yang protes? Bukannya pada nge-fans sama Pak Ezra?" tanya Mas Agam sambil terkekeh.

"Iya, aneh kalian itu!" sambung Bang Rozak. "Usulan dia bagus, loh! Kalau itu berhasil jadi trend, kan malah keren."

"Ya masalahnya, dia kayak yang keburu-buru itu lho, Bang," sahut Miska. "Belum aja seminggu jadi bos, udah main bikin aturan baru."

"Ya udah, biar kalian nggak cemberut terus nih, nanti makan siang, gue yang traktir," ujar Mas Agam.

Ah, idola memang! Nggak salah naksir orang aku. "Emang Mas Agam paling pengertian."

"Kalau gue yang traktir kok nggak bilang yang manis-manis juga?" dengkus Bang Rozak. "Ini, lo aja belum bilang makasih buat kopinya."

Aku merapatkan bibir. Emang abang satu ini, pamrih bener! "Makasih banyak Bang Rozak yang kumisnya seksi abis!" Lalu aku mengedip-ngedipkan mataku dengan genit, membuatnya melengos pergi.

***

Habis makan siang, aku langsung menghadap Pak Ezra untuk diskusi soal novel baru dia. Sekarang si om lagi baca review novel dariku. Sengaja ngasihnya printout, karena aku mau lihat reaksi dia gimana kalau ada orang yang kasih kritik ceritanya. Itung-itung latihan, kalau suatu saat nanti, identitas Nona Manis terbongkar. Pak Ezra kelihatan anteng, wajahnya serius, nggak ada senyum-senyumnya, beda sama waktu pimpin rapat tadi pagi.

"Terlalu banyak." Pak Ezra akhirnya membuka suara. "Kalau harus jadi dua buku nggak masalah."

Aku memejamkan mata gemas. Siap-siap debat panjang, nih. "Masalahnya, kalau dibagi jadi dua buku, masih terlalu tebal, Pak! Pangkas sampe lima ratus lah, Pak."

"Ini udah saya potong banyak. Awal halaman sampai delapan ratus soalnya."

Ya Tuhan! Dia bikin novel sekalian biografi tokoh-tokohnya gitu? Atau dia nyebutin nama-nama fans-nya di sesi ucapan terima kasih? Gila emang! Mentang-mentang fans-nya bejibun, hobi banget bikin tulisan panjang lebar, karena tahu berapa pun harganya pasti laku keras.

Novel baru Pak Ezra ini, spin of dari 'Monster' novel dia yang kuhujat di Nona Manis, karena plot twist yang nggak banget. Tapi anehnya, dia malah fokus ke Agora, gadis yang tinggal di Desa Acht, perbatasan antara Kerajaan Hayungga dengan Hutan Kabut terlarang. Agora ini sosok baru yang nggak ada di novel Monster. Kalau dilihat dari judul novelnya 'Perbatasan', cocok-cocok aja. Tapi kan, kalau ada embel-embelnya spin of Monster ya, harusnya fokus utamanya ke tokoh yang pernah muncul di novel itu.

Nalesh—adik Veren—tokoh utama di Monster malah diceritain sekelebatan aja. Mana lagi interaksi Nalesh sama Agora baru ada di halaman tiga ratus! Pemirsa! Itu kalau novel biasa udah tamat, di novel si om, kedua tokoh utamanya baru ketemu! Luar biasa sekali!

"Ya, masalahnya Om Ezra terlalu banyak nulis pembukanya! Masa Nalesh sama Agora baru ketemu di halaman tiga ratus?"

Nggak ada jawaban. Om Ezra masih diem.

"Barusan, kamu panggil saya apa?"

Eh? Ya Allah jangan bilang aku kelepasan panggi dia om? Atau malah sayang? Aku nggak inget! Harusnya kan itu cuma suara-suara di kepala, kayak sinetron itu, lho!

"Emangnya apa ya, Pak? Maaf saya nggak fokus." Aku menggigit bibir, menampilkan wajah selugu mungkin biar si om nggak jadi marah.

"Perbatasan, memang spin-of Monster, tapi saya pengin kasih lihat dari sudut pandang warga biasa, yang tinggal di desa tandus, jauh dari kota, yang nekad masuk ke hutan terlarang, lewat tokoh Agora ini," jelas Pak Ezra pelan-pelan. "Karena latar tempatnya sama, Hutan Kabut, aneh aja kan kalau malah nggak ketemu Nalesh, yang jadi raja di sana gantiin Veren."

Aku meremas rokku gemas. "Ya kalau gitu, bikin dua buku sekalian aja, Pak! Jangan asal tumpuk cerita. Perbatasan khusus ceritain kehidupan Agora di Desa Acht dan petualangan dia ke Hutan Kabut terus buku kedua, tentang Nalesh sama Agora.

"Sumpah Pak, kalau dua cerita gini jadi satu buku, nanggung! Pembaca yang nunggu-nunggu cerita Nalesh bisa bosen duluan di depan," tambahku sebelum Pak Ezra bersuara. "Cukup novel Monster aja Pak yang nggak jelas. Jangan sampai novel baru ini ikutan."

"Maksudmu gimana?"

"Ya, emang nggak jelas, 'kan? Masa ternyata Veren jatuh cinta sama adiknya sendiri? Kan nggak lucu. Dia rela turun tahta, keluar dari Hutan Kabut, biar bisa hidup sama Qirsha secara normal, kehilangan kesaktiannya. Eh, ternyata si Qirsha adiknya sendiri? Anti klimaksnya itu, nggak banget, Pak!"

Jadi, para 'monster' Hutan Kabut ini, punya kekuatan untuk berkomunikasi sama hewan, dan elemen-elemen seperti angin, air, api, tanah, kayak Avatar, lah. Tetapi, kekuatan mereka bakal hilang kalau keluar dari Hutan Kabut lebih dari dua malam.

Masih emosi aja kalau inget ending cerita itu. Usaha Veren, adegan romantis rayu-rayuan manja dia sama Qirsha itu nggak ada artinya! Sebel banget aku! Qirsha, itu adik Veren yang diculik sama pendekar yang berhasil masuk Hutan Kabut. Mana habis itu, Qirsha sedihnya cuma sebentar aja lagi, soalnya dia terima lamaran dari Pangeran Zayen. Kan kasihan Veren, jadi sad boy.

"Emang begitu," kata Pak Ezra enteng.

"Apanya, Pak?" Kalau ngomong jangan sepotong-potong lah, Pak! Kayak orang susah zaman dulu pas lagi nelepon aja!

"Ceritanya."

"Ya udah lah, Bapaknya mau gimana? Gunanya saya jadi editor juga apa kalau Bapak nggak mau ambil masukan dari saya?"

"Bukan nggak mau, tapi belum pas aja." Pak Ezra mengembalikan review yang kutulis. "Saya mau novel ini tetap satu judul, dengan tokoh utama Agora. Kasih mark aja, bagian mana yang menurutmu nggak perlu. Nanti saya akali."

"Oke. Tapi nggak bisa nanti malem. Kasih saya waktu seminggu," balasku cepat. "Naskah yang mendekati deadline banyak, Pak."

"Emang nggak minta buat nanti malem. Novelnya, nggak bisa kurang dari lima ratus lima puluh halaman."

Aku mengembuskan napas panjang. Terima kasih, diskusi hari ini, nggak bikin aku mengeluarkan sikap bar-barku. Kutatap sekali lagi wajah si om yang lagi sibuk lihat ponsel. Bibirnya menipis tanpa senyum. Kenapa doi cuma senyum kalau rapat full team aja? Kalau berdua sama aku, bibirnya kayak kaku banget. Terus, kenapa juga kalau ngomong sepotong-potong? Apa emang di otak dia ada setelan otomatisnya kalau lagi sama aku, langsung jadi gitu?

Aku berdiri dari kursi siap keluar, tapi sebelum aku buka pintu, suara ketukan terdengar, lalu masuklah Mas Agam. Pak Ezra mempersilakan calon suamiku itu duduk.

"Iya?"

"Saya cuma mau kasih undangan, Pak. Ya, walaupun Pak Ezra belum ada seminggu di sini, kalau berkenan, mohon hadir di acara pernikahan saya."

Mas Agam barusan ngomong apa? Aku nggak salah denger, 'kan? Mulutku tiba-tiba kering. Telapak tanganku mendadak dingin. Kok barusan aku kayak denger suara kretek-kretek, itu apa, ya? Aku menunduk dan meletakkan telapak tangan di atas dadaku. Oh barusan, hatiku patah eh bukan, tapi remuk. Pantas, keras suaranya.

"Kalau tidak ada halangan, saya akan hadir. Terima kasih, Agam."

"Sama-sama, Pak."

"Loh Kelsy, gue kira lo mau keluar tadi?" Suara Mas Agam membawaku ke realita yang menyakitkan.

"Kenapa masih di sini? Kita sudah selesai," tukas Pak Ezra datar menambahi luka di hatiku.

Udah ditinggal nikah cowok idaman, eh, diusir sama bos yang banyak maunya. Untung hatiku buatan Tuhan, kalau buatan China, nggak tahu gimana lagi bentuknya.

TBC
***
makin absurd kan tingkah Neng Kelsy? Hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top