3 | The Almighty Ezra Wisnu
"Mana nih bos baru? Katanya mau datang jam sembilan?" dumal Mbak Carol sambil sibuk ngemil makan keripik singkong. "Nggak profesional ini, ngaret."
"Kalau dilihat dari feed Instagram dia yang super rapi, kayaknya profesional banget, deh. Nggak mungkin telat," sahut Miska.
"Teori dari mana feed IG pengaruh dia profesional apa nggak?" sahut Teh Farah.
"Gue udah nggak sabar lihat Om Ezra. Ganteng banget kan kalau dilihat lewat live-live Instagram itu," kataku menatap pintu.
"Ciwi-ciwi udah pada nggak sabar ketemu Ezra takut bedaknya luntur, ya?" goda Bang Fachri.
"Sorry ya Bang, foundation gue Huda, jadi nggak akan luntur karena cuma keringet setitik," tukasku tersenyum pongah.
Suara deritan pintu terbuka membuatku menolehkan kepala ke sumber suara, bersamaan dengan pintu yang terbuka. Bahuku merosot saat melihat Bang Rozak melenggang masuk, tapi senyumku langsung kembali waktu Mas Agam muncul juga ikut muncul. Mereka berdua ini tumben-tumbennya masuk siang, pasti habis ketemu klien.
"Pagi Mas Agam, kok baru masuk kantor?"
"Ada urusan keluarga," jawabnya sok misterius membuatku mengerucutkan bibir. Ia langsung menuju kubikelnya.
Lalu, tatapanku beralih ke arah Bang Rozak yang berdiri mematung di depan kursiku. Pandangannya seakan memeriksaku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Decakan lidah pun terdengar.
"Kenapa? Mau nyinyir?" Aku bangun dari kursi, memutar tubuhku sehingga gaunku berputar mengembang ala-ala iklan pewangi.
"Gue bayanginnya lo pakai stoking jaring-jaring, terus pakai baret yang ada bulu meraknya semeter," tukas Bang Rozak. "Alhamdulillah, baju lo warasan dikit."
Aku ngedumel. "Gue emang pengin look gue hari ini pretty, elegant, fashionable, dan smart. Biar Om Ezra dapet first impression-nya ke gue, ini cewek pinter dandan, tapi ternyata isi otaknya juga nggak main-main."
"Emang isi otak lo apa, Kel? Ngebucinin Agam?" pungkas Bang Rozak. "By the way, calon bos baru kita udah di depan, tadi gue lihat dia sama Pak Arnold baru turun dari lantai enam."
"Oh, jadi dia ketemu Pak Direktur dulu ya, makanya lama," dengkus Miska.
Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya Pak Arnold muncul bersama Om Ezra! Astaga! Ganteng banget author satu ini. Pakai celana bahan abu-abu yang pas banget di kaki jenjangnya, sama kemeja lengan panjang warna krem yang digulung sampai siku. Kalau soal penampilan, dia emang nggak perlu diragukan lagi, sih.
"Celananya Burberry, Kel," bisik Mbak Carol.
"Kemejanya Balmain, Mbak," sahutku super pelan.
"Sepatunya Giuseppe Zanotti." Miska ikut nimbrung.
"Kalau jamnya apa?" celetuk Teh Farah. Seketika aku, Miska, dan Mbak Carol menoleh ke belakang bersamaan. "Maaf, kan gue nggak ngerti gituan."
Gila! Kakiku tiba-tiba lemas saat melihat jam yang dia pakai. Richard Mille. Selera Om Ezra emang nggak main-main. Kalau ditotal harga outfit si author satu ini sampai milyaran. Mana wanginya semerbak banget, langsung bikin aku klepek-klepek. Dia emang the real highclass society, sih. Nggak kayak aku yang cuma beli kalau ada diskon gede, terus dapet bonus dari papi.
Aku langsung berdiri, baris paling depan. Siap menyalami calon klienku. "Pagi Pak Arnold," sapaku basa-basi.
Pak Arnold menepuk bahuku. "Eh Zra, kenalin ini Kelsy, editor naskahmu." Aku menundukkan kepala sambil tersenyum malu-malu.
"Halo Kelsy, semoga kita bisa bekerja sama, ya." Dan Om Ezra memamerkan senyum seribu watt-nya yang membuat jantungku sedikit melompat. Oh, wow!
Aku menerima uluran tangannya. Genggaman tangan Om Ezra ini kuatnya nggak main-main. Aduh, jadi kebayang gimana erat pelukannya. Tiba-tiba aku merasakan seseorang menubruk tubuhku dari belakang.
"Kedip Kel, kedip. Mata dijaga itu," goda Teh Farah.
"Selamat pagi semua! Lengkap kan anggotanya?" Pak Arnold bersuara. "Minggu ini, tepatnya hari Jumat, saya resmi pensiun. Saya ingin mengenalkan pengganti saya, Ezra Wisnu. Dia juga penulis, pasti udah pada kenal, 'kan? Dibikin betah ya, bos baru kalian."
"Siap, Pak!" balas kami serempak.
Aduh! Aku udah nggak sabar mau intip naskah dia! Nanti kalau ku-spoiler-in di akun Nona Manis, keciduk nggak, ya?
***
"Jadi, Agam yang paling senior di sini?" tanya Ezra.
Ezra duduk di ujung meja, sedangkan aku dan pegawai yang lain duduk melingkar mengelilingi meja rapat. Om Ezra, secara personal ingin mengobrol dengan kami, agar lebih mengenal pegawainya di ruang rapat, yang untung kosong. Karena kalau pakai ruang tamu mini di divisi editing nggak akan cukup.
"Iya Mas, cuma selisih dua tahun sama Bang Rozak," jawab Mas Agam.
"Besok saat saya mulai kerja, akan ada beberapa peraturan baru. Saya udah ngobrol sama Pak Arnold dan saya pikir ada beberapa aturan yang nggak cocok sama saya. Tenang aja, nggak banyak, saya yakin kalian akan cepat beradaptasi."
Kok jadi kita yang adaptasi? Harusnya kan situ bos barunya? Sumpah ya, aura Om Ezra ini tenang banget! Dia selalu natap mata kita secara bergantian. Om Ezra, eh Pak Ezra duduk dengan kaki menyilang, satu tangannya menyangga dagu. Tetapi anehnya, meski dia kelihatan santai, setiap dia ngomong kayak susah banget dibantah. Nggak pakai bentak, nggak pakai teriak, tapi kalimat yang keluar dari mulut dia, jadi titah untuk kami semua.
"Oh, saya juga udah baca kriteria-kriteria buku yang diterbitkan di sini. Menurut saya, ada beberapa yang harus direvisi, nanti saya kasih kriteria versi barunya," lanjutnya.
Aku mengangkat tangan karena sudah gatal ingin berpendapat. "Tapi Pak, emang bisa asal revisi begitu? Paling nggak, kita harus diskusi dulu, 'kan?"
"Saya sudah ngomong sama Pak Hardi, beliau tidak masalah jika saya melakukan perubahan di divisi ini." Jawaban Pak Ezra telak membuatku tutup mulut. Jelas sih, nggak bakal ada yang berani nyahut. Si om langsung izinnya sama pimpinan redaksi kami. "Apa ada yang ingin ditanyakan lagi?"
Aku kembali angkat tangan. "Pak Ezra nggak benci warna tertentu, 'kan?"
Lelaki itu menggeleng. "Kenapa?"
"Saya cuma perlu memastikan kebebasan saya berpakaian bekerja di bawah Anda." Kudengar dengkusan dari rekan-rekanku.
"Feel free to wear anything you like," ucap Pak Ezra. "Sudah dulu, ya? Saya punya agenda lain hari ini. Kalian boleh keluar." Ezra menatap pegawai lain satu per satu, dari tempat duduknya. Lalu, dia menoleh, "oh iya Kelsy, kita ngobrol sebentar bisa? Soal naskah saya."
Sebelum aku memberi jawaban, teman-teman sudah berhamburan keluar ruangan secepat kilat. Bos baruku ini, lalu melambaikan tangan, memintaku duduk di deoannya, tanpa suara. Kayaknya, jika kuperhatikan, dia 'menuntut' lawan bicaranya untuk selalu nurut dia dengan cara halus. Belajar ilmu hipnotis dari mana, sih?
"Sudah baca naskah saya?" tembak Ezra langsung.
"Baru satu bab, Pak."
"Nanti malam, saya akan kirim full naskah ke e-mail kamu. Dibaca ya, besok saya tunggu review kamu."
"B-besok Pak?" Gila nih orang. Ngomongnya santai, tapi kok nuntutnya banyak?
"Kenapa? Keberatan?"
"Kata Pak Arnold Bapak nggak buru-buru buat nerbitin naskahnya?"
"Kamu lagi ngerjain naskah saya. Kamu bentar lagi jadi anak buah saya. Kenapa harus dengerin Pak Arnold?"
Ya, karena secara teknis, sampai Jumat, Pak Arnold masih jadi bosku. Iya nggak, sih? Baru hari pertama ketemu aja langsung minta ini itu. Gimana nanti kalau udah jadi bos? Astaga! Apa Pak Ezra ini tipe bos-bos yang suka menyengsarakan stafnya kayak di novel-novel yang aku edit?
"Saya yakin kamu bisa. Tiga tahun kerja di sini, karena kemampuan kamu bisa diandalkan kan, Kelsy?"
Apalagi ini? Apa Pak Ezra tahu kalau aku masuk Lentera Pustaka lewat jalur belakang? "Pastilah, Pak! Saya usahakan. Tapi, saya masih punya deadline lain selain naskah Bapak, harap mengerti," kataku sesabar mungkin.
"Saya mengerti kok." Ezra tersenyum kecil. "Itulah kenapa saya cuma minta review saja. Nggak minta naskah saya beres."
SA-MA A-JA BAPAK!
ASTAGA!
YA TUHAN!
Sekarang masih musim ya, wajah manis nggak semanis kelakuannya? Kayak aktor Korea yang lagi heboh mau cerai itu. Wajah lugu, polos, kelakuan bucin, tidak menjamin kesetiaan! Camkan itu para wanita!
"Oke, Pak." Aku mengangguk sambil tersenyum. Pertemuan pertama harus kasih kesan kalem dulu. Nanti, tunggu aja, kalau Anda macam-macam, aku nggak akan diam! Kubeberin kelakuan bar-barmu di akun Nona Manis!
"Ehm Pak, ngomong-ngomong saya penasaran, kenapa Bapak nggak pernah nerbitin buku di sini, ya? Padahal Pak Arnold om Bapak?" Daripada emosi mikirin deadline tambahan dari om ganteng, mendingan aku korek-korek informasi aja.
"Kenalan saya banyak Kelsy. Yang mau nerbitin buku saya, nggak cuma satu atau dua penerbit aja. Jadi, saya harus adil."
Songong terdeteksi sedikit. Nggak apa-apa, aku suka orang songong yang emang hebat. Aku pun sendiri songong. Kita bisa jadi Songong Couple. Dibaca baik-baik, bukan Song-Song Couple yang kapalnya udah karam, ya ....
"Terus, kenapa tiba-tiba sekarang mau nerbitin di sini? Barengan lagi waktunya sama Pak Ezra kerja di sini?"
"Sengaja," jawabnya simple. "Biar saya punya kendali atas naskah saya."
Oh! Man and his obsession to control whats his.
"Biar saya juga bisa menilai editor yang menangani saya kompeten atau tidak."
Mataku melotot. Sumpah ya, lama-lama ini laki kok ngeselin amat? Kalau novelmu itu rilis, bakal kuhujat mati-matian, baru tahu rasa kau! Eh, tapi Kel, kan editornya diri lo sendiri? Masa tetep mau hujat? BODO AMAT!
"Kenapa? Kamu nggak tersinggung, kan? Saya tahu kamu pegawai berkompeten."
Senyum kaku terbit di wajahku.
"Saya baca novel-novel yang kamu tangani. Dan saya sempat ngobrol sama beberapa penulis yang pernah bekerja sama kamu. Saya cuma dapat jawaban positif dari mereka." Ezra bangkit dari tempat duduk. Matanya lurus menatap mataku. "Jangan kecewakan saya, ya?" Setelah itu, tanpa penjelasan apa-apa, dia pergi gitu aja.
Habis dikasih tatapan maut dari si om ganteng, baru sempet mau deg-degan, si omnya udah ngacir duluan! I have no time to process what just f happen! Anak manis nggak boleh ngumpat! Aku mengelus-elus dadaku sendiri. Sabar Kel, ada waktunya bales dendam nanti. Eh, apa jangan-jangan Om Ezra tahu kalau aku itu si Nona Manis, ya? Jadi, dia sengaja mau siksa aku?
TBC
***
Double update ya, soalnya kemarin Selasa lupa hehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top