21 | A Girl with Broken Heart
Sakit. Perih. Hampa.
Sepertinya aku tiba-tiba kehilangan fungsi tubuhku. Badanku berkeringat hebat, padahal aku hanya duduk, dan menatap kosong layar komputer di depanku. Aku tidak bisa membaca tulisan di sana. Terlalu kabur. Dan aku tidak peduli. Harusnya, aku tahu dan mempersiapkan diri untuk patah hati di saat jatuh cinta. Rasanya aku ingin kembali ke ruangan Mas Ezra dan menamparnya. Dia mengatakan itu seolah aku tidak ada artinya sedikit pun di hidupnya. Padahal dia, selalu dalam pikiranku. Dia selalu dalam anganku dan namanya selalu digaungkan dalam hatiku.
"Kenapa lo? Anak gadis galau nih habis ketemu mantan?"
Aku menarik napas panjang, mati-matian menahan isakan yang hampir lolos dari tenggorokan. Tiga tahun aku mengenal Mbak Carol, ini pertama kalinya aku marah karena omongan asal yang keluar dari mulutnya.
"Kenapa sih Mbak Carol suka ngomong seenaknya sendiri?" Dia terhenyak, tidak menyangka dengan responku yang begini. "Harusnya Mbak Carol itu tahu, kapan bercandaan, kapan nggak. Lagian gue juga udah bilang berapa kali, gue punya pacar! Gue nggak kontakan sama Gavin sejak kita putus. Gue nggak tahu kalau resto baru depan punya Gavin. Tapi, kenapa lo nggak ngerti-ngerti juga?" Suaraku meninggi. Napasku mulai tersengal-sengal.
Mulut Mbak Carol menganga. "Kel?"
"Emang gue nggak pantes punya pacar, sampai lo anggep gue halu selama ini?" teriakku, tanpa sadar air mataku mulai berjatuhan.
"Andai aja lo bisa nahan mulut lo nggak ngomong asal, nggak bakal ada kejadian kayak gini!" sentakku.
Kini aku sudah menangis. Terisak keras membuat satu ruangan bingung. Teh Farah menghampiriku dan langsung merangkul pundakku. Dia menuntunku untuk duduk, dan terus mengelus punggungku.
"Tarik napas, Kel," katanya, "everything gonna be alright."
Aku menggeleng. Semuanya jauh dari baik-baik saja. Mas Ezra marah padaku, padahal aku nggak salah. Kenapa tiba-tiba semua orang jadi berengsek, sih? Punya temen sama pacar nggak pada bisa ngomong bener! Asal ceplas-ceplos nggak mikir gimana perasaan yang diajak ngobrol!
"Sorry nih, Kel," Mbak Carol bersuara, "gue minta maaf kalau candaan gue nyakiti hati lo. Gue beneran nggak tahu kalau lo udah punya pacar. Soalnya bukan gaya lo banget, sok-sokan nyembunyiin identitas pacar lo. Dan gue nggak paham, emangnya ada kejadian apa sampai bikin lo marah begitu?"
Aku bungkam, masih terus sesenggukan. Emosiku rasanya masih terjebak di ubun-ubun. Kalau terlalu lama di sini, melihat Mas Ezra atau harus menjelaskan apa yang salah pada Mbak Carol, aku nggak sanggup. Lebih baik, aku pulang aja. Toh, aku pun nggak bakal bisa fokus kerja lagi. Aku lalu memasukkan barang-barangku ke dalam tas.
"Mau ke mana, Kel?" tanya Teh Farah terdengar khawatir.
"Gue mau balik."
"Kel, lo kan nggak bawa mobil," kata Mas Aryo. Benar, tadi aku dijemput Mas Ezra.
Aku mengerang, kesal. "Gue bisa naik taksi."
Aku beranjak dari kursi langsung melenggang meninggalkan ruangan. Tanpa aku duga, Mas Agam mengikuti dari belakang. Aku cuma diam, nggak berniat ajak ngobrol dia. Saat aku terus berjalan ke arah gerbang depan, dia menarik tanganku.
"Tunggu sini, gue anter," katanya lalu berlari ke tempat parkir.
Tak lama kemudian, mobil Mas Agam berhenti di depanku. Aku malu nangis ditonton teman-teman. Seumur-umur nggak pernah aku begini. Aku masuk ke mobil tanpa sepatah kata. Selama perjalanan ke rumahku pun, Mas Agam nggak buka suara dan aku sangat menghargai itu. Aku sendiri pasti bingung kalau dia tanya kenapa aku jadi cengeng begini.
Setelah berjibaku dengan kemacetan, berhentilah mobil Mas Agam di depan rumahku. Aku menarik napas panjang, tidak langsung turun. Jemariku saling bertautan di atas pangkuan. Tiba-tiba, aku gugup dan malu.
"M-makasih, Mas, udah repot-repot nganterin gue balik," cicitku, tak berani mengangkat kepala.
"Nggak masalah. Lo kelihatan kacau banget. Wanna share something?" Suara Mas Agam yang merdu selalu berhasil bikin aku merasa tentram.
Lidahku gatal untuk cerita semuanya soal hubunganku dan Mas Ezra. "Nggak ada, Mas. Gue belum siap." Kuputuskan untuk tidak menyebarkan masalahku dengan doi. Aku nggak mau ada orang lain tahu konflik hubunganku dengan si om. Kalau dia nanti nilai Mas Ezra yang jelek-jelek karena kuceritain soal ini, malah bahaya. Karena bisa kupastikan, dengan keadaan seperti ini aku bakal jelek-jelekin si om.
"Ya, udah. Jangan dipaksakan," katanya. "Kelsy, lo worth it. Gue tahu candaan Carol, nggak bermaksud buat ngerendahin lo dan anggap lo nggak layak punya pasangan."
"Thanks again, Mas Agam," jawabku sungguh-sungguh. "Gue turun dulu, hati-hati di jalan, ya."
Kelsy ... Kelsy ... Kapan terakhir lo nangis hilang kontrol begini cuma gara-gara cowok? Bucin ternyata nggak selamanya enak. Tuhan ... aku pengin berhenti jadi bucin!
***
Jemariku mengetuk-ngetuk kemudi mobil. Mataku menatap keluar jendela dengan gelisah. Kalau ingat tingkah cengengku kemarin, bikin malu abis. Nanti apa jawabanku kalau ditanya-tanya? Oh, itu masih latihan akting, buat seleksi main film, kira-kira mereka percaya nggak, ya? Aku mengerang kesal, ya Tuhan, mukaku, reputasiku hancur. Soal si om, aku males mikirin itu. Biar dia yang minta maaf dulu. Aku kan nggak salah! Bodo amat! Aku mau nyuekin dia hari ini! Lagian, Mas Ezra bilang aku nggak berpengaruh buat hidup doi, 'kan? Jujur aja, aku masih sakit hati banget karena ucapan si om kemarin.
Tidak seperti biasa, aku masuk ruangan tanpa membuat kehebohan. Seluruh pasang mata memperhatikan gerak-gerikku. Aku meletakkan tas di atas meja, lalu menghembuskan napas perlahan. Aku memaksakan senyum kaku di bibir.
"Guys, gue nggak apa-apa, kemarin lagi kumat aja. Maaf ya, bikin heboh," kataku.
Mbak Carol mendekatiku lalu memeluk tubuhku. "Gue minta maaf, Kel, kalau omongan gue bikin lo sakit hati. Siapa pun pacar lo, cepet kenalin ke kita-kita lah."
Aku tersenyum getir. Pacar? Aku masih dianggap pacar sama Mas Ezra nggak sih? "Nanti, Mbak. Kalau waktunya tepat."
"Gue panik banget kemarin, lihat lo nangis, Mbak!" Miska ikut memelukku dari belakang. Kemudian, Teh Farah juga ikut bergabung memelukku. Aku jadi pengin nangis lagi, karena punya temen perhatian kayak mereka.
"Aduh, jadi pengin ikut peluk juga," celetuk Bang Rozak.
Aku mendelik. "Sorry, nggak doyan laki orang!"
"Yah, ditolak," gumam Bang Rozak. "Kalau gitu, nanti makan siang gue traktir lo deh, Kel. Tapi, jangan nangis-nangis kayak kemarin lagi. Nggak cocok lo jadi pemeran protagonis."
"Eh, selamat pagi, Pak Ezra," kata Bang Fachri.
Aku mematung, jantungku berdebar kencang, tapi bukan karena terlalu senang melihatnya, melainkan karena teringat kejadian menyakitkan kemarin. Air mataku sudah menusuk-nusuk, tapi aku menahannya mati-matian. Aku menoleh sebentar, mencuri pandang ke arahnya, berharap menemukan gurat penyesalan di sana, tapi nihil. Seperti biasa, aku tidak bisa membaca ekspresinya, terlalu datar, atau memang dia tidak menyesal sedikit pun.
"Kelsy, udah baikan?" Mas Aryo bertanya, aku bisa melihat kekhawatiran dari sorot matanya.
"Baik kok, emangnya gue kenapa?" tanyaku balik.
Lelaki itu tersenyum kecil. "Gue tahu, lo bakal baik-baik aja." Di balik bulu mataku, aku bisa melihat Mas Ezra mengernyit. Dia pasti bingung, kenapa Mas Aryo menanyakan itu.
Si om berdeham sekali. "Saya masuk duluan," katanya lalu menghilang di balik pintu.
Aku tersenyum getir. Apa yang lo harapkan, Kel? Dia peka buat minta maaf duluan? Nggak mungkin. Peka ngucapin selamat malam aja nggak pernah. Parahnya lagi, hari ini aku ada pertemuan bareng Pak Ezra dan perwakilan dari rumah produksi film, untuk membahas salah satu naskah yang kuedit, yang akan diangkat ke layar lebar.
Ketika jam di sudut layar komputer menunjukkan pukul sembilan lewat lima, telapak tanganku tiba-tiba berkeringat. Aku tidak suka perasaan ini. Tidak punya kontrol atas sesuatu. Pintu ruangan Mas Ezra terbuka, menampilkan dia dengan penampilan sempurnanya seperti biasa. Sebrengsek-brengseknya si om, di mataku dia tetap tampan, dan aku benci itu. Dia berdiri di depan kubikelku, mengajakku segera ke ruang rapat, karena perwakilan dari Star Movie, rumah produksi yang tertarik dengan novel yang kutangani, hampir sampai.
Iya, aku paham kok, sopan santun hadir terlebih dahulu sebelum tamu datang itu salah satu poin penting. Tapi, masalahnya sekarang aku harus berdua di ruang rapat bersama si om, yang terlihat santai, tanpa beban, sangat berlawanan denganku yang siap meledak kapan saja.
Ruangan rapat terasa lebih dingin seperti biasanya. Aku melirik Mas Ezra yang sibuk dengan ipadnya. Sedangkan aku, membeku di tempat duduk.
"Kel, mana proposal dari penulisnya?"
Aku memberikan proposal yang berisi ringkasan cerita dan rekues-rekues author kepada Star Movie, tanpa suara.
"Kapan author-nya bisa dateng ke sini buat diskusi langsung?"
"Akhir bulan, Pak. Dia masih kerjaan di rumahnya."
Mbak Haida---sang penulis, memintaku untuk jadi wakilnya dalam pertemuan ini karena dia nggak bisa datang, karena aku satu-satunya orang yang paham naskah dia. Sebelumnya, biar tidak ada misscom, aku menyuruh Mbak Haida buat proposal yang isinya rekues-rekues dia kepada Star Movie. Misal, adegan apa yang wajib ada dalam film nanti, ya just in case, lah.
Tak berselang lama, perwakilan dari Star Movie datang. Ada tiga orang. Pak Jaffar, Mbak Helen, dan Pak Sidiq. Pak Jaffar ini salah satu direktor film di Star Movie. Mbak Helen, sekretarisnya, sedangan Pak Sidiq pencari novel-novel yang kira-kira menarik untuk dijadikan film. Novel Mbak Haida, 'Twilight Before You' ini memang sangat meledak, penjualan selama masa pre order saja, mencapai tujuh ribu eksemplar.
"Nanti Pak Jaffar yang akan jadi direktor film-nya?" tanya Mas Ezra.
Lelaki itu mengangguk. "Tujuh puluh persen, dapat dipastikan proyek ini jatuh ke tangan saya."
"Penulis skenario? Apa sudah ada kandidat?"
"Bagian itu, akan segera dibahas setelah Mbak Haida tanda tangan kontrak. Jadi, Mbak Haida akan berdiskusi langsung dengan penulis skenario," jawab Pak Sidiq
"Mohon maaf lancang, kalau bisa, saya minta penulis skenarionya jangan Mbak Sisil. Pak Jaffar sekaligus, malah bagus," kata Mas Ezra. "No offense, dia kurang cocok jika jadi penulis skenario film adaptasi novel."
Pak Jaffar dan Pak Sidiq tertawa. "Bapak pengalaman, ya?" Si om cuma tersenyum masam.
Aku tahu novel apa yang dimaksud doi. Walaupun termasuk sukses di pasaran, ternyata dia nggak suka sama hasilnya? Memang sih, film itu dapat beberapa kritik pedas dari pengamat film.
"Oke, kalau begitu, kita cukupkan rapat hari ini."
Aku berdiri mengikuti Mas Ezra dan yang lainnya, lalu kami saling berjabat tangan. Aku mengantar para tamu sampai ke depan lift. Seperginya mereka, aku dan Mas Ezra kembali ke ruangan kami dalam diam. Namun, tiba-tiba si om berbalik, membuatku hampir menabrak dadanya. Aku melotot kesal.
"Kamu catat semuanya tadi?"
"Iya."
"Nanti diketik, lalu kirim e-mail saya dan Haida."
Aku berdecak sebal lalu mengangguk. Ini bukan rapat pertamaku, aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku mendongak untuk menatapnya. Dia sudah selesai bicara, tapi masih belum beranjak pergi.
"Bapak cuma mau ngomongin ini aja? Nggak mau ngomongin soal kemarin gitu?" tembakku langsung.
Terlihat dia menarik napas. "Apa yang mau diomongin?"
Apa, katanya? Apa? Aku memijat pangkal hidungku. Sabar, Kel, sabar. "Jadi, Bapak nggak merasa bersalah ngomong kayak gitu kemarin sama saya?"
"Kita obrolin habis pulang kerja. Saya masih ada kerjaan lain," tukasnya. "Kel, tolong kirim resep ayam teriyakimu, Elmira minta." Ia lalu berbalik dan meninggalkanku yang masih terpaku di tempat.
Gila! Dia minta resep teriyaki di tengah perang begini? Kenapa cuma aku yang kepikiran soal kemarin? Kenapa si om kelihatan santai-santai aja? Cemburu emang kadang bikin orang bego!
TBC
***
Hai, dengan berat hati aku sudahi cerita SMITTEN di Wattpad ya. SMITTEN udah pernah dipost di Wattpad soalnya, dan sekarang cuma republish. Versi lengkapnya bisa dibaca di KaryaKarsa. Cukup kalian cari saja Oktyas. Pasti ketemu. Bisa dibeli satuan, atau paket.
SMITTEN tamat di part 26. Ada tambahan epilog+5 Ekstra Part+9 Spesial Part. Semuanya bisa dibeli terpisah. Jadi kalian beli aja yang mau dibaca.
Ini bocoran judul ekstra part. Cerita Kelsy-Ezra after married honeymoon phase, hamil, first born.
Ini bocoran judul special part. Mama Loreng cerita dari sudut pandang Kelsy. Dada's Diary cerita dari sudut pandang Ezra. They are happy family with 3 kids. Satu anak cowok dan twin baby girls yang sifatnya plek ketiplek sama Kelsy bikin Ezra pusing.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top