20 | Jealousy in the Air

Sejak dua hari kemarin, di kantor heboh karena ada restauran baru yang hanya berjarak dua gedung dari Lentera Pustaka. Terlebih di brosur restauran itu tertulis sedang mengadakan diskon besar-besaran. Aku dan Miska berusaha mengompori yang lain, agar mau makan bersama di sana, soalnya diskon itu cuma berlaku kalau dine in saja.

"Ah elah, lo sobat miskin, kenapa sok-sokan nolak diskonan, sih?" tanyaku sebal.

Mbak Carol mengembuskan napas, dia memutas kursinya menghadapku. "Mager parah! Deadline sedang membabi buta, jadi males buang-buang waktu ke sana. Terus, pasti ramai banget."

"Gue sependapat sama Carol," celetuk Mas Agam.

Aku memberengut. "Iya deh, para senior yang duitnya jor-joran. Ya udah, gue sama Miska aja yang cabut ke sana."

"Gue takut makanannya nggak enak," sambung Teh Farah. "Inget nggak, pas dulu kita coba resto baru, ternyata rasanya zonk?"

Iya, sih. Bener juga, tapi kan nggak ada salah dicoba. Apalagi menunya sangat menggoda, bakar-bakaran, kesukaan aku banget. Sate kambing, ayam bakar, ikan bakar madu. Astaga, jadi ngiler kan. Aku menoleh ke arah Miska dengan lesu, gadis itu mengangguk.

Pukul sebelas siang, walaupun belum waktunya makan siang, aku udah siap-siap untuk berangkat, karena nggak mau kehabisan tempat. Selagi nunggu Miska menyelesaikan naskahnya, aku sibuk buka akun Nona Manis. Udah lama aku nggak nengok ke sana. Tiba-tiba fokusku tercuri, saat melihat pintu ruangan Mas Ezra terbuka dan menampilkan pacarku yang selalu ganteng itu.

"Udah pada pesen makan siang?" tanya si om tiba-tiba, membuat semua pegawai di ruangan ini menoleh, lalu menggeleng. "Makan siang sama saya, mau? Saya yang bayar. Ada resto baru kan di depan?"

Aku bisa melihat binar-binar kebahagiaan di wajah mereka. Tadi aku ajak ke sana ogah-ogahan, sekarang malah pada semangat. Mentang-mentang ditraktir. Emang ya, jiwa gratisan rakyat jelata itu nggak pernah bisa hilang. Kami pun ke sana berjalan bak rombongan sirkus. Seperti yang diduga, restauran itu sudah dipenuhi pengunjung. Namun, tanpa diduga ternyata si om sudah membuat reservasi.

"Pak, kok Bapak udah pesen tempat di sini? Emang sengaja pengin traktir gitu?" tanyaku saat kami semua sudah duduk melingkar. Kebetulan aku duduk di meja paling ujung sebelah kanan Mas Ezra. Sedangkan di sisi kiri si om ada Bang Rozak sama Mbak Carol.

"Sengaja, kata Aryo di sini enak. Kemarin dia udah nyicipin," jawabnya.

"Berarti Pak Ezra emang udah niat buat traktir kita?" tanya Mbak Carol.

Si om mengangguk.

"Dalam rangka apa, nih?" Bang Rozak menimpali. "Mau nikahan, Pak? Apa dapat gebetan baru?"

"Coba-coba aja. Kalau enak, siapa tahu bisa jadi opsi waktu kencan," jawabnya enteng.

Hatiku yang lemah ini, langsung ambyar seketika karena mendengar jawaban Mas Ezra. Bibirku membentuk senyum lebar, meskipun sudah kutahan mati-matian. Teh Farah yang duduk di depanku terkekeh pelan. Di saat yang lain sibuk mengobrol sendiri, aku menyenggol lengan Mas Ezra. Dia menoleh dan menaikkan satu alisnya.

"Kenapa sih, sebenernya? Kok tiba-tiba traktir?"

"Mumpung diskon, 'kan?"

"Cari diskonan juga ternyata," gumamku.

"Kemarin Aryo bilang, katanya kamu pengin ke sini. Terus kata dia, rasanya juga oke."

Aku jadi ingat, dua hari lalu Mas Aryo datang sambil bawa brosur restauran ini. Terus waktu kutanya, apa dia udah coba, lelaki itu dengan senyum lebar bilang rasanya enak. Waktu lihat menunya yang memang menggugah selera, aku reflek bilang kalau aku pengin coba makan di sana.

Jangan bilang, Mas Ezra reservasi di restauran ini karena aku? Aku langsung mendongak dan menatapnya. "Mas, booking tempat ini karena aku pengin makan di sini?" bisikku.

Alisnya berkerut. "Iya, bukannya tadi aku bilang gitu?"

Kalau saja di sini nggak ada mereka, aku pasti udah peluk dia. "Makasih, Mas." Aku meremas lengannya tanpa sadar. Dia cuma tersenyum tipis sebelum balas meremas tanganku.

Para pelayan mengantarkan pesanan satu per satu, membuat meja sedikit demi sedikit jadi penuh. Tatapanku tidak bisa beralih dari sate kambing dan ayam bakar di hadapannya. Aku lalu mengambil piring dan siap mengisinya dengan nasi hangat, tapi gerakan tanganku tiba-tiba berhenti saat suara lantang Mbak Carol terdengar.

"Gavin!" Aku terkejut bukan karena suara Mbak Carol yang keras. Aku sudah biasa. Tapi, karena nama yang keluar dari mulutnya. Gavin? Gavin mantanku?

"Woah! Full team, nih?" Aku menoleh dan mendapati lelaki itu sudah berada di sebelahku. Entah dari mana, ia dapat kursi dan duduk di ujung meja. Tatapannya lalu beralih ke arahku. "Hai, Kelsy. Emang bener ya, kalau udah jadi mantan tambah cantik aja."

"Astaga, Gavin! Kapan balik ke Jakarta?" tanyaku. Serius aku kaget banget lihat dia di sini. "Kok lo nggak iteman, sih? Katanya berlayar?"

Lelaki bertubuh kekar dengan mata sipit itu tertawa. "Gue kan koki! Berlayar pun di dalam kapal terus!"

"Jangan bilang, ini resto lo?" Mas Agam ikut nimbrung.

"Ya, bisa dibilang begitu."

"Pantes lo ngebet makan di sini ya, Kel? Ternyata punya mantan," goda Mbak Carol.

"Jangan-jangan lo udah tahu kalau ini punya Gavin?" tembak Bang Rozak.

Aku menggeleng keras. "Nggak woy! Gue aja baru tahu kalau dia di Jakarta." Aku nggak mau mereka salah paham, terutama Mas Ezra. Diam-diam aku melirik ke arah doi yang terlihat nggak tertarik sama sekali dengan tamu di meja ini.

"Gue jomlo lho, Kel. Gue juga nggak keberatan kok, mengulang kisah lama kita lagi," katanya dengan nada sok puitis.

"Idih! Jangan geer lo! Gue udah punya pacar!" semprotku.

Dia cuma ketawa. "Ada pegawai baru, ya? Ada wajah-wajah asing."

Aku menunjuk si om. "Pak Ezra kepala editor baru. Itu Miska, editor, terus yang di sana Mas Aryo, asisten pribadi Pak Ezra."

"Pak Arnold udah pensiun, nih?"

"Udah, dong!" sahut Mbak Carol paling semangat. "Sekarang ganti daun muda, ya nggak, Pak?" Mas Ezra cuma berdeham lalu fokus kembali dengan sate ayamnya.

"Ya udah, gue cabut ke dapur dulu. Mau tugas lagi," katanya beranjak dari kursi. "Kalau kangen gue, Kel, jalan lima menit ke sini aja, nggak usah malu." Tanpa aku duga, dia mengecup pipiku lalu tertawa.

Teman-temanku yang mengenal Gavin ikut tertawa sambil melayangkan ledekan agar aku balikan sama dia. Sedangkan aku cuma diam, melongo, saking terkejutnya. Bahkan, setelah Gavin melenggang pergi, aku masih tidak menyangka. Dia, lelaki yang sudah nggak kutemui selama dua tahun, tiba-tiba menciumku? How dare he!

"Udahlah, balikan aja, Kel. Dia cowok baik-baik, 'kan?" kata Mas Agam.

"Gue curiga sebenernya Kelsy udah kontakan lama sama Gavin. Masa mantan udah nggak ketemu bertahun-tahun, berani cium pipi, ya nggak?" sahut Mbak Carol mengompori.

"Gue baru ketemu Gavin hari ini dan nggak pernah kontakan sama dia setelah putus!" sangkalku jengkel.

Suara kursi ditarik, mengalihkan perhatianku. Saat kulihat, ternyata Mas Ezra sudah berdiri dari duduknya. "Saya ke kantor dulu. Lupa kalau ada kerjaan." Dia lalu menyerahkan kartu kredit pada Mas Aryo. "Nanti bayar pakai ini."

"Pak?" panggilku, tapi dia tidak menoleh dan terus berjalan menuju pintu keluar.
Sate ayamnya bahkan baru dimakan dua tusuk.

Selera makanku menguar begitu saja. Ayam bakar madu yang kupesan, mendadak terasa hambar. Perasaanku udah nggak enak sejak Mas Ezra angkat kaki dari tempat ini. Aku punya firasat, kalau dia cemburu karena sikap Gavin tadi. Aku juga nggak menyalahkannya sih, kalau aku lihat si om dicium mantannya, aku juga bakal marah, bisa-bisa meja ini ku jungkir balikkan.

Setelah menghabiskan makan siang dengan kilat, aku buru-buru kembali ke kantor. Aku harus menjelaskan ini ke Mas Ezra, agar dia nggak salah paham. Aku nggak mau dia mengira aku mau dicium sama mantan seenak jidat. Awas aja, kalau ketemu Gavin lagi, bakal kupaksa buat gratisin makan siangku di sini selama seminggu.

"Mau ke mana?"

"Kantor. Kebelet," bohongku.

Pertama kalinya dalam hidup, aku benci dengan sepatu high heel! Aku nggak berani lari karena sepatu yang kupakai memiliki hak setinggi tujuh senti. Kalau keseleo, masalahnya jadi tambah ruwet. Aku berjalan secepat yang kubisa. Sampai di kantor, aku segera menuju ruangan si om. Aku mengatur napasku yang terengah-engah, sebelum mengetuk pintu.

"Masuk." Terdengar sahutan dari dalam.

Aku membuka pintu perlahan, lalu menghampiri meja Mas Ezra. Doi hanya melirik sekilas, sebelum fokusnya kembali ke layar komputer lagi. Di tangannya ada roti lapis dan segelas jus jeruk. Si om, lagi makan siang dengan menu yang sangat tidak menggugah selera.

"Mas?" Mas Ezra cuma berdeham. Dia bahkan nggak menawariku duduk. "Mas ada kerjaan apa? Sampai harus ninggal makan siang."

"Aku nggak perlu jelasin apa kerjaanku, 'kan?"

Aku menghela napas pelan. "Kalau Mas nggak nyaman karena sikap Gavin, aku minta maaf. Sumpah, aku nggak tahu kalau resto itu punya dia, dan aku juga udah nggak berhubungan sama dia sejak kita putus."

"Kenapa harus minta maaf, kalau memang nggak salah?" katanya sambil menatapku.

Meskipun dia sering banget kasih tatapan tajam dengan wajah datar, tapi kali ini rasanya beda. Ekspresinya memang masih terlihat seperti tanpa emosi, tapi bibir Mas Ezra yang menipis, bikin kentara banget kalau doi lagi nahan sesuatu.

"Aku nggak mau Mas Ezra salah paham. Aku nggak mau Mas Ezra ngira aku berhubungan lagi sama Gavin," jelasku.

"Kamu nggak seberpengaruh itu di hidupku. Jangan over confident. I have a ton of works to do, so here I am," tukasnya. "Lagian, aku juga nggak peduli, siapa aja yang kamu chat, siapa aja yang kamu temui. Aku nggak akan atur hidupmu, so do you."

Tubuhku membeku di tempat. Aku nggak menyangka akan mendengar kalimat semenyakitkan itu dari mulut Mas Ezra. Saking terkejutnya, bahkan aku nggak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Mulutku beberapa kali terbuka, ingin membalas perkaatan si om. Tapi, rasanya susunan kata-kata itu terjebak di tenggorokan. Mataku mulai perih, pandanganku sedikit demi sedikit mengabur.

"Kalau sudah selesai, tolong tutup pintunya." Itu kalimat yang terakhir kudengar, sebelum aku membanting pintu ruangannya.

TBC
***

Gelut deh hehehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top