2 | Not So Bad Surprise
"Gimana, udah dibaca?" Suara berat yang kusegani selama tiga tahun bekerja di sini membuyarkan lamunan nirfaedahku.
"Pak, saya kan masih punya empat naskah yang belum kelar. Coba kasih ke Miska aja!" Definisi teman makan teman yang asli begini. Mengorbankan teman kerja biar terbebas dari calon deadline yang mencekik!
"Enak aja! Itu udah jatah lo Mbak, syukuri aja. Rejeki nggak boleh ditolak!" balas Miska lalu pura-pura sibuk bekerja menghadap komputer. Aku tahu dia cuma pura-pura, karena layar komputernya menampilkan laman situs belanja online.
"Yang ini nggak perlu buru-buru kok, Kel," imbuh Pak Arnold. "Kamu fokus sama empat naskah yang belum selesai itu dulu aja."
"Emangnya nggak marah Pak author-nya? Apa emang perjanjiannya begitu?"
"Ya, karena author-nya nanti kerja di sini."
Wait! Kok bisa? "Loh, kerja apa, Pak?"
"Dia nanti untuk sementara, jadi kepala editor, jadi ya pasti bakal sering ketemu sama kamu."
Ah, jadi author-nya orang dalam. Tapi, siapa dia? Jarang-jarang kan ada penulis kerja jadi kepala editor? Biasanya kan jadi motivator, bikin penerbitan sendiri kaya Asma Nadia, atau bikin film sama vlog kaya Raditya Dika.
"Kalau boleh tahu, siapa ya Pak author-nya?"
Senyum cerah terbit di wajah Pak Arnold.
Oke, sepertinya ini aku harus waspada, senyuman si bos mengirimkan sinyal-sinyal nggak beres kepadaku.
"Kamu pasti suka, Kel!" jawabnya sambil tertawa. "Saya denger-denger, dia digilai banyak cewek zaman now, soalnya ganteng."
Aduh! Aku masih belum bisa nebak siapa? Author ganteng siapa? Jangan bilang kalau itu Om Ez---? Stop it! Don't go there! Buat apa kan om author ganteng itu mau jadi kepala editor di sini kalau duitnya udah bejibun? Apalagi aku denger-denger dia punya peternakan sapi besar di Australia.
"Dia keponakan saya sih sebenernya. Susah banget maksa dia masuk sini, soalnya emang hobi traveling. Syukur aja akhirnya mau." Pak Arnold masih bercerita.
Ya, 'kan? Mana mungkin Om Ezra ponakan Pak Arnold? Tck! Ngaco kamu! Kalau Ezra ponakan Pak Arnold, pasti udah dari dulu penulis ganteng itu nerbitin buku di sini ya, kan? Kenapa harus cari penerbit lain kalau omnya sendiri punya? Ya tahu sih, ini bukan perusahaan Pak Arnold, tapi kan seenggaknya beliau pasti punya otoritas di sini.
"Mungkin kamu fans dia juga, Kel. Bukunya udah banyak. Anak saya aja, koleksi novel dia," sambungnya lagi. "Besok dia dateng, konsul naskah sama kamu. Dilayani yang baik, ya. Oke, deh, saya balik ke ruangan dulu, Kel."
Pak Arnold berbalik menuju ruangannya. Tapi kok, kayak ada yang kurang penjelasan dari si bos? Bego banget kamu sih, Kel! Namanya! Kamu belum tahu nama author-nya siapa!
"Pak!" panggilku dengan suara memekik.
"Ya, Kel?"
"Anu, itu, siapa ya namanya?"
"Nama? Emang belum saya sebutin tadi?"
Aku menggeleng pelan. Nggak yakin juga soalnya tadi kebanyakan melamun.
"Wisnu," jawabnya sambil tersenyum. Aku mendesah lega saat tidak mendengar nama yang berputar di kepalaku. "Ezra Wisnu. Kenal, 'kan?"
Astaghfirullah!
Dingin langsung telapak tanganku! Kenapa harus kayak gini nasibku? Dia memang nggak tahu aku siapa, tapi aku takut kalau tiba-tiba identitasku terungkap terus dia tahu aku si Nona Manis, gimana?
Ya nggak gimana-gimana! Kan emang itu kerjaanmu, review novel-novel. Jadi, harusnya dia maklum-maklum aja. Itu pembelaan logikaku. Oke, baiklah! Lagian aku juga bukan sengaja mau kasih review pedas untuk novel Om Ezra, tulisan dia aja yang bikin greget minta aku komentarin!
Tiba-tiba sebuah pikiran brilian memasuki pikiranku. Semua lampu di sana seakan menyala, menyambut ide cemerlang itu. Aku menyeringai, membayangkan skenario yang berputar di kepala. Aku kan editornya, jadi aku punya hak buat ganti-ganti gaya bahasa sama isi cerita kalau menurutku nggak pas, kan?
Hahahahaha .....
Ah! Senangnya! Aku juga pengin tahu gimana cara berpikir si om ganteng itu pas nulis atau diskusi tentang ceritanya. Sampai bisa bikin novel dengan alur cerita menyebalkan begitu?
Om Ezra! See you soon!
***
Drama lawas terulang kembali. Tiap jam istirahat, di saat aku sama temen-temen ada waktu ngegosip sambil melahap makan siang, Mbak Carol, nggak pernah bosan kasih wejangan yang sama buat aku. Sudah jadi rahasia publik, fakta kalau aku naksir sama Mas Agam. Aku nggak pernah cerita sama mereka padahal, tapi gerak-gerikku kentara banget. Itu kata mereka. Dan anehnya, semua pada nggak setuju sama sikapku.
"Lo itu jangan gatel nempel-nempel Agam terus deh, Kel," tukas Mbak Carol. "Dia itu baik ke semua orang, nanti lo makan ati sendiri."
"Kalau kata gue sih, lo itu cuma kagum aja sama dia, nggak bener-bener jatuh cinta," sahut Teh Farah.
Mbak Carol mengangguk setuju. "Betul!" ujarnya dengan semangat. "Lo terpesona aja, kok ada cowok sebaik Agam, yang dari awal nggak nyinyirin lo, selalu nawarin kopi, terus nggak pernah absen buat ucapin selamat pagi ke lo. Dan kalau lo inget-inget, dia ngelakuin itu ke semua orang Kel, termasuk gue. Bahkan, kemarin gue lunch berdua aja sama Agam, doi yang traktir lagi."
Benar. Benar. Benar.
Semua yang dikatakan Mbak Carol memang benar. Tapi, kenapa aku ngerasa apa aja yang dilakuin Mas Agam ke aku, terlihat lebih manis, ya? Cara dia ngomong selamat pagi ke aku sama ke Mbak Carol itu beda! Lagian, Mbak Carol sama Teh Farah kan sama-sama udah taken, jadi sensor yang bikin jantung berdegup-degup udah non-aktif.
"Ya gue kan, cuma berusaha buat dapetin mantu idaman buat mami!" belaku. "Lagian, Mas Agam kan single, jadi bebas dong!"
"Dia nggak pernah cerita soal pacarnya bukan berarti single dong! Menurut lo, cowok sekece Agam nggak ada yang mau?" tutur Mbak Carol.
"Siapa bilang Mas Agam nggak ada yang mau?" Aku mengusap ujung bibirku dengan tisu. "Ini buktinya, ada juga cewek kece yang naksir dia." Aku menunjuk diriku sendiri, lalu beranjak dari kursi, berjalan ke kasir untuk membayar makan siangku. Sebelum kembali ke kantor, aku beli satu cup jus buah naga dulu, kesukaan Mas Agam. Karena siang ini, dia harus keluar ketemu klien.
"Ih, dasar ini anak perawan main kabur aja," dumel Mbak Carol.
"Emang situ udah nggak perawan? Pacaran lima tahun masih rapet aja. Makanya, minta dihalalin secepatnya!" ejekku.
"Astaga ngomongnya! Ya masih rapet, lah! Gue gini-gini juga nggak akan kasih doorprize utama ke cowok yang belum jadi suami gue!" Mbak Carol menjitak kepalaku.
Kami bertiga pun kembali ke kantor yang ada di lantai lima. Kantor pusat Penerbit Lentera Pustaka memiliki total delapan lantai. Dengan lantai satu digunakan sebagai toko buku dan kafetaria. Lalu di lantai dua ada museum kecil yang berisi karya-karya Lentera Pustaka dari awal pertama kali berdiri sampai sekarang dan berbagai ruang administrasi. Untuk ruang Divisi Editing berada di lantai lima bersama ruang Divisi Kreasi dan Inovasi.
Dengan senyum semringah, aku menuju kubikel Mas Agam dan memberikan jus buah naga untuknya. "Mumpung dingin Mas, jangan lupa diminum."
Mas Agam, mendongak dan memamerkan senyuman manisnya. "Makasih, Kel. Tanpa gula, 'kan?"
Aku mengedipkan sebelah mataku. "Pastilah. Udah hafal di luar kepala."
"Ati-ati Mas, itu ada peletnya! Nanti kalau sampai rumah kliyengan kepikiran Kelsy, langsung rukiyah ya, Mas!" seru Mbak Carol.
Mas Agam hanya terkekeh. "Tenang, gue punya jimat rahasia."
Aku cemberut mendengar percakapan Mas Agam dengan Mbak Carol. Secara nggak langsung, Mas Agam udah nolak aku, kan? Tapi nggak apalah, selama belum ada janur kuning melengkung atau sekalian aja sebelum bendera kuning berkibar, aku bakal berjuang buat Mas Agam. Aku lalu kembali ke kubikel sendiri, membuka naskah yang perlu kuperbaiki. Melihat deretan huruf di layar komputer membuat kepalaku seketika pening.
Enaknya jadi editor itu bisa baca novel bagus gratis. Tapi, kalau pas lagi proses edit novel yang nggak selera atau ya, begitulah, di bawah rata-rata, mata jadi pedes, ngantuk nggak semangat. Kalau nggak inget itu bakal jadi duit, jari nggak akan gerak sendiri di atas keyboard. Belum lagi kalau menghadapi klien yang agak rewel. Aduh, lengkap sudah penderitaan. Klien yang paling nyebelin itu yang nggak mau diatur, nggak mau dikasih saran, nggak kirim naskah revisi tepat waktu terus ngremehin editor. Sumpah, itu bikin aku sebel setengah mati.
Aku jadi keinget Om Ezra, ngebayangin gimana attitude dia pas nanti jadi klien, sekaligus jadi bos secara bersamaan? Bakal songong nggak, ya? Bakal banyak suruh nggak, ya? Terus, yang paling bikin aku penasaran, pengin tahu gimana awal si om ganteng itu bikin tulisan? Bisa kan nanti aku tanya-tanya? Bisalah! Kan aku editornya! Ah, kok aku malah nggak sabar pengin cepet-cepet ketemu Om Ezra, sih?
"Guys! Cek grup woy!" seru Bang Rozak tiba-tiba memecah ketenangan suasana kantor. "Ezra Wisnu jadi pengganti Pak Arnold! Gila!"
"Eh, iya! Gila, gila!" kata Mika. "Besok doi mau ke sini, dong! Astaga! Kok bisa sih seorang Ezra Wisnu jadi pengganti Pak Arnold?"
Mendadak suasana jadi riuh. Aku pun ikut membuka grup kantor. Ternyata Pak Arnold menghimbau para pegawainya agar tidak terlambat besok, karena Om Ezra bakal datang. Terus, bosku itu juga bilang kalau si om bakal jadi penggantinya sebagai Ketua Editor. Pantas aja pada ribut.
"Kok lo nggak kaget, sih?" Mbak Carol melongok ke kubikelku.
"Udah tahu. Tadi Pak Arnold bilang ke gue, sekalian ngasih naskah Om Ezra buat diedit."
Mata Mbak Carol melotot. "Si Ezra jadi klien lo?" Aku mengangguk. "Woy, parah, nih! Guys, ternyata si Kelsy megang naskah Ezra! Dia mau nerbitin buku di sini!"
"Gimana ceritanya dia jadi ketua editor terus naskahnya dieditin orang?" celetuk Miska.
"Eh, itu Pak Arnold kayaknya segan banget sama Ezra, sampai nyuruh kita pakai baju rapi. Emangnya selama ini baju kita kurang rapi apa?" dumal Bang Rozak.
"Dandan cantik jangan lupa yang kawan-kawan. Mis, pakai lipstik sama blush on! Biar muka lo nggak kelihatan kayak adonan kue, lempeng, pucet, berminyak!" tukasku.
"In, itu adek lo, besok jangan sampai pakai macem-macem. Perintahnya disuruh pakai baju rapi, nanti si Kelsy bajunya kayak mau pawai tujuh belasan! Rame bener!"
Satu ruangan tergelak. Tak terkecuali Mas Agam. Aku sebel sama mereka semua, tapi nggak ke Mas Agam. Dia kalau ketawa, cakep banget. Matanya langsung ilang! Jadi pengin nyulik ke semak-semak, mumpung si doi nggak sadar.
Dasar mereka nggak punya jiwa fashion. Fashion itu nggak cuma soal pas atau nggak dilihat orang. Tapi, bagaimana orang itu bisa sejiwa dengan pakaiannya. Bisa memahami seni dan filosofi si perancang busananya. Lihat tuh, G-Dragon, pakai kemeja Thom Browne dipadukan celana kolor Adidas, sepatunya Converse dicoret-coret spidol, terus tasnya Chanel, dilumuri cat kuku. Tetep fashionista. Asalkan jiwanya menyatu, nggak ada masalah. Fashionista itu bukan soal harga dan bentuk barangnya, tapi soal gimana kita bisa menghargai seninya. Walaupun isi dompet nggak seratus persen mempengaruhi kualitas selera fashion orang, ya tapi kalau gajinya pas UMR, tetep aja susah buat nurutin selera mode daily wear jadi Burberry, paling mentoknya beli aksesoris di Bucherry.
TBC
***
Oke.. Gimana? Udah gregetan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top