18 | KFC For the Win
Salah satu kekhawatiran menjalin hubungan dengan seorang duda adalah takut tidak direstui oleh orangtua. Iya, itu juga yang aku rasakan, sebelum tanya sama mami beberapa hari lalu, setelah tiga bulan jalan sama doi. Bulan depan, tepat tanggal dua puluh dua, hubunganku dengan si om berumur empat bulan. Aku aja nggak menyangka, proses nekad dan bucinku akan berhasil dan bertahan selama ini.
"Mi, Mami tahu umur Mas Ezra berapa nggak?"
"Tiga puluhan pasti. Orang jadi atasanmu," jawabnya singkat, matanya masih terpaku dengan acara berita di televisi.
"Sepuluh tahun lebih tua dari aku."
Mami melirik lalu menarik napas. "Nggak kelihatan, mukamu boros apa gimana, Kak?"
"Ya, nggak lah! Dianya aja yang kegantengan!" sungutku.
"Mami nggak masalah berapa pun umur pacarmu, yang penting, kamu nyaman nggak? Dia baik ke kamu nggak?" tanya mami. "Lagian Ezra juga sopan, ramah sama orangtua kamu kalau ke sini."
"Jadi, Mami setuju Kelsy sama Mas Ezra?" Mamiku mengangguk. "Ehm, kalau Mas Ezra duda, Mami masih setuju?"
Kali ini mami benar-benar menatapku. "Pacarmu itu duda? Cerai kenapa?"
"Bukan karena selingkuh sama KDRT kok, Mi," jawabku menenangkannya.
"Yakin?" Aku mengangguk.
"Ya udah, kalau gitu. Asal dia nggak ada masalah berkelanjutan sama mantan istrinya yang bisa bikin hubungan kalian repot, Mami oke-oke aja," kata mami bijak. "Tapi, nggak tahu sih, papi gimana." Dia mengedikkan bahu membuatku menghela napas. Besoknya, aku langsung cerita hal ini sama papi, dan untung saja papiku juga tidak mempermasalahkan status si om.
"Band Sita tampil nomor berapa?"
Aku menoleh ke Mas Ezra yang berjalan di sisiku. "Nomor lima, Mas. Ayo, buruan!"
Sore ini, aku sama si om lagi kencan buat nonton band Sita lomba di mall. Adikku tampil urutan ke lima. Sedangkan kata dia, sekarang udah urutan dua. Aku mempercepat langkah kakiku, karena tidak ingin ketinggalan melihat aksi adikku. Sesampainya di depan panggung, aku menarik napas dalam-dalam, terengah-engah. Karena sudah ramai, aku tidak bisa merapat ke panggung. Aku dan si om harus menunggu sekitar dua puluh menit sampai Sita dan band-nya naik ke panggung.
"Ah! Sitanya nggak kelihatan," keluhku sambil mengarahkan ponsel untuk merekam penampilan Sita. "Mana duduknya di belakang lagi, ketutupan drum."
Tiba-tiba Mas Ezra menggenggam tanganku dan menarikku menuju sisi panggung, yang membuat aku bisa melihat Sita lebih jelas. Lalu ia mengeluarkan ponselnya, dan merekam aksi Sita. Aku pun memilih menyimpan kembali ponselku setelah mengambil beberapa foto.
"Ayo, Sita! Semangat!" teriakku.
"Jangan teriak, nanti videonya berisik," tukas Mas Ezra tanpa menoleh.
Aku memberengut, lalu bergelayut di lengannya, sambil berjinjit untuk melihat video yang ia ambil. Tentu saja sudut pandangnya lebih bagus dariku, karena tinggi badan si om dan aku memiliki selisih sekitar lima belas senti.
"Rekam vokalis mah gampang yak, kalau video-in drummer harus dari pinggir-pinggir begini," dumelku.
Setelah menyanyikan dua lagu, Sita dan band-nya turun. Aku dan Mas Ezra cepat-cepat menghampirinya di belakang panggung.
"Keren juga lo ternyata, kalau lagi perform begitu," pujiku.
"Ya telat, masa baru tahu gimana kerennya gue kalau lagi nge-drum. Makasih ya udah dateng, Mbak." Sita melirik ke arah Mas Ezra, "sama Mas Ezra pula datengnya."
"Makan bareng yuk, sama temen-temen lo diajak juga bisa, iya 'kan, Mas?" Aku meremas tangannya.
"Boleh."
"Nggak bisa, Mbak. Kita udah janjian mau makan bareng." Sita menunjuk anggota band dan teman-temannya. Kira-kira ada sepuluh orang.
"Oh, ya udah, deh. Kalau gitu gue cabut dulu."
"Kalian mau ke mana?"
Aku mendongak, mataku dan Mas Ezra saling bertatapan. "Mau belanja kebutuhan rumah tangga," jawabku sambil mengedipkan mata.
Aku dan si om lalu melenggang pergi, tak memperdulikan kerutan di kening Sita. Kami langsung menuju ke bagian bahan-bahan masakan. Mas Ezra berjalan di belakangku sambil mendorong troli. Aku memasukkan tepung, telur, cokelat, kacang almond, dan bahan-bahan buat kue lainnya, untuk arisan mami hari Senin besok.
"Mas, pengin beli sesuatu?" tanyaku saat memasuki bagian buah dan sayur mayur.
"Besok, kamu free?"
Aku berbalik dengan buah apel di tanganku. "Free, kok. Kenapa?"
"Ke apartemen, bisa?" tanyanya sambil menatapku. "Aku pengin ayam teriyaki buatanmu."
Aku mendongak sambil mengerucutkan bibir. "Kenapa ayam terus sih Mas makannya? Kalau Mas jadi bertelur gimana?" Selera makan Om Ezra ini mentok di ayam, kayak si Ipin aja.
Bukannya menjawab, doi malah mencuri kecupan di bibirku, yang tentu saja membuatku kaget setengah mati. Aku langsung mengedarkan pandangan, berharap nggak ada yang lihat adegan barusan. Kalau ada tetangga atau saudara yang melaporkan ini ke mami sama papi, tamat udah.
"Mas!" Aku mencubit perutnya. "Ini tempat umum!"
"Aku kira kamu minta dicium," jawabnya tanpa rasa bersalah. "Jadi, kamu nggak mau masakin aku ayam?"
Aku menggigit bibir bawahku, agar aku tidak berteriak. Oke, baiklah. Di pikiran Mas Ezra cuma ada makanan sama ciuman sepertinya, yang lainnya sekadar numpang lewat aja.
"Gimana kalau masak udang? Tadi, aku lihat udangnya gede-gede."
Matanya menyipit, menoleh ke kanan-kiri, mungkin lagi cari udang? Sebelum bersuara, "ya udah."
"Mau udang apa? Udang saus padang, saus tiram, asam manis, atau-"
"Saus teriyaki, bisa, 'kan?" potong Mas Ezra.
Okelah, kasihan doi. Kayaknya lagi ngidam banget sama teriyaki. "Bisa. Ayo, cari udangnya." Kami pun langsung menuju bagian seafood, untuk memilih udang segar. Lalu, aku melanjutkan berburu bumbu-bumbu dan beberapa bahan makanan lain untuk menu makan siang besok bareng si om.
"Mas? Bumbu di apartemen masih ada?"
"Ada kayaknya. Aku nggak pernah pakai," jawabnya kurang yakin. "Beli semua ajalah, aku nggak inget."
"Mas nggak pernah masak?"
"Telur, air, mi. Apalagi, ya?" Dia tampak berpikir. "Angetin sayur dari mama."
Astaga, kitchen island selengkap dan semewah itu dianggurin aja? Rasanya, aku pengin cepet-cepet jadi istri Mas Ezra, biar bisa pakai dapurnya. Mulia banget deh, tujuan hidupku yang satu ini.
"Kita bikin sushi juga, ya?" tawarku.
Tentu saja dia mengangguk. "Terserah kamu." Si om melirik jam Rolex yang melingkar di tangan kirinya. "Habis belanja, makan dulu sebelum balik."
"Udah kok, tinggal bayar aja," jawabku.
Lima belas menit kemudian, aku udah bayar dan barang belanjaanku udah masuk ke dalam kantong plastik. Karena belanjanya terlalu banyak, terpaksa deh, pakai troli sambil cari-cari menu buat makan malam.
"Eh, eh, Mas! Mau ke mana?" pekikku saat dia berjalan menuju ke gerai makanan cepat saji.
Dia menoleh, "aku mau makan KFC. Besok kan nggak jadi makan ayam."
Ya Tuhan! Lucu banget, sih? Dia sepengin itukah makan ayam? Aku males makan KFC, mataku terus melirik ke gerai sop iha di sebelahnya.
"Kalau kamu nggak mau makan KFC, nanti aku take away terus makan di resto yang kamu pilih," tuturnya.
Ribet pasti. Kalau ternyata nggak boleh bawa makanan dari luar gimana? "Ya udah deh, nggak apa-apa makan KFC."
Mas Ezra kembali berjalan sambil mendorong troli. Aku mengikutinya dari belakang. Cepet banget sih jalannya? Toh, ayamnya juga nggak bakalan lari kok. Aku mempercepat langkah untuk mengejar doi, lalu menggenggam baju bagian punggungnya.
"Kelsy?"
Langkahku terhenti otomatis, lalu menoleh dan mendapati Teh Farah, sama mas tunangannya. "Teh Farah!" panggilku tersenyum lebar.
Perempuan itu berjalan menghampiriku. Pandangannya beralih ke Mas Ezra yang ikut berhenti. "Malem, Pak Ezra," sapa Teh Farah. Aku pengin ketawa, si teteh kelihatan gugup dan bingung banget.
"Malam Farah," balas si om.
"Teh Farah shopping mulu nih kerjaannya," godaku.
"Gue mah jalan-jalan aja. Lo sendiri?" Matanya beberapa kali melirik Mas Ezra.
Aduh, pasti itu mulutnya gatal mau tanya-tanya. Aku usir si om dulu, biar Teh Farah nggak canggung begini. "Mas ke KFC dulu aja. Aku ayam krispi nasi, sama mango float. Trolinya biar aku aja yang bawa, nanti Mas susah."
"Oke," jawab Mas Ezra singkat.
Teh Farah mencubit lenganku setelah mas pacar berjarak cukup jauh. "Teh! Sakit!" ringisku.
"Gimana ceritanya, lo bisa jalan sama Pak Ezra?" tanyanya heboh.
Aku mendecakkan lidah, lalus bersedekap. "Ya nge-date lah, Teh."
"Udah berapa lama woy? Diem-diem bae lo!"
"Gue udah bilang, ya. Pak Ezra kasih oleh-oleh sekarung, gue juga udah bilang mau malem mingguan sama Pak Ezra pas kemarin. Tapi kan kalian nggak pada percaya," dengkusku.
"Astaga! Beneran ternyata! Jadi, lo suka bolak-balik ke kantor Pak Ezra modus doang nih, sebenernya nggak dipanggil," tuduh Teh Farah.
Aku meringis. "Ya kan ambil kesempatan, Teh."
Teh Farah tertawa kecil. "Udah official berarti, ya? Bukan PDKT lagi."
"Udah, dong! Tiga bulan, nih!" sombongku.
Raut wajah Teh Farah tiba-tiba berubah. Dia mendekatkan wajahku ke telingaku. "Eh, iya ding, pasti udah resmi. Orang tadi aku lihat udah ciuman segala."
Wajahku seketika memerah. "Itu bukan ciuman Mbak! Cuma tempel bibir. Mas Ezra aja yang rese itu! Main nyosor aja!"
"Ternyata anak kecil udah tahu begituan!" pekik Teh Farah tak percaya.
Ya, gimana lagi, aku kan pacarannya sama om-om, pasti cepat atau lambat diriku bakal ternodai.
"Teh, jangan kasih tahu ke Mbak Carol atau anak kantor lain, ya?"
"Kenapa?" Kening Teh Farah mengernyit.
"Biarin! Biar mereka pada kaget pas gue bagi undangan nanti," tukasku. "Salah sendiri kemarin pada nggak percaya sama gue."
"Ya udah deh, gue doain aja biar lo sama Pak Ezra langgeng sampai pelaminan," kata Teh Farah. "Usaha lo selama ini nggak sia-sia ternyata, Kel."
Aku menepuk dada, membanggakan diri. Selesai berbincang singkat dengan Teh Farah, aku langsung menyusul si om. Dia udah duduk dengan makanan di atas meja.
"Kok belum makan?"
"Nunggu kamu," jawab Mas Erza lalu meneguk es colanya sebelum melahap ayam krispi KFC.
Aku mengikuti langkahnya, mengambil sepotong ayam dan memakannya dengan nikmat. Udah lama banget aku nggak makan junk food begini, setelah tahu makanan Indonesia itu lebih lezat dengan bumbu-bumbunya yang nggak bisa bikin move on. Ponsel Mas Ezra yang berdering di atas meja menarik fokusku.
"Nggak diangkat?"
"Males, lagi makan."
Aku mengintip nama si pemanggil. "Elmira, itu kan adikmu!"
"Ya makanya aku tahu, paling dia mau minta duit," jawabnya enteng.
"Angkatlah Mas, siapa tahu ada yang penting," nasihatku.
Mas Ezra pun mengangkat ponselnya. Tidak sampai lima menit, panggilannya sudah selesai. "Bener kan," gumamnya.
Aku terkikik. "Ya kan kakaknya tajir, buat apa coba duit Mas kalau nggak dikasih ke adiknya." Padahal aku juga sama, kalau dimintain duit sama Sita
Layar ponsel Mas Ezra menampilkan aplikasi Whats App. Mataku menyipit saat melihat ada kontak nama yang janggal. KFC? Siapa itu KFC? Emang KFC punya layanan chat WA? Jangan-jangan itu nama kontak selingkuhannya? Tanpa izin aku mencomot ponsel si om, membuat lelaki itu tersentak.
"KFC? Siapa ini Mas?" Belum sempat menjawab, aku sudah membuka isi pesan kontak asing itu. Mataku semakin mengerut saat membaca isi percakapan mereka. Kok kayak kenal?
KFC
Nanti Mas jemput aku jamber?
Oke deh. Eh, Sita tampil sekitar jam 5. Jangan mepet Mas
Bukannya ini aku, ya? Bener, kan? Aku terus menggulir isi pesan sampai ke bawah, dan si nama KFC ini memang aku. Maksudnya apa, sih? Kok nama kontakku diganti jadi KFC?
"Kenapa namaku di hape Mas jadi KFC?"
"Kamu sendiri yang minta ganti."
Aku menggeram. "Ya, tapi kan pakai sesuatu yang berarti, bukan nama makanan siap saji juga!"
"KFC itu Kelsyana Fairuz Chairani. Terus, aku juga suka KFC, jadi ya, spesial, 'kan?"
Ya Tuhan! Ya Gusti! Definisi spesial buat si om itu nggak pernah jauh dari ayam dan karena singkatan namaku sama nama resto ayam kesukaan dia, jadi dipakai. Oh aku tahu, pasti di otak dia, si om nganggap kasih nama begini buat aku itu romantis.
"Tapi kenapa KFC banget?" keluhku. "Ini Mas bukan mau nyembunyiin kontakku karena punya pacar lain, 'kan?" Pikiranku jadi ke mana-mana.
"Nggak ada waktu buat pacaran sama dua orang."
"Jadi, Mas lebih suka KFC yang mana? Ayam apa aku, coba?" Aku mulai merajuk. Soalnya apapun filosofinya, kasih nama KFC buat kontak pacar itu konyol.
"Harus banget milih?" Satu alisnya terangkat.
"Nggak bisa milih?" sindirku.
"Kamu, deh. KFC yang ini nggak bisa bikin ayam teriyaki." Mataku melotot. Walaupun pilih aku, tidak dengan alasan romantis. Makanan terus yang dipikirin.
"Pilih kamu karena KFC yang ini nggak bisa dipeluk sama dicium juga," imbuh si om sambil mengacungkan paha ayam di mukaku.
Kali ini aku tersipu, keren juga nih gombalannya. "Okelah, tapi ditambah emot love dong, biar so sweet," cebikku pura-pura cemberut.
TBC
***
DISCLAIMER: JANGAN BELI KFC YAAA. Kita lanjutkan boycotnya. Ini udah aku tulis lamaaa dan kalo diubah bingung cari singkatannya😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top