17 | How to be Kelsy's Boyfriend

Langit biru, udara cukup sejuk. Jalanan pun nggak terlalu macet. Rasanya hari ini cukup menyenangkan, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang aku rasakan. Memandang pantulan diriku sekali lagi di pintu kaca sebelum masuk kantor, aku tersenyum cerah. Meskipun ini sudah masuk musim hujan, aku memilih pakai flowy dress warna peach selutut yang kupadukan dengan jaket denim, dan pakai bando kuping kucing yang baru kubeli. Kalau ingat sikap manis yang Mas Ezra lakukan padaku, kayaknya senyum di bibir ini nggak bakal luntur.

Aroma kopi dan almond menyeruak di saat aku memasuki ruang kantor. "Good morning good people!"

"Glowing banget nih auranya," komentar Miska.

"Neng, ini udah musim gugur memasuki musim hujan mendung, outfit lo nggak matching banget, deh," cibir Mbak Carol.

"Anggap aja gue sepucuk mawar mekar yang mewarnai hari kelabu lo," timpalku tersenyum lebar.

Hari ini tidak akan hancur hanya karena ledekan Mbak Carol ataupun Bang Rozak. Eh, ngomong-ngomong di mana abangku yang satu itu, ya? Tak lama kemudian, lelaki itu muncul dari pantry dengan secangkir kopi di tangannya.

"Eh, kok ada siluman kucing garong di sini?" celetuknya sambil terkekeh.

"Harus kucing garong banget, Bang? Padahal udah cantik begini."

Bang Rozak menyengir. "Kucing garong dari kayangan."

"Serius deh Mbak, lo berseri-seri banget. Iya kan, Teh?" ujar Miska.

Teh Farah mengangguk setuju. "Dapet gebetan baru atau progres sama si bos meningkat?"

Aku terkikik, aduh pipiku kayaknya memerah deh. "Tunggu kabar bahagianya aja, ya."

"Jadi, lo sama Pak Ezra udah official?" Mas Agam memandangku dari kursinya.

"Itu---"

"Kalau Kelsy official sama Pak Ezra, pasti dia udah bikin tumpengan, gelar syukuran tujuh hari tujuh malem. Lha ini, diem-diem bae," seloroh Mbak Carol.

"Kalau patah hati, jangan sampai berlarut-larut aja nanti," nasihat Mas Agam. "Suatu hari, lo pasti bakal ketemu cowok yang bener-bener menghargai dan mencintai lo Kelsy."

Aduh, so heartwarming. Aku tahu, Mas Agam sebenarnya sedikit merasa tak enak padaku, karena sudah menolakku. Dia selalu manis, sikapnya nggak berubah. Aku pengin Mas Agam berhenti merasa bersalah. Jadi, aku sedikit bingung, haruskah aku kasih tahu dia kalau aku dan si om udah pacaran?

Perhatianku teralihkan ke Mas Aryo yang berjalan terburu-buru masuk ke ruangan Pak Ezra. Eh? Kenapa ini? Tak berapa lama, lelaki itu keluar sama bawa tas punggung. Ia lalu berdiri di samping mejanya. Kalau dilihat-lihat, Mas Aryo kayak mau pergi ke suatu tempat, ya? Jangan-jangan si om mau pergi?

"Mau ke mana, Mas?"

Mas Aryo menyengir. "Ehh, anu, ke Surabaya."

Mataku seketika melebar. "Berapa hari?"

Belum sempat Mas Aryo menjawab, si om keluar dari ruangannya. Dia cuma menatapku dan staf-stafnya sekilas sebelum melenggang pergi. Tetapi, tepat di depan pintu, aku memanggil namanya, membuat langkah Pak Ezra terhenti.

"Mau ke mana, Pak?"

"Surabaya."

"Berapa hari?"

"Tiga atau empat hari," jawabnya datar.

Aku menatapnya tidak percaya. Mas Ezra mau pergi tiga hari ke Surabaya, dan dia nggak kasih kabar aku? Aku ngomong kemarin, sampai mulutku berbuih, apa nggak ada efek buat dia?

"Maaf, saya harus pergi sekarang. Mau ngejar pesawat," tukasnya lagi terkesan buru-buru. Tapi, aku bisa melihat ada kilatan emosi di matanya. Dia merasa bersalah? Baguslah.

Seperginya si om, aku berdiam diri di kubikelku. Jujur aku marah. Hubunganku sama dia, kayak nggak ada progres. Rasanya cuma aku di sini yang bekerja keras. Padahal udah dua bulan. Karena tak tahan lagi, aku ke toilet. Sampai di sana, aku langsung menghubungi Mas Ezra. Panggilanku, langsung diangkat di nada dering pertama.

"Ha---"

"Kenapa nggak ngomong?" potongku cepat.

"Maaf, aku lupa."

Napasku memburu. "Lupa? Mas pergi sampai empat hari, tapi lupa kasih kabar aku? Omonganku selama ini didenger nggak sih, Mas? Sebenernya Mas anggap aku pacar nggak, sih?"

"Kel---"

"Terserah, lah! Aku capek, Mas!"

Sambungan langsung kuputus, aku lagi nggak mood buat denger alasan dia. Jadi pacar Mas Ezra ini, harus punya tenaga ekstra. Soalnya harus jadi lebih sabar, lebih pengertian, lebih cerewet buat kasih tahu dia apa aja yang kita penginin. Dia nggak ada inisiatif buat lakuin hal-hal romantis. Mas Ezra juga punya kepekaan yang super rendah, bikin dia nggak akan paham kode-kode yang kulempar.

Sebenarnya, sejak aku main ke apartemen si om, dia udah lebih mendingan. Selama seminggu, dia udah chat aku duluan tiga kali lah, nanyain aku lagi apa. Dia juga udah ada inisiatif ngajak aku jalan. Tapi udah, sekedar itu. Tetapi, kalau nggak pekanya kumat, selama seminggu pun dia nggak akan chat aku. Kalau kayak gini terus, aku bisa darah tinggi, pacaran sama doi bukannya bikin bahagia, malah jadi stres. Aku harus cari cara buat ngatasin masalah ini, karena sejengkel apapun aku sama Mas Ezra, aku udah terlanjur cinta dengan lelaki itu.

***

Normalnya, kalau dapat telepon marah-marah dari pacar, orang itu bakal panik dan hubungin balik pacarnya buat kasih penjelasan. Orang normal kebanyakan begitu. Tapi, tentu saja tidak buat Mas Ezra. Bahkan, sampai pukul setengah empat sore, aku belum dapet telepon atau pun pesan dari dia. Aku juga nggak banyak berharap, udah pasrah. Nggak pekanya si om, kayaknya emang bawaan dari lahir.

Kepalaku udah cukup nyut-nyutan harus baca sinopsis naskah dari para peserta lomba menulis novel thriller dan fantasi yang sudah berjalan dua minggu ini. Ada tujuh puluh dua naskah yang sudah masuk ke email. Bayangkan aja, kalau nanti sebulan, jumlahnya kemungkinan akan meningkat dua kali lipat. Dari jumlah sebanyak itu, editor harus memilih lima novel thriller dan lima novel ber-genre fantasi. Novel yang lolos, akan diterbitkan oleh pihak Lentera Pustaka.

"Mbak, gue lagi nggak mood banget ini, jadi males baca," keluhku.

"Kalau ditunda-tunda, lo yang repot sendiri," tukas Mbak Carol.

"Semangat ya, para editor, gue pulang dulu," pamit Teh Farah, melambaikan tangan.

"Ih, Teh! Bantuin lah, mata gue sepet," rajukku.

"Kirim e-mail aja, ya. Nanti malem gue baca-baca."

Aku mengacungkan jempol padanya. "Siap!" Aku menoleh ke arah Mbak Carol. "Mbak, gue balik dulu ah, mau lanjutin di rumah aja." Aku pun mematikan komputer dan membersihkan meja. Namun, kegiatanku terhenti karena ponselku yang berdering.

Mas Pacar Memanggil . . . .

Ini nggak salah lihat, 'kan? Aku pilih buat mengabaikan telepon si om. Mau aku tes, dia bakal panggil lagi nggak. Kalau habis ini dia masih nelepon lagi, baru deh aku angkat. Panggilan pertama berhenti. Satu detik, dua detik, dan ponselku kembali berbunyi. Ada usaha juga ternyata ini laki. Karena nggak tega, akhirnya telepon si om ku angkat juga.

"Tumben nelepon?" kataku sebelum Mas Ezra sempet ngomong.

"Kamu marah?"

Aku memutar matanya. "Menurut, Mas?"

"Ternyata bener kata Aryo, kamu marah."

Serius? Bahkan dia harus dikasih tahu Mas Aryo dulu baru sadar kalau aku marah? Hebat banget! "Mas nelepon aku karena disuruh Mas Aryo?" sindirku sambil berjalan keluar ruangan.

Terdengar suara helaan napas. "Aku baru tahu kalau harus ke Surabaya tiga hari lalu. Agendanya padat banget dan banyak yang harus disiapin. Aku juga harus wakilin Pak Hendri rapat. Karena terlalu fokus ngurusin persiapan ke Surabaya, aku jadi lupa kasih kabar kamu," jelasnya tanpa kuminta. "Tiga hari lagi pun aku udah pulang."

"Mas mau pergi sebulan pun aku nggak masalah," tukasku. "Asalkan kasih kabar, lagian kita juga nggak hidup di zaman batu. Semuanya serba gampang, bisa teleponan, video call-an, bahkan aku bisa susulin Mas. Bukan masalah berapa harinya."

"Iya, aku tahu," timpalnya. "Aku minta maaf. Aku bukannya nggak anggap kamu. Aku beneran lupa."

"Kali ini kumaafin."

"Jangan marah, ya? Aku usahain pulang cepet."

"Iya. Nanti malem jangan lupa telepon lagi," kataku. "Ini aku mau pulang, kututup dulu."

"Oke."

Aku menggiggit bibir, untuk menahan agar senyumanku tak terbit. Mas Ezra terdengar bersalah banget, sih. Ya ampun, bikin amarahku seharian ini langsung lari menghilang. Aku sebucin itu memang sama si om, ku akui. Denger suara dia yang memohon-mohon biar aku nggak marah, sudah cukup membuatku kembali tergila-gila sama mas pacar.

***

Selama dua hari ini, aku berpikir apa yang harus kulakukan, biar Mas Ezra bisa berubah. Setelah melalui perdebatan dengan diri sendiri yang cukup alot, akhirnya aku memutuskan untuk membuat daftar hal apa saja yang harus dilakukan si om sebagai pacarnya Kelsy. Hari ini, daftar itu kubawa ke kantor, kutaruh di dalam map. Untuk jaga-jaga aja, sih.

How to Be Kelsy's Boyfriend

1. Jangan lupa kasih kabar kalau mau ke luar kota atau luar negeri.

2. Ajakin Kelsy nge-date kalau nggak sibuk.

3. Jangan malu buat chat duluan.

4. Kontak nama Kelsy di hape ganti biar kelihatan so sweet.

5. Kalau pergi bareng, tangan Kelsy digandeng.

Mataku meneliti satu per satu aturan yang kutulis di daftar. Setelah yakin kalau tidak ada yang salah aku menyimpan mapku ke laci. Total ada lima belas aturan yang aku tulis. Semoga daftar ini nggak bikin si om tersinggung. Aku malah berharap Mas Ezra bikin gantian buat daftar begini juga, biar aku tahu apa aja yang diinginkan dia selama pacaran.

Pukul 13.25 WIB, hari Kamis, terhitung tiga hari sejak si om dinas ke Surabaya, tanpa kuduga dia masuk ke kantor bareng Mas Aryo. Sepertinya mereka langsung dari bandara ke kantor. Kok tumben langsung ke sini? Kan bisa berangkatnya besok. Mas Ezra pun nggak say hi dulu, langsung nyelonong ke ruangannya.

"Mas," panggilku. Mas Aryo menoleh. "Dari bandara?"

Lelaki itu mengangguk. "Iya."

"Kenapa? Kan bisa besok aja ke kantornya."

Dia menoleh melihat sekitar, lalu mendekat, ia berkata dengan setengah berbisik, "kata Pak Ezra, barangkali lo mau ngomong sama dia, begitu."

Aku melotot. "Maksudnya gimana? Kalau gitu kenapa dia nggak chat gue dulu? Tadi langsung nyelonong gitu aja, aneh."

Mas Aryo mengedikkan bahu. "Lo nggak mau nyamperin?"

Aku menghela napas. "Jadi dia bakal nunggu gue dateng terus ajak ngobrol? Kalau nggak ada yang mau gue omongin gimana?"

Mas Aryo menggaruk-garuk kepalanya. "Gue bingung, ah. Kalian itu pacaran gaya apa, sih? Aneh banget. Udah lo masuk aja, Kel. Sebenarnya ada yang pengin lo omongin, 'kan?"

Benar sih kata Mas Aryo. Tanpa banyak pikir, aku ambil map yang berisi daftar-daftat How to be Kelsy's Boyfriend, dan masuk ke dalam ruangan Mas Ezra. Doi pun nggak kelihatan kaget. Aku lalu duduk di hadapannya.

"Mau ngapain ke kantor?"

"Siapa tahu kamu mau ngomong."

"Kenapa nggak langsung chat atau panggil aku?"

"Nggak ada yang mau kuomongin sama kamu."

Super lempeng sekali ini laki. Sabar Kel, sabar. Aku lalu kasih map ke Mas Ezra, si om memberi tatapan bingung, sebelum membukanya. Bahkan doi nggak tanya apa itu, matanya terlihat fokus. Tidak ada sepuluh menit, si om meletakkan map ke meja kembali.

"Gimana?"

Mas Ezra mengangguk-angguk. "Oke."

"Oke aja?"

"Sebentar," kata Mas Ezra sambil memegang ponselnya, "mau ambil ketoprak dulu, di depan." Doi lalu bangkit dan keluar ruangan.

Ya ampun! Ini aku geregetan nunggu reaksi Mas Ezra, dia malah dengan santainya pesen ketoprak. Mataku nggak sengaja lihat layar ponsel si om yang masih menyala. Riwayat panggilan Whats App. Paling atas sendiri ada Gerald, lalu Mama, terus nomor tiga Kelsy Editor Lentera. Bahkan, nama kontakku di ponselnya sekaku itu. Dia bener-bener nggak punya seni pacaran apalagi jadi cowok romantis.

Tak lama, si om masuk ke ruangan sambil bawa kantong plastik. Dia lalu membuka sterofoam yang berisi ketoprak telur ceplok. Mas Ezra menyuapkan satu sendok penuh ketoprak ke mulutnya, dan tersenyum puas.

"Mau? Aku pesen porsi jumbo," tawarnya. "Enak kok."

Aku menarik napas panjang. "Nanti."

"Bisa bikin ketoprak?"

Belum pernah sih, tapi bahan-bahan ketoprak juga gampang, kayaknya tinggal bikin sambal kacang aja. "Bisa."

"Bagus." Mas Ezra pun melanjutkan makannya.

"Mas!"

Kepalanya mendongak. "Hm?"

"Mas udah paham sama daftar yang kubuat itu?"

"Udah."

"Serius udah?" tanyaku memastikan. "Berarti Mas mulai sekarang harus berubah pelan-pelan. Nggak ada bedanya pas masih jomlo sama pacaran sama, Mas."

"Iya," jawabnya dengan tampang muka datar.

"Masa tiga hari di Surabaya nggak ada yang mau diceritain ke aku? Aku kan pengin tahu apa aja yang Mas lakuin. Gimana hari-hari Mas di luar sana. Paling nggak kan begitu, komunikasi kalau sama pacar," dumelku. "Masa nomerku di hape Mas, tulisannya Kelsy Editor Lentera?"

Dia berkedip, keningnya berkerut. "Kamu mau ganti?"

"Ya iya, lah! Masa namanya kayak staf-staf Mas yang lain?" Aku berdecak kesal. "Kontak Mas aja udah ku ganti jadi Mas Pacar."

"Iya, nanti kuganti."

"Digantinya jangan asal-asalan, pakai nama panggilan atau singkatan spesial gitu. Biar romantis dikit."

Mas Ezra mengangguk. "Aku mikir dulu."

"Janji?" Aku memberi tatapan tajam. Doi berdeham sambil mengangguk. "Kalau Mas keberatan sama sikapku, Mas juga bisa bikin daftar begitu."

Dia diam sebentar, tampak berpikir. "Nggak perlu."

"Yakin?"

"Iya."

"Kalau ada sesuatu yang Mas nggak suka dari aku, langsung ngomong lho," pintaku, si om mengangguk lagi. Aku bangkit bersiap untuk keluar. Mas Ezra meneguk air mineral, lalu ikut berdiri, dan menghampiriku.

"Kamu nggak mau ketopraknya?"

"Udah kenyang." Aku menggeleng. "Mas habis ini nggak ada agenda di kantor?"

"Nggak. Habis makan pulang."

Aku mendengkus. "Mas yakin banget, ada yang mau ku omongin, makanya mampir ke kantor dulu?"

"Takut kamu masih marah."

"Ya, kalau takut aku masih marah, harusnya Mas yang bujuk aku, lah! Masa nunggu aku datengin Mas?" omelku.

"Nggak yakin juga, kamu masih marah atau nggak."

Aku memutar bola mata. Gemes-gemes ngeselin! Aku memegangi kedua sisi bajunya, mendongak, menatap mata si om. "Mas Ezra peka dikit, dong ... sebenernya aku nggak mau bikin daftar kayak tadi. Kesannya aku jadi kayak pacar yang suka nuntut, manja, minta ini itu. Makanya aku mau Mas bikin daftar begitu juga, biar adil. Biar aku juga ngerti apa mau Mas. Soalnya aku takut, kalau aku nuntut terus, manja, cerewet nanti Mas kesel sama aku. Kalau Mas pelan-pelan berubah kan, aku bisa berhenti jadi manja, biar nggak bikin repot Mas."

"Kata siapa aku minta kamu berhenti manja?"

Aku mengerjap. Sekali, dua kali. "Maksud Mas?"

Senyum tipis terbit di bibirnya. Pandangan kami saling bertemu. "Aku nggak peka, bukan berarti aku nggak peduli. Aku butuh kamu manja, aku butuh kamu nuntut ini itu ke aku. Biar aku tahu, apa yang kamu mau, apa yang kamu suka, apa yang salah sama aku. Jadi, jangan berhenti manja."

Aku langsung menunduk, nggak bisa menyembunyikan cengiran lebar di wajah. Wah, nggak pernah jelasin apa-apa, sekalinya ngomong panjang sukses bikin anak gadis merona-rona. Aduh, aku nggak berani natap wajahnya, takut tambah jatuh cinta. Apalagi jarak aku sama Mas Ezra terlampau dekat.

"Ternyata bisa gombal juga," cicitku.

Dia malah tergelak, matanya menyipit. Suara tawanya terdengar renyah di telingaku. Udahlah, lemah aku, Mas, lihat ketawamu. Ganteng banget, ya Tuhan.

"Kenapa nggak dari dulu gombalinnya? Mana udah pacaran dua bulan nggak pernah foto bareng, nggak pernah diromantisin, nggak digandeng-gandeng kalau lagi jalan, dicium apa lagi," gumamku setengah menggerutu.

Aku kaget setengah mati, saat dia tiba-tiba membelai puncak kepalaku. "Maaf, ya," katanya pelan, yang membuatku menyesal karena terlalu blak-blakan. Pasti Mas Ezra merasa nggak enak aku protesin mulu, dan bisa jadi dia juga tersinggung.

Aku terlonjak kaget, tangan si om yang awalnya mengusap rambutku, kini menangkup wajahku. Jantungku berdebar dua kali lipat. Mataku membuka lebar, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Hal berikutnya yang terjadi adalah, wajah kami semakin dekat, lalu aku merasakan sesuatu yang lembut menempel di bibirku.

DEG! Nyawaku seakan melayang seketika. Lututku terasa lemas, membuat tubuhku terhuyung tak tentu arah. Namun, sebelum terjatuh, lengan kekar Mas Ezra melingkari pinggangku dan menahannya, bersamaan dengan bibir lelaki itu yang bergerak lembut dan memperdalam ciuman.

OH MY FREAKING LORD! HE KISSES ME!

TBC
***

Cegil ciuman rasa ketoprak🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top