16 | New Rules

Sebulan sudah aku resmi jadi pacar si om, dan nggak ada perbedaan apa-apa. Dia bahkan nggak pernah kirim chat ke aku buat tanya aku lagi ngapain. Pak Ezra cuma chat dua kali, yang pertama nanyain naskahnya, yang kedua kasih tahu kalau proposal lomba pencarian naskah thriller sudah disetujui. Malam minggu pun, dia nggak ngajakin aku keluar buat makan atau jalan-jalan. Aku terus yang sibuk tanya dia lagi apa, udah makan belum, mau ketemuan nggak. Berasa hopeless romantic tapi partner-nya tidak mendukung.

Sebenarnya aku berencana ngambek bohongan di kantor biar si om peka. Tapi, takut bukannya dia jadi sadar, malah aku yang makan ati. Jadilah aku pasrah aja. Nggak enak gitu, bukan aku banget. Karena jiwa bucinku yang udah level akut, aku tak tahan sebulan nggak diajakin kencan, rasanya kayak dianggurin. Aku bertekad, hari ini, apa pun yang terjadi, aku harus kencan sama si om.

Pukul empat sore, aku udah pamit dari kantor, terus nunggu si om di lobi. Tadi aku udah chat dia, bilang kalau nggak bawa mobil. Semoga dia peka, awas aja udah dikasih kode sekenceng ini masih nggak ngerti. Lima belas menit kemudian, Pak Ezra pun muncul sendiri karena Mas Aryo hari ini nggak masuk. Dan, si doi cuma nyelonong, lempeng aja nggak noleh ke aku sama sekali.

Oh God! Hello? Mas, apa aku hanya patung bagimu? Aku mendengkus keras. Aku menghentakkan kaki jengkel. Ya Allah, pacaran cuma makan ati aja, ya?

Terus, tiba-tiba si om berhenti, dia noleh. Masih dengan wajah datarnya dia buka mulut, "kenapa masih di situ? Ayo, cepet."

"Buru-buru banget!" komentarku, masih dengan cemberut.

"Ada kerjaan di rumah."

"Kerjaan? Jadi, kita nggak bisa pacaran hari ini?" keluhku. I know, I know, I am being clingy and annoying. "Tapi, kita belum kencan selama sebulan, Mas."

Dia menghentikan langkahnya, lalu menatapku lekat. Jujur, aku takut dia marah karena nggak ngertiin jadwal dia.

"Udah sebulan, ya?" gumamnya seperti tak yakin. "Kalau kamu mau, makan di rumah saya aja."

Aku melotot, terlalu kaget. Padahal aku ngitungin tiap harinya, udah berapa lama kami pacaran. Aku inget semua tanggal-tanggal penting, inget kapan pertama kali kencan. Dan dia, dengan tampang muka tanpa bersalah, nggak sadar kalau udah in relationship with me selama sebulan? Aku nggak tahu sih harus nangis apa ketawa.

"Dinner di rumah Mas? Mau take away gitu?" Tapi, karena aku nggak mau bikin masalah, akhirnya kutekan dalam-dalam emosi yang siap meledak.

Dia mengangguk. "Biasa, kalau makan di rumah selalu order."

"Aku masakin aja," putusku.

Dari sudut mataku, kulihat si om senyum. Dasar laki, mau enaknya doang! Tahu masakanku enak, jadi ketagihan, 'kan?

"Ayam teri---"

"Ayam goreng Taiwan yang lagi viral," potongku cepat.

Kening Pak Ezra mengerut, ia tidak suka dengan usulku.

"Enak kok, pasti. Kalau nggak enak, selama seminggu penuh, aku bakal masakin makan malem buat Mas," kataku memberi penawaran.

"Oke."

***

Mulutku menganga, aku nggak bisa gerak dari tempatku berdiri. Mataku terpaku, terpesona dengan mewahnya apartemen dia. Dari ruang tamu, aku bisa lihat kitchen island yang memang memiliki dua sisi menghadap ke ruang tamu dan ruang makan di dekat kolam renang. Ini bukan lagi apartemen sih, lebih cocok dipanggil penthouse. Di lorong menuju tangga, tertata rapi beberapa rak buku. Pencahayaannya juga keren banget, ditambah lantainya pakai kayu warna cokelat, menambah kesan warm, nyaman, tapi elegan dan mahal. Banyak juga lukisan abstrak dan furniture berbentuk unik di sudut rumah si om.

"Mas, ini mah bukan flat, tapi penthouse," tukasku menghampiri si om yang meletakkan barang belanjaan di atas kitchen bar.

"Memang," jawabnya singkat. "Kamu mau masak sekarang apa nanti?"

"Mau numpang mandi dulu, boleh?" Jujur aja, badanku lengket banget. "Pinjem kaus sama celana kolor ya, Mas."

Setelah segar, aku kembali ke dapur, siap untuk memasak. Waktu belanja tadi, Pak Ezra bilang tim-nya bakal datang ke sini, jadi aku disuruh masak buat mereka juga. Aku nggak keberatan sih, lagian kalau masak cuma sedikit juga nanggung. Si om turun dari tangga, sepertinya juga baru mandi. Dia kelihatan santai pakai kaus abu-abu sama celana selutut.

"Rapatnya masih nanti, 'kan? Mending Mas bantuin aku dulu, deh."

Meskipun sambil mengernyitkan kening, dia tetap menghampiriku. Selagi aku sibuk membersihkan ayam, aku menyerahkan dua wortel dan memintanya untuk mengupas. Toh, ada pisau khusus, pasti mas pacar nggak akan kesusahan.

"Mas, kok suka banget sama ayam?"

"Ya, suka aja."

"Kalau beef? Paling suka diapain?

"Semur sama panggang."

"Steik?"

"Suka juga."

"Tapi, lebih suka ayam, 'kan?" Doi ngangguk. "Kenapa nggak usaha peternakan ayam aja?"

"Keuntungan sapi lebih besar, kalau dikelola dengan baik. Terus, di Australia ada peluang bagus, ya udah, saya coba-coba dulu."

Kayak nggak pacaran, ya? Ngomongnya masih kaku banget. Harus dibenerin ini. "Jangan pakai saya dong, ngomongnya. Jadi kerasanya kayak lagi ngomong sama atasan di kantor."

Si om menatapku heran. "Jadi?"

"Pakai aku lah, Mas. Aku aja udah nggak manggil bapak kan kalau di luar kantor?"

Dia menarik napas. "Oke."

"Terus, Mas juga harus sesekali chat aku, nanyain kabar gitu," kataku.

"Kita kan tiap hari ketemu di kantor. Saya, eh aku pasti tahu gimana kabarmu," jawabnya tanpa rasa bersalah.

Aku memutar mata. Umur doang ini yang udah tiga lima, tapi pengalaman kayak nggak ada mateng-matengnya. Jangan-jangan ini yang bikin Mbak Renata ceraiin doi?

"Mas! Maksudku, kalau mas chat tanyain kabar, aku bisa cerita gitu, apa aja yang aku alami hari itu. Ada kejadian menarik nggak, atau perasaanku hari itu gimana. Dengan gitu, kita jadi bisa lebih mengenali sifat, karakter sama kebiasaan pasangan," terangku. "Kabar itu, nggak cuma dia sehat atau nggak. Dia masih hidup apa udah mati. Bukan cuma itu, Bapak!"

Pak Ezra meletakkan wortelnya yang sudah selesai dikupas. "Ini dipotong apa dicuci dulu?"

"Ih, Mas! Dengerin aku nggak sih?" rengekku.

"Iya." Dia jalan ke wastafel sama bawa baskom berisi wortel, jamur, brokoli dan daun bawang, dan mencuci sayur-sayur itu. "Aku yang salah. Kupikir, kalau ada sesuatu menarik yang pengin kamu ceritain, kamu bakal langsung cerita."

"Kadang, cewek itu pengin dikasih basa-basi begitu loh, Mas. Ya walaupun kalau Mas nggak tanya juga, aku bakal cerita apa yang pengin aku ceritain," balasku. "Tapi, rasanya lebih seneng, ternyata pacarku perhatian gitu."

Bingung aku, si om kan sebelum nulis novel fantasi atau thriller, dia sering nulis cerita romantis, terus kenapa ilmunya nggak diterapin? Tapi, nggak banyak sih adegan manis-manis yang bikin ambyar bin baper kayak teenlit-teenlit bad boy sama good girl idola para pembaca nusantara.

Aku mendongak, menatap Pak Ezra yang lagi serius potongin sayur. Ekspresinya masih lempeng seperti biasa. Aku jadi takut, kalau dia tersinggung. "Pak, nggak marah, 'kan?"

Doi menghentikan aktifitasnya. "Nggak."

"Tapi kok wajahnya begitu?" Ini cuma mau ngibulin dia aja ding. Muka dia juga bakal begitu terus.

"Aku nggak marah, Kelsy," ucapnya. "Katanya udah berhenti panggil bapak, kenapa pakai itu lagi?"

Aku meringis. "Takut, kayak di kantor."

Dia mendengkus lalu tersenyum kecil. "Nggak. Marah buat apa? Aku rasa kita punya gaya pacaran yang beda aja. Dan sekarang, aku ngerti gaya apa yang kamu suka. Aku suka, kamu terus terang begitu."

Setelah bahan-bahan semua siap, aku masak sup ayam jamur lebib dulu. Nggak perlu waktu lama, habis itu barulah aku bikin ayam goreng Taiwan, biar tetep krispi sampai teman-teman Mas Ezra datang. Ceilah, nyebut si om di dalam hati pakai panggilan Mas, berasa lebih mesra.

Pukul setengah tujuh masakanku udah tertata cantik di atas meja makan. Harusnya sih, sebentar lagi temen-temen Mas Ezra dateng. Ternyata, masak sendiri untuk porsi cukup besar, lumayan menguras tenaga. Aku pun terkapar di sofa empuk ruang tamu si om, sedangkan yang punya rumah nggak tahu dimana. Mataku berat banget, ngantuk, tapi sebelum sempat terlelap bel pintu berbunyi, membuatku terlonjak duduk.

"Mas! Mas!" panggilku. Mas Ezra tergopoh-gopoh turun dari lantai dua.

"Kenapa nggak dibuka?"

"Kan tamunya Mas, bukan tamuku." Aku ikut berdiri dan mengikuti si om ke depan pintu. Pas pintunya dibuka, aku denger suara dua cewek ngobrol. Aku langsung mengintip dari balik punggung si om.

"Elm---" Perempuan berambut cepak itu memberikan tatapan bingung. "Gue kira Elmira, ternyata bukan," lanjutnya.

Aku meringis dan tersenyum canggung. Siapa Elmira? Kayaknya si om nggak cerita ada staf dia yang namanya Elmira.

"Ini Kelsy," kata Mas Ezra memperkenalkanku.

"Halo, gue Grace." Dia mengulurkan tangan.

"Gue Kelsy." Kami pun berjabat tangan. Aku beralih pada perempuan berjilbab ungu yang terlihat anggun itu. Namanya Mira.

"Kelsy dari pihak Moonlite?" tanya Mira. Setahuku, Moonlite itu aplikasi yang menerbitkan audio book, podcast, dan radio. Jadi, si om mau kolaborasi sama mereka?

"Bukan. Dia editor dari Lentera," jawab si om mewakiliku. Kenapa dia nggak sebut aku sebagai pacarnya? Jangan mikir-mikir yang aneh dulu, Kel. "Udah pada makan?"

Dua perempuan itu menggeleng serempak.

"Kelsy baru aja masak, langsung ke meja makan aja."

Aku mengernyit. "Mas Aryo? Terus, katanya staf Mas ada empat? Kok baru dua?"

"Leny sama Aryo nyusul."

"Mas," bisikku, dia menoleh. "Elmira siapa?"

"Adik bungsu." Oh! Syukurlah! Ya kan, siapa tahu kalau itu nama mantan si om.

Sepertinya pegawai Mas Ezra emang udah akrab betul sama si om. Mereka nggak canggung di apartemen mewah doi. Buktinya waktu aku sama si om ke meja makan, mereka udah mengambil nasi masing-masing. Aku memilih duduk di depan Grace, dan Mas Ezra duduk di sampingku. Aku mengamati si om yang baru aja memasukkan sepotong ayam ke mulutnya.

"Enak nggak? Jujur lho!"

"Enak kok. Rasanya nggak asing ya, ternyata."

Seketika aku bernapas lega. "Syukur deh, nggak perlu masak makan malem buat Mas, selama seminggu."

Dia mencebik. "Harusnya aku bohong aja."

"Mas tega, aku tiap hari udah lembur, terus masih harus masakin Mas?" Aku merajuk.

"Ya bukan gitu. Tadi kan, kamu yang janji sendiri," sangkalnya.

Aku pun melanjutkan makanku. Tapi, aku penasaran, gimana masakanku menurut dua temen si om itu. Mau tanya sendiri sungkan. Kalau ditahan-tahan, bikin aku gugup makannya.

"Gimana Mbak, enak nggak?"

Mereka berdua mendongak. "Enak banget. Bisa deh aku minta resep supnya, anakku pasti suka sih," kata Mira.

"Gue udah pernah bikin ayam kayak gini sih, emang enak ya. Rasa tepungnya beda gitu," tutur Grace.

Aku tersenyum puas. "Tenang, Mbak. Nanti resepnya gue kasih." Tatapanku beralik pada perempuan berambut cepak. "Mbak Grace juga suka masak?"

Dia tertawa. "Suka coba-coba tapi sering gagalnya."

"Ih sama dong, Mbak. Gue juga suka bikin resep sendiri, eh malah rasanya nano-nano."

"Masakanmu enak terus perasaan," timpal Mas Ezra.

Aku mendecakkan lidah, "yang kukasih ke kamu, pasti udah bener lah resepnya."

Di saat kita sedang menikmati santapan, bel rumah berbunyi lagi. Mas Ezra pun bangkit dari tempat duduknya dan membukakan pintu. Tak berselang lama, dia kembali ke meja makan diikuti Mas Aryo dan seorang perempuan berambut sebahu, yang aku tebak bernama Leny.

"Loh Kelsy?" Mas Aryo terlihat cukup kaget saat melihatku. "Jangan bilang ini yang masak Kelsy?"

"Emang kenapa kalau yang masak gue?"

Wajah Mas Aryo mendadak berbinar. "Akhirnya gue bisa ngerasain masakan Kelsy. Pak Ezra nggak pernah bagi makanan lo, tahu."

"Sini Len, duduk!" seru Mira. "Kelsy, kenalin ini Leny, editor sekaligus staf serba bisa kami. Len, ini Kelsy, dia ... " Wanita itu tampak bingung melanjutkan kalimatnya. "Kelsy, siapanya Bapak, sih?"

"Pacar, lah!" sahut Mas Aryo yang sudah duduk dengan sepiring nasi di hadapan lelaki itu. "Kelsy ini pacar Pak Ezra."

Bisa kulihat ketiga mata wanita itu melebar, lalu mereka melirik ke arah si om dengan seringaian jahil. "Bener, Pak?" tanya Grace menaikkan alisnya.

"Bener." Mas Ezra nggak natap Grace, dia sibuk mengupas apel, karena piringnya sudah bersih.

"Ya ampun! Kenapa dari tadi nggak dikenalin sih, Bapak?" semprot Mira mencebikkan bibir.

Makan malam kami sudah selesai, kecuali Mas Aryo dan Leny yang baru datang. Tapi, kami tidak langsung beranjak, memilih untuk berbincang-bincang, selagi menunggu dua orang itu selesai. Tanpa kutahu, tiba-tiba di depan mukaku udah ada sepotong apel yang disodorkan sama si om. Aku menatapnya bingung, lalu dengan ragu-ragu aku memakannya. Habis itu, Mas Ezra ambil sepotong apel lagi untuk dimakan sendiri.

Ini dia kenapa, sih? Kesurupan? Kenapa tiba-tiba jadi punya inisiatif buat jadi perhatian begini? Sampai akhirnya hanya tinggal dua potong apel di piring kecil, ia mendorong piring itu ke hadapanku.

"Habisin, aku kenyang." Lalu dia bangkit dari duduknya sambil bawa piring kotor ke wastafel.

Tidak selang lama, semua piring dan wadah kotor sudah menumpuk di wastafel. Saat aku mau cuci piring, Grace menyuruhku buat duduk, kata dia bagi tugas karena aku udah masak, sekarang giliran dia yang bersih-bersih. Tentu saja, aku sangat berterima kasih padanya. Karena Grace, aku bisa rebahan di sofa si om yang cukup nyaman.

"Mau pulang kapan?" Mas Ezra duduk di sebelahku.

"Bentar lagi, kenyang banget. Kamu kalau mau kerja, kerja aja."

"Ke kamar tamu aja kalau mau tidur," usulnya.

"Nggak usah, orang cuma mau tiduran doang kok," tolakku.

"Ya udah." Tanpa basa-basi dia langsung berdiri dan masuk ke ruangan tepat di depan ruang tamu. Teman-teman si om yang lain sudah menunggunya di dalam.

Aku pun sendirian di ruang tamu besar ini. Sesekali mataku melihat ke arah kolam renang, jadi pengin renang, deh. Kira-kira kalau nikah sama Mas Ezra, aku bakal tinggal di sini nggak? Aku menguap lebar, ya udah deh, aku mau nunggu si om kelar rapat sambil tiduran di sini.

***

"Arghhh!" Aku mengerang kesal, karena aku merasa ada yang menarik-narik tanganku. Setelah berhenti, berganti dengan tepukan di pipi yang tak kunjung berhenti. "Ah! Kenapa sih?" gerutuku.

"Jam sembilan, Kel."

"Hm?" Aku meregangkan tubuhku, lalu baru sadar kalau ternyata aku tertidur di sofa. Tubuhku juga sudah terbalut dengan selimut lembut.

"Mau pulang kapan?"

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Lalu mengulurkan tangan, yang kemudian ditarik oleh Mas Ezra. Lelaki itu duduk di ujung sofa. Nyawaku belum terkumpul sempurna. Aku menghela napas panjang, lalu menyandarkan kepala di bahunya.

"Pengin tidur sini aja," bisikku dengan suara parau.

"Emang boleh? Udah izin orangtua?" balas si om, tangannya melingkari pinggangku. Kalau kucermati, dia ini bukan tipe yang risih dengan kontak fisik. Aku kira dia akan nggak nyaman, tapi ternyata dia langsung merangkul tubuhku.

Aku menggeleng. "Aku izinnya di rumah temen, mau belajar masak."

Mas Ezra mendengkus. "Kalau ketahuan bohong, aku yang repot."

"Kok bisa?"

"Misal papimu tahu, terus larang kita keluar, kamu ngambek, ngadu aku, yang susah siapa?" katanya menyentil keningku. "Sana cuci muka, aku antar," tambahnya lalu menarik badanku agar berdiri.

TBC
***

Cegil kita berhasil main ke rumah Om Ezraa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top