15 | First Day as a Couple!

Nggak ada angin, nggak ada hujan, bahkan si om juga nggak kirim satu pun chat ke aku hari ini, tapi tiba-tiba doi udah nongol di depan rumah. Padahal seharian ini aku udah uring-uringan, soalnya pengin tahu kapan pesawat Pak Ezra landing di Jakarta. Aku nggak tahu sih, dia kayak gini karena mau kasih kejutan, atau tadi nggak sempat balas pesanku.

"Jadi, Mas Ezra habis dinas ke Wina?" Itu mami, lagi interogasi dia, karena si om bawa oleh-oleh banyak banget.

"Iya, Tante," jawab Om Ezra sembari tersenyum.

Dinas dari Hongkong! Bohong banget lah si om, orang dia jalan-jalan cari inspirasi. Aku harus peka ini, biar tahu mana yang dia pergi mau cari inspirasi novel beneran atau mau cari selingkuhan. Untung saja, mami habis itu masuk ke dalem, jadi aku sama Om Ezra yang hari ini udah resmi jadi pacarku, bisa ngobrol bebas berdua.

Aku duduk di depannya sambil lihatin kantong-kantong isi oleh-oleh. "Mas, mau kasih oleh-oleh, apa sembako ke orang kurang mampu?"

Banyak banget. Bukannya aku nggak suka, tapi biasanya kan kalau orang kasih oleh-oleh sepantasnya aja ya. Tapi, nggak apa-apa sih, orang kaya juga.

"Kan kamu yang minta."

"Aku nggak minta banyak-banyak, ya!" belaku.

"Tapi, kamu nggak tahu mau minta apa. Jadi ya, aku beli segini," balasnya enteng.

Aku cuma geleng-geleng kepala. Cara kerja otak konglomerat sama rakyat jelata itu beda ternyata. Mataku melotot saat dia beranjak dari kursi. Eh, mau kemana?

"Mas? Kok buru-buru?"

"Udah, 'kan?"

"Mas ke sini cuma mau anter oleh-oleh?"

Dia mengangguk. "Kalau di kantor, nggak enak sama yang lain. Mereka nggak dapet segini banyak."

Ya Allah, Tuhan! Dia lupa, kalau hari ini itu hari pertama aku sama dia pacaran? Harusnya kan ada perayaan? Terus, aku juga mau tanya-tanya soal mantan istrinya. Nggak peka banget atau beneran lupa?

"Mas nggak inget? Kata Mas, kalau Mas pulang dari Austria, we are officially dating! So today, we must date properly!"

Nggak ada perubahan dari ekspresinya. Lalu, kami berdua cuma diam. Om Ezra menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Kalau kayak gini, dia kelihatan sesuai usianya. Apa dia masih capek? Jet lag?

"Mas, capek?"

"Mau ke mana? Makan? Baru jam empat."

"Ya, jalan-jalan bisa, 'kan? Ke kafe ngopi, cari es krim, ke toko buku, atau ke mana lah. Kayak nggak pernah pacaran aja," dengkusku.

"Ya udah, ayo." Si om bangun dari kursi.

"Tunggu! Aku mau ganti baju dulu, lah! Ini wajah juga masih polosan!" Tanpa sadar, aku udah nggak pakai bahasa formal lagi ke si om. Masa udah pacaran masih pakai 'saya', berasa lagi main telenovela aja.

Setengah jam berlalu, aku kembali ke ruang tamu. Sore ini, aku sengaja pilih baju santai, blouse biru muda lengan pendek, kupadukan celana jeans tiga per empat. Aku juga cuma pakai make up tipis, biar kelihatan lebih seger. Lagian, aneh juga kalau cuma jalan ke kafe atau mall dengan riasan tebal.

Aku sama Om Ezra pun sepakat buat ke mall terdekat dari rumahku. Sampai di sana, kami masuk ke Starbucks, karena belum laper. Aku pesan hazelnut latte sama scarlet velvet cake, sedangkan si om cuma pesen caramel macchiato.

"Mas di Austria cuma cari inspirasi aja?"

"Nggak." Laki-laki itu menggeleng. "Sama udah terlanjur janji sama temen. Saya datang ke perilisan buku temen saya di sana."

"Cowok apa cewek temennya?"

"Cewek."

Mataku melotot. "Siapa?"

"Udah punya suami sama anak," jawabnya seolah tahu kekhawatiranku.

"Itu juga yang punya villa di sana?"

Si om mengangguk. "Suaminya orang sana, dan kerjanya jadi pengusaha properti gitu."

"Harus banget kalau mau cari inspirasi jalan-jalan ke luar negeri?"

"Nggak, sih," jawabnya. "Saya ke luar negeri, kalau latar tempat novelnya di luar negeri aja. Suntuk juga di sini terus, mau cari suasana baru."

"Tapi kan, sekarang udah nggak bisa ke luar negeri mulu! Masa mau bolos ngantor terus?"

Pak Ezra menarik napas. "Itulah kenapa awalnya saya tolak posisi ini." Dia meneguk minumnya. "Katamu, ada yang mau ditanyakan ke saya?"

Aku mengangguk.

"Kamu berubah pikiran?" Satu alis si om terangkat ke atas.

"You wish!" cebikku. "Kemarin aku terlalu seneng, jadi nggak sempat tanya-tanya. Mas, dari pernikahan kemarin, ada anak nggak?"

Dia mendengkus. "Kalau saya ada anak, itu adalah hal pertama yang akan saya katakan ke kamu. Takut?"

"Nggak lah!" tukasku. "Kalau Mas ada anak, aku pengin kenalan, dong! Biar dia terbiasa gitu sama aku."

Kami kembali terdiam. Canggung juga ternyata tanya-tanya beginian. Tapi, mau gimana lagi? Daripada bermasalah di belakang, lebih baik aku blak-blakan sekarang.

"Istri Mas, orangnya kayak apa? Mirip nggak sama aku?"

Eh, si om malah menyeringai. "Nggak mirip."

"Sama sekali?"

"Jauh."

"Kerjanya apa? Selebriti, ya?" selidikku. "Pengin lihat aku."

Doi malah mengeluarkan ponselnya, masih diam, nggak menanggapiku. Keningku mengernyit, dia lagi ngapain? Apa jangan-jangan si om masih simpan fotonya? Kalau positif, udah pasti dia gagal move on! Jangan sampai Ya Tuhan! Aku nggak mau jadi pelarian!

"Mas?" Aku jadi deg-degan parah. Dia cuma bergumam. "Mas masih kontakan sama dia?"

Baru dia mendongak setelah dengar pertanyaan terakhirku ini. "Masih, waktu ..."

"Masih?!" potongku cepat. Dadaku kembang kempis.

Sedangkan dia masih terlihat tenang, seolah tidak melakukan kesalahan apa-apa. Terus, dia malah menyodorkan ponselnya ke aku, dengan mata memicing, aku ambil ponselnya, yang menampilkan halaman aplikasi Instagram.

Apa ini? Gila! Jadi, si om follow akun mantannya? Tapi, galauku lenyap gitu aja, saat lihat foto-foto mantan istrinya. Mulutku menganga, aku mendongak untuk menatap si om, sebelum kembali melihat-melihat wanita bertubuh seksi ini.

Renata Ismail

Bukan selebriti. Bukan. Tapi ... gila! Foto terakhir yang dia unggah itu, lagi berjemur di pantai pakai bikini hitam. Dan yang bikin aku gagal fokus adalah tubuhnya yang super seksi. Aku melirik ke buah dadaku yang nggak seberapa dibanding Renata ini. Pantes, si om ngomong aku beda jauh sama mantannya. Aku bakalan kayak anak lima belas tahun kalau berdiri di sebelah si Renata.

Foto-foto di akun wanita cantik itu, hampir semuanya memamerkan lekuk tubuhnya yang aduhai. Terus, tempatnya juga nggak main-main, ada yang di Dubai, Las Vegas, yang terakhir di Venice. Dia juga hobi travelling gitu kayak si om? Bayangin Om Ezra stalk akun mantannya bikin hatiku cenat-cenut. Terus, sisi insecure-ku tiba-tiba muncul, apa yang om lihat dari aku, kalau mantannya aja modelan begini?

Namun, ada salah satu foto yang membuatku bernapas lega. Renata foto bersama pria bule, dan seorang bocah lelaki menggemaskan di gendongannya. Dia udah punya suami dan anak ternyata!

"Mas nggak bilang dia udah nikah lagi!" tukasku kesal. Karena selagi aku lihat-lihat foto Renata, iri sama bentuk tubuhnya, kukira dia single, dan ada kemungkinan si om pengin balikan sama si mantan.

"Kamu nggak tanya," balasnya datar. "Saya terakhir kontakan sama dia, waktu anaknya lahir."

"Dia kerjanya apa? Kok badannya bagus banget?"

"Instruktur yoga."

Pantes. Sebenarnya aku pengin tanya, itu payudaranya asli atau nggak ke si om, tapi nggak enak. Siapa tahu kan, doi sukanya yang big size begitu. Terus, tiba-tiba mataku gagal fokus ke username akun Instagram si om, yang sangat asing. Dia punya akun Instagram pribadi?

"Mas, punya akun IG pribadi?"

"Udah lama."

"Kenapa nggak follow aku?"

"Kamu nggak minta."

"Mas!"

"Aku juga nggak suka main sosmed. Buat apa?"

Bener sih, kalau dilihat tanggal terakhir dia unggah foto itu, setahun lalu. Fotonya pun di kandang sapi, yang aku yakin ada di Australia. Tanpa pikir panjang, aku ketik username-ku, dan langsung ku follow akunku sendiri.

"Nanti aku follback, jadi jangan lupa di-acc." Aku pun balikin ponsel si om.

Eh tunggu, ada satu hal lagi yang masih buat aku penasaran. "Mas nikah umur berapa?" Kalau cerai lima tahun lalu, berarti pas doi umur tiga puluh, berarti kan dia nikah muda.

"Dua lima."

Itu kan umurku sekarang. Harusnya kan, nggak jauh-jauh dari ini, aku harus udah nikah ya? "Mas, aku juga udah dua lima, lho .... "

Dia memutar bola matanya. Kali ini dia paham sepertinya, maksudku apa. "Baru pacaran sehari."

Aku cuma cengengesan. Kayaknya aku harus terbiasa sama penolakan kalau deket-deket sama manusia satu ini deh. Udah, kayaknya cukup interogasiku hari ini. Aku nggak perlu denger lagi soal mantannya. Because you cant change the past.

"Mau nonton?" tawarku.

Si om menggeleng. Tuh kan, ditolak lagi. "Makan aja, pengin ramen."

"Oke!" Aku langsung beranjak dari kursi, dan mengapit lengannya. Untuk beberapa saat, doi memandangi dengan tatapan aneh. "Loh, katanya kalau udah pacaran aku boleh gandeng, Mas?"

"Memang boleh," jawabnya. "Tapi, itu bibirmu belepotan."

Kalian tebak dia bakal usap sudut bibirku? Jangan harap! Aku sambil menahan malu, bersihin mulutku sendiri pakai tisu. "Udah bersih, 'kan? Kamu udah nggak perlu malu gandengan sama aku," desisku kesal.

Dia menggumam. "Bener. Biar nggak kayak jalan sama anak SMP."

"Mas!" Aku mencubit pinggangnya.

***

Satu ruangan heboh mendadak menyambut kedatangan Pak Ezra. Aku tahu sih, sebenarnya mereka gitu karena mengharapkan oleh-oleh dari si bos aja. Dasar penjilat emang. Pak Ezra tersenyum tipis, dan di belakangnya ada Mas Aryo yang bawa kantong plastik besar.

"Tambah glowing ya Pak, habis kena embun pagi Austria," celetuk Mbak Carol.

"Aduh, jangan-jangan Bapak nikah diem-diem, yak?" sahut Bang Rozak.

Aku langsung menoleh dan memberikan tatapan tajam ke dia. "Kalau ngomong jangan sembarangan, Bang!"

Pak Ezra, tentu saja tidak mau tahu urusan kita, jadi doi cuma diam. "Ini ada sedikit oleh-oleh dari saya." Si om ngeluarin paper bag dari kantong plastik besarnya, dan membagikan ke semua pegawai di ruang ini, kecuali aku.

"Eh, Kelsy belum dapet nih, Pak!" seru Miska.

Pak Ezra menatapku bingung. "Kamu mau lagi?"

Ya Allah, jujur amat ini orang! Dia sengaja nggak bawain aku paper bag soalnya aku udah dapet oleh-oleh sekarung kemarin. Nggak tahu aja, kalau kayak gini bisa menyulut kecurigaan temen-temen mulut ember macam mereka.

Aku menggeleng. "Makasih, Pak. Yang kemarin udah cukup." Pak Ezra cuma ngangguk, lalu masuk ke ruangannya.

"Lagi?" tanya Mbak Carol penasaran.

"Iya, kemarin pak bos main ke rumah gue kasih oleh-oleh sekarung!" jawabku seadanya.

Bukannya terpana atau terkejut, mereka malah tertawa. Terutama Bang Rozak sama Mbak Carol. Emangnya aku lagi ngelawak apa?

"Nggak mungkin lah," seloroh Bang Rozak. "Paling lo udah ketemu Pak Ezra buat main tenis, 'kan?"

Kok bisa tahu gue pernah main tenis sama si om? "Kata siapa gue main tenis?"

"Kemarin gue ketemu Pak Arnold. Dia bilang, sekarang lo main tenis, bareng juga sama Pak Ezra."

Mbak Carol bertepuk tangan. "Gigih juga usaha lo ya, anak gadis. Sampai ikut main tenis, padahal pegang raket pun nggak bisa."

"Kelsy, beneran udah move on dari gue ternyata," celetuk Mas Agam sambil tersenyum.

"Sorry ya Mas, gue nggak doyan sama laki orang!" tukasku.

"Kalian itu harusnya jangan godain Kelsy, lah. Dia lagi berjuang move on dari Agam, harusnya didukung. Kalau nanti Kelsy gagal move on terus jadi pelakor, kalian juga yang salah," kata Teh Farah sambil terkekeh.

"Padahal kemarin ngakunya masih LDR-an," gerutu Miska.

"Loh, bener kok Kelsy LDR-an," sahut Mbak Carol. "Dianya di sini, calonnya di pelukan orang lain."

Aku cemberut. Sumpah, kejam banget sih, Mbak Carol. Aku menarik napas dalam-dalam, mengatur emosiku. Awas ya, kalau nanti aku sama si om nikah, kalian nggak akan kuundang. Teganya, emang aku se-rakyat jelata apa, sampai nggak pantes buat si om.

"In, lo keterlaluan deh," tutur Bang Rozak. "Jangan bikin dia marah, takutnya besok dia berangkat ke kantor pakai baju cat woman, kan bukan Halloween ini."

"Nanti gue jadi istri bos kalian, baru tahu rasa lo. Sembah-sembah kaki gue minta naikin gaji," cebikku, lalu fokus kembali ke pekerjaan yang sempat tertinggal. Hari ini, aku mau pura-pura ngambek, sampai mereka traktir aku sate kambing sama es krim.

TBC
***
ADA YANG NORAK DAN JUMAWA NIH MENTANG-MENTANG JADI PACAR BOS😙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top