12 | This is How I Promote My Self

Sudah empat hari ini aku nggak bikin bekal untuk si om. Soalnya aku harus lembur ngejar deadline. Terakhir kali aku bawain dia lasagna sama salad buah. Dia seneng kok. Terus kubilang deh sama doi, kalau itu makanan favoritku.

"Bapak doyan makanan favorit saya, saya juga suka sama ayam teriyaki. Pelan-pelan ya, Pak ... kita memahami satu sama lain."

Setelah itu, si om kayaknya jaga jarak banget sama aku. Dia jam sebelas, udah keluar dulu dari kantor sama Mas Aryo. Alasannya macam-macam, biarin lah, aku kasih waktu istirahat dulu buat dia. Biar nggak terlalu exhausted.

Aku menyeruput smooti manggaku, setelah memarkirkan mobil. Aku baru selesai lunch meeting sama salah satu penulis, yang bentar lagi bukunya rilis. Suka sih, kalau ada meeting di luar sambil nongki-nongki cantik, soalnya dapet uang buat transport dan makan biasanya. Pas aku masuk lobi, eh nggak sengaja aku lihat si om lagi ngobrol sama seseorang yang nggak kukenal, tapi aku tahu dia pegawai di sini.

"Minggu pagi, ya? Boleh deh. Saya juga udah lama nggak main tenis," kata si om.

"Saya tunggu ya, Pak. Pak Arnold bilang, Pak Ezra ahli, mantan pemain nasional katanya," sahut si bapak di depannya.

Pak Ezra tertawa pelan. Ganteng banget sih kamu om kalau lagi ketawa gitu.

"Nggak Pak. Saya amatiran kok." Si om menggeleng-geleng. "Di Bulungan kan, Pak?"

Percakapan selanjutnya aku nggak denger lagi, karena aku udah dapet informasi yang kubutuhin. Baru tahu, kalau si doi atlet tenis lapangan juga. Dan kebetulan banget, papi juga suka main tenis. Besok Minggu, aku harus ajak papi main tenis ke Bulungan. Lapangan tenis, di daerah Kebayoran Baru, itu aja, 'kan? Kalau pun papi mainnya bukan di situ, aku bakal paksa papi ke sana.

***

Aku menatap mami sama papi bergantian. Sedangkan kedua mata mereka masih memandangku dengan kerutan di kening. Aku menghela napas panjang, tahu kalau mereka pasti bakal kaget terus nggak percaya. Ya gimana, anaknya yang nggak pernah mau diajak main tenis dari dulu SMA, tiba-tiba ngajakin papinya buat main tenis.

"Papi besok nggak ada jadwal main, Kel," kata papinya.

"Emang main harus ada jadwalnya? Tinggal berangkat aja kan, Pi?"

"Terus lawannya siapa? Aneh kamu," tukas  papi sambil menggerutu. "Kenapa sih tiba-tiba ngajakin Papi main?"

"Kelsy mau survei, Pi. Malu lah, kalau sendirian ke sana," jawabku bohong.

"Kakak kan editor, masa survei juga?" Mami ikut menimpali. "Mami kira itu tugas penulis."

"Ya ikut lah, Mi. Biar makin mateng naskahnya." Pandanganku kembali ke papi yang asyik lagi makan pisang goreng. "Papi panggil temen papi ya buat ikut main besok? Ya, pi?"

Lelaki berambut cepak dengan perawakan tubuh yang masih bagus dan tegap untuk usia lima puluhan, itu menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Iya, deh. Besok Papi kabarin temen papi, biar pada dateng."

Aku bersorak dalam hati, lalu langsung memeluk lengan papi dan mengecup pipinya. "Makasih, Papi. sayang deh sama Papi."

"Bohong itu pasti, bukan survei. Tapi, mau cari cowok." Tiba-tiba seorang gadis dengan rambut sebahu berjalan gontai dari tangga dan duduk di salah satu sofa.

"Ye ... mana ada? Kalau gue cari cowok mah nggak perlu ajak papi," elakku.

"Adik ikut aja gimana? Besok Minggu tenis sama Papi sama Kakak?" tawar Mami.

"Nggak mau! Adik ada acara!"

"Nge-band lagi?" Gadis itu mengangguk, lalu sibuk bermain ponsel.

Narasita Putri Utami, biasa dipanggil Sita. Lima tahun lebih muda dariku. Selain kita sama-sama cewek, nggak ada lagi persamaan antara aku sama dia. Bahkan, aku sempet curiga dia ketuker di rumah sakit. Sita ini, nggak suka make up, nggak lemah lembut, nggak centil, nggak suka jaket bulu-bulu, pokoknya nggak kayak cewek banget. Bajunya serba item. Selalu pakai jaket kulit atau denim yang bolong-bolong.

Mami sampai pusing, lihat kelakuan Sita yang nggak ada sisi feminimnya sama sekali. Padahal, mami sampai sekarang masih jaga penampilan, ke salon, selalu pakai dres warna pastel, punya anak yang rock and roll kayak Sita ya, pasti jantungan. Adikku ini juga ikut band. Eits, bukan jadi vokalis ya, tapi drummer. Salah satu cita-citanya yang belum terwujud itu potong rambut gaya laki-laki yang cepak itu. Soalnya mami sama papi nggak setuju.

Tiba-tiba aku keinget, kemarin pas aku main ke kamarnya, ada wig di atas meja, jangan-jangan ....

"Mi, itu Sita beli wig, biar bisa potong pendek, kayak Ronaldowati," aduku lalu menyeringai ke arahnya.

Mata mami mendelik, bahkan papi yang lagi baca koran pun, melipat korannya. "Sita .... " kata mereka bersamaan

Sita menggeleng dengan cepet. "Nggak! Kakak bohong! Itu properti buat bikin tugas film."

Payback! Sekarang skor kita sama. Aku tertawa puas lihat muka panik adikku. Kasihan sih, tapi salah satu kenikmatan dunia kan emang godain adik, ya, nggak?

***

Aku nggak bisa main tenis lapangan. Tapi, aku pernah diajarin sama papi, dulu pas SMP atau SMA, lupa. Walaupun gitu, aku sok-sokan sih pakai sepatu, bawa raket tenis, terus pakai rok ala-ala atlet tenis cewek di atas lutut. Papi sampai geleng-geleng sendiri, "survei kok niat banget, sampai pakai kostumnya segala," gitu kata papi. Padahal kan, aku pakai itu, biar si om tahunya aku juga main. Kali ini, emang aku pakai cara sedikit kotor ya, nggak jujur, tapi gimana lagi, udah kepepet ini aku. Hampir dua minggu nggak ada progres.

"Kelsy?"

"Wah! Selamat pagi Pak Arnold!" kataku ceria, lalu menyalaminya. Kalau Pak Arnold udah dateng, pasti bentar lagi si om juga dateng, 'kan?

"Tumben kamu, ke sini," tukasnya heran.

"Ada survei, sekalian mau nemenin papi." Aku menoleh ke arah papi. "Pi, ini Pak Arnold mantan bos Kelsy, sekarang udah pensiun."

Papi tersenyum lalu berjabat tangan dengan Pak Arnold. Aku nggak fokus sama apa yang mereka bicarain, soalnya aku sibuk cari keberadaan si om. Aku lalu mulai pemanasan, itung-itung olahraga. Biar nanti kalau Om Ezra dateng, terus lihat aku, dia tahunya aku beneran mau main tenis. Pencitraan banget memang. Tapi, sekali-kali hidup itu butuh pencitraan.

"Wah! Udah lama nggak main, tiba-tiba ke sini!" Suara nyaring Pak Arnold membuatku menoleh secepat kilat. Tanpa bisa dicegah, senyuman merekah di bibirku.

Pak Ezra, dengan celana olahraga di atas lutut, kaus polo putih, sambil gendong tas raket, berjalan ke sini sambil tersenyum ke arah lelaki paruh baya itu. Please, don't smile too wide, you'll look ridiculous. Oh shut up! I'm having my moment! Sepertinya aku mulai gila. Senyum mengembang Pak Ezra tidak bertahan lama, setelah matanya bersinggungan dengan tatapanku.

"Pak Ezra? Bisa main tenis ternyata?" tanyaku pura-pura kaget.

"Kamu ke sini sama siapa?" tanyanya tanpa ekspresi. Bibirnya membentuk garis tipis.

"Sama papi!" Aku menoleh ke arah papi yang sedang pemanasan dengan teman-temannya. "Pi! Ini ada bos Kelsy!"

Kening papi berkerut. "Masih muda ternyata. Saya Anhar, papinya Kelsy."

Senyuman sopan muncul dari bibir si om. "Saya Ezra, Pak ... kepala editor di Lentera Pustaka."

Siap! Si om udah kenalan sama calon mertuanya. Aku tersenyum penuh kemenangan.

"Pi! Ayo main sebentar, pemanasannya sama aku aja," ajakku.

"Kamu mau main? Katanya mau survei?"

"Habis ini. Kelsy penasaran, masih inget mainnya nggak."

Setelah bermain dua set sama papi, aku istirahat. Soalnya kata papi, main sama aku nggak bikin keringetan. Sok banget gayanya, lah. Sambil minum air mineral, aku perhatiin cara main mereka. Terus, aku ambil foto papi main, Pak Arnold dan yang terakhir om gantengku. Aku sengaja ambil foto mereka semua, biar modusku nggak ketahuan.

Lihat si om keringetan, wajahnya super serius, terus sesekali ngumpat, bikin aku panas dingin. Rasanya kayak lagi nonton drama Korea langsung, deh. Visualnya nyata banget, nggak ada tandingan. Waktu si om istirahat, gantian sama yang lain main, aku datengin dia. Nggak mungkin juga kan dia nolak aku terang-terangan di depan banyak orang? Apalagi ada papiku.

"Lumayan juga Bapak mainnya," kataku datar.

Dia mendengkus. "Ngomong saya mainnya lumayan, padahal kamu sendiri juga mainnya begitu."

"Ya maaf, udah lama nggak pegang raket," jawabku. "Kalau Bapak bisa, coba kalahin papi saya. Dia jago banget  lho."

Mata si om ke arah papi yang lagi main, ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Beliau udah main dari muda, ya?"

"Iya, Pak. Katanya sih atlet tenis dulu dari zaman SMP. Nggak tahu deh, bohong apa nggak."

"Kemungkinan besar sih nggak. Sama Pak Arnold pun, menurut saya bagusan papi kamu mainnya."

Senyumku semakin lebar. "Bapak berani nggak lawan papi? Jangan bilang Bapak takut sama papi saya?"

"Ya udah, atur jadwal aja."

"Kok saya, sih? Bapak dong yang ngomong sendiri ke papi," tantangku. "Jumat sore, biasanya papi saya main di sini."

"Kali ini motifmu apa, Kel?" Suara si om tiba-tiba terdengar berat.

Aku menggeleng. "Nggak ada, Pak. Saya cuma pengin lihat kemampuan Bapak aja. Kalau Bapak menang, saya bakal kasih Bapak hadiah, deh."

"Berhenti modusin saya?"

"Nggak, lah!" pungkasku. "Saya traktir nonton, mau nggak?"

Pak Ezra mencebik. "Itu mah untung di kamu."

Aku menyengir. "Ya udah, saya bakal latihan tenis, biar saya bisa selevel sama Bapak. Ya atau paling nggak, saya bisa bikin Bapak keringetan deh, kalau lawan saya."

"Keuntungan buat saya apa?" Satu alis si om terangkat. Pandangannya menuntut jawaban padaku.

"Bapak punya partner sehobi."

"Kamu, sengaja lakuin ini semua biar saya mau sama kamu? Kenapa kamu harus memaksakan diri masuk ke dunia saya, Kelsy? Memangnya kamu nggak capek berusaha sekeras itu untuk memuaskan saya?"

Mataku mendelik, lalu melambaikan tanganku. "No! Saya nggak memaksakan diri masuk ke dunia Bapak. Bapak tahu istilah promosi, kan? This is how I promot myself. Di sini, saya menunjukkan ke Bapak, kalau saya bisa melakukan banyak hal. Awalnya sih, saya mau buat CV, tapi daripada dalam bentuk tulisan doang, mending saya lihatin secara langsung," terangku. "Anggap aja saya lagi jual diri lah, Pak."

Mata Pak Ezra seketika melotot.

"Bukan jual diri yang gimana-gimana. Pak Ezra tahu kan, kalau orang punya toko pasti promosinya nunjukin dagangannya, kasih lihat kelebihan dagangannya biar laris. Nah, saya juga begitu. Saya lagi nunjukkin ini lho kelebihan Kelsy. Gini lho, benefit Bapak kalau mau deal sama saya."

"Tapi, pedagang yang baik juga kasih tahu kekurangan barang dagangannya. Apa kamu mau nunjukin kekurangan kamu juga?" Pak Ezra menatapku lekat-lekat.

"Tanpa saya kasih lihat, saya rasa Bapak udah tahu kok kekurangan saya apa," cicitku.

Si om menyugar rambutnya dengan tangan lalu menghela napas panjang. "Menurutmu, strategimu ini udah berhasil berapa persen?"

Pertanyaan sulit! Aku tahu aku belum berhasil bikin si om terpesona padaku. Tapi, kalau aku jawab jujur, takutnya doi malah nyahut, udah tahu failed tapi kenapa masih dilanjutin? Bahaya nggak tuh? Bisa jadi senjata makan tuan. Tapi, walaupun nggak yakin, aku harus jawab biar nggak kelihatan cemen.

"Enam puluh persen?" jawabku ragu.

Suara kekehan rendah terdengar dari si om. Sialan, dia nertewain aku.

"Menurut Bapak belum sampai segitu?"

Doi menggeleng. "You need to work harder, Kel."

Aku mengerucutkan bibir. Eh, tapi tunggu, kata si om aku harus kerja lebih keras, itu artinya, dia nyuruh aku tetep lanjutin modusku ini, 'kan? Dia nggak minta aku berhenti, 'kan? Alhamdulillah, ya Rab! Jangan-jangan nih, dia aslinya udah naksir tapi gengsi mau ngomongnya.

"Daripada lawan papimu, saya lebih penasaran lawan kamu Jumat besok, gimana?" tawarnya tiba-tiba.

Gila! Sudah pasti, jelas kalah! Ini kan cuma mau sok-sokan pamer aja, padahal udah lupa cara mainnya.

"Bapak kan tahu saya nggak bisa!" protesku tak terima.

Dia tersenyum meledek. "Kalau kamu menang, saya akan nuruti permintaan kamu, apa aja."

Seketika mataku berbinar. Tapi, nggak mungkin banget kan, dalam waktu lima hari aku jadi seahli papi? "Tapi kalau saya kalah, Bapak nggak boleh minta sesuatu ke saya!"

"Kok gitu?"

"Ya kan, Bapak tahu saya cemen main tenis!"

Eh, kok malah ketawa, sih? Kenceng lagi!

"Oke deh, berhubung kamu terus terang kalau kamu cemen. Saya menghargai orang jujur."

Pipiku memerah. Setengah malu, setengah senang karena si om kayaknya udah mau menerima cara modusku. "Jadi, besok boleh bawa makan siang lagi?"

"Emang kalau saya larang, kamu bakal berhenti?" sahutnya.

"Emang nggak larang, tapi selalu keluar jam makan siang," cebikku.

"Ya udah, bawa aja."

"Saya bawa nasinya dua porsi boleh? Mau numpang makan sekalian?"

"Kamu mau curi start biar bisa lunch bareng sama saya?" selidiknya.

Aku menunduk. Kali ini malu beneran soalnya strategiku ketahuan.

"Saya lagi pengin ayam goreng mentega by the way," tukasnya sebelum mengambil raket dan kembali ke lapangan.

Ya ampun, Mami! Anakmu besok makan siang berdua sama gebetan! Bentar lagi kayaknya mami bakal punya mantu deh, siap-siap ya, Mi!

TBC
***

CEGIL SEMAKIN DI DEPAN🤣🤣

Ini Om Ezra kudu dengerin Rayuan Perempuan Gila deh🤩

BTW YANG MAU BACA SMITTEN KOMPLIT DENGAN EKSTRA PART TUMPAU-TUMPAH BISA KE KARYA KARSA❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top