9 | MY SUNSHINE

"Bapak."

Didi hafal lokasi bapak sering berada, sejak beliau mulai mengurangi aktivitasnya di perusahaan. Bapak mirip Didi, suka berkebun. Lahan di sekeliling rumah luasnya sudah cukup untuk bisa dikatakan sebagai ladang buah. Banyak pohon ditanam oleh bapak sendiri sejak Didi masih kecil. Kini, jumlahnya mencapai ribuan. Mulai dari pohon durian, nangka, apel, segala macam ada.

Belakangan, bapak suka sekali dengan kesemek hitam. Biasa disebut juga sebagai sawo hitam atau black sapote. Karena bentuk buahnya lebih mirip kesemek daripada sawo, bapak dan Didi sepakat menyebutnya kesemek hitam saja.

Mendengar suara Didi, bapak menoleh. Beliau menurunkan kacamatanya sampai hidung agar bisa melihat Didi yang baru datang. Keringat sebesar biji jagung memenuhi dahinya. Beliau membetulkan topi lebar yang terbuat dari anyaman rotan sembari menyuruh Didi mendekat.

"Coba ini."

Bapak mengulurkan pisau lipat yang ujungnya sudah berisi daging buah berwarna hitam. Didi mencondongkan tubuhnya ke depan minta disuapi. Karena teksturnya lembut, Didi tak perlu mengunyah daging buah itu. Rasanya manis dan meninggalkan kesan rasa pudding cokelat di lidah saat ia menelannya. Bapak dapat membaca ekspresi penuh apresiasi di wajah datar Didi. Beliau ikut mencoba buahnya juga.

"Kalo dijual, sekilo bisa nyampe tiga ratus ribu, Di," ujar bapak seraya mengangkat buah yang terbelah di tangan kiri. Ukurannya cukup besar. Jika bapak memang berniat menjualnya, satu kilo hanya berisi dua biji saja.

"Perawatannya mahal, Pak. Udah banyak yang panen?"

Bapak memandang sekeliling, lalu terkekeh pelan. "Cuma dua pohon." Jawabannya membuat Didi ikut memandang sekeliling juga.

"Didi bawa selai stroberi. Habis panen." Cewek itu mengibaskan tangan ke bagian depan cardigan-nya karena seekor kumbang hinggap di sana.

"Gulanya banyak?" Bapak mengambil daun kering yang jatuh di kepala Didi.

"Stroberinya udah manis, kok. Jadi, gulanya nggak banyak-banyak."

Bapak menganggut-manggut. Beliau memang sedang mengurangi asupan gula agar lebih sehat. Sembari memeluk pundak Didi, beliau menuntun putrinya kembali ke rumah. Mereka berjalan bersisian ditemani suara gemersik dedaunan di bawah kaki mereka.

"Kamu ... sehat, 'kan?" Satu hal yang sama-sama dimiliki oleh bapak dan Didi adalah kurang mahirnya mereka membuka percakapan untuk sekadar basa-basi.

"Sehat. Bapak?"

"Iya, sama."

Bapak mengeratkan pelukannya di pundak Didi. Ia yakin putrinya sesehat yang dikatakan. Dalam diam mereka menikmati perjalanan kembali ke rumah sambil ditemani angin sepoi-sepoi.

***

Keluarga pertama yang punya jadwal makan siang bersama tiba di rumah orang tua Didi sepuluh menit sebelum jam dua belas tepat. Mereka berisi Pakde Gino, Bude Asih, dan Tyo. Keluarga Pakde Gino datang dengan seragam batik-batik seperti tamu kondangan. Serasi dengan eyang yang setiap hari mengenakan kebaya.

Dua keluarga terlibat obrolan ringan, terutama setelah Ariana datang. Ia sengaja pulang lebih cepat untuk ikut makan bersama keluarga Bude Asih. Selain ibu, Bude Asih juga akrab dengan Ariana karena cewek itu sering ikut nimbrung di acara arisan perkumpulan ibunya. Didi sibuk dengan pikirannya sendiri. Setiap kali diajak bicara oleh Pakde Gino dan Bude Asih, ia hanya menjawab pendek-pendek.

"Nak Didi wetonnya apa?"

"Nggak tau."

"Jumat Kliwon," sahut ibu.

Bagi masyarakat Jawa, mencocokkan hari kelahiran dianggap perlu untuk meramalkan masa depan rumah tangga pasangan yang akan menikah. Selain demi mencapai keselamatan dan kebaikan berumah tangga kelak, menghitung weton juga bertujuan untuk mendapatkan kelancaran saat penyelenggaraan acara hajatan.

Di kamus Didi, semua hari itu baik. Tidak perlu dihitung untuk meramal keberuntungannya. Berhubung perhitungan weton sudah menjadi tradisi keluarganya secara turun menurun, Didi tak akan repot-repot mendebat. Walaupun berbeda pendapat, Didi masih menaruh hormat kepada eyang, bapak, dan ibu. Ia memilih diam saja saat Bude Asih menghitung weton dirinya dan Tyo, tak berniat menyanggah.

"Kalian berdua cocok. Yang satu tegas, yang satu kalem. Berimbang," ungkap Bude Asih setelah selesai menghitung bersama eyang. Semua orang tersenyum lega, kecuali Didi. Tyo juga kelihatan hanya mengangguk-angguk saja. Didi tak mengangkat kepala dari hidangan buatan ibu yang ia nikmati sejak tadi.

"Nak Didi ini dulunya seangkatan sama Arya-kah?" tanya Pakde Gino.

"Beda setahun."

Didi melirik Ariana. Sorot matanya menandakan kalau ia agak bingung dengan pertanyaan ini. Memangnya keluarga Tyo tidak mencari tahu dulu tentang bebet, bibit, bobot Didi sebelum datang kemari?

"Maksud saya, kuliah di New York."

"Saya nggak kuliah."

Tyo menyandarkan tubuh ke kursi untuk mengamati Didi yang duduk di depannya dengan tatapan menilai.

"Kamu tamat SMA?"

Didi mengangguk.

Saat itulah, eyang mengambil alih. "Didi ini memang nggak kuliah, tapi otaknya nggak kalah cerdas sama Arya. Dia lebih suka belajar lewat praktek dan pengalaman."

"Oh, ya?" Sebuah senyum tipis muncul di wajah Tyo. "Kalo nggak salah dengar, kamu wiraswasta, betul?"

Lagi-lagi Didi mengangguk. Ia menebak kalau Tyo dan orang tuanya diam-diam mulai melakukan pertimbangan ulang tentang perjodohan. Mereka perlu mencarikan jodoh yang sepadan dengan Tyo. Wajar jika setiap orang tua pasti ingin yang jodoh terbaik untuk anaknya.

"Saya punya toko buku bekas."

Ibu dan Ariana saling melirik. Bapak masih makan dengan tenang. Eyang memerhatikan ekspresi Bude Asih dan suaminya. Tyo bekerja sebagai PNS di kantor walikota. Kalaupun dia ingin bersikap arogan karena statusnya, Didi tetap maklum. Jadi PNS memang membanggakan. Promosinya jelas, kehidupan di masa tua terjamin, pekerjaannya juga dekat dengan orang-orang penting.

"Berubah pikiran?"

Didi meletakkan sendok. Ia sudah selesai makan. Cewek itu duduk tegak sambil mengelap mulutnya dengan serbet. Ia balik memandang Tyo. Bude Asih tertawa kecil, melunturkan kecanggungan yang tercipta selama beberapa detik.

"Kami bikin asumsi sendiri kalo kamu juga kuliah di New York kayak Arya tanpa pernah konfirmasi," ujar beliau.

"Didi ini jadi salah satu cucu yang paling Eyang banggakan. Dia mandiri sejak masih muda," timpal eyang. "Mungkin ada baiknya kalian berdua saling mengenal lebih dekat. Tanpa kami yang jadi pengamat atau penguping."

Tyo dan Didi sama-sama mengangguk singkat. Mereka sepakat mengatur waktu untuk pergi kencan berdua. Jadwalnya ditetapkan dalam waktu dekat, memaksa Didi untuk melonggarkan jadwalnya sendiri tanpa membuat pekerjaan terbengkalai.

Dari sikapnya, Didi hampir yakin kalau Tyo merupakan salah satu pria yang berpikiran terbuka. Terbukti dari ketersediannya untuk memberi kesempatan kepada mereka agar bisa saling mengenal. Seperti yang eyang mau. Didi sendiri mengalami kesulitan dalam menilai secara langsung kepribadian Tyo. Penampilan Tyo biasa-biasa saja. Dia juga tidak banyak bicara selama makan. Dia hanya sesekali kedapatan memerhatikannya dengan tatapan menilai.

***

Pulang dari rumah orang tuanya, Didi tidak langsung kembali ke Carpe Diem. Ada kebun yang harus diurus. Jika sudah mengurus kebun begini, pikirannya jadi otomatis ter-refresh. Bertemu banyak orang menjadi hal yang sangat menguras tenaga Didi. Ia lelah dan suasana hatinya mendadak buruk.

Cewek itu perlu memindahkan bibit pohon anggur yang berhasil ditumbuhkannya sebelum pergola jadi. Ketika Rafael nanti selesai membangunnya, batang merambat anggur akan menggunakan pergola sebagai penopang. Didi tersenyum kecil saat membayangkan akan sebesar apa anggurnya nanti.

Didi menoleh ke belakang sejak mendengar petikan ukulele pertama kali. Entah sejak kapan Zevanya datang. Di patio, anak itu memeluk alat musik yang mirip gitar mini sambil menyanyikan lagu dengan sepenuh hati.

"You are my sunshine, my only sunshine. You make me happy when skies are gray. You'll never know dear, how much I love you. Please don't take my sunshine away."

Zevanya tersenyum lebar ke arah Didi. Ia menurunkan satu kakinya yang sejak tadi bertengger di kursi bak seorang musisi sungguhan. Menyadari kalau Didi mungkin tak akan suka kursinya kotor kena sepatu, Zevanya buru-buru membersihkannya.

"Bagus, nggak?" tanya anak itu kemudian.

Didi hanya geleng-geleng kepala tak habis pikir. Ia meneruskan aktivitasnya untuk memindahkan pohon-pohon anggur muda di sekeliling lokasi yang akan dipasangi pergola. Topi anyaman rotan melindungi kepalanya dari sengatan matahari sore.

"Didi ... mainnya Zee bagus, nggak?" Anak itu bertanya lagi setelah sekian menit diabaikan.

"Bagus." Didi tersenyum saat menjawab. Sayang, Zevanya tak bisa melihat karena Didi sedang membelakanginya. Mendengar jawaban barusan, Zevanya berlari kecil ke arah Didi. Ia berjongkok di sebelah cewek itu lengkap dengan wajah antusias.

"Zee punya temen lagi, lho!"

Senyum masih enggan hilang dari wajah Didi. Lagu You Are My Sunshine masih terngiang-ngiang di kepalanya. Didi mengangguk sebagai respons.

"Sekarang, temennya Zee ada dua. Yang satu namanya Inez, satu lagi namanya Dean. Mereka baik sama Zee. And you know what, sejak ditinggal Daddy ke luar kota, tic-nya Zee jarang kambuh. Apa sekarang Zee udah sembuh?" celotehnya panjang lebar. Siasatnya bagus juga. Ia sengaja memainkan lagu untuk Didi agar tetangganya itu dalam suasana hati baik ketika mendengar curhatannya tentang sekolah.

Didi memegang sekop sambil memandang Zevanya. "Kamu minum obat?"

Anak itu mengangguk. "Zee rutin minum obat. Tic-nya Zee juga nggak berbahaya sekarang. Paling cuma ...." Baru saja disinggung, Zevanya berkedip berkali-kali dalam tempo cepat. Tic-nya kambuh lagi. "Yahhh ...," desahnya kecewa.

"Kamu terlalu senang, jadi tic-nya muncul," ujar Didi to-the-point.

Wajah Zevanya amat polos saat bertanya, "Masa Zee nggak boleh senang?"

Seulas senyum muncul di wajah Didi. "Tourette kamu bukan hal yang memalukan, Zee. Tic bisa kambuh kapan pun tanpa bisa kamu cegah. Itu bukan kelemahan kamu."

"Zee pengen ngitungin rekor berapa lama Zee nggak mengalami tic dalam satu hari."

Didi memicingkan matanya. "Kamu lagi berusaha supaya teman-teman barumu nggak merasa terganggu dengan tourette-mu, ya?"

Zevanya memeluk ukulelenya erat-erat. Satu tangannya terulur ke bawah untuk mencabuti rumput dekat kakinya.

"Zee," panggil Didi. "Numerous friends will be none if they don't care about you."

"Mereka peduli sama Zee, kok!" sanggah Zevanya.

"Bagus, dong. Jadi, kamu nggak perlu berusaha buat menutupi tic-mu." Didi memandangi ekspresi Zevanya yang berubah-ubah dari menyatukan kedua alis, lalu murung, kemudian mengangguk.

"Mereka nggak ngolok-ngolok Zee. Nggak kayak kakak kelas tiga, huh!"

"Kamu habis digangguin lagi?"

"Bukan Zee, tapi Inez. Kakel minta dibeliin makanan waktu jam istirahat. Udah nyuruh, nggak modal pula!"

"Terus kamu ngapain waktu liat Inez digituin?"

"Inez-nya Zee bawa lari. Balik ke kelas, makan bekal yang dibawain Bu Imah buat Zee. Kakel nggak berani masuk ke kelasnya Zee soalnya takut sama ketua kelas. Ketua kelasnya Zee itu galaknya bukan main. Apalagi kalo nagih uang kas. Padahal, kan, itu tugasnya bundara, ya?"

"Bendahara."

"Benda-hara." Zevanya mengangguk. "Minggu depan ada acara Pekan Bakat di sekolah. Zee mau nari-nari pake lagu yang happy. Didi mau datang, nggak?"

Didi mulai terbiasa dengan topik Zevanya yang melompat-lompat. Anak itu sedang antusias sekali.

"Kenapa aku harus datang?"

"Soalnya undangannya buat dua orang. Daddy dapat satu. Awalnya mau Zee kasih ke Bu Imah, tapi minggu depan Bu Imah jadwalnya pulang kampung. Kalo ngajak Tante Arya, nanti Om Jonas cemburu, pengen diundang juga. Undangannya cuma ada dua." Ia mengacungkan dua jari.

Dahi Didi berkerut dalam ketika membayangkan harus hadir di acara yang melibatkan keluarga. Padahal, ia bukan siapa-siapa. "Emang kamu bisa nari?"

Zevanya meletakkan ukulele di rumput. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan menyalakan musik yang rencananya akan digunakan sebagai soundtrack tariannya. Anak itu menaruh ponsel di atas ukulele dan bergegas mengambil posisi untuk menari. Didi menghentikan sementara kegiatannya. Ia melipat kedua tangan di lutut untuk menonton Zevanya.

***

Darren disambut oleh suara musik menggelegar yang dinyalakan dalam volume tertinggi dari speaker. Lagu Pharrell Williams. Sejak dari pagar, lelaki itu sudah berteriak beberapa kali untuk mengumumkan kepulangannya. Bu Imah datang menyongsong Darren agar bisa membantu membawakan koper dan tas.

"Kenapa Zee nyalain musik kenceng banget?" Darren mendekatkan mulutnya ke telinga Bu Imah supaya wanita itu bisa mendengarnya.

Bu Imah balas berteriak, "Non Zeezee persiapan mau tampil di acara bakat, katanya. Rajin latihan dari kemarin."

Darren menghela napas berat. Ia bergegas masuk agar bisa menegur putrinya. Lelaki itu khawatir kalau suara kencang musik Zevanya akan membuat tetangga sebelah komplain. Terutama Didi. Padahal baru beberapa hari lalu, mereka mulai membangun hubungan baik dengan menghabiskan malam bersama di toko buku.

Tunggu sebentar. Menghabiskan malam bersama terdengar kurang tepat. Sesi curhat singkat sepertinya lebih cocok.

Niat Darren untuk memarahi Zevanya mendadak sirna ketika dilihatnya anak itu sedang menari penuh semangat di tengah ruang keluarga. Zevanya melompat-lompat dan melakukan tarian tak beritme. Pokoknya asal gerak saja. Meski begitu, Zevanya tampak senang. Gerakan penuh semangat putrinya menulari Darren untuk ikut tersenyum. Tanpa mengejutkan Zevanya, ia menurunkan volume musik. Tentu saja anak itu menyadarinya. Putrinya mendadak berhenti menari.

"Daddy!" Yang tidak disangka, Zevanya kelihatan senang sekali melihatnya pulang. Anak itu memeluk Darren seperti sudah tak bertemu lama.

Darren balas memeluknya. "Lagi bersenang-senang, hm?"

Zevanya mendongak. "Zee lagi latihan. Mau tampil di Pekan Bakat Sabtu depan. Semua anak dapat dua undangan buat orang tua. Satu buat Daddy, satunya buat Didi."

"Whoa ... whoa ...." Darren menurunkan tubuhnya agar bisa sejajar dengan sang putri yang agak terlalu bersemangat hari itu. "Kenapa ngajak Didi?"

"Zee pengen Didi liat Zee di panggung."

"Emangnya dia bersedia?"

Zevanya menggaruk dahinya. Tadi, ia sudah bilang, tetapi belum dapat jawaban dari Didi. "Ntar Zee tanya lagi. Soalnya tadi Didi nggak bilang apa-apa."

"Zeezee ...." Darren meletakkan tangannya di kedua bahu Zevanya. "Daddy nggak bermaksud bikin kamu sedih, tapi kayaknya Didi nggak akan mau dateng ke acara yang banyak orang."

"Kenapa?"

"Didi nggak suka keramaian."

"Nanti Zee pilihin tempat duduk yang nggak rame. Daddy kan bisa jagain Didi di sana."

Darren menggaruk pangkal hidungnya. Ia belum menemukan kalimat yang pas tentang kondisi Didi tanpa membuat putrinya sedih. Sudahlah, acaranya masih minggu depan. Pembahasan ini bisa ditunda.

"Kamu berencana nampilin bakat apa?"

"Nari pake lagu ini. Look!" Zevanya mundur beberapa langkah agar bisa melanjutkan tariannya yang mirip robot bertepuk tangan. Darren mengulum senyum agar Zevanya tidak marah. "Dance with me, Daddy!"

Tangan Darren ditarik untuk diajak menari bersama.

"Oh, Zee. Daddy capek. Lagian Daddy nggak bisa nari."

"Liat Zee! Move your body like I do, just move!"

Zevanya menggoyangkan pinggul ke kanan dan kiri dengan ekspresi semringah. Mau tak mau, Darren mengikutinya juga. Ayah dan anak itu menari bersama sambil menertawai satu sama lain. Gerakan mereka selaras, sama-sama tak mengikuti tempo lagu. Zevanya mewarisi kelemahan Darren dalam menari. Seharusnya ia memilih main ukulele saja untuk ditampilkan di acara pentas bakatnya.

***

"Rumah kamu yang banyak tanamannya ini? Kanan jalan?" Didi sengaja me-loudspeaker panggilan dari Tyo karena sedang bersiap-siap.

"Betul."

"Oke, saya udah nyampe."

"Nggak usah turun."

"Iya, saya tunggu di mobil."

Didi mematikan panggilan mereka. Ia mematut diri di depan cermin sekali lagi. Ia tak bersemangat untuk pergi bersama Tyo sore ini. Selain karena ia harus menyisihkan waktu akhir pekan untuk orang asing, pria itu mengajaknya pergi makan malam di sebuah kafe milik temannya.

Ketika Didi membuka pintu depan, sebuah mobil sedan mewah sudah parkir di depan rumahnya. Tyo turun dari kursi pengemudi begitu melihatnya. Pria itu membukakan pintu sebelah pengemudi untuknya. Sebuah gestur sopan. Dari teras, Didi dapat melihat lapangan basket sedang penuh oleh cowok-cowok yang tinggal di sekitar kompleks. Pada hari-hari tertentu, mereka menggunakan lapangan di depan rumah Darren sebagai tempat main basket.

Darren sudah pulang. Lelaki itu juga turut hadir untuk menjadi anggota tim basket yang bermain di sana. Di antara cowok-cowok SMA dan kuliahan di sana, sosok Darren jadi yang paling mencolok karena rambut gondrongnya diikat di belakang kepala dan wajahnya dipenuhi rambut tipis. Lelaki itu berkeringat sampai membuat kausnya basah.

"Didi?"

Panggilan Tyo membuat cewek itu menoleh. Didi menyeberangi teras agar bisa segera masuk mobil.

"Didi!" Zevanya muncul entah dari mana. Anak itu mengenakan helm dan pelindung lutut. Sepatu rodanya meluncur cepat ke arah Didi. "Didi mau ke mana?" tanyanya seraya menghentikan laju sepatu roda tepat di depan si Tetangga.

"Ada acara," jawab Didi pendek. Kepalanya tanpa sengaja menoleh ke arah lapangan basket lagi. Kebetulan Darren juga sedang memandangnya.

Lelaki itu berdiri di pinggir lapangan sembari minum dari botol yang ia bawa dari rumah. Ia memerhatikan Didi dan Zevanya. Matanya agak memicing agar bisa melihat siapa laki-laki yang menjemput Didi. Kemarin, tamunya bawa Hilux penuh kayu. Sekarang, tamunya naik sedan mengilap. Darren juga tak mengerti mengapa ia menilai laki-laki yang datang ke rumah Didi lewat kendaraan mereka. Dari penilaiannya selama ini, teman laki-laki Didi rupanya bervariasi. Ada yang macho seperti Rafael, ada juga yang perlente seperti Tyo. Darren penasaran, sebenarnya tipe laki-laki yang disukai Didi seperti apa.

"Lama, nggak? Nanti makan malam di rumah Zee, yuk? Bu Imah nyoba bikin pizza sendiri, lho!" Zevanya memamerkan senyum penuh gusinya.

Tanpa sadar, Darren sudah mendekat selangkah agar bisa mendengar obrolan mereka. Jaraknya terlalu jauh, agak mustahil bisa didengar.

"Nggak bisa. Aku juga mau pergi makan malam."

"Ohh ...." Wajah Zevanya berubah kecewa. "Sama Om yang ini?" Ia menatap Tyo yang berdiri di sebelah Didi.

"Iya."

"Okay, then. Bye, Didi."

Walau hatinya kecewa, Zevanya tetap mundur agar tidak menahan Didi dan temannya lebih lama lagi. Sebelum cewek itu masuk mobil, Zevanya sempat melihat tas tote berbahan nylon yang dibawa Didi bergerak-gerak sedikit. Ia tak bertanya karena Didi sudah keburu pergi.

***

Setelah keluar dari blok Didi, Tyo melirik penumpangnya sekilas. Pria itu mengenakan baju semi kasual yang bisa juga dipakai untuk pergi ke acara formal. Rambutnya telah disisir rapi. Jam tangannya dipilih dari koleksi yang paling mahal. Sepatunya mengilap. Parfum limited edition yang ia pilih hari ini memenuhi indra penciuman Didi, mengalahkan aroma pengharum mobil.

Penampilan Didi tak berbeda dari kali terakhir mereka bertemu. Bajunya sama, hanya warna cardigan-nya saja yang berbeda. Aksesoris tengkorak menggantung di depan dadanya. Tyo yakin kalau Didi hanya punya satu pasang sepatu ankle boot untuk digunakan setiap kali ada acara khusus. Seperti makan siang kemarin dan saat ini contohnya.

"Apa ini baju terbaik yang kamu punya?" tanya Tyo. Ia tidak tahan lagi.

"Kenapa sama baju saya?" Didi balik bertanya tanpa menoleh.

"Nyadar nggak kalo ini baju yang sama dengan yang kamu pake kemarin?"

"Beda. Kemarin, saya pake cardigan coklat. Hari ini biru."

"Berarti ini memang gaya kamu?"

"Semacam itu."

"Saya kira kamu nggak bisa beli baju lain. Ternyata cuma masalah selera aja."

Didi tersenyum kecil. "Apa saya jadi kelihatan miskin karena pake baju yang sama?"

Tyo menggeleng. "Baju kamu emang kelihatan murah, tapi bagi orang yang pertama kali liat kamu, mereka pasti nganggep style kamu aja yang nggak biasa. Nggak cocok dipake di tengah cuaca panas kota kita. Mungkin terdengar lancang bagi saya buat ngomong ini, tapi jujur aja ... tadinya saya berharap kalo kamu akan berusaha lebih keras untuk bikin saya terkesan dengan penampilan kamu hari ini."

"Saya nggak punya kewajiban buat mengesankan siapa-siapa." Didi menyahut dengan setengah bergumam. Ia teringat dengan komentar-komentar yang selama ini didapatkannya dari sekitar. Bukan berarti ia jadi kepikiran. Ia hanya menyayangkan penilaian Tyo terhadap dirinya. Padahal, mereka belum lama saling mengenal.

"Kamu terlalu idealis," Tyo berdecak tak setuju.

"Kamu terlalu judgemental," balas Didi datar.

Tas yang diletakkan di pangkuan Didi bergerak-gerak. Sesuatu keluar dari sana. Awalnya, Tyo tidak menyadari. Namun, ketika kepala seekor piton muncul dan menyentuh tuas pemindah gigi mobil dengan lidah hitamnya yang bercabang, Tyo otomatis memekik dan menginjak rem. Tubuh keduanya terantuk ke depan. Tas Didi juga jatuh ke bawah, membuat ular piton dewasa yang ukurannya membuat jantungan itu keluar dari wadah yang selama ini melindunginya. Tyo buru-buru melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Ia panik bukan main. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia bergidik begitu kedua kakinya menyentuh aspal.

Didi menyusul turun dari mobil.

"U-ular!" Tyo menunjuk tas Didi yang bergerak-gerak. Kepala piton hitam dengan gurat putih di bawah moncongnya mengintip ke luar.

"Namanya Darren. Kamu bikin dia kaget," ujar Didi.

"Saya bikin dia kaget?!" Tyo memekik tak percaya. "Kamu udah gila bawa-bawa ular ke mobil saya!"

Didi mengangguk-angguk dengan wajah tanpa ekspresi.

"Le-lebih baik makan malamnya kita batalin aja. Saya nggak bisa semobil sama ular."

Didi mengangguk singkat. Tanpa repot-repot berpamitan, Didi berbalik untuk pulang ke rumah. Jalan kaki. Mengingat reaksinya tadi, Tyo tak akan bersedia mengantarnya. Ketika Didi menoleh ke belakang, sedan pria itu sudah melaju pergi.

"Untung belum keluar dari kompleks," gumam Didi. "Makasih, Sayang." Ia mengecup puncak kepala Darren yang memanjat bahunya.

***

"Didiii!"

Suara sepatu roda Zevanya memenuhi telinga Didi saat ia sudah berjarak beberapa langkah dari rumah. Anak itu mengerem mendadak dengan memiringkan salah satu kakinya ke samping. Ia berhenti tepat di depan Didi. "Kok udah pulang? Kok jalan kaki?"

Didi maju ke depan untuk membetulkan helm Zevanya yang miring ke depan, membuat satu alisnya tertutup.

"Temenku nggak bawa dompet," jawab Didi asal. "Dengerin apa?"

Ia menunjuk AirPod yang terpasang di masing-masing telinga Zevanya. Anak itu mengulurkan satu AirPod untuk dipasangkan ke telinga Didi. Cewek itu setengah berjongkok agar tangan Zevanya dapat meraihnya.

"Jake Bugg. Zee suka dia."

Didi mengernyit karena mendengar suara penyanyi Inggris yang menurutnya terlalu tua untuk didengar oleh anak kecil seumuran Zevanya. Biasanya anak-anak seumuran dia suka lagu-lagu ceria yang sedang nge-trend saja. Meskipun lagu Jake Bugg bagus, dia bukan salah satu musisi yang punya banyak peminat di kalangan remaja Indonesia.

Didi mengembalikan AirPod ke telinga Zevanya. Ia mengangkat kepala untuk melihat ke arah lapangan basket. Baru berapa menit berselang sejak kepergiannya, Stella sudah berhasil memikat Darren. Didi menyebutnya memikat karena saat ini tangan Darren sedang melingkari kedua pundak cewek itu, memberikan arahan untuk melakukan lemparan three-point. Cowok-cowok yang tadinya ikut main basket sudah duduk-duduk di pinggir lapangan untuk beristirahat.

"Didi sukanya lagu apa?" Pertanyaan Zevanya membuat fokus Didi kembali kepada anak itu.

"Lagu yang bisa membangkitkan orang mati."

Zevanya memandanginya agak lama, otaknya jelas bingung mencerna informasi itu. "Kayak apa contohnya?"

"Kamu harus mati dulu biar bisa dengar lagunya."

Tanpa menjelaskan maksudnya, Didi berjalan melewati Zevanya agar bisa masuk ke rumahnya sendiri. Ia meninggalkan Zevanya yang masih bingung memikirkan musik jenis apa yang mampu membangkitkan orang mati. Apakah itu artinya Didi pernah mati dan bangkit lagi karena mendengarkan lagu?

Zevanya makin bingung. Ia memutuskan pergi ke lapangan basket, di mana Darren sedang memerhatikan Stella melempar bola ke dalam ring yang berjarak tak jauh dari mereka berdiri.

"Daddy!" Tubuh Zevanya menempel di kawat harmonika yang mengelilingi lapangan. "Lagu apa yang bisa membangkitkan orang mati?"

Raut wajah Zevanya sangat penasaran. Anak itu mengerjapkan mata beberapa kali karena tic.

"Maksudnya?"

"Didi suka lagu yang bisa membangkitkan orang mati. Siapa penyanyinya? Judulnya apa? Apa betul cuma orang mati aja yang boleh denger lagunya? Zee nggak bisa denger?" Pertanyaan bertubi-tubi yang keluar dari mulut Zevanya membuat Darren memandangi rumah Didi.

"Daddy, Zee pengen tau lagunya!" Zevanya menarik-narik kawat besi tak sabar.

***

"Kenapa, Ren?" Pertanyaan Stella membuat Darren menoleh dari rumah Didi. Cewek itu tiba-tiba muncul setelah pertandingan basket selesai. Mereka sempat basa-basi sebentar. Kemudian, Stella minta diajari melakukan lemparan jarak jauh.

Darren menggeleng. "Mau jemput anakku. Udah kesorean, nggak enak sama Didi." Lantaran tak kunjung mendapat jawaban atas pertanyaan lagu yang bisa membangkitkan orang mati, Zevanya langsung berlari ke rumah Didi. Mungkin ingin menuntut jawaban. Tadinya Darren ragu apakah harus menjemput Zevanya atau tidak.

"Zee sering main ke rumah Didi keliatannya. Kamu nggak khawatir?"

"Khawatir kenapa?" Darren mengernyit.

"Ular sama tarantula, remember?"

"Oh ...."

Aneh. Belakangan ini Darren sudah tidak terlalu mencemaskan bahaya yang bisa ditimbulkan hewan-hewan peliharaan Didi kepada Zevanya. Ia selalu yakin kalau anaknya akan baik-baik saja bersama Didi. Toh, belum pernah ada insiden berarti sejak terkilirnya kaki Zevanya waktu itu.

"Nggak apa-apa." Darren mengambil handuk kecil bekas lap keringat dan botol minumannya, bersiap pergi.

"Bang!"

Darren menoleh lagi karena panggilan dari teman-teman main basketnya hari ini.

"Minggu depan main lagi, yak!"

Darren hanya tersenyum kecil sembari mengacungkan satu jempol.

"Pak Darreeennn!" Bu Imah melambai di depan pagar untuk menarik perhatian Darren yang sedang dalam perjalanan menjemput Zevanya di rumah Didi.

"Ada telepon!"

Darren berbelok menuju rumah sambil berlari kecil.

***

"Hallo?"

"Masih hidup, Ren?" Baru saja ditempeli gagang telepon, telinga Darren sudah disambut pertanyaan sarkas Jonas. "HP-mu ke mana, Bro?"

"Belum dicas. Kemarin sempet ilang beberapa hari."

"Ketemu di mana?"

"Di bawah kolong tempat tidur."

Ada jeda agak lama di seberang. Mungkin Jonas sedang menahan dirinya agar tidak mengomel panjang lebar.

"Terus kenapa masih nggak bisa dihubungi?"

Darren menggaruk hidungnya. "Baterainya abis. Udah kubilang belum dicas."

"Maksudku, kenapa belum dicas? Kita mau ngehubungin jadi susah, Bro!"

"Iya, nanti kucas. Ada apa?"

"Aku lagi otw ke rumahmu. Kita 'kan janjian nonton The Knicks!"

"Pertandingannya sekarang?" Darren mengecek jam tangannya untuk melihat tanggal.

Jonas mengerang pelan sebelum ngegas. "Kemarin, Pikun! Hari ini nonton siaran ulang!"

"Oh, oke, oke. Udah nyampe mana?"

"Baru keluar tol."

"Bisa minta tolong, nggak?"

"Apaan?"

"Nitip beliin charger. Kemarin ilang, terus sempet ketemu waktu HP-ku ikut ngilang. Sekarang, giliran HP-nya ketemu, charger yang ilang lagi."

Tawa sumbang Darren disambut helaan napas panjang Jonas. Setelah panggilan dengan Jonas berakhir, Darren buru-buru pergi mandi. Tubuhnya berkeringat. Ia sempat berpesan kepada Bu Imah agar menjemput Zevanya karena anak itu harus belajar dan mengerjakan PR. Besok bukan weekend.

Knicks merupakan kependekan dari New York Knickerbockers, sebuah tim pebasket profesional Amerika yang berbasis di Kota New York. Darren dan Jonas sama-sama penikmat olahraga basket. Mereka sering menyempatkan waktu untuk menonton pertandingan langsung setiap kali tim kesukaan mereka alias The Knicks sedang bertanding. Berhubung sekarang keduanya tinggal di Indonesia, nonton siaran ulang pertandingan di TV pun tak masalah.

Setelah mandi, Darren berganti baju dengan kaus suporter warna biru. Lelaki itu menyalakan TV bersamaan dengan kedatangan Jonas yang membawa banyak bir di tangan. Jonas mengenakan kaus suporter warna putih yang hampir identik dengan yang dikenakan Darren.

Sembari mengempaskan tubuhnya ke sofa, Jonas melempar sebuah charger ponsel ke arah Darren. Lelaki itu menangkapnya. Ia menggumamkan terima kasih dan langsung menggunakan charger baru untuk mengisi ulang daya di ponsel yang mati. Sebentar lagi, ia akan menikmati kemudahan berkomunikasi setelah berhari-hari hanya bisa menggunakan telepon rumah dan email.

"Taruhan, hari ini Knicks menang lagi."

Jonas mengupas kacang kulit yang sudah tersedia dalam mangkuk besar di meja.

Darren menunjuk kausnya. "Lah, mau taruhan sama siapa?" Mereka mendukung tim yang sama. Ia mengambil tempat duduk di sebelah Jonas, menonton tayangan situasi di Madison Square Garden, lokasi pertandingan kemarin. Mereka sengaja tidak mencari tahu siapa tim yang menang karena ingin merasakan sensasi seperti menonton pertandingan secara langsung.

"Ren."

Yang dipanggil menoleh. Kalau dilihat-lihat, raut Jonas lebih serius daripada tadi, tanda-tanda ingin curhat. "Seharian ini, Arya ngacangin aku," ungkapnya.

Darren melempar isi kacang ke dalam mulut. "Kenapa?"

"Salah paham kecil. Biasalah."

"Terus?"

"Ya ... setelah kupikir-pikir, tensi menuju hari pernikahan itu bikin Arya makin sensitif. Dia sering marah-marah nggak jelas. Segala harus sesuai mau dia. Beda banget waktu dulu-dulu kami pacaran." Jonas mendesah pelan. "Kira-kira kalo udah nikah ntar, Arya jadi kayak gimana, ya? Mendadak ragu."

Darren mengulurkan satu tangan untuk mengambil sekaleng bir di meja.

"Bro, ada saran nggak? Petuah gitu. Kamu lebih berpengalaman di bidang pernikahan." Jonas menegakkan tubuhnya. "Kasih tips buat temenmu yang hampir nggak lajang ini."

Melihat ekspresi serius Darren, Jonas jadi mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Ia tak ingin kehilangan satu pun saran yang keluar dari mulut Darren.

"Bro," Darren berkata.

"Apa?"

"Masa mau minta saran ke orang yang pernikahannya gagal?" Lelaki itu mengunyah kacang. "Ilmuku tentang pernikahan juga nol. Sama nggak taunya kayak kalian."

Jonas mengembuskan napas berat lewat mulut. Apa yang dikatakan Darren memang benar. Temannya itu hanya pernah merasakan indahnya pernikahan kurang dari satu tahun saja. Selebihnya ia habiskan dengan hidup berumah tangga bersama musiknya. Jika ini tentang cinta, jam terbang Darren masih kalah jauh dibandingkan dengan Jonas.

Zevanya berjalan melewati mereka sambil melompat-lompat kecil. Helm dan pelindung lututnya ia peluk di depan dada. Anak itu sedang dalam perjalanan menuju kamarnya.

"Zee, ada Om Jonas," tegur Darren.

Zevanya berhenti. Ia menoleh ke arah Jonas, lalu tersenyum lebar. "Hai, Om!"

"Hai. Abis dari mana, nih? Seneng amat keliatannya," balas Jonas.

"Dari sebelah. Didi ngasih lilin aroma terapi buat bantu Zee konsentrasi belajar." Anak itu menunjukkan lilin yang ia maksud.

Jonas melirik Darren yang sedang pura-pura tak melihat. "Sering main ke tempat Didi?"

Lelaki itu menepuk-tepuk permukaan sofa di sebelahnya agar Zevanya bisa duduk. Ia penasaran sekali dengan cerita tentang Didi-Didi ini. Karena Ariana keburu mengomel tentang Stella sewaktu makan malam terakhir kemarin, ia jadi tak sempat menginterogasi Darren. Zevanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Jonas. Anak itu duduk di ruang kosong antara Jonas dan Darren.

"Didi itu keren banget, Om!"

"Kerennya karena?"

"Rumah Didi adem, punya kebun buah macem-macem, jadi Zee bisa makan buah gratis kalo lagi panen. Didi juga punya ular sama tarantula. Awal-awal dulu Zee emang takut, sekarang udah enggak lagi. Zee pernah lho diajak mandiin Darren di bath-tub—"

Kedua pupil Darren membelalak lebar karena cerita putrinya. "Wait, what?!" Ia belum pernah mendengar ini.

"Not dangerous at all, Daddy." Zevanya menepuk-nepuk punggung tangan Darren, menenangkan. "Ular pitonnya Didi baiiikkk ... pinter, nggak gigit. Zee suka pegang sisiknya. Kalo kena matahari jadi muncul warna pelangi."

Darren jelas syok. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa. Lelaki itu mengira hubungan si Ular dan putrinya hanya sebatas saling mengamati dari tempat masing-masing. Si Ular di kandangnya, sedangkan Zevanya di ruang tamu Didi.

"Arya juga bilang kalo ularnya Didi jinak banget. Meskipun bentuknya segede itu." Jonas menambahkan, "Tapi sampe mandiin dia ... wah, hebat banget kamu, Zee." Ia mengacak rambut Zevanya karena merasa bangga.

"Didi jadi teman pertama Zee sejak pindah ke sini. Waktu Zee sedih, Didi selalu ada buat hibur Zee," lanjut Zevanya dengan mata berbinar. "She's very good inside."

Anak itu menyentuh dadanya sendiri.

"Kalo Daddy kamu, baik nggak?" goda Jonas.

"Kadang-kadang baik. Juara pertamanya masih Didi."

Jonas mengulum senyum. "Cocok jadi mamanya kamu." Ia menyenggol lengan Zevanya. "Kira-kira Zee mau nggak punya Mama baru?"

"Mama baru?" ulang Zevanya tak mengerti.

"Iya. Mama baru. Kayaknya Didi bisa tuh jadi Mama baru—" Kalimat Jonas terpotong oleh pukulan di belakang kepala dari Darren. Zevanya tak melihatnya. Anak itu telanjur berpikir.

"Nggak usah dengerin omongan Om Jonas, Zee!" Darren menepuk-nepuk pundak Zevanya, membuat anak itu mengangguk mengerti.

"Lagian Daddy nggak cocok sama Didi," timpal sang putri.

"Lho, kenapa?" Jonas masih gatal ingin menggoda. "Kalo Daddy kamu yang naksir Didi, gimana?"

Berbeda dengan Jonas, Darren justru gatal ingin merobek mulut temannya itu.

"Didi nggak suka Daddy."

Darren memutar bola mata. "Didi nggak suka siapa-siapa."

"Didi suka sama Om Rafael, kok."

Darren mengernyit. "Siapa Rafael?"

Jonas menepuk lengan sahabatnya. "Temen deketnya Didi dari SMA."

"Bina Bangsa?" Darren coba mengingat-ingat sambil mengabaikan perasaan asing yang muncul di hatinya saat Zevanya mengatakan fakta tentang Didi menyukai seseorang. "Eh, Arya bilang SMA Didi nggak di Bina Bangsa."

"Emang bukan. Aku juga lupa SMA di mana. Pokoknya temen deket dari dulu sampe sekarang. Arya curiga mereka kejebak friendzone," timpal Jonas.

"Friendzone?" Zevanya tahu artinya, tetapi tidak paham maksudnya.

Darren buru-buru menutup mulut Jonas dengan mengatakan, "Zee, cuci kaki sama tangan kamu. Makan malam, terus belajar."

Bibir Zevanya otomatis memberengut, tetapi tidak lama. Ia akan belajar ditemani lilin aroma terapi dari Didi. Anak itu bergegas naik ke kamarnya sendiri, meninggalkan dua lelaki yang kini saling berpandangan.

Senyum Jonas merekah. "Didi, huh?"

Darren mendengkus. "Mama baru, huh?" balasnya sarkas. "Imajinasimu itu bener-bener nggak ada duanya!"

Jonas tertawa. "Memangnya kenapa? Ato kalo nggak sama Didi, sama Bu Kacab aja. Depan rumah, tuh! Keliatannya dia suka kamu."

"Bukan tipeku."

"Tipemu yang kayak gimana? Didi?"

Darren hampir saja menjawab. Namun, ia keburu kesal dengan wajah Jonas yang terus menaik-turunkan alis dengan gaya menyebalkan.

"Kalo nggak mau nonton, mending pulang, sana!"

Jonas mengangkat kedua tangannya ke atas. Ia tak akan cari gara-gara lagi, ketimbang diusir.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top