7 | MANTAN SENIOR

MOBIL Jonas berhenti tepat di antara rumah Didi dan Darren. Ariana turun lebih dulu. Wajahnya masam. Pintu mobil sengaja dibantingnya.

"Ayolah, Babe! Mana kutau dia siapa." Jonas menyusulnya turun. "Kontraknya udah diteken, masa mau dibatalin gitu aja? Dia juga udah bawa kru pindahan kemari."

Pembicaraan mereka selama perjalanan belum selesai. Ariana sudah enggan meneruskan.

"Urus aja tuh penyewamu!" Ariana melengos masuk ke teras Didi. Itu bukan area yang bisa seenaknya Jonas datangi tanpa merasa cemas Didi bakal mengusirnya.

"Didi!" Ariana menggedor pintu agak keras. "Aku tau kamu di rumah! Buka pintunya!"

Jonas berdiri di depan mobil. "Kamu punya kunci cadangan Didi."

Merasa diingatkan oleh orang yang sedang tak disukainya, Ariana mendengkus kesal. Ia merogoh tas dan mengeluarkan sebuah kunci. Buru-buru, ia membuka pintu depan rumah Didi dengan kunci di tangan.

"Aku ke rumah Darren." Jonas tidak tahu apakah Ariana sempat mendengarnya atau tidak. Pintu rumah Didi keburu dibanting menutup.

Seharusnya Ariana dapat menduga apa yang sedang dilakukan Didi di rumah sampai tidak mau repot-repot membukakan pintu untuknya.

Cewek itu sedang bertapa. Semedi. Meditasi. Apa pun istilahnya. Dupa dan lilin aroma terapi tersebar di lantai sekeliling Didi yang duduk bersila mirip biksu. Nanna bersantai di kepalanya. Cewek itu memilih spot bertapa tepat di tengah-tengah rumah, menuruti feng-shui.

"Didi!" Ariana meletakkan kedua tangannya di pinggang. Yang dipanggil membuka satu matanya. Hanya sesaat sebelum ia menutupnya lagi. "Nggak kerja?"

"Libur," jawab Didi pendek.

"Biasanya kamu milih hari Senin buat libur."

"Senin kemarin aku lembur. Mau apa ke sini?" Didi mengalihkan topik tanpa berpindah dari pose meditasinya saat ini. Membuka mata pun tidak.

"Mau nengokin kamulah!" Ariana duduk di sofa. "Sekaligus ngasih tau kalo kamu kedatangan tetangga baru. Jonas baru aja ngontrakin rumah depan ke Stella. Inget Stella, nggak? Senior kita di Bina Bangsa."

Didi mengembuskan napas secara perlahan lewat mulut. Ia bangkit untuk mengembalikan Nanna ke tangkinya sendiri. Semua dupa dan lilin aroma terapi yang berserakan di lantai ia bersihkan.

Ariana menyibak tirai jendela yang terhubung ke teras.

"Tuh orangnya!" Kedua mata cewek itu menyipit saat memerhatikan tetangga baru Didi baru saja tiba ke rumah baru yang dikontrakkan Jonas kepadanya. "Abangnya Stella ternyata temen Jonas."

Didi tak menyahut. Ia sibuk membereskan barang-barang yang perlu dibereskan. Kemarin, ia sudah banyak bicara gara-gara Zevanya. Didi sengaja menghindar dari anak itu beberapa hari ini agar tidak terlibat obrolan yang membuat tenggorokan serta kepalanya sakit.

"Denger-denger dia jadi kepala cabang bank, lho." Ariana tak sanggup menahan perasaan sebalnya lebih lama. Jadi, ia menutup tirai Didi. "Masih muda udah jadi Kacab! Nggak kayak kita. Perusahaan punya orang tua. Investasi dapetnya dari orang tua. Rumah juga warisan orang tua."

"Kamu sebenarnya lagi nyindir Stella atau aku?" Didi menoleh.

"Nyindir dialah! Masuk akal nggak umur segitu jadi Kacab?!"

"Kamu, kan, nggak tau kebijakan bank itu kayak apa. Siapa tau emang kerjanya dia bagus."

"Atau ...." Ariana menurunkan kedua kaki yang tadinya diangkat ke sofa. Rautnya penuh konspirasi. "Dia jadi Kacab karena ngejilat atasan. Bisa aja, 'kan?"

Didi mengangkat sebelah alisnya tanpa mengubah ekspresi.

"Kok kamu nggak kaget, sih, Stella ngontrak rumah depan?" Ariana heran dengan sikap Didi yang menurutnya biasa-biasa saja. Apa betul kakaknya ini sudah mati rasa dengan kehidupan?

"Kita tinggal di kota yang sama. Cepat atau lambat pasti ketemu, gimana pun situasinya."

"Kalo dia nyapa kamu, reaksimu bakal gimana?"

"Biasa aja."

Bagi Ariana, biasa yang dimaksud Didi adalah dengan mengabaikannya.

"Stella tinggal sendirian. Dia udah tau kalo Darren tinggal di sini juga. Gara-gara mulut embernya Jonas, tuh! Sok asik banget mentang-mentang itu adek temennya." Ariana meremas bantal cushion di sebelahnya. "Pasti dia tetep ngeselin kayak dulu!"

Didi geleng-geleng kepala melihat reaksi Ariana yang menurutnya berlebihan. Usai membereskan atribut meditasi, Didi pergi ke dapur. Ia berniat memasak makan malam karena hari sudah hampir senja. Didi mengambil terung ungu, labu kuning, tomat besar, serta zukini dari keranjang rotan sebelah sink. Semua hasil panen sendiri. Sayurannya sudah banyak yang panen kemarin. Selain dijual ke tetangga, Didi menyimpan beberapa untuk dirinya sendiri.

"Bayangin aja, dia itu masih single. Tau Darren duda dan tinggal di blok yang sama, genitnya bakal kumatlah!" Ariana masih mengomel. "Masak apa, Di?"

"Ratatouille."

"Nggak ikut makan malem di rumah Darren aja? Dia nyuruh Bu Imah masak rendang hari ini buat kita."

Didi tak merespons. Ia sibuk memotong sayur tipis-tipis dan menyusunnya di iron pan berpermukaan lebar.

"Ngomong-ngomong, kok, tumben nggak pake kacamata?"

"Rusak," jawab Didi datar. Nada suaranya mengkhianati degup jantungnya sendiri karena mengingat kejadian saat Darren jatuh menimpa tubuhnya beberapa hari lalu. Memalukan. Kalau boleh jujur, sebenarnya selain untuk menghindari Zevanya, Didi juga sedang menghindari si Daddy. Membayangkan prospek bertemu dengan tetangganya itu saja sudah membuat jantung Didi melompat-lompat. Wajahnya seketika memerah.

"Nggak pengen operasi lasik aja?"

Pertanyaan Ariana menghentikan aktivitas otaknya yang sedang jalan-jalan ke rumah sebelah. Didi menjawab setengah bergumam, "Ada lensa. Yang penting masih bisa liat."

"Oh, iya. Tadi Ibu titip pesen. Besok lusa kamu disuruh pulang. Ada makan siang bareng keluarga bakal calon jodohmu yang pertama."

Hidung Didi berkerut samar. "Pertama?"

Ariana mengangguk.

"Ada lima keluarga yang mau dikenalin ke kamu. Tergantung nanti klik sama yang mana." Adiknya itu menghela napas panjang. "Maaf, ya, Di. Gara-gara aku mau nikah, kamu jadi kecipratan ribetnya. Aku udah coba ngomong ke Ibu sama Bapak biar nggak gangguin kamu perkara jodoh-jodohan ini. Tapi, Ibu udah keukeuh banget. Aku ngerasa bersalah sama kamu."

Melirik sekilas tanpa mengatakan apa-apa menjadi satu-satunya respons Didi. Bukannya mau bersikap kasar, Didi hanya tidak tahu kalimat apa yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini.

"It's okay," jawab Didi akhirnya.

"Aku nggak akan nyerah ngasih pengertian ke Ibu, kok, Di."

"Konsen aja sama rencana pernikahanmu. Nggak usah mikirin aku."

"Ngomong, sih, enak! Namanya saudara, tetep kepikiranlah. Seakan-akan aku bahagia di atas penderitaan kamu."

Lagi-lagi Didi tak menyahut. Tangannya tetap sibuk memotong dan menyusun sayur-sayuran di iron pan.

"Emang kamu nggak ada pacar yang bisa dikenalin gitu, Di? Si Rafael gimana?"

Didi meletakkan pisau seraya menengadahkan kepalanya dengan ekspresi lelah. "Bisa nggak, kalian semua stop nanyain Rafael?" desahnya pelan.

"Wajarlah kami semua nanyain Rafael. Sejak SMA, satu-satunya cowok yang deket sama kamu cuma dia. Dulu, Ibu sempat ngira kalian pacaran diam-diam. Dianya main ke rumah mulu! Sampe sekarang pun kalian masih deket, 'kan? Ato jangan-jangan kalian kejebak friendzone? Kamu ato dia yang kena friendzone?"

Pertanyaan bertubi-tubi dari Ariana membuat Didi sakit kepala.

"Seandainya kalian pacaran pun nggak masalah kali, Di! Rafael orangnya baik. Badannya ...." Cewek itu mengacungkan dua jempol ke atas. "Hot! Punya mebel sendiri yang berarti dia mapan, sanggup nyukupin dirinya plus kamu. Jago ngebenerin segalanya, termasuk sikap datarmu yang kayak kanebo bekas pake tapi dikeringin berkali-kali! Aku nggak habis pikir, deh! Kalo lagi bareng kalian biasanya ngobrolin apa, sih? Kok, dia betah bergaul sama kamu?"

Didi hanya sanggup menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala.

***

"Didi sama Ariana emang nggak mirip, tapi kalo diperhatiin lama-lama, sebenarnya mereka berdua punya kesamaan di mata. Sama-sama coklat terang." Tak ada angin tak ada hujan, Darren tiba-tiba membahas kemiripan dua saudari yang salah satunya bakal jadi calon istri Jonas. "Sebetulnya mereka itu saudara kandung atau bukan?" lanjut Darren mengutarakan rasa penasarannya.

Jonas menggaruk pipi. "Mereka punya hubungan darah meskipun bukan saudara kandung. Itu tangan kenapa?" Ia memandangi lengan dan bahu Darren yang dipasangi arm sling.

"Jatuh ketiban tangga. Yang anak angkat siapa?"

"Arya. Kok, bisa ketiban tangga?"

"Aku kira Didi. Gara-gara mau betulin genting. Keburu jatuh."

Mulut Jonas membentuk huruf o kecil. "Semua orang juga ngiranya Didi yang anak angkat. Jadi gini ...." Jonas menegakkan punggungnya dengan ekspresi serius. "Ibunya Didi itu sebenarnya punya adek, ibunya Arya. Sewaktu Arya lahir, ibunya meninggal karena penyakit komplikasi. Jadi, Arya diambil sama ibunya Didi buat dirawat. Mereka tumbuh bareng. ASI-nya juga sama. Ya pasti ada mirip-miripnya-lah!"

Darren mengangguk-angguk mendengar penjelasan Jonas. Ia sendiri tak yakin apakah minum ASI dari sumber yang sama dapat berpengaruh secara genetik atau tidak.

"Kalo keluarganya, lebih mirip Didi atau Arya?"

"Mirip Arya. Makanya semua orang ngira yang anak angkat itu Didi. Habisnya ibunya si Didi lebih mirip Arya daripada Didi."

Darren mengernyit. "Bisa gitu, ya?"

Jonas mengangguk.

"Bapaknya Arya masih hidup?" Darren masih lanjut bertanya.

"Udah meninggal. Dulu, dikirim buat perang ke Afghanistan. Gugur dalam tugas sebelum Arya lahir."

Ekspresi Darren berubah simpatik. "Aku udah beberapa tahun kenal Arya, tapi masih nggak tau apa-apa tentang dia."

"Jangankan Arya, sama anak sendiri aja nggak kenal." Jonas menyindir setengah bercanda. "Lagian kamu orangnya terlalu sibuk. Diajak dugem, ogah. Diajak ngumpul, ngantuk. Cuma diajak dinner bareng aja baru mau. Lama-lama mirip Didi, tuh! Anti sosial."

Darren tak membalas ucapan Jonas barusan. Ia lebih memilih minum bir dingin dari kaleng yang baru saja dibuka. Ketika nama Didi disinggung, ingatan Darren otomatis kembali pada kejadian beberapa hari lalu. Zevanya mencari kenyamanan dari Didi. Lantas, ia dan Zevanya ketiduran seharian di kasur Didi, kemudian insiden kecil ... ah, itu bukan kecil. Insiden kemarin menyisakan perasaan bersalah di hatinya. Baik dirinya maupun Zevanya belum bertemu Didi lagi sejak saat itu. Zevanya sering uring-uringan karena menganggapny telah menutup akses bertemu Didi. Padahal, ia tidak melakukan apa pun. Entah siapa yang sebenarnya menghindar. Kalau dipikir-pikir, Didi memang berhak marah. Bagaimanapun, kedua tangannya ini sudah berdosa karena telah menyentuh ....

"Gimana sama Zee? Kalian akrab sekarang?"

Pertanyaan Jonas mengembalikan fokusnya. "We stand on the same ground. At least for now."

Giliran Jonas yang mengangguk-angguk. "Akur, ya, istilahnya?"

Darren mengiakan lewat anggukan. Ariana muncul dari balik pagar. Wajahnya masam. Ia berjalan melewati mereka untuk masuk rumah lebih dulu tanpa mengatakan apa pun kepada mereka berdua.

"Dia begitu bisa jadi karena dua. Gara-gara mantan seniornya ngontrak rumah di depan Didi atau karena Didi," ujar Jonas menebak-nebak.

Tak sampai semenit Jonas selesai bicara, muncul sesosok perempuan asing yang datang ke rumah Darren sambil membawa sebuah rantang.

"Selamat sore," sapa cewek itu dengan senyum lebar. Wajahnya manis. Penampilannya modis. Ia mengenakan jeans pendek, memamerkan kaki jenjang yang putih mulus dengan atasan berupa kaus ketat warna hitam. Rambutnya diikat ekor kuda. Sandal jepit menjadi alas kakinya. Tampaknya cewek itu berniat tidak repot-repot dandan karena harus pindahan hari ini.

Jonas dan Darren bangkit berdiri untuk menyambutnya. Berbeda dengan ekspresi Darren yang netral, Jonas balas tersenyum lebar.

"Ren, ini Stella. Tetangga baru yang tadi aku bahas. Katanya junior kamu waktu di Bina Bangsa, betul?" Jonas mengenalkan mereka berdua.

Darren mengernyit. Jonas ini lagi bercanda atau bagaimana? Hal-hal kecil saja Darren sering tidak ingat, apalagi wajah orang yang sudah lama tidak dijumpainya. Ditambah, Darren tidak merasa familier dengan nama Stella. Ia belum pernah dengar sebelumnya.

Menyadari kebingungan Darren, cewek di depan mereka tertawa kecil. "Kak Darren mana inget akulah! Aku masih SMP waktu itu."

"Oh, temennya Didi," gumam Darren.

"Didi siapa, ya?"

"Marelda Cassidi." Jonas coba memberitahu. "Dia tinggal di sebelah. SMP-nya di Bina Bangsa juga."

Ada kerut asing di wajah Stella. Samar, hampir tak terlihat. "Kayaknya aku lupa deh yang mana orangnya. Ngomong-ngomong ...." Stella mengangkat rantang yang ia bawa dari rumah. "aku bawa bakso. Bikin sendiri. Semoga kalian pada laper."

"Wah, kebetulan! Kita juga lagi mau makan malam." Jonas melirik Darren, memberi isyarat agar si empunya rumah bersedia menawarkan makan malam bersama sebagai salah satu bentuk sopan santun dalam kehidupan sosial bertetangga.

Ariana jadi satu-satunya orang yang berwajah masam di meja itu. Ketika tahu ternyata Stella ikut makan malam bersama, langit di atas kepalanya mendadak mendung dan menyambarkan petir. Setidaknya itulah yang sedang dilihat oleh Jonas. Tunangannya itu sejak tadi menghindari tatapan Ariana. Sementara itu, Darren lempeng-lempeng saja karena mengira tidak ada yang terjadi.

"Didi nggak dateng?" Jonas memberanikan diri bertanya.

"Mana mau dia makan sama orang asing!" jawab Ariana ketus. Untungnya, tidak ada yang menyadari siapa yang sedang ia bicarakan.

"Anaknya Kak Darren mirip banget sama papanya." Stella menahan pekikan kagum ke arah Zevanya.

"Darren aja, Stel. Kan, kita udah nggak sekolah," koreksi Darren karena merasa tak nyaman dengan panggilan kekanakan itu.

"Sori, kebiasaan." Stella tertawa kecil. Ceria betul dia hari ini. "Ngomong-ngomong istrinya ke mana? Kok, nggak keluar ikut makan?"

"Kami cerai udah lama."

Selain Ariana, ternyata Zevanya juga punya suasana hati mendung sore itu. Ia ingin pizza, tetapi yang terhidang di depannya malah nasi, rendang, dan bakso. Ia belum terbiasa makan makanan penuh rempah begini. Lidahnya perlu dilatih. Mendadak sudut bibir bawah Zevanya miring ke kiri cukup lama. Tic-nya kambuh lagi. Ia cenderung mengalami tic saat perasaannya sedang intens. Sedih, senang, kecewa, atau marah secara berlebihan.

Stella juga melihatnya. "Kenapa, Zee?"

"Apa?" Zevanya tidak sadar kalau dirinya baru saja mengalami tic.

"Itu ...." Stella menunjuk bibirnya sendiri. "Bibirnya dimiring-miringin."

"Dia punya tourette." Darren mengusap punggung Zevanya lembut.

"Daddy, can I have pizza?" bisik Zevanya agak merengek. Ia betul-betul lapar, tetapi makanan di hadapannya tidak membangkitkan selera sama sekali.

Darren menggeleng pelan. "Makanannya banyak, Zee. Belajar besyukur."

Kedua bahu Zevanya merosot lunglai, hanya beberapa detik karena kemudian punggungnya tegak. Wajahnya berseri-seri saat melihat arah depan.

"Didi!"

Semua orang menoleh ke arah yang sama. Didi sedang berjalan mengekor di belakang Bu Imah. Ia membawa kotak makanan, sedangkan Bu Imah membawa sebuah iron pan yang tertutup. Bukan hanya Zevanya, Ariana juga tersenyum lebar.

"Didi bawa apa?" Zevanya buru-buru bangkit dari kursinya untuk menghampiri si Tetangga yang baru datang.

"Ratatouille sama macaron sisa kemarin. Bu Imah bilang, kamu doyan macaronku," jawab Didi datar seraya menyerahkan kotak berisi macaron matcha yang baru ia buat tadi. Ia sengaja berbohong agar tidak terlihat terlalu niat. Zevanya membuka kotak itu dan mencium aroma makanan manis yang belakangan disukainya. "Habiskan makan malammu dulu, baru makan itu."

Didi menutup kembali kotak macaron dan menyuruh Zevanya kembali ke kursinya lewat isyarat kepala. Anak itu menurutinya. Ia meminta diambilkan ratatouille buatan Didi kepada Bu Imah. Wanita paruh baya itu jelas senang bukan kepalang karena Zevanya akhirnya mau makan. Bu Imah hanya tidak tahu kalau lidah anak itu lebih familier dengan rasa ratatouille yang notabene sering dimakan di New York daripada rendang buatannya.

Pemandangan itu tidak luput dari perhatian Darren. Lagi-lagi ia merasa kalah dari Didi karena tidak mengerti apa yang diinginkan anaknya sendiri. Sebagai ungkapan terima kasih dan mencegah lirikan mata canggung dengan tetangganya itu, Darren menarik kursi kosong di sebelah Zevanya.

"Silakan duduk, Di." Tanpa berani memandang Didi, Darren kembali ke kursinya sendiri.

"Ah ... Didi itu ternyata kamu." Stella menyunggingkan senyum lebar kepada Didi. Di lain pihak, Didi hanya tersenyum samar sebagai sapaan kecil kepada mantan seniornya di SMP Bina Bangsa itu.

"Udah lama nggak ketemu, Kak," ujarnya kemudian. Senyum Stella masih lebar saat ia memerhatikan Didi dari kepala sampai kaki. Di antara semua yang hadir di sana, hanya Ariana yang mengamati interaksi mereka.

"Kayaknya dulu kamu pake kacamata, deh," ujar Stella.

Didi menjawab dengan nada datar, "Kacamataku rusak. Sekarang pake lensa."

Darren mendadak tersedak. Didi menggeser gelas air putih ke hadapan Darren. Lelaki itu minum dengan tergesa. Ketika Didi membahas kacamata rusak, memori Darren otomatis kembali pada insiden beberapa hari yang lalu.

"Ngomong-ngomong tangannya kenapa? Patah?" Perhatian Stella tertuju pada arm sling yang dikenakan Darren.

"Jatuh," jawab Darren sekenanya.

"Daddy mau ngebetulin genteng bocor rumah Didi, tapi kepleset. Jadi jatoh, deh." Zevanya mewakili ayahnya untuk menjelaskan. Jonas dan Ariana saling pandang. Mereka heran dengan interaksi dua orang yang paling sulit diajak berkomunikasi itu. Mereka mengira kalau Didi dan Darren selama ini asyik dengan kehidupan mereka masing-masing, terlalu sibuk untuk sekadar berinteraksi.

"Kok bisa, sih?" Wajah Stella khawatir.

"Tadi saya urut pake minyak yang dikasih Mbak Didi. Udah enakan, kok, katanya." Bu Imah menambahi, tidak memedulikan Didi dan Darren yang tetap diam sejak tadi. Di lain pihak, Jonas dan Ariana justru saling mengulum senyum penuh arti.

"Kamu bisa bikin minyak urut, Di?" Kini, ekspresi Stella berubah tertarik.

Bu Imah mengibaskan tangan. "Jangankan minyak urut! Mbak Didi juga bisa bikin sabun, mentega, selai, lilin aroma terapi, jamu, obat herbal, banyaaak! Tetangga biasanya pada dateng buat beli produk organiknya Mbak Didi. Di kebun belakangnya juga ada—"

Darren berdeham. "Makasih, Bu."

"Sip, Pak!" Bu Imah mengangkat satu jempol sebelum kembali ke dapur. Ia sudah selesai mengambilkan makanan di piring Zevanya.

"Di kebun belakang rumah Didi ada apa?" Stella tidak ingin melewatkan informasi dari Bu Imah. Ia meletakkan kedua lengannya di meja. Wajahnya betul-betul menunjukkan rasa penasaran.

"Didi nanem tanaman hidroponik. Punya rumah kaca juga." Jonas menyahut. Ia mengaduh karena merasakan kakinya tiba-tiba diinjak oleh Ariana di bawah meja. Tunangannya itu tidak suka kalau Jonas terlalu akrab dengan si penyewa.

Stella tidak kenal Ariana, dan hanya menganggap Ariana sebagai perempuan tunangan Jonas. Tidak ada kebutuhan mendesak untuk akrab dengannya. Sementara itu, Ariana ... well, rasa dendamnya kepada Stella karena sering mengerjai Didi di masa lalu tidak bisa dilupakan dengan mudah. Ia pernah melihat sendiri bagaimana senior-senior di masa sekolah memperlakukan Didi. Dulu, Ariana masih kecil, tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi kakaknya. Berbeda dengan sang kakak. Dari gelagatnya, Didi kelihatan santai-santai saja bertemu Stella lagi. Tebersit ekspresi benci pun tidak ada.

Kedua mata Stella membulat lebar. "Padahal dari luar, rumah Didi keliatan kecil banget! Ternyata ada kebunnya, ya? Wah, mau dong main ke rumah kamu, Di!"

"Kalo nggak takut ular piton sama tarantula raksasa, sih." Untuk pertama kalinya, Ariana ikut nimbrung. Ia tidak tahan membayangkan Stella yang jadi sok asyik dan sok akrab kepada kakaknya. "Didi melihara binatang buas di rumah."

Stella menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Serius?" Ia mengerjapkan mata sambil mencondongkan tubuh ke depan. "Wah, Zee nggak pernah main ke rumah sebelah, dong? Berbahaya banget buat anak-anak, 'kan?"

Bahu Zevanya merosot lunglai. Ia tak menyangka kalau tetangga baru ini malah menyinggung topik paling sensitif yang paling ia hindari jika ada Darren. Kalau diingatkan, ayahnya itu tak akan segan melarangnya berkunjung ke rumah Didi lagi. Zevanya melirik sang ayah. Wajah Darren tanpa ekspresi. Begitu pun dengan Didi. Mereka makan dengan tenang, seakan-akan tak mendengar apa pun yang dikatakan oleh Stella barusan. Masa depan hiburan Zevanya dipertaruhkan di sini. Ia cemas sekali.

"Zee sekolah di mana, Sayang?" Stella tak menyerah untuk mengajak Zevanya bicara.

"Di Bina Bangsa, Tante."

"Manggilnya Kak Stella aja, dong! Tante ketuaan ...." Stella pura-pura merajuk. "Eh, kamu tau, nggak? Daddy kamu sama aku satu sekolah, lho, dulu. Di Bina Bangsa juga."

Zevanya mengangguk. Rautnya masih cemas karena kemungkinan Darren melarangnya ke rumah Didi lagi.

"Bu Anne masih jadi kepsek di sana?" Stella masih bertanya.

"Iya, masih."

"Zee," panggil Didi tiba-tiba. Bukan hanya Zevanya yang menoleh, melainkan semua orang juga. "Makan sambil ngomong bisa bikin makanan kamu nyasar sampe paru-paru," lanjut Didi.

"Tapi ...." Zevanya tak terima ditegur. Dari tadi, ia hanya merespons ucapan Stella. Darren pernah bilang kalau anak kecil harus memerhatikan jika orang dewasa sedang mengajak mereka bicara. Itu hal sopan yang diajarkan oleh grannie juga.

Stella tertawa kecil. "Aduh, maaf, maaf. Saking serunya, sih! Dilanjut Zee, makannya. Sori dari tadi aku sela mulu!"

Zevanya mengambil sendok dan mulai makan. Sesekali ia mencuri lihat ke arah Didi, memastikan kalau tetangganya itu tidak sungguhan marah kepadanya.

"Enak." Ia bergumam pelan setelah mencicipi ratatouille buatan Didi.

Stella mengambilkan semangkuk bakso untuk Zevanya. "Baksonya dicobain juga, dong! Aku bikin sendiri, lho."

Zevanya menerimanya ragu-ragu. Ia memerhatikan Darren yang menyeruput kuah bakso dengan nikmat. Jonas juga. Sepertinya bakso ini aman dikonsumsi. Ia menggigit satu bakso yang ditusuk garpu. Sambil mengunyah, anak itu mengangguk-angguk mirip kritikus makanan.

"Ini juga enak," pujinya tulus.

"Nanti aku bikinin lagi masakan lain buat kamu. Oke?" Stella terus-terusan tersenyum lebar selama makan malam, membuat Ariana mengernyit curiga.

"Dari mana belajar bikin ratatouille?" Darren menyendok masakan buatan Didi untuk dibawa ke mulut. Ia setuju kalau ratatouille itu enak.

"Pernah gegar otak sehari, besoknya langsung mahir," jawab Didi datar. Semua orang berhenti makan untuk memandang Didi. Rahang Darren terbuka sedikit. Ekspresi yang sama juga ditunjukkan oleh putrinya. Hanya Ariana yang tertawa kecil. Suaranya sumbang agak dipaksakan.

"Didi cuma becanda, kok." Cewek itu berusaha menendang betis Didi dari bawah meja, tetapi malah kena Jonas.

"Aw, Babe!"

"Sori," bisik Ariana merasa bersalah.

Stella tertawa terbahak. "Kamu lucu, Di!"

Didi hanya meliriknya sekilas.

"Kamu pelawak, ya? Aku curiga, deh," lanjut Stella seraya mengusap sebulir air mata di ujung pelupuknya.

Didi menggeleng pelan. "Kerjaanku nakutin orang."

Ariana menepuk jidat. Semakin diteruskan, bicara Didi akan semakin absurd. Jonas berdeham kecil untuk menutupi senyum yang terkulum. Hanya Darren yang masih belum sembuh dari keterkejutan setelah mendengar jawaban aneh Didi. Apa ini caranya dia berkomunikasi sehari-hari? Perasaan kemarin tidak begini. Mengesalkan, sih, iya. Namun, kalau seaneh ini ....

Darren memandang Zevanya yang sedang lanjut makan. Bagaimana caranya Didi membuat Zevanya betah bergaul dengannya?

"It works!" Stella masih tertawa setengah terpingkal. "Antara beneran takut sama lucu, aku nggak bisa bedain."

Didi tersenyum tipis saat memandang Stella. Sejak tadi, ia memerhatikan setiap gestur dan perkataan cewek itu secara diam-diam. Hasil pengamatannya menyimpulkan satu hal, Stella sedang berpura-pura. Entah untuk mengesankan siapa.

"Aku pernah liat kamu di pinggir lapangan waktu Darren ngisi acara Pensi, sebelum dia pindah sekolah. Kamu masih SD waktu itu. 'kan? Rambut kamu ...." Stella menggerak-gerakkan kedua tangannya di atas kepala. "-istimewa. Cuma kamu satu-satunya anak se-Bina Bangsa yang berani ngecat rambut. Sampe sekarang masih mertahanin warna yang sama?"

"Itu rambut asli, kali! Pake ditanya." Ariana memutar bola mata.

"Oh, ya? Aku kira cat rambut. Kurang natural warnanya."

Senyum tipis Didi terkembang sedikit. Sekitar satu inci. Ia masih memandangi Stella dengan ekspresi yang sama.

"Acara Pensi?" ulang Darren. Ia berusaha mengingat-ingat. "Kok aku nggak inget, ya?"

"Ren, besok kuanter ke dokter spesialis otak sama saraf, deh!" Jonas menegakkan punggungnya. "Aku curiga kamu kena demensia. Pikun."

Ariana menyenggol lengan tunangannya sambil tertawa. Darren tidak pikun. Dia hanya tidak pandai membagi fokus saja.

"Waktu itu kamu main piano. Canon in D, Johann Pachelbel." Stella menyebutkan lagu yang dimaksud dengan mata berbinar. "Keren banget! Aku masih punya lho rekamannya."

Darren menggaruk ujung hidungnya, lalu terkekeh kecil. "Kenapa aku mainin lagu itu, ya?" Ia bertanya kepada diri sendiri. Ingatan tentang masa sekolah sudah banyak yang mengabur. Jika disuruh bermain lagi, tentu dia tak akan memilih Canon. Terlalu repetitif.

"Waktu itu kamu maininnya secara spontan. Seharusnya bukan kamu yang tampil. Tapi, anak-anak pada pengen liat kamu main di atas panggung." Atmosfer ruang makan itu ikut terbawa suasana nostalgia dari ceritanya. Setidaknya, itu yang dipikirkan oleh Stella.

"Kamu juga liat?" Darren memandang Didi, penasaran. "Mainku bagus? Aku nggak inget."

Didi balik memandangnya. Ada jeda cukup lama sebelum ia menjawab, "Nggak tau. Aku ketiduran denger kamu main piano."

Lagi-lagi Darren menggaruk ujung hidungnya. Bingung harus merespons apa. Di saat yang sama, tawa Jonas pecah. Ariana juga tak bisa menahan senyum gelinya. Ia tak menyangka kalau Didi akan sejujur itu menilai bakat Darren, si Musisi Kelas Dunia. Hanya Stella yang merasa kalau tidak ada hal lucu dari kalimat Didi barusan.

"Nggak perlu sejahat itu kali, Di," ujar Stella setengah menegur. Ada aura dingin yang terpancar dari tatapan mereka. Zevanya bisa merasakannya. Namun, ia memilih diam saja. Anak itu cepat-cepat menghabiskan makan malamnya agar bisa segera makan macaron buatan Didi.

"Didi ngewakilin orang-orang yang nggak suka sama musikku waktu masih muda." Darren tersenyum canggung. Ia tidak tersinggung sama sekali. Hanya agak kaget sedikit.

"Orang-orang yang nggak suka sama musik klasik itu seleranya pasti pasaran, deh!" tukas Stella, kelihatannya masih tidak terima. "Ngomong-ngomong, Di, kamu kerja?"

Didi mengangguk. "Kalo nggak kerja, ya, nggak makan."

"Kerja di mana? Di perusahaan penerbitan keluargamu?"

"Tau dari mana keluargaku punya penerbitan?" Didi mengangkat sebelah alis. Stella menunjuk Jonas. Yang ditunjuk pura-pura tak mendengar, cemas dengan pandangan menusuk yang diarahkan oleh tunangannya di sebelah. "Aku wiraswasta. Jualan buku bekas."

Mantan seniornya itu ber-oh sambil tersenyum kecil. "Jualan buku bekas? Kayak loakan gitu, ya?"

Didi mengedikkan sebelah bahu. "Semacam itu. Usaha kecil-kecilan aja."

"Sayang banget," gumam Stella pelan. "Kenapa nggak nerusin usaha orang tua aja?"

Didi menunjuk Ariana. "Dia pewarisnya."

Sekarang, Stella memandang adik kakak itu bergantian, seakan-akan baru menyadari kalau Ariana turut hadir dalam acara makan malam. "Kalian sodaraan? Kamu anak Bina Bangsa juga, 'kan?"

Ariana mengangguk malas.

"Wah!" Stella tampak takjub. "Kayak di sinetron-sinetron, ada pewarisnya segala!" Ia tertawa pada leluconnya sendiri. "Jualan buku bekas, kan, nggak ada jenjang karirnya, Di. Walopun usaha sendiri, aku nggak bisa liat prospeknya di masa depan bakal jadi sebesar apa." Cewek itu menatap Didi penuh minat. "Di kantorku buka lowongan, lho. Aku bisa bantu kamu masuk seandainya penghasilan jualan buku bekas kamu nggak cukup."

Jonas mengambil gelas air putih sembari memerhatikan respons Didi. Ariana mendengkus sebal, sedangkan Darren merasa tidak nyaman dengan arah obrolan ini. Sejak tadi, ia beranggapan kalau semua alumnus Bina Bangsa adalah teman lama, termasuk Didi dan Stella.

"Di kantor kamu jadi apa?" Di luar prediksi mereka, Didi justru menimpali, kelihatan berminat.

"Awal-awal gitu bisa jadi customer service ato teller bank. Tergantung kamu lulusan apa."

"Aku lulusan SMA."

"Nggak kuliah?" Senyum Stella makin lama makin lebar. Didi menggeleng. "Kalo cuma lulusan SMA biasanya jadi office girl, sih. Tukang bersih-bersih. Tapi, karena aku punya kuasa di kantor, promosi kamu bakal cepet. Itu pun kalo kamu berminat."

Suasana agak tegang, tetapi tidak bagi dua orang yang sedang terlibat obrolan. Baik Jonas maupun Darren hanya bisa memandang mereka berdua bergantian. Sementara itu, Ariana terus memerhatikan Stella. Ia tidak akan menginterupsi karena yakin Didi dapat mengatasinya sendiri.

"Tinggalin aja kartu nama kamu. Nanti aku telepon kalo berminat."

Rahang Ariana terbuka lebar. Ia tak menyangka kalau Didi mengakhiri intimidasi dan penghinaan Stella begitu saja tanpa balas menyerang.

"Didi!" bisik Ariana. Dirinya saja tersinggung. Kenapa Didi tidak?

Stella mengambil dompet dan mengeluarkan kartu nama yang menunjukkan kalau dirinya punya status sebagai kepala cabang salah satu Bank BUMN. Ia mengulurkan kartu nama itu kepada Didi dengan senyum angkuh. Didi menerimanya.

"Harusnya kamu bilang dari awal kalo kamu ada kesulitan sama karir. Temen harus saling bantu."

"Iya, makasih." Didi mengelap sudut bibirnya dengan serbet, lalu bangkit berdiri. Ia sudah selesai makan. "Tolong kasih tau Bu Imah wadah macaron sama iron pan-nya nggak usah dicuci kalo mau dibalikin. Makasih makan malamnya. Aku pamit duluan."

Darren hanya bisa tergagap. "O-oke, Di. Aku anter sampe depan." Lelaki itu hampir berdiri saat Didi mencegahnya.

"Aku tau pintu keluarnya. Malam, semua." Ia beranjak dari ruang makan.

Ariana menyusulnya agak terburu. "Didi!" panggilnya agak keras.

Cewek yang sedang dalam perjalanan menuju rumahnya itu menoleh. "Kenapa?"

"Kok kamu diem aja sih dihina kayak gitu?!" semprot Ariana tak sabar. "Aku aja udah nggak sabar buat ngulek mulutnya pake cabe! Kalo tau endingnya bakal begini, aku nggak bakal diem kayak tadi!"

"Ribut di rumah orang itu nggak baik, Arya."

"Aku bener-bener nggak habis pikir sama kamu." Ariana geleng-geleng kepala. "Oke! Kalo kamu nggak mau balas dia, nggak pa-pa. Biar aku aja!"

Didi mencekal lengannya, mencegah Ariana kembali ke rumah Darren dengan niat cari ribut. "Kalo mau bales dia, jangan di rumah Darren. Ada Zee."

Akhirnya, pikir Ariana lega.

"Kamu punya rencana apa?"

"Aku berencana ngebiarin dia melakukan hal sesukanya."

Lagi-lagi Ariana ternganga. "Apa?"

"Aku paham maksudmu. Udah, biarin aja."

"Astaga, Didi! Kamu ini bukan anak SMP yang bisa di-bully lagi! Kamu bisa balas dia! Masa mau diem-diem aja dikatain kayak gitu! Harga dirimu ke mana?!"

Didi menghela napas lelah. "Nggak worth it ribut di depan Darren sama Zee yang nggak tau apa-apa tentang masa lalu kami. Rumah kami deketan, bertetangga. Aku nggak mau bikin hidup mereka berdua jadi terusik dan nggak nyaman gara-gara ribut sama Stella." Ia terpaksa mengutarakan perasaannya. Kalau tidak begitu, Ariana bakal terus mengomel seperti kaset rusak.

Didi mengangkat satu tangannya, di mana ia masih menggenggam kartu nama Stella. Kartu itu dirobek kecil-kecil sebelum dibuang ke tong sampah daur ulang miliknya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Didi berlalu ke dalam rumahnya sendiri, meninggalkan Ariana yang masih terbengong di pinggir jalan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top