6 | OVERSLEPT
ULAR piton sebesar Darren akan membutuhkan tempat yang lebih besar daripada sekadar sebuah kotak kontainer plastik. Didi biasanya menggunakan bath-tubnya sendiri untuk memandikan Darren.
"Apa ular bisa berenang?"
Itu pertanyaan pertama Zevanya sejak dirinya sudah tak merasa ngeri lagi pada ular piton hitam kebiruan yang dikeluarkan Didi dari dalam terarium.
"Hampir semua ular bisa." Didi celingukan mencari-cari sesuatu. "Tolong taruh batu itu ke dalam bath-tub." Ia menunjuk sebuah batu hitam yang teronggok di samping kabinet bawah wastafel.
"Ini buat apa?" Wajah Zevanya agak kemerahan saat ia memindahkan batu berat ke dalam bath-tub tanpa membantingnya.
"Buat Darren pegangan."
Dengan ular piton melilit lengannya, Didi mengatur suhu air yang keluar dari keran. Selagi menunggu bath-tub terisi, ia mengambil cairan antiseptik, sabun cuci piring, dan juga termometer air. Cewek itu mematikan keran air saat bath-tubnya hanya terisi seperempat saja, bahkan mungkin kurang. Ia memeriksa suhu dengan termometer dan mengangguk puas saat suhunya berada di angka yang ia mau.
"Apa harus 28.3° Celcius buat mandiin Darren?" Zevanya sempat melihat suhu air dalam bath-tub.
"Antara 26 sampai 29. Kalo kedinginan, Darren bisa lesu. Kalo kepanasan, otaknya jadi kacau dan Darren bisa mati. Mereka nggak terlalu suka mandi."
"Terus kenapa sekarang Darren mandi?"
Zevanya berdiri di belakang Didi, sengaja menjaga jarak karena masih takut kalau tiba-tiba Darren menerkamnya. Didi meletakkan Darren ke dalam air dengan amat hati-hati. Si Ular Piton bergerak gelisah begitu tubuhnya menyentuh air yang tidak biasanya sebanyak ini. Padahal, kedalaman air tak sampai sejengkal tangan orang dewasa.
"Kenapa nggak direndam? Kan, biar cepet bersihnya."
Zevanya memutuskan duduk saja di toilet karena perutnya terasa tidak nyaman.
"Buat ngasih dia waktu beradaptasi dalam air. Sepuluh menitan, baru abis itu airnya dikasih antiseptik dan sisiknya dibersihkan pake sabun."
"Itu sabun yang dipake Bu Imah cuci piring. Emangnya sisik Darren kayak cucian?"
"Kandungan sabunnya yang paling friendly buat ular," jawab Didi singkat.
"Kalo dimandiin, Darren jadi wangi gitu?"
Didi memejamkan kedua mata. Pertanyaan Zevanya seakan-akan tak ada habisnya. Namun, ini risiko menerimanya di rumah. Zevanya terbiasa home-schooling. Di New York, Zevanya terbiasa bertanya apa pun yang ingin ia tahu kepada para mentornya. Saat ini, seperti sekarang, Zevanya merasa seperti sedang melalui home-schooling pelajaran reptil.
"Darren mandi supaya nggak ada kutu yang hinggap di sisiknya. Sisiknya juga jadi lebih bersih dan dia jadi terhindar dari penyakit kulit." Didi ingin menganugerahkan piala penghargaan untuk dirinya sendiri atas kesabaran yang ia miliki.
"Terus kenapa antiseptiknya nggak dimasukin langsung ke dalam air?" Tatapan Zevanya tak pernah lepas dari Darren yang sedang melilitkan tubuhnya pada batu di tengah-tengah bath-tub. "Kenapa Darren perlu batu buat pegangan?"
"Kalo batunya diambil, Darren bakal ngerasa gelisah karena nggak ada pegangan buat ngambang. Sama kayak kamu nggak punya tempat berpijak di dalam air padahal kamu nggak bisa berenang." Untuk membuat Darren lebih tenang, Didi mengusap kepalanya. Lidah bercabang Darren mendesis kepadanya, bukan dalam sikap defensif, melainkan karena keakraban. "Ular punya kecenderungan minum setiap kali dia masuk ke dalam air untuk pertama kali. Kalo antiseptiknya langsung dimasukkin, nanti Darren minum air yang ada kandungan antiseptiknya. Jangankan ular, manusia aja bisa keracunan kalo minum antiseptik."
Zevanya mengangguk-angguk mengerti. Ini informasi baru untuknya. Ia suka dengan penjelasan Didi yang mudah dimengerti. "Zee pengen pegang Darren. Boleh?"
Didi mengangguk. "Sini." Ia bergeser agar bisa memberi Zevanya ruang untuk berjongkok di sebelah bath-tub. "Darren ular jinak. Tapi, kamu tetap harus hati-hati. Jangan terlalu nekan badannya, pegang dengan lembut."
Zevanya gugup dan adrenalinnya terpacu saat coba mengulurkan satu tangan untuk menyentuh sisik Darren. Anak itu terkesiap oleh tekstur sisik Daren. Keras dan agak licin.
"Amazing," gumam Zevanya takjub. Ia menarik tangannya lagi, tak ingin mengusik Darren lebih lama. "Darren ganteng banget. Lebih ganteng dari Daddy!"
Didi tersenyum tipis. Tanpa melepaskan pegangannya pada Darren, ia mengulurkan tangan lain untuk meraih botol antiseptik. Ia hanya menuangkannya sedikit ke dalam air. "Tuangin sedikit sabun ke telapak tanganmu, terus usap-usap ke badan Darren. Dua tetes aja."
Didi menyuruh Zevanya mengambil botol sabun cuci piring di dekat kakinya. Sambil tersenyum lebar, Zevanya melakukan apa yang diminta Didi. Suasana hatinya semakin membaik.
***
Seperti kemarin-kemarin, Darren kurang tidur. Ia hanya sempat tidur sekejap di pesawat dan gelisah semalaman di hotel. Walau tubuhnya letih dan kepalanya berat, ia tak juga terlelap. Pikirannya penuh oleh tangga nada, telinganya berdengung oleh suara piano imajiner yang ia mainkan dalam kepala, dan hatinya penuh dengan kekhawatiran tentang Zevanya. Kekhawatiran itu bermula karena ponselnya ketinggalan di Surabaya.
Lelaki itu tidak tahu bagaimana caranya menghubungi rumah karena semua nomor penting tersimpan di dalam ponsel. Ia tidak ingat nomor telepon rumah, ponselnya sendiri, nomor Jonas, nomor Ariana, atau siapa pun. Untungnya ia tinggal di hotel yang sama dengan para produser musik yang harus ditemui kemarin. Jadi, kehilangan ponsel tidak terlalu berpengaruh pada pekerjaannya sendiri. Saat fokusnya tersita pada pekerjaan, ia tak lagi mencemaskan nasib karena tidak memiliki alat komunikasi selama di luar kota.
Lelaki itu bersyukur karena yang ketinggalan hanya ponsel bukannya dompet atau dokumen penting lainnya. Kepergiannya ke Jakarta membuat Darren merasa buruk karena telah meninggalkan Zevanya sendirian saat anak itu sedang dalam masa adaptasi dengan kehidupan baru.
Darren turun dari taksi tepat di depan rumah. Ia hampir terlambat mengantar Zevanya ke sekolah.
"Udah pulang, Pak?" Wajah Bu Imah tampak semringah ketika berpapasan dengan Darren di depan pagar.
"Zee udah siap berangkat, Bu?" Darren balik bertanya. Ia masuk untuk mengambil kunci agar bisa segera memanaskan mesin mobilnya.
Bu Imah tampak salah tingkah. "Anu, Pak ... Non Zeezee masih di rumah Mbak Didi."
Kepala Darren sontak menoleh ke arah asisten rumah tangganya itu. Kedua alisnya bertaut membentuk satu garis lurus.
"Di rumah Didi pagi-pagi begini? Emang dia nggak sekolah?" Ia mengangkat pergelangan tangan untuk mengecek jam berapa sekarang. "Hampir jam tujuh. Dia bisa telat."
"Non Zeezee nginep dari kemarin. Ini saya lagi mau ke sana buat nengokin, sama bawain seragamnya." Bu Imah mengangkat kantong yang ia maksud. Kepala Darren berdenyut. Ia melemparkan tasnya sembarangan ke sofa, lalu bergegas pergi ke rumah sebelah.
***
Begitu melihat gerbang kayu yang terhubung ke kebun Didi terbuka sedikit, Darren tak perlu pikir panjang untuk langsung masuk. Di sana, ia melihat Didi tengah berjemur di sun lounger kayu yang mirip kursi pantai. Didi berbaring menatap langit dengan baju serba tertutup. Kedua matanya terlindung kacamata hitam berbingkai lebar. Cuaca Surabaya memang terik saat musim kemarau. Meski baru jam tujuh pagi, matahari sudah bertengger di tengah-tengah kepala. Bagi seorang penduduk Surabaya, berjemur tentu bukan kegiatan yang normal dilakukan.
"My God."
Darren otomatis mundur ketika kepala seekor piton hitam di dada Didi terlihat. Piton hitam itu memiliki sisik yang memantulkan warna pelangi. Kepala Didi dan si Ular kompak mendongak begitu menyadari kehadirannya.
"Namanya Darren. Bilang hallo ke Darren." Didi menunjuk kepala ular di dadanya.
Darren membelalak ngeri. "Aku nggak ngomong sama ular, dan kenapa namanya Darren?"
"Karena aku mau dia punya nama Darren," jawab Didi ringan. Seakan-akan sedang menguji kesabaran Darren, Didi mengecup puncak kepala Darren si Ular.
Ekspresi Darren si Manusia masih sama, ngeri.
"Kamu nggak takut digigit?"
Didi hanya menggeleng pelan. "Aku punya hubungan jangka panjang dengan Darren. Kami sepakat buat nggak saling menyakiti." Ia melepas kacamata dan meletakkannya di kepala. Didi punya rabun jauh. Namun, dalam jarak kurang dari lima meter begini, ia masih bisa melihat Darren walau agak buram.
"Dia pasti bakal gigit kamu suatu saat, lalu kamu berakhir tewas karena keracunan."
Didi menyemburkan tawa. Darren sampai tertegun dibuatnya. Ia baru tahu kalau Didi punya sepasang lesung di bawah kedua mata yang biasanya tertutup bingkai kacamata. Bintik kecokelatan yang tersebar di hidung dan pipi bagian atasnya hampir tersamar oleh rona kemerahan.
"Darren nggak punya racun," sahut Didi di sela-sela tawanya.
"Semua ular itu berbisa!" sanggah Darren tak mau kalah.
Didi memasang kembali kacamata hitamnya agar bisa menghadap langit. "Komposer ternyata bodoh banget," gumamnya.
Untungnya Darren tidak mendengar itu. "Zee di sini?"
Didi hanya mengangguk samar. "Belum bangun."
"Dia harus sekolah. Kenapa dia nginep di rumahmu?"
Didi bergeming seakan-akan tak mendengar pertanyaan Darren barusan.
"Didi!" Darren mulai tak sabar. Perasaan kesalnya mendadak berubah menjadi ngeri ketika ular peliharaan Didi merambat naik ke atas perut cewek itu. Di lain pihak, Didi justru kelihatan santai-santai saja. Kini, Darren mulai mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Zevanya dalam bahaya jika ular itu dibiarkan berkeliaran secara bebas. Mungkin kepada Didi, ular itu jinak. Kalau dengan orang lain, siapa yang tahu?
"Anakku nggak boleh dekat-dekat ular itu." Darren mengemukakan kecemasannya.
"Ini rumah Darren dan Nanna. Terserah mereka mau berkeliaran di mana. Tamu seperti kamu yang seharusnya tahu diri." Didi meliriknya sekilas tanpa benar-benar peduli.
"Sebaiknya aku bawa Zee pulang. Aku boleh masuk?" Darren baru akan memanjat undakan menuju patio sebelum terlonjak kaget karena mendapati seekor tarantula raksasa menempel di permukaan pintu ekspanda. Darren memegangi dada karena jantungnya hampir copot barusan. Sekarang, ia sudah bertemu Nanna. "Di, laba-labamu menghalangi pintu."
Didi mendongakkan kepala. Dilihatnya wajah Darren kini agak pucat akibat syok.
"Duduk di sini sebentar." Didi menepuk permukaan kursi kayu seraya bergeser untuk memberi ruang kosong agar Darren bisa duduk. "Ada yang pengen aku obrolin sama kamu."
"Bi-bisa nggak, peliharaan kamu dikurung dulu? Dipindahin ke mana gitu?"
Darren turun dari undakan patio, berniat menghampiri Didi, tetapi terlalu takut kepada ular piton. Mau seindah apa pun warna yang dipantulkan ular itu, dia tetaplah seekor piton. Ukurannya saja sudah bikin merinding yang melihat.
Didi bangkit berdiri. Ia membawa Darren ke sebuah tonggak kayu mati di tengah-tengah kebun. Bagai hewan jinak, ular itu memindahkan dirinya dari lengan Didi ke tonggak kayu. Mandiri sekali. Didi berbalik menuju kursi. Darren sudah lebih dulu duduk di sana. Lelaki itu kelihatan lelah, tetapi tatapannya tetap mengintimidasi. Ia merasa lebih tenang karena kini si Darren versi ular sudah jauh darinya.
"Hari ini sebaiknya Zee nggak usah ke sekolah dulu. Dia ngalamin kram perut semalaman. Hari ini bakal semakin memburuk. Nggak usah ngeliatin aku kayak gitu, Zee dapet first period-nya kemarin. Bukan aku yang bikin dia sakit."
Rahang Darren setengah terbuka. Ia agak tercengang dengan informasi yang baru didengarnya ini.
Didi melanjutkan, "Waktu pulang sekolah kemarin, dia mampir ke tokoku. Seragamnya kotor kena darah. Jadi, aku ngasih dia beberapa saran. Pendidikan seks nggak masuk dalam kurikulum sekolah. Jadi, aku berinisiatif buat ngasih tau dia sedikit. Thank me later."
"Pen-pendidikan seks apa yang lagi kita bicarain ini?"
Didi mengedikkan sebelah bahu. "Hal-hal dasar. Dari mana bayi berasal. Apa yang terjadi kalo sperma ketemu sel telur. Bagian tubuh yang nggak boleh sembarangan disentuh orang lain."
Darren mengerjap. Ia kehabisan kata-kata.
"Info tambahan, suasana hatinya bakal buruk beberapa hari ini," lanjut Didi.
Darren coba mencerna penjelasan Didi baik-baik. Putrinya sudah beranjak dewasa. Darren tidak punya pengalaman apa-apa menghadapi hal semacam ini. "O-oke, nanti aku telepon sekolahnya buat minta izin," sahutnya ketika sudah menemukan suaranya kembali.
"Zee nginep di rumahku karena dia lagi sedih. Selain gara-gara PMS, dia juga sedih karena jadi korban bullying di sekolah."
Telinga Darren mendadak berdengung. Kenyataan kalau Zevanya mengalami haid pertamanya saja belum sempat ia cerna, sekarang ditambah putrinya terlibat bullying?
Lelaki itu sontak berdiri. Kedua tangannya terkepal. "Siapa ... siapa yang jahatin anakku?" Rahang Darren mengeras.
Didi duduk di sebelah lelaki itu, sengaja menjaga jarak. "Seniornya. Sepatunya dicuri dan uang jajannya dipalak. Kedoknya minjem sepatu sama minta ditraktir." Cewek itu mengamati rumput basah di bawah kakinya. "Ini masalah anak-anak, tapi orang tua perlu ambil sikap."
"Aku bakal datengin sekolahnya hari ini." Tekad Darren terpancar dari ketegasan dalam suaranya. Didi tahu lelaki itu marah. Siapa yang tidak marah anaknya disakiti orang lain?
"Apa yang pengen kamu dapet dari datengin sekolah dia?"
"Minta pertanggungjawabanlah! Bu Anne sendiri yang ngeyakinin aku kalo tindakan bullying nggak termaafkan di Bina Bangsa."
"Aku ragu kalo itu berdampak baik buat Zee," sahut Didi pelan. "Kemarin hari yang udah cukup berat buat dia. Dengan kamu ngedatengin sekolahnya dan bikin keributan di sana, nggak akan bikin Zee ngerasa baikan." Ia melanjutkan sambil bergumam, "I've been there and through that before."
Ketika Didi bercerita kepada ibu tentang para senior yang kerap mengganggunya, ibu marah dan mendatangi sekolahnya. Mereka bilang tidak ada bukti yang menunjukkan kalau para senior itu bersalah. Malah, Didi dianggap sebagai anak yang suka mencari perhatian. Didi mencemaskan hal yang sama juga terjadi kepada Zevanya.
Darren kembali duduk di sisinya. Lelaki itu tampak frustrasi. Ia meletakkan kedua siku di lutut sambil memegangi kepalanya yang tertunduk. "Aku harus apa?" tanya Darren lirih.
Didi tak merespons. Ia menumpukan tubuhnya ke belakang dengan kedua tangan untuk memandang langit. "Sebetulnya Zee itu anak yang ceria."
Darren menoleh. "Kamu belum lama kenal dia."
"Siapa pun bisa akrab dengan mudah sama Zee tanpa perlu berusaha." Didi melanjutkan tanpa memandang lelaki itu. "Jadi, aku penasaran, kenapa daddy-nya kelihatan nggak tahu apa-apa tentang Zee?"
Kedua sudut mata Didi menyipit ke arah Darren yang tiba-tiba jadi bungkam. Semakin pertanyaan Didi ia pikirkan, semakin patah hati ia dibuatnya. Lelaki itu juga tak habis pikir, apa yang salah dengan cara mendidiknya?
Didi menghela napas panjang sebelum bangkit berdiri lagi. "Zee masih tidur. Kamu bisa bangunin dia di kamarku."
Darren ikut berdiri. Ia sengaja berjalan di belakang Didi agar tidak perlu berurusan dengan si Tarantula Raksasa yang masih betah menempel di pintu ekspanda. Ia bergidik ketika Didi mengambil Nanna dari daun pintu dan mendekatkan wajahnya kepada makhluk berkaki banyak itu. Didi memberi izin kepada Darren agar bisa masuk duluan dengan isyarat kepala.
Sama seperti nuansa seluruh interior rumah Didi yang bergaya bohemian, kamar Didi juga sama. Tempat tidurnya cukup besar. Selimut dan bed cover-nya berwarna putih bersih. Hanya head board yang punya warna abu-abu gelap. Posisi ranjangnya cukup tinggi. Seukuran pinggang Darren.
Banyak lilin aroma terapi diletakkan di sekeliling kamar. Jumlahnya memengaruhi aroma kamar Didi juga. Baunya harum dan menenangkan walau tidak dinyalakan.
Sama seperti bau Didi hari ini.
Pendingin ruangan tidak dinyalakan, tetapi suhu kamar Didi tetap sejuk. Padahal di luar rumah, matahari sedang terik. Darren heran mengapa Didi tidak memilih bergelung di bawah selimut saja seharian jika kamarnya sebegini menyenangkan. Kalau jadi Didi, ia tak akan mau beranjak ke mana-mana.
Darren duduk di tepi tempat tidur, di mana selimut putih tebal membentuk bukit kecil di sebelahnya. Selimut yang biasa Zevanya sebut sebagai comforter itu berbahan halus dan lembut. Tidak ada pola ataupun jahitan kotak-kotak seperti yang mereka miliki di New York.
Tiba-tiba kepala Zevanya menyembul dari balik selimut. Anak itu sudah bangun sejak tadi, tetapi memilih tetap bergelung di tempat tidur karena perutnya sakit.
"Pagi, Zee," sapa Darren pelan.
"Pagi juga, Daddy."
"Gimana kabarmu?"
"Perut Zee sakit." Zevanya membuka selimutnya agar Darren tahu di bagian mana yang sakit. Yang membuat Darren tertegun, sebuah kompres sudah tersedia di bawah selimut. Zevanya menempelkannya di depan perut. "Didi ngasih Zee kompres biar perut Zee baikan."
Darren mengusap kepala Zevanya. "Rasanya sakit banget?"
Anak itu mengangguk. Wajahnya agak pucat dan lesu. Darren tak tega melihatnya. Kalau mungkin, ia ingin memindahkan rasa sakit Zevanya kepada dirinya sendiri. "Daddy minta maaf karena ... bikin kamu harus ngelewatin semuanya sendirian kemarin. Daddy salah karena terlalu naif, mengira kamu baik-baik aja."
Darren menekan perasaan emosional yang bergejolak. Membayangkan putri semata wayangnya disakiti oleh orang lain hanya membuat amarahnya menggelegak lagi. Bukan kepada para pembully Zevanya, melainkan kepada dirinya sendiri. "Daddy belum bisa jadi daddy yang baik buat kamu. I'm so sorry." Suara Darren tercekat di tenggorokan.
"Nggak apa-apa, Daddy. Zee udah nggak sedih lagi, kok."
"Do ... do you want to move school? I'll make it up to you, Kiddo."
Zevanya tampak berpikir cukup lama. Semalaman ia membicarakan ini dengan Didi. Well, ia yang bicara, sedangkan Didi hanya mendengarkan. Sesekali menjawab kalau dirasa perlu saja. "Zee punya teman sebangku."
Darren menunggunya meneruskan.
"Dia baik sama Zee. She doesn't make fun of my tics. We talk a lot during class. Wali kelas Zee juga baik. She listens to me. Selain Didi, Zee merasa punya teman di sekolah."
"Gimana dengan anak-anak yang gangguin kamu?"
Zevanya mengedikkan bahu sembari tersenyum malas. "They're being mean because they're worried nobody accepts who they really are. Mereka memaksa orang lain melihat mereka dengan cara bikin orang lain takut. Kata Didi, itu tindakan pengecut. Zee lebih baik dari mereka. Zee bukan pengecut."
Darren tertegun. Ia mulai merasa bersalah kepada Didi karena sering berpikiran kalau putrinya akan berakhir sama anehnya dengan cewek itu jika mereka terlalu banyak bergaul. Lelaki itu mengusap kepala Zevanya. Rasa sayangnya membuncah. Di antara hari buruknya kemarin, Zevanya masih sempat melihat secercah harapan. Sepertinya Didi benar. Putrinya adalah anak yang ceria.
"Zee mau coba bertahan di sana. I'll try to make a lot of friends. Kata Didi, kalau Zee lari nanti rasa takut itu bakal terus ada sampai Zee dewasa. Zee nggak mau jadi pengecut."
"Zeezee ...." Darren mengecup kepala Zevanya. "Daddy bangga sekali sama kamu."
"Really?" Iris gelap Zevanya membulat lebar karena binar senang. Darren mengangguk. Perasaan haru memenuhi dadanya. Zevanya memberanikan diri bertanya, "Kalo gitu ... Zee boleh minta dibeliin sepatu baru?"
"Sure. Daddy belikan berapa pun yang kamu mau."
"Really? Promise?" Kali ini, Zevanya tampak bersemangat.
Darren mengulurkan jari kelingkingnya kepada Zevanya. "Janji."
Dengan senyum lebar, Zevanya mengaitkan jarinya sendiri ke kelingking Darren.
"Perut kamu masih sakit?"
Zevanya mengangguk. "Masih."
"Kalo pindah ke rumah, kamu bisa jalan? Mau Daddy gendong?"
"Zee nyaman di sini. Can I stay longer?"
"Nggak bisa, Sayang. Ini 'kan kamar Didi. Daddy nggak enak ngerepotin Didi terus."
"Daddy harus coba tiduran di sini. Rasanya enak banget, lho!" Zevanya bergeser sedikit untuk memberi ruang kepada Darren. "Try it!"
Darren menganggap ini salah satu cara Zevanya untuk membujuknya agar membiarkan dia tinggal di rumah Didi lebih lama. Sebelum Darren sempat pikir panjang, tubuhnya sudah berbaring di sebelah Zevanya. Kenyamanan kamar ini membuatnya agak terbuai. Ia menganggap kalau itu adalah efek kelelahan saja. Harum selimut Didi benar-benar menyenangkan. Bukan hanya selimut, melainkan seprai dan bantalnya juga. Zevanya membantu menutupi tubuh Darren dengan selimut agar merasa senyaman dirinya.
"Padahal nggak pake air con, cuaca di luar juga panas. Kenapa kamarnya sejuk begini, ya?" gumam Darren. Kantuk mulai menyergapnya. Rasa lelah baru saja diakomodasi oleh kenyamanan. Sebuah kombinasi sempurna.
"Zee nggak pengen pulang. Didi baik banget ngebiarin Zee tidur di sini dan bikin sakit Zee mendingan," ujar Zevanya, "Ngomong-ngomong, Daddy nggak marah Zee kesiangan?"
"Didi udah bilang kamu sakit."
"Daddy nggak marah Zee pergi ke rumah Didi tanpa bilang-bilang?"
Darren menghela napas panjang. Kedua matanya terasa amat berat. Suara Zevanya muncul hilang di telinganya. "Tadinya Daddy sempat kesal, sekarang udah enggak," ujarnya setengah bergumam sampai kegelapan menyelimutinya.
***
Didi memasukkan Nanna dan Darren ke dalam terarium masing-masing lalu bersiap berangkat kerja. Masih ada beberapa ratus halaman buku yang perlu diperbaikinya, beberapa pesanan buku yang harus dikirimkan secepatnya. Ia juga perlu menyiapkan bibit anggur sebelum Rafael datang untuk membuatkan pergola untuknya. Ia sibuk sekali.
Melihat pintu kamar utama yang terbuka sedikit mengingatkan Didi kalau masih ada tamu di rumahnya. Ia sempat mengira kalau Darren dan Zevanya sudah pulang sejak tadi lewat pintu depan tanpa berpamitan. Didorong oleh rasa penasaran, Didi masuk kamar untuk mengecek. Ia berdiri di ambang pintu, mengamati Darren dan Zevanya yang tidur di ranjangnya. Tidur mereka amat nyenyak. Zevanya bahkan sampai mendengkur kecil saking lelapnya.
Seharusnya Didi melakukan sesuatu. Mengusir mereka pergi atau setidaknya membangunkan mereka. Namun, tidak. Alih-alih membuat mereka terbangun, Didi justru menutup pintu kamar. Rencananya hari ini ia susun ulang. Sepertinya ini hari baik untuk mengambil waktu libur.
Karena hari terlalu panas untuk berkebun, Didi memanfaatkan waktu liburnya hari ini untuk membuat meringue, kue kering manis berbahan utama putih telur. Jenis meringue yang ia pilih adalah macaron berbahan bubuk matcha. Mencampur dessert Perancis dengan bubuk teh hijau terdengar cukup menjanjikan.
Dengan cekatan, Didi menyaring tepung almond, bubuk matcha, dan gula bubuk. Bahan kering itu dimasukkan ke dalam kocokan putih telur dan sedikit gula sebelum dicampur rata dengan mixer. Di loyang yang dilapisi baking paper, ia mencetak adonan macaron hijau dalam jumlah banyak. Begitu adonannya habis, Didi memasukkan masing-masing loyang ke dalam oven panas untuk dipanggang.
Selagi menunggu adonan matang, Didi membuat bahan isian macaron. Ia memutuskan untuk memilih bahan minimalis yang ia temukan di dalam lemari es. Cream cheese, gula, dan susu dicampur rata sampai agak mengembang. Rasanya manis. Bahan isian itu nantinya akan ditaruh di antara dua macaron yang sudah dingin.
Hari sudah cukup siang saat Didi selesai membuat macaron. Jumlahnya terlalu banyak untuk dimakan sendiri. Ia sempat kepikiran untuk menjualnya saja. Kemudian, ia teringat Zevanya yang suka makanan manis. Berbungkus-bungkus cokelat saja sanggup dihabiskan dalam sekali makan. Mungkin anak itu bakal suka macaron ini.
Perut Didi keroncongan. Ingin membuat makan siang juga masih terlalu awal. Akhirnya, ia putuskan untuk memanggang kentang dan dada ayam. Bumbunya hanya terdiri dari garam, daun parsley, dan merica. Memang tidak terlalu mengenyangkan, tetapi bisa jadi pengganjal perut sampai jam makan siang tiba.
***
Darren membuka mata dalam kondisi masih amat mengantuk. Ia terbangun karena tamparan Zevanya. Putrinya itu tidur sambil berakrobat. Tamparan yang awalnya ia kira berasal dari telapak tangan, ternyata berasal dari telapak kaki putrinya. Kepala Darren berdenyut hebat. Inilah akibatnya kalau sering memangkas waktu istirahat. Tidur sudah berkualitas, tetapi masih saja dirasa kurang.
Kepalanya berdentum menyakitkan saat ia bangkit duduk. Lelaki itu baru menyadari kalau tempat tidur ini bukan miliknya, dan kamar yang ia tempati bukan kamarnya. Matahari sore sedang mengintip dari balik tirai jendela.
Darren merutuki dirinya sendiri karena baru sadar telah ketiduran di kamar tetangga. Ia buru-buru turun dari tempat tidur dan berakhir jatuh berguling ke lantai. Ranjang Didi lebih tinggi dari ranjang kebanyakan. Pinggang Darren rasanya langsung rontok karena menghantam lantai.
"Zee, bangun," panggilnya di antara rintihan akibat rasa sakit. "Zeezee ...."
Zevanya hanya bergumam tak jelas.
"Bangun, Nak. Ini bukan rumah kita." Darren tak menyerah.
"Zee masih ngantuk."
"Come on, Sleepy Head. We gotta go." Mengabaikan sakit pinggang, Darren bangkit untuk menarik tubuh Zee agar putrinya segera bangun.
"I couldn't sleep last night because of stomachache, Daddy! Please, let me sleep!"
"Sorry, Kiddo. Kita harus pulang. Ini rumah Didi, bukan rumah kita."
"Can we just stay here forever?"
"Zee, bangun! Kamu ngelantur."
Zevanya mengerang kecil karena Darren menarik kakinya dari bawah selimut.
"Come on, I overslept because of you. Now I don't know how to face Didi without being ashamed. Help me a bit!" Darren mengangkat tubuh Zevanya, setengah memaksanya berdiri dengan kedua kaki. Kompresnya jatuh ke lantai. "Is it yours or Didi's?"
"Punya Didi." Zevanya merajuk. Rambut anak itu kusut berantakan dan wajahnya masih mengantuk.
Darren memungut kompres agar bisa dikembalikan ke tempat tidur. Ia merapikan selimut dan bantal-bantal seadanya. Ia bersyukur dan berterima kasih dalam hati pada ranjang ini karena telah membuatnya tidur lelap sampai sore. Sekarang, tubuhnya lebih segar daripada saat ia datang tadi. Sambil menggandeng tangan Zevanya, ia memimpin jalan untuk keluar dari kamar.
***
Kalau harus menunggu Rafael berkunjung kemari, bisa-bisa rumah Didi kebanjiran karena atap yang bocor. Sejam yang lalu ramalan cuaca mengabarkan kalau nanti malam akan turun hujan lebat.
Bunga-bunga tabebuya sudah bermekaran sejak seminggu lalu di jalanan Surabaya hingga membuat pemandangan mirip musim semi di Jepang. Bunga-bunga itu menyerupai bunga sakura ketika sedang mekar di penghujung musim pancaroba, menandakan kalau musim hujan atau kemarau akan dimulai. Tampaknya, malam ini bakal jadi pembuka awal musim hujan.
Sayangnya, Didi tidak punya tanaman itu di rumah. Belum kepikiran juga untuk menanam pohonnya. Mungkin ia harus mulai mencari bibitnya agar tahu kapan musim berganti. Saat ia sedang memikirkan bunga tabebuya, Darren dan Zevanya mengamatinya sejak tadi dari bawah.
"Didi ngapain?"
Didi setengah terkejut akibat suara Zevanya yang tiba-tiba. Ia sampai harus berpegangan agar tak jatuh dari tangga.
"Atap bocor." Didi menunjuk spot di atas kepalanya. Yang berlubang itu gentingnya. Jika ingin dibetulkan, seseorang harus naik ke atas. Didi takut ketinggian. Jadi, sejak tadi, ia hanya sanggup naik ke tiga undakan tangga saja. "Mau ngecek mana yang perlu dibetulkan."
Darren merasakan tangannya diremas oleh Zevanya.
"What?" tanya lelaki itu kepada putrinya. Bukannya menjawab, Zevanya malah memberi isyarat pelototan sekaligus lirikan mata ke arah Didi. Darren baru mengerti apa maksudnya. "Biar aku aja yang benerin."
Darren menghampiri tangga Didi untuk membantunya turun. Ia mengulurkan tangan kepada cewek itu. Di luar prediksinya, Didi turun sendiri, seakan-akan tak melihat uluran tangannya. Kepala Darren celingukan ke atas, mencari-cari lubang yang dimaksud Didi lalu mulai memanjat tangga.
"Careful, Daddy!"
Belum semenit Zevanya bicara, Darren hampir jatuh karena kakinya salah mengambil pijakan. Didi sigap memegangi tangga.
"Pheww ...." Zevanya menghela napas lega. Ayahnya memang sering ceroboh.
"Ngomong-ngomong, makasih udah ngebiarin kami tidur di kamarmu," ujar Darren dari puncak tangga. Ia berdiri menjulang, meraih langit-langit yang kata Didi berlubang.
"Kalian tidur kayak orang mati. Nggak bisa dibangunin," sahut Didi datar.
Darren meringis kecil karena merasa bersalah. "Kamarmu ... nyaman. Maaf kalo kesannya kayak kami nggak tau diri."
Didi tak menjawab.
Kebisuan Didi semakin membuat Darren merasa bersalah. "Aku nggak liat ada lubang."
"Masa?" Didi menyipitkan mata agar bisa melihat dengan jelas lubang yang tadi ditemukannya. "Lubangnya ada di genting, tapi karena sering bocor, langit-langitnya juga ngerembes."
"Kalo gitu, ya, gentingnya yang kudu dibenerin." Darren menunduk agar bisa memandang Didi yang gelisah. "Manjatnya dari mana?"
"Kamu nggak berpengalaman. Biar aku nunggu temenku aja," tolak Didi langsung. Ia memberi isyarat untuk menyuruh Darren turun.
Harga diri Darren disentil. Ia tak terima disepelekan. Membetulkan genting adalah pekerjaan laki-laki. Ia memang belum pernah melakukannya. Namun, ia yakin kalau dirinya bisa. Membetulkan genting saja, apa susahnya?
Untuk kedua kalinya, Darren salah mengambil pijakan ketika turun dari tangga. Segalanya terjadi begitu cepat. Zevanya terkesiap dengan mata membelalak saat menonton Darren jatuh menimpa Didi yang ada di bawahnya. Kacamata Didi terlepas karena tepisan tangan Darren secara tak sengaja. Wajah Darren tepat berada di dada cewek itu, sedangkan tangannya menyentuh salah satu payudara Didi.
"Shit." Darren berusaha bangkit duduk. Namun, gerakannya tertahan oleh tangga yang jatuh menimpa. Sudah pinggulnya sakit, sekarang ditambah punggung yang memar. Pasti akan menimbulkan warna-warni nanti. "Zeezee, close your eyes!"
"Already did!"
Zevanya memutar tubuh ke belakang sambil menutupi wajah dengan kedua tangan. Insiden jatuh dari tangga Darren berakhir jadi pemandangan ambigu karena posisinya terlalu kontroversial. Didi menggeliat agar bisa lolos dari Darren.
"Didi, jangan gerak dulu!" Tubuh Darren seketika menegang. Respons sarafnya mengkhianati otak. Jika Didi semakin banyak bergerak, maka semakin tegang Darren dibuatnya.
"Tanganmu!" Didi menepis tangan Darren yang tak sengaja menyentuh pinggulnya.
"Sorry." Menggunakan lantai di bawah Didi sebagai tumpuan, Darren mencoba bangkit. Tangga di belakang punggungnya terlalu berat, tetapi ia tak menyerah. "Just a minute."
Selagi bangkit berdiri, Darren mencegah dirinya menyentuh Didi. Wajahnya masih berada di dada cewek itu. Ia dapat merasakan jantung Didi yang berdegup kencang.
"Ma-maaf, Didi. Just don't move. I'm trying to ...." Darren berusaha sekali lagi mengangkat tangga yang menimpa punggungnya. Namun, tak lama, ia jatuh lagi menimpa Didi. "Bahuku kayaknya terkilir. Aku nggak bisa angkat tangganya sendirian."
Wajah Darren memerah karena menahan malu.
"Zee ...," panggil Didi dengan suara tenang.
"Iya?"
"Tolong bantu daddy-mu nyingkirin tangga ini."
"Tapi, Daddy bilang Zee harus tutup mata. Gimana caranya Zee ke situ tanpa bisa liat?"
"Putar badanmu seratus delapan puluh derajat. Jalan lurus dan berhenti kalo aku bilang stop." Didi memberi arahan. Zevanya mengangguk. Ia menuruti arahan Didi dengan hati-hati.
Krak.
"Zee nginjak sesuatu," gumam Zevanya ragu.
"Nggak apa-apa." Didi nelangsa sekali. Yang barusan diinjak Zevanya adalah kacamata terakhirnya. Ia tidak punya kacamata pengganti karena yang terakhir framenya patah sudah beberapa bulan lalu. Didi belum sempat membeli kacamata baru. "Aku bisa pake lensa buat sementara," gumamnya kepada diri sendiri.
"Biar kacamatanya aku yang ganti. We caused you a lot of trouble already."
"Ada yang nonjol di bawah." Kalimat Didi barusan membuat wajah Darren serasa terbakar.
"Nggak bisa kukendalikan."
Jantung Didi degupnya makin menggila. Ia cemas kena serangan jantung kalau jarak dengan Darren sedekat ini.
"Stop!" Didi mengatakannya tepat di dekat telinga Darren, membuat lelaki itu terkejut. Ia baru sadar kalau perintah itu ditujukan kepada Zevanya. "Angkat badanmu sekali lagi, aku bantu." Kali ini, Didi bicara kepada Darren.
Tangga itu akhirnya dapat bergeser sedikit karena kerja sama mereka berhasil. Celah kecil saat tangga bergesar dimanfaatkan Darren untuk bergerak. Lelaki itu dapat memindahkan dirinya dari atas tubuh Didi menggunakan satu lengan. Ia tak bohong saat mengatakan bahunya terkilir. Rasanya menyakitkan.
"Daddy nggak pa-apa?" tanya Zevanya seraya membantu Didi berdiri. Darren menggeleng samar. Ia memegangi bahunya yang sakit.
"Aku ada obat ...." Didi hampir mengulurkan tangan untuk membantu Darren saat lelaki itu buru-buru menggeleng.
"Kayaknya kami harus pulang daripada kamu makin repot."
Didi mengangguk singkat. "Ide bagus." Ia menoleh kepada Zevanya. "Bawa pulang paper bag di atas meja makan. Isinya macaron, jamu, sama stok pembalut buat kamu."
Zevanya melakukan apa yang disuruh. Ia mengambil paper bag cokelat di meja makan yang sudah disiapkan Didi sejak tadi. Tidak seperti terakhir kali, Darren mengajak Zevanya pulang lewat pintu depan tanpa sekali pun menoleh ke arah Didi. Ia sudah cukup malu hari itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top